Menimbang Kembali Kelayakan Jakarta Sebagai Ibu Kota Indonesia
Enjoy Jakarta. Sebuah tagline yang didengungkan oleh pemerintah daerah Ibu Kota Jakarta dalam mempromosikan kota terbesar di Indonesia ini. Tetapi, sebagai seorang yang seringkali mengunjungi Kota Jakarta sebuah pertanyaan muncul. Bagaimana cara menikmati Jakarta.
Kemacetan di mana-mana. Bahkan, di jalan tol sekali pun. Waktu yang terbuang untuk perjalanan begitu panjang. Demonstrasi di pusat kota hampir terjadi setiap hari kepada pemerintah. Hal ini pun membuat kekhawatiran dan ketidakjelasan waktu tempuh.
Berbagai fasilitas transportasi yang jauh dari layak. Metromini yang mengeluarkan asap hitam pekat, angkutan kota yang selalu ngetem, sehingga tidak ada kepastian pemberangkatan (apalagi waktu tiba) bagi para penumpang. Bahkan, sistem jaringan transjakarta dengan busway-nya belum lah menjadi angkutan yang andal. Belakangan muncul ide tentang mass rapid transport. Akan tetapi juga tidak menjadi jelas karena tiada investor yang bersedia bergabung.
Jakarta saat ini bersama Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang mengklaim jaringan kota-kota ini dalam sebuah megalopolitan yang disebut dengan Jabodetabek. Sebuah jaringan besar yang menghubungkan kawasan pemukiman, kawasan industri, dan bisnis. Kesempatan besar tentu terbentuk. Jakarta sebagai pintu gerbang Indonesia memiliki akses dalam hal jaringan nasional maupun internasional.
Hampir semua markas utama perusahaan besar nasional maupun multi-nasional bertempat di Jakarta. Hal ini memudahkan tentunya bagi Jakarta untuk bisa sebagai pusat perdagangan dan Jasa.
Dampak besar dari hal ini tentu adalah jumlah pajak yang sangat besar di Jakarta. Di sisi lain adanya pusat pemerintahan di Jakarta menjadi tanda tanya tersendiri. Apakah masih layak ada pusat pemerintahan di sana. Di saat mesin bisnis bernama Jakarta ini terus berkembang apakah dekatnya pusat bisnis dengan pusat pemerintahan berdampak baik ataukah justru berdampak buruk. Seperti kala pemerintahan tidak baik demonstrasi terjadi dan berakibat pada macetnya roda ekonomi. Atau seperti kemungkinan terjadi korupsi dengan cepat karena akses yang memang dekat.
Jika melihat beberapa negara lain di luar negeri akan kita lihat adanya perbedaan kota dagang dan ibu kota. Mereka sengaja menjadikan sebuah kota megalopolitan terpisah dari pemerintahan. Sebagai contoh Jerman menjadikan Frankfurt sebagai kota dagang dan Berlin sebagai Ibu Kota. Australia menjadikan Sydney sebagai kota jasa dan Canberra sebagai Ibu Kota. Atau Amerika Serikat yang menjadikan New York sebagai kota bisnis dan Washington DC sebagai Ibu Kota.
Dalam perkembangan lain negara di Asia lainnya pun juga semakin ingin mengurangi peran ibu kota sebagai kota bisnis. Seperti China yang mulai mengembangkan kota bisnis selain Beijing seperti Shenzen, Ghuanzou, dan Shanghai. Sehingga, pada akhirnya beban Beijing semakin berkurang sebagai pusat ekonomi dan bisa fokus sebagai pusat pemerintahan.
Saya memang belum menemukan literatur yang cukup tegas menentukan syarat sebuah ibu kota. Akan tetapi saya mendapat potongan makalah Prof Sutikno dari Program Studi Geografi Universitas Gadjah Mada yang memberikan sebuah pandangan bahwa pemindahan ibu kota pernah terjadi di beberapa negara dengan berbagai pertimbangan. Bisa dikatakan bahkan tidak ada alasan yang benar benar sama dari pemindahan ibu kota ini.
Contoh berikut memberikan gambaran bahwa pemindahan ibu kota negara itu tidak tabu dan dilakukan dengan tujuan memecahkan permasalahan untuk menuju ke perbaikan dan kemajuan bangsa dan negara.
1) Brasilia ibu kotanya terletak di pedalaman, karena ibu kota lama Rio Jenairo sudah terlalu padat.
2) Pemerintah Korea Selatan dalam tahun 2004 ibu kotanya pindah dari Seoul ke Sejong, meskipun Seoul itu berarti ibu kota dalam bahasa Korea.
3) Ibu kota tradisional secara ekonomi memudar oleh kota pesaingnya, seperti Nanjing oleh Shanghai.
4) Menurunnya suatu dinasti atau budaya dapat juga ibu kota yang telah ada mati atau pudar atau kalah pamor seperti di Babilon dan Cahokia.
Selain ibu kota negara dipindahkan terdapat juga pemindahan sebagian dari kekuasaan pemerintah. Contoh berikut dapat dijadikan salah satu alternatif untuk pemecahan masalah yang terkait dengan ibu kota negara.
1) Bolivia: Succre masih ibu kota konstitusional tetapi pemerintahan nasional telah lama ditinggalkan dan beralih ke La Paz.
2) Chili: Santiago masih dianggap sebagai ibu kota meskipun Kongres Nasionalnya di Valparaiso.
3) Belanda: Amsterdam ibu kota nasional konsitusional, meskipun pemerintahan Belanda, parlemen, istana ratu semuanya terletak di Den Haag.
4) Afrika Selatan: ibu kota administratif di Pretoria, ibu kota legislatifnya di Cape Town, dan ibu kota judisialnya di Bloemfontein.
Dengan berbagai contoh di berbagai negara tersebut maka yang akan menjadi perhatian adalah kelayakan dari Jakarta itu sendiri. Seperti yang kita ketahui bahwa ibu kota adalah simbol dari sebuah negara, pada zaman dahulu Paris dan London dipilih oleh Romawi sebagai Ibu Kota karena alasan pertahanan.
Itu mengapa kebanyakan ibu kota yang sudah tua secara usia selalu berada di tepi laut dan berkembang menjadi kota pelabuhan. Karena laut adalah simbol kekuatan pertahanan dan peperangan di masa lalu saat kapal terbang belum merajai dunia transportasi dan pertahanan, hingga bahkan ada slogan england rules the sea.
Selain itu faktor koordinat memang menjadi perhatian pula. Sangat diharapkan ibu kota terletak di pusat dalam konteks di tengah wilayah suatu negara. Walau jika melihat Amerika Serikat dengan Washington DC yang terletak di wilayah timur tampaknya teori ini tidak begitu relevan kini karena arus informasi dan komunikasi yang semakin membuat dunia serasa sangat sempit.
Ibu kota menjadi simbol bagi negara dan pemerintahannya, dan sebagai tempat berkembangnya muatan politik. Kota kota abad pertengahan, pemilihan, relokasi, pendirian dari suatu ibu kota modern dilandasi dengan emosional. Contoh-contohnya adalah sebagai berikut.
1) Athena yang hancur dan hampir tak berpenduduk dijadikan ibu kota baru bagi Greece, sebagai simbul kejayaan masa lalu. Hal yang mirip adalah Perang Dingin dan Reunifikasi Jerman, Berlin menjadi ibu kota lagi bagi Jerman.
2) Suatu relokasi simbolik dari ibu kota ke lokasi periperi geografis dan demografis dengan alasan ekonomi atau strategi (sering disebut ibu kota masa depan atau ibu kota pelopor). Peter I dari Rusia memindahkan pemerintahan dari Moskow ke St Petersburg untuk memberikan kebesaran Rusia beorentasi ke barat.
3) Kemal Atarturk memindahkan pusat pemerintahan dari Ottoman Istambul ke Ankara.
4) Kaisar Ming memindahkan ibu kota dari Nanjing ke Beijing untuk menjauhi Mongols dan Manchus.
Ibukota adalah gambaran awal sebuah negara di mata rakyatnya sendiri dan masyarakat asing. Sedangkan Jakarta kini seakan kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Banyak yang mengatakan bahwa Jakarta adalah sebuah Kota yang gagal. Kita akan coba lihat beberapa perspektif yang melemahkan Jakarta agar tetap layak sebagai ibu kota.
1. Arus urbanisasi yang begitu cepat dan tidak bisa dikendalikan membuat Jakarta mengalami ledakan penduduk. Ini membuat Jakarta semakin jenuh, dan salah satu dampak nyatanya adalah semakin banyaknya masyarakat miskin kota Jakarta yang memenuhi ruang kumuh Jakarta.
2. Infrastruktur yang sudah tidak memadai, salah satu indikatornya adalah volume jalan yang tidak sebanding dengan jumlah kendaraan (atau bisa juga dilihat dari perspektif jumlah kendaraan yang terlalu besar), dan banjir yang terus terjadi setiap tahunnya. Bahkan, hingga di jalan utama.
3. Penggabungan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi dalam satu kota Jakarta menyebabkan pengkerucutan kekuasaan pada beberapa elit saja yang sangat sulit dikontrol. Hal ini sangat mudah memunculkan gejala korupsi dan otoritarian semu. Selain itu, pemerintah yang belum stabil sering kali memicu demonstrasi massa yang tentu juga akan menganggu perekonomian.
4. Kesenjangan sosial masyarakat, sebagaimana kita ketahui bahwa Jakarta tempat tinggal para pengusaha dan ekspatriat hingga menjadi tempat tinggal pedagang kaki lima dan pengangguran. Kesenjangan yang tidak terkendali ini menyebabkan kekerasan, tumbuhnya kawasan kumuh, kriminalitas, dan kerawanan sosial.
Sedikitnya empat pertimbangan ini bisa menjadi penguat bagi pemerintah kita untuk mempertanyakan dan mempertimbangkan kembali. Apakah Jakarta masih cukup layak untuk menjadi ibu kota negara. Dalam artian ibu kota sebagai pusat pemerintahan. Bukan untuk menambah beban atau sekedar menebar isu di masyarakat tetapi pemindahan ini adalah bagian dari usaha pemerintah meningkatkan kinerja pemerintah dan pemerataan pembangunan.
Pada akhirnya memang hingga tulisan ini pada penghujung paragrafnya saya belum bisa memberikan syarat atau kriteria kota yang layak untuk menjadi ibu kota. Apalagi hingga menyebut nama kota di Indonesia yang layak untuk menjadi ibu kota. Tetapi, untuk permulaan saya akan mengakhiri tulisan ini dengan judul tulisan yang saya buat, bahwa kita perlu menimbang kembali kelayakan Jakarta sebagai Ibu Kota Indonesia.
Ridwansyah Yusuf Achmad
Mahasiswa Teknik Planologi ITB
Presiden Keluarga Mahasiswa ITB
No comments:
Post a Comment