Seorang yang memiliki ilmu kadang terkena penyakit sombong dan bangga diri. Kalau ilmu yang dimiliki adalah ilmu-ilmu dunia, sangat mungkin ini terjadi. Namun yang aneh jika ia mempelajari ilmu agama, seharusnya makin bertambah ilmunya bertambah pula kebaikannya.
Ada pertanyaan di sana: “Untuk apakah ia belajar?” Karena niat itulah yang akan menjawab mengapa seorang bertambah ilmu agamanya, malah semakin menjadikannya sombong. Jika ia meniatkan belajarnya untuk beramal dengan ilmunya, maka semakin bertambah ilmunya ia akan semakin shalih. Namun sebaliknya jika ia belajar hanya ingin disebut sebagai alim ulama, atau belajar untuk mengalahkan seseorang, maka tidak akan berkah ilmunya dan tidak akan berbuah dengan amalan-amalan.
Ka’b bin Malik radhiyallaahu ‘anhu meriwayatkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
مَنِ ابْتَغَى الْعِلْمَ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءُ أَوْ يُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءُ أَوْ تَقْبَلُ أَفْئِدَةَ النَّاسِ إِلَيْهِ فَإِلَى النَّارِ. (رواه الحاكم، وصححه الألباني في صحيح الجامع الصغير)
“Barangsiapa yang mencari ilmu untuk mendapatkan sebutan sebagai ulama atau memperdaya orang-orang yang bodoh atau untuk memalingkan manusia kepadanya, maka atasnya api neraka.” (HR. Hakim, Syaikh Al-Albani menghasankannya dalam Shahihul Jami’ ash-Shaghir)
Berkata Abu Yusuf Al-Qadhi rahimahullaah: “Wahai kaumku, harapkanlah dengan ilmu kalian keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sungguh tidaklah aku duduk di suatu majelis ilmu yang aku niatkan padanya tawadhu’, kecuali aku bangun dalam keadaan telah mendapat kemuliaan. Sebaliknya tidaklah aku duduk di satu majelis ilmu yang aku niatkan untuk mengalahkan mereka kecuali aku bangun dalam keadaan Allah bukakan aibku. Ilmu adalah salah satu ibadah dan taqarrub.” (Tadzkiratu As-Sami’ wal Mutakallim, Ibnu Jama’ah, melalui Min Hadyi Salaf, hal. 47)
Khatib Al-Baghdadi rahimahullaah meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu, berkata: “Ilmu menuntut amalan. Kalau ia disambut (diamalkan) ia akan menetap, namun kalau tidak dia akan pergi.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi, melalui Hilya Thalabil ‘Ilmi, hal. 13-14)
Dikatakan pula dalam sebuah syair: “Ilmu akan menjauh dari seorang yang sombong, seperti air bah menjauh dari tempat yang tinggi.” Seringkali seorang yang baru mendapatkan sedikit ilmu terkena penyakit sombong, merasa dirinya sebagai ulama dan melihat orang lain sebagai orang-orang yang bodoh. Inilah yang dijuluki oleh para ulama dengan ‘Abu Syibrin’. Siapakah Abu Syibrin?
Abu Syibrin adalah orang yang baru mendapatkan ilmu pada jengkal pertama. Sedangkan para ulama menyatakan bahwa ilmu mempunyai 3 jengkal. Orang yang mencapai jengkal pertama menjadi sombong, pada jengkal kedua ia menjadi tawadhu’ (rendah hati), sedangkan pada jengkal ketiga ia akan merasa kalau dirinya belum tahu apa-apa. (Lihat sumber yang sama)
Juga sering terjadi pada sebagian pencari ilmu penyakit sombong, merasa dirinya paling shalih dan menganggap orang lain semuanya di bawahnya. Kemudian merasa diri paling dekat dengan Allah dan dicintai-Nya, sedangkan yang lain dianggap orang-orang yang jauh dan tidak dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan biasanya, pada puncaknya dia merasa dosa-dosanya diampuni, sedangkan dosa orang lain tidak akan diampuni.
Diriwayatkan dalam hadits qudsi dari Jundub Al-Bajaly radhiyallaahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ رَجُلاً قَالَ: وَاللهِ لاَ يَغْفِرُ اللهَ لِفُلاَنٍ. قَالَ اللهُ: مَنْ ذَا الَّذِيْ يَتَأَلَى عَلَيَّ أَنْ لاَ أَغْفِرَ لِفُلاَنٍ؟ فَإِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِفُلاَنٍ وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ. (رواه مسلم)
Sesungguhnya ada seseorang berkata: “Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni fulan.” Maka Allah berfirman: “Siapa yang lancang mengatakan atas nama-Ku bahwa Aku tidak akan mengampuni fulaan?! Sungguh Aku telah mengampuni fulan dan menggugurkan amal-amalmu.” (HR. Muslim)
Kisahnya secara rinci diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَانَ رَجُلاَنِ فِي بَنِي إِسْرَائِيْلَ مُتَوَاخِيَانِ وَكَانَ أَحَدُهُمَا مُذْنِبًا وَالآخَرُ مُجْتَهِدًا فِي الْعِبَادَةِ وَكَانَ لاَ يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى الآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ فَيَقُوْلُ: أَقْصِرْ! فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ فَقَالَ لَهُ: أَقْصِرْ. فَقَالَ: خَلَّنِي وَرَبَّي أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيْبًا؟! فَقَالَ: وَاللهِ لاَ يَغْفِرُ اللهَ لَكَ أَوْ لاَ يُدْخِلُكَ اللهُ الْجَنَّةَ. فَقُبِضَ رُوْحُهُمَا فَاجْتُمِعَا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ فَقَالَ لِهَذَا الْمُجْتَهِدِ: أَكُنْتَ بِي عَالِمًا أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا؟! فَقَالَ لِلْمُذْنِبِ: اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي وَقَالَ لِلآخَرِ: اذْهَبُوْا بِهِ إِلَى النَّارِ. (رواه أحمد وأبو داود، وصححه الألباني في صحيح الجامع الصغير)
Sesungguhnya dahulu di kalangan Bani Israil ada dua orang yang bersaudara. Salah satunya seorang pendosa, sedangkan yang lainnya seorang yang rajin beribadah. Dan bahwasanya sang ahli ibadah selalu melihat saudaranya bergelimang dosa, maka ia berkata: “Kurangilah!” Pada suatu hari ia mendapatinya dalam keadaan berdosa, maka ia berkata: “Kurangilah!” Berkata si pendosa: “Biarkanlah antara aku dan Rabb-ku! Apakah engkau diutus untuk menjadi penjagaku?” Sang ahli ibadah berkata: “Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu!” Atau: “Demi Allah, Allah tidak akan memasukkanmu ke dalam surga!” Dicabutlah ruh kedua orang tersebut dan dikumpulkan di sisi Allah. Maka Allah berfirman kepada ahli ibadah: “Apakah engkau mengetahui tentang Aku? Ataukah engkau merasa memiliki apa yang ada di tangan-Ku?” Dan Allah berkata kepada si pendosa: “Pergilah engkau dan masuklah ke surga dengan rahmat-Ku!” Dan berkata kepada ahli ibadah: “Bawalah ia ke dalam neraka!” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’ ash-Shaghir)
Tidaklah kaum khawarij mengkafirkan kaum muslimin , kecuali karena kesombongan. Mereka merasa tidak pernah berdosa, sehingga menganggap orang yang berdosa sebagai kafir. Tidaklah mereka menghalalkan darah kaum muslimin kecuali karena kesombongan. Dan tidaklah kaum mu’tazilah dan rasionalis (JIL) meremehkan ilmu fiqh dan hadits, kecuali karena kesombongan pula.
Berkata Al-Anasi rahimahullaah: “Hati-hatilah dari penyakit para pembesar yaitu kesombongan. Sesungguhnya kesombongan, bangga diri dan kedengkian adalah awal dari kemaksiatan yang Allah dimaksiati dengannya. Maka ketahuilah bahwa merasa tinggi di hadapan gurumu, itu adalah kesombongan, menolak faedah ilmu dari orang-orang yang di bawahmu adalah kesombongan dan tidak beramal dengan apa yang diketahui juga merupakan belumbang kesombongan dan tanda kalau dia akan terhalangi dari ilmu.” (Siyar, juz IV, hal. 80)
Hubungan Adab dengan Ilmu Adab berkaitan erat dengan ilmu. Tidak ada adab tanpa ilmu dan tidak ada ilmu tanpa adab. Berkata ‘Abdullah ibnul Mubarak rahimahullaah: “Hampir-hampir adab itu merupakan dua pertiga ilmu.” (Sifatu Shafwah, Ibnul Jauzi, juz 4, hal. 120)
Oleh karena itu para ulama mendidik anak-anak mereka dengan adab dan akhlaq terlebih dahulu sebelum mendapatkan ilmu. Berkata Abu ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri rahimahullaah: “Mereka (para ulama) tidak mengirimkan anak-anaknya untuk mencari ilmu hingga mendidiknya dengan adab, akhlaq dan ibadah selama 20 tahun.” (Hilyatul Auliya, Abu Na’im Asbahani, juz 6, hal. 367 melalui Min Hadyi Salaf, Dr. Muhammad Zahrani, hal. 23)
Mereka membedakan antara pendidikan (tarbiyyah) dan pengajaran (ta’lim). Yakni anak-anak mereka dididik, dilatih dengan akhlaq dan adab yang baik, baru kemudian mereka dikirim kepada para ulama. Dengan demikian ketika menimba ilmu, mereka dalam keadaan memiliki adab dan akhlaq yang baik serta jauh dari kesombongan. Hingga ilmu yang mereka dapatkan menjadi berkah.
Berkata Abu Zakariya Yahya bin Muhammad An-Anbari (w 344H): “Ilmu tanpa adab adalah seperti api tanpa kayu bakar. Sedangkan adab tanpa ilmu seperti badan tanpa ruh.” (Al-Jami li Akhlaqi ar-Rawi, Al-Baghdadi 1/80, melalui Min Hadyi Salaf, Dr. Muhammad Zahrani, hal. 24)
Muhammad bin Isa Az-Zajjaj rahimahullaah juga mengatakan: “Aku mendengar Abu Ashim berkata: ‘Barangsiapa yang mencari ilmu hadits, maka ia sedang mencari ilmu yang paling mulia di dunia ini. Maka seharusnyalah ia menjadi orang yang paling mulia akhlaqnya.’” (Al-Jami’ li Akhlaqi ar-Rawi, 1/78) Lupakah kita kalau sesungguhnya ilmu yang kita punya akan ditanya tentang konsekuensi amalannya? Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَ أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ مَا فَعَلَ فِيْهِ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيْمَ أَبْلاَهُ. (رواه الترمذي وصححه الألباني في صحيح الجامع الصغير)
“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba hingga ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya untuk apa dihabiskan, tentang ilmunya apa yang telah ia diamalkan, tentang hartanya darimana dia dapatkan dan kemana dikeluarkan, dan tentang badannya untuk apa ia gunakan.” (HR. Tirmidzi, Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih Jami’ ash-Shaghir) Tidakkah kita pernah mendengar kisah seorang yang dilemparkan ke tengah-tengah api neraka, keluar seluruh isi perutnya dan berputar-putar seperti keledai yang menggiling gandum? Siapakah ia?
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابَهُ فَيَدُوْرُ بِهَا فِي النَّارِ كَمَا يَدُوْرُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ. فَيُطِيْفُ بِهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُوْلُوْنَ: يَا فُلاَنُ! مَا أَصَابَكَ؟ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَانَا عَنِ الْمُنْكَرِ؟ فَيَقُوْلُ: بَلَى قَدْ كُنْتُ آمَرَكُم بِالْمَعْرُوْفِ وَلاَ آتِيْهِ وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيْهِ. (متفق عليه)
Didatangkan seseorang pada hari kiamat, kemudian dilemparkan ke dalam api neraka hingga keluar seluruh isi perutnya dan berputar-putar seperti keledai yang sedang menggiling gandum. Maka penduduk neraka mengelilinginya seraya berkata: “Apa yang menimpamu wahai fulaan? Bukankah engkau menyuruh kami pada yang baik dan mencegah kami dari yang mungkar?” Ia menjawab: “Sungguh aku memang menyuruh yang baik, tapi aku tidak mengerjakannya. Dan aku melarang yang mungkar, tapi aku justru mengerjakannya.” (HR. Bukhari Muslim)
Dengan kata lain, orang tersebut adalah seorang da’i yang berdakwah dengan ilmunya. Namun ia tidak mengamalkan apa yang telah diketahuinya. Seorang yang Berilmu tidak akan Berhenti Belajar Berkata Sa’id ibnu Jubair rahimahullaah: “Seseorang akan tetap disebut ulama (orang yang berilmu) selama dia belajar. Adapun jika dia berhenti mencari ilmu dan menganggap dirinya telah cukup, maka dia menjadi orang yang paling bodoh.” (Min Hadyi Salaf, hal. 77)
Berkata Ibnu Jama’ah rahimahullaah: “Janganlah seorang sombong menolak untuk mengambil faedah ilmu yang ia belum ketahui dari orang yang di bawahnya! Bahkan hendaklah ia bersungguh-sungguh mencari faedah ilmu, karena hikmah adalah milik seorang mukmin di manapun ia temui hendaklah ia mengambilnya.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi, Khatib Al-Baghdadi, melalui Min Hadyi Salaf, hal. 77)
Berkata murid dari Imam Syafi’i yang bernama Khumaidi rahimahullaah: “Aku menemani Imam Syafi’i dari Makkah ke Mesir. Maka aku mendapatkan faedah dari beliau masalah-masalah fiqh, dan beliau mengambil faedah dariku ilmu hadits. Dan telah shahih riwayatnya bahwa para shahabat juga mengambil riwayat dari kalangan tabi’in.” (Tadzkiratu as-Sami’ wal Mutakallim, Ibnu Jama’ah, melalui Min Hadyi Salaf, hal. 77)
Berkata Waqi’, Sufyan ibnu Uyainah dan Abu ‘Abdillah Al-Bukhari rahimahumullaah: “Sungguh seorang ahli hadits tidak dikatakan sempurna atau seseorang tidak dikatakan berilmu, hingga ia mengambil dari orang yang di atasnya, dari yang sekelasnya dan juga dari yang di bawahnya.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi, Khatib Al-Baghdadi, melalui Min Hadyi Salaf, hal. 77)
Wallaahu a’lam.
Oleh: Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi 121
17 Dzulqa’dah 1427 H (8 Desember 2006)
No comments:
Post a Comment