Hafiez Sofyani SE MSc
Dosen Akuntansi dan Sektor Publik Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Beberapa hari ini, masyarakat dihebohkan oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memfatwakan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau yang biasa disebut BPJS “Haram”. BPJS sendiri sesungguhnya merupakan salah satu program yang dicanangkan pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dilandasi pada teori Negara Kesejahteraan (Welfare Nation).
Konsep BPJS sebenarnya memiliki kesamaan gaya dengan konsep jaminan sosial yang dijalankan oleh Inggris, Malaysia, Singapura, dan Australia yang disebut dengan Medicare. Namun, dalam perjalanannya BPJS mendapat banyak kritik, karena berbagai alasam. Di antaranya pelayanan yang lamban, prosedur yang berbelit-belit, dan pelayanan hanya dilakukan oleh instansi tertentu yang ditunjuk.
Beberapa hari yang lalu BPJS kembali mendapat kritik, yakni terkait “kehalalan” mekanisme layanan yang mereka jalankan.
Apa dasar MUI menfatwakan bahwa mekanisme layanan dari BPJS haram? Keharaman BPJS, menurut MUI terkait pada lima aspek, yaitu
1) Permasalahan akad;
2) Adanya unsur riba;
3) Adanya denda yang tidak syar’i;
4) Adanya penghapusan data anggota BPJS secara sepihak,
5) Adanya maisir dan gharar (spekulasi dan ketidakjelasan) terkait mekanisme BPJS dalam berjalan.
Dari lima hal tersebut, tulisan ini akan berfokus pada masalah riba yang terkandung dalam mekanisme BPJS.
Jika ditelaah secara rinci, layanan BPJS diawali dengan masyarakat mendaftar dan menyetorkan sejumlah uang setiap bulannya ke bank yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola BPJS. Uang tersebut digunakan oleh bank untuk disalurkan dalam bentuk kredit kepada nasabahnya dengan bunga sebagai kompensasi yang harus dibayarkan kepada bank.
Uang dan bunga tersebut, kemudian digunakan oleh bank untuk membayarkan jaminan kesehatan masyarakat yang menggunakan jasa BPJS. Nah, di sinilah masalah kemudian muncul. Ketika bank yang ditunjuk bukan bank syariah, maka otomatis uang yang dikelola dan akan digunakan untuk membiayai jaminan kesehatan oleh BPJS tadi bercampur dengan bunga yang menurut fatwa MUI lainnya merupakan riba yang hukumnya haram.
Masalah tersebut muncul tidak lain karena pengguna jasa BPJS adalah masyarakat Indonesia yang notabene mayoritas beragama Islam. Sebenarnya kondisi serupa juga berlaku pada pengelolaan dana talangan haji jika bank yang ditunjuk bukan bank syariah.
Jadi, tidak menutup kemungkinan bahwa uang yang digunakan untuk memberangkatkan jamaah haji juga mengandung unsur bunga (riba).
Jika membandingkan dengan era 90-an yang notabene bank syariah belum banyak, dan bahkan bank syariah yang ada masih memiliki keerbatasan produk, maka era 90-an dapat dikatakan masa darurat (dharurah), sehingga penggunaan layanan dari produk yang mengandung unsur haram “terpaksa” dilakukan oleh umat muslim.
Hal ini dapat dikiaskan sepeti seorang muslim yang tersesat di hutan dan tidak menemukan buruan lain yang dapat dimakan, maka sebagian ulama berpendapat bahwa ia boleh memakan hewan yang tadinya dinyatakan hukumnya haram seperti ular, buaya, dan katak.
Lalu apa solusi yang dapat ditempuh pemerintah agar kiranya BPJS terbebas dari bunga yang difatwakan sebagai riba.
Pertama, solusi yang paling sederhana adalah mengalihkan pengelolaan dana BPJS ke bank syariah, jika memang keharaman tadi terkait adanya unsur ribawi di dalam pengelolaan dana layanan BPJS.
Kedua, BPJS dapat menggunakan konsep asuransi syariah sendiri, misalnya konsep asuransi syariah yang diusung oleh ulama Mesir Husain Husain As-Syahatah, dalam mengelola jaminan sosial kepada masyarakat.
Konsep asuransi syariah Husain As-Syahatah mirip dengan konsep koperasi yang diusung oleh Muhammad Hatta, dimana para masyarakat yang ingin mengajukan asuransi melakukan pendaftaran anggota dan menyetorkan dana iuran (tidak diatur jumlahnya) setiap bulannya dengan niat “investasi”. Dana yang terkumpul akan dikelola oleh institusi asuransi syariah tadi, boleh dengan cara dikelola sendiri maupun diminta kelolakan dengan konsep syariah seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, atau konsep syar’i lainnya.
Hasil pengelolaan dana dapat digunakan untuk mengelola institusi asuransi syariah dan menjaga institusi untuk terus berkembang agar keberlanjutan institusi asuransi syariah tadi dapat terus berjalan.
Selanjutnya, ketika salah seorang anggota mengalami ujian berupa sakit, kecelakaan, dan ujian lainnya, dana tadi akan digunakan untuk membantu membiayai anggota yang tengah diuji. Para anggota yang lain dianjurkan untuk mengikhlaskan uang yang mereka iurankan setiap bulan tadi dipakai untuk membiayai anggota yang lain yang tengah mendapat ujian tadi dengan niat “sedekah”.
Di akhir tahun nanti, sisa keuntungan pengelolaan dana dapat dibagikan kepada para anggota asuransi syariah, karena di awal pembayaran iuran tadi niat anggota adalah untuk investasi.
Kedua mekanisme ini selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai alternatif agar pengelolaan dana BPJS tidak termasuki oleh hal-hal yang diharamkan oleh syariat islam, mengingat pengguna produk BPJS mayoritas adalah penduduk muslim.
Namun, lebih bijaksana jika evaluasi mekanisme pelayanan BPJS tidak hanya dilakukan pada aspek menemukan kekeliruan syariah saja, tetapi juga secara menyeluruh. Misalnya, terkait pelayanan yang lebih baik, cepat, tidak terhambat oleh birokrasi yang bertele-tele, tidak membedakan si kaya dan miskin, dan mengedepankan program preventif ketimbang penyembuhan.
Akhirnya, harapan pemerintah dan masyarakat sekalian untuk menjadi negara dengan masyarakat yang sehat dan sejahtera serta islami semoga dapat terwujud di masa mendatang. Aamiin ya Rabbal ‘Alamiin. Wallahu a'lam. (*)
Banjarmasinpost.com
No comments:
Post a Comment