Keprihatinan kelompok yang protes terhadap ajang Miss Universe ini tidak lepas dari eksploitasi dan ekshibisionis. Seperti diketahui ada tiga prinsip utama dalam ajang kecantikan tersebut, yaitu beauty, brain, dan behavior (kabarnya peserta dari Indonesia dibekali satu lagi ”pemberi restu” dengan B keempat, yaitu belief).
Secara umum mungkin kita setuju dengan 3B itu meskipun kita tidak tahu keseluruhan proses penilaian. Khusus untuk 2B terakhir kita hanya diberi informasi sedikit sekali yang sudah terpotong-potong. Yang pasti, saat kontes diperlihatkan penekanannya lebih banyak pada kecantikan. Mereka dikatakan cantik jika semua pakaian yang dipakai serasi dengan tubuh.
Sayangnya, definisi cantik masih sangat bias. Ukuran cantik adalah jika memiliki tubuh tinggi, langsing, dan berkulit putih. Persis tipikal perempuan Barat. Lihat saja produk kecantikan yang selalu menggiring pemirsa pada pesan white is beautiful. Apakah putih identik dengan cantik? Saya pikir pendapat ini tidak adil.
Kembali pada standar cantik yang tidak hanya bias jender tetapi juga bias ras, bagaimana dengan peserta yang tidak berasal dari Barat? Kita bisa lihat mereka pasti lebih mendekati kriteria di atas. Misalnya peserta dari Afrika Selatan yang asli ”bule”. Tidak bisa dimungkiri ini adalah ajang eksploitasi, meskipun pesertanya melakukan secara sukarela.
Dunia perempuan pun tidak terlepas dari pro dan kontra tentang kriteria cantik. Gerakan feminis yang lebih suka mendahulukan brain dan behavior daripada beauty menolak konsep cantik yang diciptakan dunia kapitalis yang sesungguhnya berorientasi seksual patriarkis.
Di Australia bahkan di Amerika sebagai kiblatnya kapitalis, gerakan membuat ajang tandingan untuk protes terhadap Miss Universe yang bias tersebut. Pesan yang disampaikan adalah cantik itu tidak harus kurus, tinggi, langsing, putih, dan seksi. Cantik tidak dapat diukur oleh selera penilai (laki-laki), melainkan sangat individual. Setiap orang berhak yakin dirinya cantik tanpa harus ada tekanan dari luar. Cantik lebih berorientasi pada sikap dan kepribadian.
Peserta dalam ajang ”Miss Tandingan” dapat dilihat dalam berbagai tampilan, mulai dari sangat kurus, gemuk sekali, berkulit hitam, putih, coklat, pendek, tinggi, dan seterusnya. Penilaian ditekankan pada sikap sejauh mana seseorang dapat menerima dan menghargai kekurangan dan kelebihan dirinya secara positif. Tentu saja brain dan behavior diutamakan di sini. Tidak heran jika kita dapat menyaksikan ada ajang Miss Biggest, Miss Clever, dan sebagainya.
Sikap kelompok yang pro terhadap eksploitasi kecantikan (seksual) mungkin akan melontarkan kalimat sinis ”cemburu tanda tak mampu”. Namun, tidaklah senaif itu. Sebenarnya sikap yang tepat adalah memberi perlawanan terhadap patriarchy sexual oriented tersebut. Setiap perempuan memiliki kesadaran memelihara kebebasan diri untuk tidak dimanfaatkan kepentingan kapitalis yang patriarkis sehingga eksploitasi terhadap perempuan dalam segala bentuk dapat dihindari.
Ekshibisionis antara perempuan di Miss Universe dengan laki-laki di Muscle Mania menurut saya tetap berbeda orientasi. Saya setuju jika dikatakan eksploitasi dan komersialisasi lebih memegang peran di dalam Miss Universe meskipun itu dikatakan hak asasi.
Saya yakin antusiasme penonton (laki-laki) pada Miss Universe lebih besar jika dibandingkan dengan penonton (perempuan/laki-laki) untuk Muscle Mania. Dari sudut eksploitasi dan komersialisasi mungkin saja liku-liku laki-laki tidak pernah laku-laku. Lihat saja iklan dalam produk apa pun pasti disertai sosok perempuan.
Dalam dunia politik pun eksploitasi perempuan tetap ada. Misalnya dalam kampanye setiap kali pemilu termasuk pilkada, hampir semua calon mengundang artis cantik untuk memeriahkan kampanye mereka. Untuk menarik dan merebut perhatian massa? Mengapa harus perempuan? Semua tidak lepas dari eksploitasi.
Pertanyaan kemudian mengapa perempuan mau dieksploitasi? Banyak yang masih beranggapan eksploitasi sama dengan pemaksaan. Bahkan ada yang berkilah selama itu dilakukan dengan sukarela tidak ada yang namanya eksploitasi. Tetapi, jika ada bayaran? Nah...
Tolak eksploitasi
Saya yakin, masyarakat yang memprotes ajang Miss Universe menggunakan alasan kata Timur adalah untuk menunjuk pada prinsip adat ketimuran yang sebenarnya. Meskipun di Jepang marak pornografi, tetapi secara tradisi mereka memiliki nilai budaya yang menjunjung tinggi moral dan kemanusiaan.
Apa yang sekarang terjadi di banyak negara tidak lain adalah akibat perbenturan budaya. Dalam teori sosial dikatakan, persentuhan antara budaya lokal dan luar dapat mengubah tujuan dan orientasi masyarakat ke depan. Alangkah naifnya jika kita mengatakan pornografi merupakan budaya Jepang. Begitu juga di India, ajaran seks dalam Kamasutra tidak untuk dikomersialkan. Apa yang terjadi sekarang di Jepang, India, Indonesia, dan banyak negara Timur lain adalah perubahan dan pengaruh budaya global.
Memang sulit memberi batasan pada istilah pornografi dan pornoaksi jika hanya membatasi pada definisi yang merangsang berahi.
Ada perbedaan pendapat pada pembuat kebijakan tentang definisi yang tak pernah usai yang penuh kepentingan bias jender. Inilah kelemahan itu karena yang sangat sensitif dengan permasalahan demikian adalah perempuan.
Perempuan adalah subjek sekaligus objek utama dalam kedua masalah tersebut. Selama pembuat kebijakan didominasi kelompok patriarkis yang kapitalis, perubahan yang tidak mengeksploitasi perempuan masih sulit diharapkan. Tantangan bagi gerakan perempuan untuk masuk ke dalam dunia kebijakan tersebut. Sudah saatnya semua perempuan bersatu melewati batas partai, agama, ras, dan negara untuk memperjuangkan kepentingan perempuan. Say No to Exploitation!!!
Wanda F Muslim
Research School of Social Science, The Australian National University-Canberra
kompas 9 juli 05
No comments:
Post a Comment