Untuk bisa lebih memahami dan mencari solusi penerapan sistem moneter Islam, kita harus kembali lagi ke konteks sejarah perkembangan uang dalam dunia Islam – bagaimana sebenarnya Rasulullah SAW, generasi shabat dan generasi sesudahnya menggunakan uang.
Pada zaman Rasulullah SAW dikenal dua jenis uang yaitu uang yang berupa komoditi logam dan koin yang berasal dari kekaisaran Roma (Byzantine). Dua jenis uang logam yang digunakan adalah emas (Dinar) dan perak (Dirham). Logam tembaga juga digunakan secara terbatas dan tidak sepenuhnya dihukumi sebagai uang, disebut fals atau jamaknya fulus.
Tercatat bahwa Dirham dicetak pertama kali oleh Kekalifahan Umar bin Khattab pada sekitar abad 18 H, meskipun demikian koin logam emas dan perak dari Byzantine tetap juga diterima oleh masyarakat Islam. Dinar dicetak pertama kali pada zaman Kekalifahan Mu’awiya bin Abu Sufyan (41-60H), meskipun juga koin emas dan perak dari Byzantine tetap dipakai sampai sekitar thaun 75H-76 H pada zaman Kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan – ketika yang terakhir ini melakukan reformasi finansialnya dan mulai saat itu hanya Dinar dan Dirham yang dicetak sendiri oleh Kekhalifan Islam yang berlaku.
Pada awalnya koin emas yang dicetak di masa-masa tersebut mempunyai kwalitas cetakan yang kurang baik dan berat masing-masing koin yang tidak standar, oleh karenanya penggunaan uang logam ini awalnya lebih mengandalkan pada timbangan berat daripada menghitung jumlah koinnya. Awalnya penggunaan berdasarkan hitungan jumlah koin (bukan berat) hanya dilakukan terhadap koin perak Dirham dan fulus dari tembaga – karena keduanya memiliki nilai yang relatif rendah dibandingkan koin emas Dinar. Disinilah awal dikenalnya fungsi uang sebagai numeraire yang diperkenalkan oleh Islam.
Uang emas(Dinar) dan uang perak (Dirham) baru digunakan berdasarkan jumlah koinnya (bukan timbangannya) sebagaimana kita kenal secara konvensioanl seperti sekarang ini tercatat di dunia Islam baru sekitar abad ke 4 Hijriyah . Dalam kejayaan Islam umumnya kedua jenis uang emas dan perak digunakan bersama meskipun juga dipengaruhi ketersedeiaan bahan dan budaya setempat. Di zaman Salahuddin Al Ayyubi uang emas banyak dipakai di Persia dan spanyol, sedangkan perak (Dirham) banyak dipakai di Afrika Utara dan Semenanjung Arab.
Selain Dinar, Dirham dan Fulus (uang tembaga), di sejarah Kekhalifahan Islam juga dikenal adanya uang Maghshus yaitu uang yang dibuat dari campuran logam mulia (emas atau perak ) dengan logam lain seperti tembaga, perunggu dan lain sebagainya .
Dalam sejarah awal Islam apabila fulus digunakan, maka penggunaannya biasanya terbatas pada konteks lokal yang tidak terlalu luas dimana para pelaku bisa saling mengenal dan saling percaya. Fulus dari tembaga untuk perdagangan jarak jauh baru dicetak oleh pemerintahan Mamluk awal abad 9 H. Pada pemerintahan Mamluk tersebut ditetapkan bahwa nilai Dirham dari Tembaga (sebenarnya fulus) sama dengan Dirham dari perak (uang yang sesungguhnya); tetapi penetapan ini tidak di terima di masyarakat terbukti dari harga fulus Dirham yang dari tembaga jatuh. Pengalaman ini menunjukkan bahwa nilai uang yang sesungguhnya (dalam arti daya beli atau nilai tukarnya) tidak bisa ditentukan berdasarkan keputusan pemerintah, nilai uang akan tergantung dua hal yaitu apabila tidak berdasarkan nilai intrinsik-nya maka akan berdasarkan kepercayaan pasar yang menggunakannya.
Karena fulus yang dicetak rencananya untuk perdagangan jarak jauh tidak diterima dengan baik oleh pasar, maka pada masa tersebut mulai dilahirkan pula apa yang disebut sebagai suftaja atau al suftajah – semacam apa yang kita kenal sekarang dengan letter of credit. Suftaja ini dikeluarkan oleh tempat penukaran uang (Sharf) di tempat asal, untuk ditukar dengan uang koin Dinar atau Dirham di tempat penukaran uang di kota tujuan. Suftaja memiliki banyak kemiripan dengan uang kertas yang kita kenal yaitu mudah dibawa dalam perjalanan jauh dan berperan sebagai surat janji (promissory note) untuk bisa ditukar kembali dengan uang sesungguhnya. Suftaja juga banyak dipakai di Kekhalifahan Usmaniah antara abad 17 – 19 karena luasnya wilayah kekhalifahan sehingga diperlukan efektifitas pembayaran pembayaran perdangan jarak jauh .
Usaha memaksakan uang tanpa nilai intrinsik (uang kertas) pada dunia Islam sebenarnya juga pernah dilakukan oleh kekaisaran Mongols pada tahun 1294, namun gagal total hanya dalam dua bulan karena masyarakat Islam menolaknya. Sekali lagi hal ini membuktikan bahwa uang yang tidak di dukung dengan nilai intrinsik dan juga tidak didukung oleh kepercayaan masyarakat penggunanya pasti gagal.
Berabad-abad berikutnya tepatnya mulai abad ke 19 uang kertas mulai diperkenalkan lagi ke dunia Islam (tentu juga dunia di luar Islam) melalui dua tahap. Tahap pertama masih didukung penuh dengan cadangan emas yang dikenal dengan Gold Standard atau Gold Exchange Standard. Tahap kedua adalah uang kertas atau uang fiat yang kita kenal sampai sekarang yang tidak didukung dengan cadangan emas. Uang kertas terakhir ini sebenarnya mengandung ketidak pastian yang sangat tinggi terhadap nilainya (gharar) seperti yang sudah terbukti di Indonesia melalui dua kejadian yaitu Sanering Rupiah 1965 dan Krisis Moneter 1997-1998. Peningkatan risiko ini disebabkan pertama karena uang kertas atau uang fiat yang tidak memiliki nilai intrinsik, dan kedua karena perdagangan internasional sudah semakin luas sehingga keterikatan sosial antar pelaku pasar sudah semakin renggang – sedikit saja kepercayaan pasar menurun terhadap suatu mata uang – maka hancurlah mata uang tersebut. Kepastian nilai mata uang kertas hanya bisa terjadi apabila uang kertas tersebut sepenuhnya mempunyai penyeimbang (counterbalance) yang jumlahnya sama dengan uang yang beredar, yaitu yang disebut 100 gold reserve system, atau di back up oleh kekayaan riil lain (misalnya minyak) yang nilainya setara dengan uang yang beredar tersebut.
No comments:
Post a Comment