Bibel Larang Wanita Jadi Pemimpin

Syariat Islam mengatur dengan jelas pedoman memilih pemimpin, salah satunya adalah kriteria pemimpin yang syar’i, antara lain: beragama Islam, beriman, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada syariat yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.

“Sesungguhnya walimu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)” (Qs Al-Ma’idah 55).

Prinsip ini ditegaskan dengan larangan menjadikan orang kafir Yahudi dan Kristen sebagai pemimpin:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (Qs Al-Ma’idah 51).

Larangan ini dipertegas dengan ancaman Al-Qur'an dalam surat An-Nisa’ 138-139, An-Nisa’ 144, Ali Imran 28 dan At-Taubah 23.

Kriteria lain seorang pemimpin dalam Syariat Islam adalah dari kalangan pria. Karena nas-nas Al-Qur’an dan hadits menyatakan larangan wanita menjadi imam negara. Hal ini bukanlah masalah khilafiyah tetapi sudah menjadi ijma' (consensus) para ulama dan fuqaha dari semua mazhab Islam baik salaf (klasik) maupun khalaf (kontemporer). Mereka telah sepakat bahwa tidak sah dan haram wanita menjadi kepala negara. Apabila hukum ini dilanggar, maka akan menjadi salah satu sebab kehancuran bangsa dan negara. Ijma' ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW:

“Tidak akan beruntung (berjaya) selama-lamanya suatu kaum yang yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita" (HR Bukhari dalam, Tirmidzi, An-Nasa'i dan Ahmad).

Jatuhnya pilihan kepada laki-laki sebagai imam (pemimpin) bukanlah sikap diskriminatif, melainkan karena secara kodrati Allah memberikan beberapa kelebihan (keunggulan) kepada laki-laki dibanding wanita, baik fisik maupun mental:
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita)..." (Qs An-Nisa 34).

Bibel Pun Haramkan Pemimpin Wanita

Larangan wanita menjadi pemimpin bukan hanya monopoli Islam. Bahkan Bibel juga melarang keras wanita menjadi pemimpin:
"Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri" (I Timotius 2: 12-14).

Manfred T Brauch, seorang profesor theologia Alkitabiah di Eastern Baptist Theological Seminary, Philadelphia mengomentari ayat tersebut sebagai berikut, “Ini benar-benar ucapan yang sulit. Bahasa yang digunakan nampaknya langsung dan jelas. Sebagai seorang laki-laki, saya yakin saya tidak dapat memahami sepenuhnya pengaruh ucapan Rasul ini terhadap perempuan” (Hard Saying of Paul, edisi Indonesia: Ucapan Paulus yang Sulit, hlm. 254).

Bahkan dalam ayat yang lain Bibel menyatakan bahwa wanita tidak boleh menggunakan hak suara:
"Sama seperti dalam semua Jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat" (I Korintus 14: 34).

Fatwa haramnya pemimpin wanita itu sudah menjadi harga mati dalam Bibel, karena dalam kitab Taurat disebutkan bahwa wanita ditakdirkan bukan untuk berkuasa, tapi untuk dikuasai laki-laki.
"Firman-Nya kepada perempuan itu: "Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan birahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu" (Kejadian 3: 16, bandingkan: Efesus 5: 22-24).

No comments:

Post a Comment