Kezholiman Terbesar

Kekufuran dan kesyirikan adalah bentuk kezholiman kepada Allah, maka ia tak layak diberi ucapan "selamat"

"Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezholiman yang besar."
(QS. Lukman : 13)

Sungguh, telah kufur orang yang berkata, "Sesungguhnya Allah itu (Isa) Al-Masih putra Maryam."
Padahal Al-Masih (sendiri) berkata, “Wahai Bani Israil! Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu."
(QS. Al-Maidah: 72)

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, "Wahai 'Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang (pengikutmu), 'Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua Tuhan selain Allah?'

('Isa) menjawab, "Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib."
(QS. Al-Ma'idah : 116)

4 FASE BAGI ORANG ZHOLIM

*EMPAT FASE YANG AKAN DILALUI ORANG ZHOLIM*

Banyak orang mengira bahwa hukuman Allah kepada orang zhalim itu harus cepat, langsung setelah kezhaliman.

‏وهذا خطأ ..
‏فالظالم يمر بأربع مراحل لا بد من فهمها جيدا

Ini suatu kekeliruan
Orang zhalim itu melewati 4 fase, ini yang harus dipahami dengan baik oleh kita

المرحلة الأولى :الإمهال والإملاء

‏{وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ}
‏وفيها يمهل الله الظالم لعله يتوب أو يرجع عما فعل.

Fase Pertama : Al-ImHâl wa Al-Imlâ'
(Pembiaran dan Penangguhan)

‏وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِين(الأعراف : ١٨٣)

"Dan Aku akan memberikan tenggang waktu kepada mereka. Sungguh, rencana-Ku amat tangguh dan terencana, kuat, dan tidak ada yang menandinginya." (Al-A'rôf : 183)

المرحلة الثانية : الاستدراج

Fase Ke-2 : _Al-Istidrôj
(Menarik sedikit demi sedikit kepada kehancuran, dengan memberikan banyak kenikmatan, kesuksesan, kemenangan dan melalaikan mereka untuk mensyukurinya)

 ‏{سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ - الأعراف : ١٨٢}

"..akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui." (Al-A'rôf : 182) 

‏وليس معناة أن تضيق الدنيا عليه، 
لا بل تفتح عليه الدنيا وترتفع الدرجة وتبسط عليه اللذات ويعطيه الله ما يطلب ويرجو بل وفوق ما طلب .
‏لأن الدرج يدل على الإرتفاع
‏والدرك يدل على النزول.

Bukan artinya dunia jadi sempit bagi si zholim.  Akan tetapi, dunia dibukakan baginya, kedudukannya naik, diluaskan baginya segala kelezatan dunia, diberikan keberhasilan, kemenangan. Allah beri dia apa yang dia inginkan dan harapkan, bahkan Allah kasih lebih dari yang dia inginkan. Karena kata 'ad darj' (الدرج) menunjukkan suatu hal yang tinggi/diatas. Sedangkan kata _'ad-dark'_(الدرك) menunjukkan suatu hal yang rendah/dibawah
المرحلة الثالثة : التزيين

Fase ke-3 : _At-Tazyîn (syetan menjadikan indah perbuatan buruk mereka)

 ‏{وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ - العنكبوت : ٣٨}

"...syetan telah menjadikan terasa indah bagi mereka perbuatan (buruk) mereka."
(Al-'Ankabût : 38)

‏وفيها يموت قلب الظالم فيرى ما يراه حسنا ، بل هو الواجب فعله لم يعد في قلبه حياة ، ليلومه على ما يفعل
Di fase ini, hati si zholim mati. Ia melihat segala tindak tanduknya adalah baik, bahkan ia melihat hal yang dipandangnya itu wajib dilakukan. Kehidupan di hatinya telah mati.

المرحلة الرابعة : الأخذ

Fase ke-4 : Al-Akhdz(Siksa dari Allah)

 ‏{وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ - هود: 102}

"Dan begitulah siksa Tuhanmu apabila Dia menyiksa (penduduk) negeri² yang berbuat zhalim. Sungguh, siksa-Nya sangat pedih, sangat berat". (QS Hûd : 102)

‏وفيها تتنزل العقوبة من الله تعالى على ... الظالم وتكون العقوبة شديدة جدا

Di fase inilah adzab dari Allah turun secara berangsur-angsur kepada si zholim, dan adzabnya amat perih.

احفظوا ‏هذه المراحل جيدا
 { فَلَا تَعْجَلْ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّمَا نَعُدُّ لَهُمْ عَدًّا }

Ingat baik² fase² ini !

"Maka janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (memintakan adzab) terhadap mereka, karena Kami menghitung dengan hitungan teliti (datangnya hari siksaan) untuk mereka". (QS Maryam : 84)

Semoga bermanfaat.

Keshalihan Suami Bukan Jaminan Bagi Istri

Keshalihan Suami Bukan Jaminan Bagi Istri

Jika saja kedudukan suami di sisi Allah adalah jaminan baiknya juga kedudukan istri.

Jika saja kedudukan istri otomatis mengikuti kedudukan suami, maka istri Nabi Nuh dan Istri Nabi Luth adalah yang paling berbahagia. Mereka berdua berpaling dari jalan Allah, tetapi ikut masuk surga bersama suami mereka.

Kasihanlah Asiyah, istri Fir'aun. Berjuang dengan keimanannya, tetapi ikut masuk neraka bersama Fir'aun.

Wahai para istri,
Surga dan nerakamu adalah usahamu sendiri, beramal dan bertakwa dengan ilmu. Suamimu hanyalah kawan pendamping. Saling menasehati dan menguatkan agar tetap di jalan Allah. Meskipun perjalanan itu jauh.

Wahai para Istri,
Jangan sekali-kali kedudukan dan kesholihan suamimu membuatmu sombong lagi lalai. Tetap menuntut ilmu dan beramal karena masing-masing memetik amalnya sendiri.

Jangan Menjudge Seseorang Karena Ras

China sebagai ras, tak ada bedanya dengan ras di Indonesia. Sama2 manusia. Yang membedakan hanya beberapa karakter fisiknya.

Tak seorangpun punya hak meminta dari ras mana dia terlahir. Bisa saja ras China, Jawa, Sunda dan sebagainya. Semua menjadi takdir dari yang Maha Kuasa. Manusia tak punya wewenang sama sekali menentukannya.

Kebencian seseorang tidak selayaknya ditujukan kepada ras tertentu. Menjudge seseorang karena ras adalah perbuatan yang tak elok. Menilai seseorang seharusnya dari apa yang diperbuatnya, bukan dari ras mana dia berasal.

Polarisasi yang terjadi saat ini sangat rentan membuat generalisasi terhadap ras tertentu terutama saudara kita yang berdarah China.

Padahal kalau kita mau jujur, tidak semua dari mereka mempunyai sifat yang buruk. Sebagai contoh, ada koh Hanny seorang Tionghoa yang mengabdikan dirinya untuk pengembangan SDM para muallaf, ada Kwik Kian Gie, ahli ekonomi yang pernah menjadi menteri, ada Lieus Sungkharisma seorang aktivis yang kritis terhadap penguasa, ada Soe Hok Gie aktivis mahasiswa di jamannya.

Masih banyak lagi dari mereka yang tak kita kenal satu persatu.

Tuduhan bahwa etnik China identik dengan orang jahat tentu menyakitkan mereka. Padahal mereka tak pernah berharap untuk lahir dari ras ini.

Lebih bijak dalam menjudge seseorang. Hargai setiap perbedaan. Hukumi seseorang dari perbuatan pribadinya, bukan dari etniknya. Sebagaimana kita tak mau etniknya dihina orang dari etnik lain. 

Seseorang dari ras manapun punya peluang yang sama untuk menjadi baik. Dan sebaik2nya manusia di mata Allah adalah yang paling bertaqwa.
Inna aqromakum indallahi atqokum.

Wallahu a'lam.

I’tikaf di Masjid Bukan Syarat Mendapatkan Lailatul Qadar

*I’tikaf di Masjid Bukan Syarat Mendapatkan Lailatul Qadar*

Tentu semua muslim telah tahu keutamaan malam lailatul qadar yang luar biasa. Hanya satu malam tetapi sama nilainya dengan beribadah 1000 bulan. Seribu bulan ini jika dikonversi ke tahun sekitar 83 tahun. Umur manusia saja belum tentu sampai 83 tahun, maka sungguh sangat beruntung mereka yang mendapatkan malam lailatul qadar dan diisi penuh dengan ibadah.

Allah berfirman mengenai keutamaan malam lailatul qadar.

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar, tahukah engkau apakah malam Lailatul Qadar itu ? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan, pada malam itu turunlah melaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Allah Tuhan mereka (untuk membawa) segala usrusan, selamatlah malam itu hingga terbit fajar” [Al-Qadar : 1-5]

Malam tersebut sangat diberkahi, Allah berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا ۚ إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” [Ad-Dukhan : 3-6]

Sebagian kaum muslimin mungkin bertanya-tanya, apakah ia bisa mendapatkan malam lailatul qadar sedangkan ia tidak i’tikaf di masjid. Tidak semua manusia bisa i’tikaf di masjid pada malam hari. Bisa jadi ia mendapatkan udzur semisal harus bekerja menjaga rumah sakit yang 24 jam atau petugas keamanan yang berjaga 24 jam. Bisa juga orang tersebut memang sedang butuh dengan safar di jalan atau wanita yang sedang haid atau para istri yang sibuk mengurus anak dan bayi di rumah.

Jawabannya adalah mereka bisa mendapatkan malam lailtul qadar, karena i’tikaf di masjid bukanlah syarat untuk mendapatkan malam lailatul qadar dengan keutamaannya.

*Lailatul qadar terkait dengan waktu, bukan dengan tempat.*

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

“Pada bulan Ramadhan terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang tidak mendapati malam tersebut, maka ia akan diharamkan mendapatkan kebaikan.” (HR. An-Nasai no. 2106, shahih)

Mereka yang tidak i’tikaf seperti musafir, wanita nifas dan haid serta orang yang udzur, bisa mendapatkan malam lailatul qadar jika mereka mengisi dengan beribadah kepada Allah dengan ikhlas pada malam tersebut.

Juwaibir berkata kepada Ad-Dhahaak,

أرأيت النفساء و الحائض و المسافر و النائم لهم في ليلة القدر نصيب ؟ قال : نعم كل من تقبل الله عمله سيعطيه نصيبه من ليلة القدر

“Bagaimana pendapatmu mengenai wanita yang nifas dan haid, musafir dan orang yang tidur, apakah mereka bisa mendapatkan malam lailatul qadar?”

Ad-Dhahaak menjawab: “Iya, semua orang yang Allah terima amal mereka akan mendapatkan bagian lailatul qadar.” (Al-Lathaif Al-Ma’arif hal. 341)

Semoga kita termasuk orang yang bisa mendapatkan keberuntungan dengan malam lailatul qadar dan mengisinya dengan ibadah yang diterima oleh Allah dan diampuni dosa-dosa kita.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)

*Wallahu a'lam*

KENAPA PAHALA TAHAJJUD, SHOLAT DAN SHAUMKU TAK DICATAT OLEH MALAIKAT

KENAPA PAHALA TAHAJJUD, SHOLAT DAN SHAUMKU TAK DICATAT OLEH MALAIKAT

Pada zaman dahulu ada seorang ahli ibadah bernama Abu bin Hasyim yang rajin sekali tahajjud. Bertahun-tahun dia tidak pernah meninggalkan sholat tahajjud.

Pada suatu malam ketika hendak mengambil wudhu' untuk tahajjud, Abu dikejutkan oleh kehadiran satu makhluk yang duduk di tepi telaga.

Abu bertanya, “Wahai hamba Allah, siapakah engkau?”

Sambil tersenyum, makhluk itu berkata, “Aku Malaikat utusan Allah."

Abu Bin Hasyim terkejut sekaligus bangga karena telah didatangi oleh malaikat yang mulia.

Abu lalu bertanya, “Apa yang sedang kamu lakukan di sini?”

Malaikat itu menjawab, “Aku disuruh mencari hamba pencinta Allah.”

Melihat Malaikat itu memegang sebuah kitab tebal, Abu lalu bertanya : “Wahai Malaikat, buku apakah yang engkau bawa?”

Malaikat menjawab; “Di dalamnya terdapat kumpulan nama hamba-hamba pencinta Allah.”

Mendengar jawaban Malaikat, Abu bin Hasyim berharap dalam hati namanya ada di situ.

Maka ditanyalah kepada Malaikat. “Wahai Malaikat, adakah namaku di situ?”

Abu menyangka namanya ada di dalam buku itu, karena amalan ibadahnya yang tidak putus-putus, selalu mengerjakan sholat tahajjud setiap malam, berdo’a dan juga bermunajat kepada Allah SWT di sepertiga malam, setiap hari.

“Baiklah, biar aku lihat,” kata Malaikat sambil membuka kitab besarnya. Dan, ternyata Malaikat itu tidak menemukan nama Abu bin Hasyim didalamnya.

Tidak percaya, Abu meminta Malaikat mencari sekali lagi.

“Betul, namamu tidak ada di dalam buku ini!” kata Malaikat.

Abu bin Hasyim pun gementar dan jatuh tersungkur di depan Malaikat. Dia menangis sekuatnya.

“Rugi sekali diriku yang selalu tegak berdiri di setiap malam dalam tahajjud dan munajat, tetapi namaku tidak masuk dalam golongan para hamba pencinta Allah,” ratapnya.

Melihat itu, Malaikat berkata, “Wahai Abu bin Hasyim! Bukan aku tidak tahu engkau bangun setiap malam ketika yang lain tidur, engkau mengambil air wudhu' dan menahan kedinginan ketika orang lain terlelap dalam kehangatan buaian malam. Tapi tanganku dilarang Allah menulis namamu.”

“Apakah gerangan yang menjadi penyebabnya?” tanya Abu bin Hasyim.

“Engkau memang bermunajat kepada Allah, tapi engkau pamerkan dengan rasa bangga kemana-mana.

Engkau asyik beribadah memikirkan diri sendiri. Sedang di kanan kirimu ada orang sakit, ada orang lapar, ada orang sedang sedih, tidak engkau tengok tidak engkau ziarahi.
Mereka itu mungkin ibumu, mungkin saudara kandungmu, mungkin sahabatmu, malah mungkin juga cuma saudara seagama denganmu, atau mungkin cuma sekadar mereka menjadi tetanggamu.
Tidak engkau peduli pada mereka, kenapa?

Bagaimana mungkin engkau dapat menjadi hamba pencinta Allah kalau engkau sendiri tidak pernah mencintai hamba-hamba yang diciptakan Allah?” kata Malaikat itu.

Abu bin Hasyim seperti​ disambar petir di siang hari.

“Dia tersadar hubungan ibadah manusia tidaklah hanya kepada Allah semata (hablumminAllah), tetapi juga kepada sesama manusia (hablumminannas) dan juga kepada alam”

Jangan bangga dengan banyaknya sholat, puasa, zikir karena semua itu belum tentu membuat Allah senang.

Lalu apa yang membuat Allah senang?

Nabi Musa: "Wahai Allah, aku sudah melaksanakan ibadah. Lalu manakah ibadahku yang membuat Engkau senang?"

Allah SWT: "Sholatmu itu untukmu sendiri, karena dengan mengerjakan sholat, engkau terpelihara dari perbuatan keji dan mungkar. Zikirmu itu hanya untukmu sendiri, buat hatimu menjadi tenang. Puasamu itu untukmu sendiri, melatih dirimu untuk memerangi hawa nafsumu sendiri."

Nabi Musa: "Lalu apa yang membuat-Mu senang, Ya Allah?"

Allah SWT: "Sedekah, Infaq, Zakat serta perbuatan baikmu kepada sesama.

Ketika hamba-Ku yang sedang kesulitan merasa bahagia karena sedekahmu, Itulah yang membuat AKU senang."

(Dikutip dari Kitab Mukasyafatul Qulub Karya Imam Al Ghazali)

MASJID DITUTUP, KOK PASAR MASIH DIBUKA?

Ada yang bilang begini :

“Keluar rumah berani. Ke pasar berani. Ke ruang publik berani. Giliran ke masjid takut corona?”

“Tidak berjama’ah ke masjid, tapi masih keluar buat bekerja. Situ waras?!”

“Ke ATM berani, ke pasar berani, ke warung berani. Giliran ke masjid ga berani takut corona katanya. Antum waras?”

Mari coba kita pelajari dan luruskan.

Komentar-komentar di atas, didasari oleh analogi (qiyas) antara masjid dan pasar. Apakah analogi tersebut sudah tepat?

Tepat tidaknya, silahkan pembaca simpulkan sendiri setelah membaca catatan-catatan berikut:

Pertama, menganalogikan pasar dengan Masjid, adalah bentuk perendahan kepada kemuliaan Masjid.

Kami teringat sebuah syair yang sangat menyinggung tentang hal ini,

وكيف يقال البدر أضوا من السها *** وكيف يقال الدر خير من الحصا
ألم ترى أن السيف يزري بقدره *** إذا قيل هذا السيف أمضى من العصا

Bagaimana bisa dikatakan purnama lebih terang dari bintang kecil. Dan kerikil permata lebih berharga dari kerikil.
Bukankah martabat pedang akan berkurang, saat dikatakan pedang lebih tajam dari kayu?!

Masjid adalah tempat yang paling dicintai Allah. Sementara pasar adalah tempat yang paling dibenci oleh Allah. Bagaimana bisa kedua hal ini dibandingkan?!

Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ الْبِلَادِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا ، وَأَبْغَضُ الْبِلَادِ إِلَى اللَّهِ أَسْوَاقُهَا

Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid – masjid. Adapun tempat yang paling dibenci oleh Allah adalah pasar-pasar. (HR. Muslim)

Bagaimana bisa dibandingkan, tempat turunnya rahmat Allah dan para malaikat, dengan tempat berkumpulnya maksiat dan kefasikan (kecuali yang dirahmati Allah)?!

Ini alasan pertama bahwa analogi masjid dengan pasar dalam kasus corona, tidak nyambung atau apple to apple.

Kedua, masjid ada pengganti, sementara pasar tidak.

Melaksanakan sholat, bisa dimanapun asalkan tempatnya suci. Nabi shalallahu alaihi wa sallam yang mengatakan,

جعلت لي الأرض مسجدا وطهورا

“Seluruh bumi telah dijadikan tempat sujud (masjid) untukku, dan sarana bersuci.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Sementara pasar tidak sefleksibel tempat sholat. Pasar tidak bisa digantikan. Masyarakat butuh makanan pokok, kebutuhan sehari-hari, obat-obatan dll. Mereka tak bisa menemukan itu di rumah, di sawah, di hutan, di gunung, di gua, di tengah gurun pasir. Itu semua hanya bisa didapatkan di pasar.

Sehingga meski masjid ditutup karena alasan pencegahan corona, ibadah sholat tetap bisa dilaksanakan di rumah. Adapun jika pasar, toko, mall semua ditutup, kebutuhan makan dan kesehatan masyarakat tidak bisa terpenuhi. Padahal menjaga nyawa juga kewajiban.

Oleh karenanya para ulama hanya menghimbau menutup masjid, bukan pasar. Karena kewajiban melaksanakan sholat di masjid dapat tergantikan, masih bisa ditunaikan di tempat selain masjid. Sementara kewajiban memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, tak dapat tergantikan, hanya bisa didapat di pasar, tak bisa digantikan.

Ketiga, perkumpulan masa di masjid, sifatnya berulang setiap hari, sementara di pasar, tidak.

Di masjid kita berkumpul dengan jama’ah lainnya setiap hari, bahkan sehari lima kali. Sementara orang belanja ke pasar tidak setiap hari, cukup sepekan sekali atau dua pekan sekali atau sebulan sekali.

Keempat, physical distancing sangat susah dilakukan di masjid, sementara di pasar lebih mudah.

WHO merekomendasikan menjaga jarak fisik sekurangnya satu meter, dalam rangka pencegahan virus Corona. Karena jangkauan drobplet yang menjadi media penyebaran virus Corona, adalah sekitar satu meter.

Di masjid kita dituntut untuk merapatkan shaf, atau setidaknya berdekatan. Kemudian karpet, sajadah masjid atau lantai tempat sujud, berhubungan langsung dengan mulut dan hidung, yang menjadi sumber penyebaran dan penularan virus Corona.

Ini menyebabkan penyebaran corona lebih cepat di masjid. Adapun di pasar, physical distancing lebih mudah diupayakan. Karena ruangnya yang lebih bebas dan luas.

Kemudian berikut ini kami tambahkan bantahan terhadap nyinyiran di atas, yang kami kutip dari penjelasan Ustadz kami Yulian Purnama -hafidzohullah- yang beliau tulis di laman Facebook beliau :

Kelima, ini hanya produk akal-akalan, beragama tidak pakai akal-akalan seperti ini. Namun dengan timbangan dalil dan kaidah-kaidah syar’iyyah. Makanya kata Ibnul Qayyim, “kebanyakan kesesatan manusia disebabkan karena analogi akal yang rusak”.

Keenam, yang mengatakan seperti ini atau yang nge-share, jika menyebabkan orang-orang terkena wabah hingga meninggal, maka ia menanggung dosa membunuh orang lain.

Ketujuh, orang yang mengatakan ini, kalau ingin konsisten menggunakan kaidah di atas, berarti ketika ada orang positif terkena covid-19 atau terduga, maka tidak boleh dilarang ke masjid dan jama’ah masjid tidak boleh menghindar. Yang penting berani dan tawakal! Apakah bisa konsisten menerapkan kaidahnya?

Kedepan, Islam menjaga nyawa manusia. Maka tidak ada dalam syariat Islam, ajaran yang membahayakan nyawa manusia. Maka shalat jama’ah ketika membahayakan nyawa manusia boleh untuk tidak diadakan. Ini bagian dari syariat Islam. Dan ini bukan kompetisi berani-beranian, ini masalah menjaga nyawa manusia.

Kesembilan, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan shalat di rumah ketika ada hujan dan juga memerintahkan orang yang makan bawang, untuk pulang, juga beliau pernah menjamak shalat padahal tidak ada hujan dan tidak ada ketakutan.

Semuanya dalam rangka mendahulukan menghindari mafsadah daripada mencari maslahah. Apakah kita akan nyinyir kepada beliau, “sama hujan koq takut, sama bau bawang koq takut, tidak ada hujan koq takut?”. Allahul musta’an.

Kesepuluh, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan untuk lari dari wabah sebagaimana lari dari singa, dan memerintahkan jangan masuk ke daerah wabah, dan memerintahkan diam di rumah ketika terjadi wabah. Apakah juga akan nyinyir kepada beliau, “sama wabah koq takut?”.

Kesebelas, kaum Muslimin ketika di Makkah shalat dengan sembunyi-sembunyi. Bahkan sampai ada yang shalat di kandang kambing. Karena jika terang-terangan shalat, apalagi di depan Ka’bah, maka akan diganggu oleh kaum Quraisy dan akan terancam nyawa mereka. Apakah kita juga akan nyinyir, “ke pasar berani, shalat ke masjid koq takut sama orang kafir?”. Dan imbauan shalat di rumah di masa wabah ini juga alasannya sama, untuk menjaga nyawa.

Keduabelas, perbandingan yang dilakukan tidak apple-to-apple. Disebut juga qiyas fasid (analogi yang rusak). Karena ke masjid untuk shalat jama’ah atau shalat jum’at ini merupakan bentuk kumpul-kumpul, yang ini bisa jadi sebab penyebaran wabah. Sedangkan ke ATM, ke warung, ke minimarket, ini bukan kumpul-kumpul. Maka perbandingannya keliru.

Ketigabelas, orang yang beraktifitas ke luar rumah di masa wabah ini bermacam-macam. Ada yang memang boleh keluar karena ada kebutuhan dan ada yang seharusnya tidak boleh keluar. Namun intinya, kita tidak bisa memaksa semua orang untuk tetap di rumah. Dan tidak bisa menutup semua tempat-tempat agar tidak didatangi orang. 

Andaikan ada yang bisa, mungkin itulah pemerintah. Adapun kita, tidak bisa. Maka ingat kaidah “sesuatu yang tidak bisa diraih semuanya, jangan tinggalkan semuanya”. Dengan kata lain, usahakan yang mampu kita usahakan. Masjid, masih bisa kita usahakan untuk di tutup.

Maka ini kita usahakan untuk meminimalisir penyebaran wabah. Adapun tempat-tempat lain seperti pasar, kantor, pabrik, kafe, restoran, maka kita orang biasa tidak bisa menutupnya. Kecuali kalau kaidahnya, “sesuatu yang tidak bisa diraih semuanya, ya sudah tinggalkan semuanya”. Ngga bisa tutup semua tempat, maka buka saja semuanya.

Keempat belas, tidak shalat di masjid bukan berarti tidak shalat dan tidak ibadah. Tetap shalat dan beribadah di rumah. Jadi ibadahnya tidak berkurang sama sekali. Maka tidak benar jika seolah menganggap orang yang tidak ke masjid di masa wabah ini sebagai orang yang kurang ibadahnya. Walhamdulillah, Allah jadikan bumi seluruhnya bisa jadi tempat ibadah, tidak terbatas di masjid.

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Wallahua’lam bis showab.

Referensi :
– Matsarot Al-Gholat fil Istidlal ‘Ala Ighlaaqi Al-Masajid Li ajli Corona, karya Syekh Dr. Muhammad Al-Mula Al-Jufairi.

Hamalatul Quran Yogyakarta, 17 Sya’ban 1441 H
Ditulis oleh : Ust.Ahmad Anshori