I’tikaf di Masjid Bukan Syarat Mendapatkan Lailatul Qadar

*I’tikaf di Masjid Bukan Syarat Mendapatkan Lailatul Qadar*

Tentu semua muslim telah tahu keutamaan malam lailatul qadar yang luar biasa. Hanya satu malam tetapi sama nilainya dengan beribadah 1000 bulan. Seribu bulan ini jika dikonversi ke tahun sekitar 83 tahun. Umur manusia saja belum tentu sampai 83 tahun, maka sungguh sangat beruntung mereka yang mendapatkan malam lailatul qadar dan diisi penuh dengan ibadah.

Allah berfirman mengenai keutamaan malam lailatul qadar.

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar, tahukah engkau apakah malam Lailatul Qadar itu ? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan, pada malam itu turunlah melaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Allah Tuhan mereka (untuk membawa) segala usrusan, selamatlah malam itu hingga terbit fajar” [Al-Qadar : 1-5]

Malam tersebut sangat diberkahi, Allah berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا ۚ إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” [Ad-Dukhan : 3-6]

Sebagian kaum muslimin mungkin bertanya-tanya, apakah ia bisa mendapatkan malam lailatul qadar sedangkan ia tidak i’tikaf di masjid. Tidak semua manusia bisa i’tikaf di masjid pada malam hari. Bisa jadi ia mendapatkan udzur semisal harus bekerja menjaga rumah sakit yang 24 jam atau petugas keamanan yang berjaga 24 jam. Bisa juga orang tersebut memang sedang butuh dengan safar di jalan atau wanita yang sedang haid atau para istri yang sibuk mengurus anak dan bayi di rumah.

Jawabannya adalah mereka bisa mendapatkan malam lailtul qadar, karena i’tikaf di masjid bukanlah syarat untuk mendapatkan malam lailatul qadar dengan keutamaannya.

*Lailatul qadar terkait dengan waktu, bukan dengan tempat.*

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

“Pada bulan Ramadhan terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang tidak mendapati malam tersebut, maka ia akan diharamkan mendapatkan kebaikan.” (HR. An-Nasai no. 2106, shahih)

Mereka yang tidak i’tikaf seperti musafir, wanita nifas dan haid serta orang yang udzur, bisa mendapatkan malam lailatul qadar jika mereka mengisi dengan beribadah kepada Allah dengan ikhlas pada malam tersebut.

Juwaibir berkata kepada Ad-Dhahaak,

أرأيت النفساء و الحائض و المسافر و النائم لهم في ليلة القدر نصيب ؟ قال : نعم كل من تقبل الله عمله سيعطيه نصيبه من ليلة القدر

“Bagaimana pendapatmu mengenai wanita yang nifas dan haid, musafir dan orang yang tidur, apakah mereka bisa mendapatkan malam lailatul qadar?”

Ad-Dhahaak menjawab: “Iya, semua orang yang Allah terima amal mereka akan mendapatkan bagian lailatul qadar.” (Al-Lathaif Al-Ma’arif hal. 341)

Semoga kita termasuk orang yang bisa mendapatkan keberuntungan dengan malam lailatul qadar dan mengisinya dengan ibadah yang diterima oleh Allah dan diampuni dosa-dosa kita.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)

*Wallahu a'lam*

KENAPA PAHALA TAHAJJUD, SHOLAT DAN SHAUMKU TAK DICATAT OLEH MALAIKAT

KENAPA PAHALA TAHAJJUD, SHOLAT DAN SHAUMKU TAK DICATAT OLEH MALAIKAT

Pada zaman dahulu ada seorang ahli ibadah bernama Abu bin Hasyim yang rajin sekali tahajjud. Bertahun-tahun dia tidak pernah meninggalkan sholat tahajjud.

Pada suatu malam ketika hendak mengambil wudhu' untuk tahajjud, Abu dikejutkan oleh kehadiran satu makhluk yang duduk di tepi telaga.

Abu bertanya, “Wahai hamba Allah, siapakah engkau?”

Sambil tersenyum, makhluk itu berkata, “Aku Malaikat utusan Allah."

Abu Bin Hasyim terkejut sekaligus bangga karena telah didatangi oleh malaikat yang mulia.

Abu lalu bertanya, “Apa yang sedang kamu lakukan di sini?”

Malaikat itu menjawab, “Aku disuruh mencari hamba pencinta Allah.”

Melihat Malaikat itu memegang sebuah kitab tebal, Abu lalu bertanya : “Wahai Malaikat, buku apakah yang engkau bawa?”

Malaikat menjawab; “Di dalamnya terdapat kumpulan nama hamba-hamba pencinta Allah.”

Mendengar jawaban Malaikat, Abu bin Hasyim berharap dalam hati namanya ada di situ.

Maka ditanyalah kepada Malaikat. “Wahai Malaikat, adakah namaku di situ?”

Abu menyangka namanya ada di dalam buku itu, karena amalan ibadahnya yang tidak putus-putus, selalu mengerjakan sholat tahajjud setiap malam, berdo’a dan juga bermunajat kepada Allah SWT di sepertiga malam, setiap hari.

“Baiklah, biar aku lihat,” kata Malaikat sambil membuka kitab besarnya. Dan, ternyata Malaikat itu tidak menemukan nama Abu bin Hasyim didalamnya.

Tidak percaya, Abu meminta Malaikat mencari sekali lagi.

“Betul, namamu tidak ada di dalam buku ini!” kata Malaikat.

Abu bin Hasyim pun gementar dan jatuh tersungkur di depan Malaikat. Dia menangis sekuatnya.

“Rugi sekali diriku yang selalu tegak berdiri di setiap malam dalam tahajjud dan munajat, tetapi namaku tidak masuk dalam golongan para hamba pencinta Allah,” ratapnya.

Melihat itu, Malaikat berkata, “Wahai Abu bin Hasyim! Bukan aku tidak tahu engkau bangun setiap malam ketika yang lain tidur, engkau mengambil air wudhu' dan menahan kedinginan ketika orang lain terlelap dalam kehangatan buaian malam. Tapi tanganku dilarang Allah menulis namamu.”

“Apakah gerangan yang menjadi penyebabnya?” tanya Abu bin Hasyim.

“Engkau memang bermunajat kepada Allah, tapi engkau pamerkan dengan rasa bangga kemana-mana.

Engkau asyik beribadah memikirkan diri sendiri. Sedang di kanan kirimu ada orang sakit, ada orang lapar, ada orang sedang sedih, tidak engkau tengok tidak engkau ziarahi.
Mereka itu mungkin ibumu, mungkin saudara kandungmu, mungkin sahabatmu, malah mungkin juga cuma saudara seagama denganmu, atau mungkin cuma sekadar mereka menjadi tetanggamu.
Tidak engkau peduli pada mereka, kenapa?

Bagaimana mungkin engkau dapat menjadi hamba pencinta Allah kalau engkau sendiri tidak pernah mencintai hamba-hamba yang diciptakan Allah?” kata Malaikat itu.

Abu bin Hasyim seperti​ disambar petir di siang hari.

“Dia tersadar hubungan ibadah manusia tidaklah hanya kepada Allah semata (hablumminAllah), tetapi juga kepada sesama manusia (hablumminannas) dan juga kepada alam”

Jangan bangga dengan banyaknya sholat, puasa, zikir karena semua itu belum tentu membuat Allah senang.

Lalu apa yang membuat Allah senang?

Nabi Musa: "Wahai Allah, aku sudah melaksanakan ibadah. Lalu manakah ibadahku yang membuat Engkau senang?"

Allah SWT: "Sholatmu itu untukmu sendiri, karena dengan mengerjakan sholat, engkau terpelihara dari perbuatan keji dan mungkar. Zikirmu itu hanya untukmu sendiri, buat hatimu menjadi tenang. Puasamu itu untukmu sendiri, melatih dirimu untuk memerangi hawa nafsumu sendiri."

Nabi Musa: "Lalu apa yang membuat-Mu senang, Ya Allah?"

Allah SWT: "Sedekah, Infaq, Zakat serta perbuatan baikmu kepada sesama.

Ketika hamba-Ku yang sedang kesulitan merasa bahagia karena sedekahmu, Itulah yang membuat AKU senang."

(Dikutip dari Kitab Mukasyafatul Qulub Karya Imam Al Ghazali)