Jika abad ke-20 ditandai oleh souvenirs yang berisi penemuan-penemuan luar biasa dan mencengangkan, yang membuat hidup manusia menjadi lebih mudah, nikmat, dan tak terduga, maka paruh awal milenium ketiga ini ditandai oleh berbagai kecemasan hingga ketakutan yang mencekam. Sebagian adalah hasil negatif atau ekses souvenirs itu, sebagian lagi memang tampak (bahkan terbukti) direkayasa, sengaja maupun tidak oleh peradaban yang bagiannya sudah out of control ini.
Umumnya kita kini merasa terancam oleh pemanasan global, yang telah mengubah iklim hingga pola hidup. Kita pun dicekam oleh munculnya penyakit-penyakit mematikan yang belum ada presedennya (sebagian diyakini sebagai rekayasa genetik yang jadi bagian dari uji coba senjata kimia), mulai AIDS, ebola, hingga flu burung belakangan ini. Beberapa perang dan ketegangan regional --buah konstelasi politik baru pasca-Perang Dingin-- seperti terjadi di Afghanistan, Irak, Iran, Korea Utara, dan terakhir Georgia-Rusia juga turut menciptakan kecemasan yang kelamaan menjadi global sifatnya.
Belum lagi kisruh-kisruh yang diakibatkan oleh sistem perdagangan tak adil, kerapnya bencana alam, kriminalitas modern, dan sebagainya, menandai awal abad ke-21 ini dengan global fearness yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Masih ada satu hal yang paling mencekam, seolah belati yang mengancam urat leher kita, sebuah istilah yang kini begitu populer, bahkan menyaingi kata demokrasi dan pasar bebas --dua mantra ajaib adab modern-yakni: terorisme.
Distribusi informasi, fakta-data, propaganda, slogan, dan retorika seputar terorisme yang dilansir pihak tertentu membuat masyarakat dunia menghadapi terorisme seperti pandemi yang tiap saat dapat datang dengan aksi yang mematikan.
Hal menarik terjadi ketika umumnya masyarakat dunia memafhumi, terorisme modern ini sesungguhnya tak lebih dari satu image atau ikon yang direkayasa Amerika Serikat demi memenuhi ambisinya menjadi "penguasa dunia", great kingdom atau bangsa penakluk (sebagaimana tertulis di banyak buku sejarah). Mereka membutuhkan musuh, karena mereka membutuhkan perang, karena bisnis perang (dan senjata di dalamnya, tentu) adalah bisnis dunia (baca: mereka) nomor satu. Karena perang juga menjaga semangat progresif, kompetitif, dan persatuan rakyat mereka. Terorisme direkayasa ternyata hanya sebagai bagian dari strategi national interest mereka.
Namun, betapapun kita mafhum, kita tetap tercekam karenanya. Tetap bereaksi positif karenanya. Tetap mengikuti logika dan paradigma insinuatifnya. Bahkan begerak mendukungnya, moral-material, militer-politik, bahkan kultural. Dan terorisme pun hidup di sekujur pori kenyataan kita sehari-hari. Seperti makan siang, sinetron malam, atau koran pagi yang menggelisahkan jika ia tak datang.
Maka, sebenarnya jadilah Amerika Serikat (bersama strategi, national interest, terorisme, dan berbagai rekayasa citranya) sebagai bagian utama dari kecemasan atau ketakutan itu: ia telah menjadi teror itu sendiri. Bagaimana tidak, jika berbagai kebijakannya di belakangan tahun telah menempatkan Amerika dalam posisi yang diametral oposisional dengan mayoritas publik dunia. Ia seperti merasa berhak menetapkan aturan dan ketentuan sendiri, walaupun itu bertentangan dengan kesepakatan multilateral dalam fora global apa pun: PBB, Bank Dunia, WTO, dan sebagainya.
Maka teror Amerika itu pun melanda kita, melalui dunia perdagangan, seperti enggannya ia melepas subsidi bagi petani mereka sendiri --sebagaimana yang lucunya ia tuntut pada banyak negeri berkembang. Teror penolakan mereka pada Protokol Tokyo tentang pengurangan "efek kaca" sebagai penyebab pemanasan global. Teror Amerika dalam aksi-aksi militer pre-emptive yang diterapkan membabi buta tanpa kesepakatan multilateral. Teror politik yang memaksakan gaya demokrasi Amerika pada negeri-negeri demokratis lainnya. Teror Amerika dalam rekayasa konflik regional dan penciptaan kompetisi senjata di banyak belahan dunia.
Betapa degil, egoistik, sewenang-wenang, dan --sebenarnya-- "kurang ajar"-nya aturan yang seakan melihat manusia lain di luar rumah sendiri sebagai pesakitan, sebagai alien, monster, makhluk purba tiada guna itu. Ameika Serikat kini sungguh telah menjelma menjadi ancaman gergasi dan gigantik melebihi ancaman teror yang ia fiksikan sendiri. Dan marilah kita amati, berbagai hal, souvenirs abad ke-21 ala Amerika itu, diproduksi oleh sebuah negeri yang meklaim dirinya sebagai panutan demokrasi, penghasil dan pengolah demokrasi terbaik di atas bumi ini.
Hasilnya, ternyata, adalah adab-adab negatif, yang menegasikan sekian banyak norma dan nilai kemanusiaan yang disepakati dunia dalam berbagai wadah multilateral. Mengangkangi adab yang umumnya manusia akui sebagai dasar pemanusiaan kita di tengah ketandusan robotik dunia teknologi. Tapi Amerika Serikat tak peduli. Bagi mereka, semua menjadi tak penting. Termasuk demokrasi. Apa pun akan baik jika positif bagi mereka. Tak peduli ia jadi negatif bagian liyan, bagi lainnya.
Demokrasi negatif, karenanya, telah menjadi souvenirs terpenting yang akan diingat anak-cucu kita.
Radhar Panca Dahana
No comments:
Post a Comment