Memancing Rezeki dengan Sedekah

"Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (mensedekahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.  (QS. Al Baqarah: 245)

"Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)." (QS. Al Anfal: 60)

"Tidak akan pernah berkurang harta yang disedekahkan kecuali ia bertambah... bertambah... bertambah...” (HR. Al Tirmidzi)

Sedekah akan mampu memancing rezeki yang lebih besar, lebih berkah, dan lebih berdaya guna. Yang diperlukan di sini adalah seberapa kuat keyakinan kita kepada janji Allah SWT. Semakin kuat keyakinan seorang hamba akan janji Allah, semakin besar pula kepercayaan yang akan Allah berikan kepada hamba tersebut. Oleh karena itu, di dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda sebagai berikut:
“Hendaklah kalian mencari rezeki dengan bersedekah.”

Jika dibaca sekilas, redaksi hadits ini sangat membingungkan. Bagaimana mungkin sedekah akan menambah rezeki? Bukankah dengan bersedekah kita mengeluarkan uang yang kita miliki dan bukan mendapatkan uang? Asalnya seratus ribu kemudian disedekahkan lima puluh ribu sehingga uang kita hilang setengahnya? Bagaimana ini?

Memang, kalau kita mengunakan logika matematika, jumlahnya pasti berkurang. Akan tetapi, sedekah tidak bisa didekati seluruhnya dengan logika matematika atau logika kaum sekuler.

Ada logika iman di sana yang menyatakan bahwa Allah akan melipatgandakan nilai sedekah seorang hamba hingga berkali lipat jumlahnya. Boleh jadi, ketika kita memberi, uang yang ada di dompet kita berkurang sejumlah nominal yang diberikan. Akan tetapi, pada saat memberi itu kita langsung mendapat balasan dari Allah berupa ketenangan jiwa, kebahagiaan, kelapangan, dan keberkahan.

Tidak lama kemudian, harta yang kita sedekahkan tersebut akan mengundang teman-temannya untuk “mendatangi” kita, bisa dalam bentuk harta yang sama, yaitu uang; bisa dalam bentuk kesembuhan dari penyakit, yang apabila dikonversikan dalam bentuk uang akan berlipat-lipat jumlahnya; bisa dalam bentuk diselamatkannya kita dari kecelakaan dan bencana; bisa dalam bentuk jodoh; anak yang dinantikan kehadirannya; pekerjaan yang cocok dengan selera dan kemampuan kita; ilmu pengetahuan yang kita dapatkan; kenalan baru yang akan membawa keberuntungan dunia akhirat; kemudahan saat sakaratul maut; dan puncaknya terselamatkannya kita dari siksa neraka di akhirat kelak.

Jadi, uang 50 ribu rupiah yang kita sedekahkan akan beranak pinak menjadi berlipat-lipat jumlahnya.
Sangat mudah bagi Allah untuk melakukan apa-apa yang tidak terpikirkan oleh manusia. Semua ini terjadi karena Allah telah mengatur urusan rezeki dari semua makhluk-Nya, sekecil apa pun. Allah tidak akan salah dalam membagikan dan mendistribusikan rezeki hingga makhluk yang terkecil, termasuk kepada manusia yang ada di pelosok dunia. Allah berfirman sebagai berikut:
“Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya.” (QS Hud, 11: 6)

Ketika Allah memberikan kita rezeki, akan sangat pantas apabila kita mensyukuri nikmat yang telah Dia anugerahkan tersebut. Salah satu bentuk rasa terima kasih tersebut adalah berbagi dengan saudara-saudara kita yang sedang kesusahan dan sedang membutuhkan pertolongan. Nah, ketika kita mau bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan dengan cara berbagi, Dia pun akan berkenan menitipkan rezeki yang lebih banyak dan lebih berkah kepada kita.

Bukankah Allah telah berjanji untuk mengganti setiap harta yang dinafkahkan di jalan-Nya dengan sesuatu yang lebih baik? Artinya, dengan bersedekah, kita tambah dipercaya oleh Allah. Semakin banyak dan sering kita bersedekah, akan semakin bertambah pula kepercayaan Allah kepada kita. Kepercayaan mana lagi yang lebih besar selain dipercaya oleh Zat Yang Mahabesar, Yang Mahakaya, dan Yang Mahakuasa?

Sesungguhnya, rezeki itu ada pintunya. Pintu itu tidak akan terbuka kecuali dengan bersedekah. Semakin sering bersedekah, semakin sering pula pintu itu terbuka. Semakin besar bersedekah, semakin lebar pula pintu itu akan terbuka. Inilah mekanisme atau cara Allah dalam membalas kebaikan hamba-hamba-Nya.

Wallahu a'lam.

Keajaiban Sedekah

Sedekah, mendengar namanya, orang sudah kenal keutamaannya. Sedekah berasal dari As-Shidq, artinya jujur. Seorang muslim yang bersedekah berarti dia membuktikan kejujurannya dalam beragama. Betapa tidak, harta yang merupakan bagian yang dia cintai dalam hidupnya, harus dia berikan ke pihak lain. Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut sedekah sebagai ‘burhan’ (bukti). Dalam hadis dari Abu Malik Al-Asy’ari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Shalat adalah cahaya, sedekah merupakan bukti.” (HR. Muslim 223).

Sedekah disebut ‘burhan’ karena sedekah merupakan bukti kejujuran iman seseorang. Artinya, sedekah dan pemurah identik dengan sifat seorang mukmin, sebaliknya, kikir dan bakhil terhadap apa yang dimiliki identik dengan sifat orang munafik. Untuk itulah, setelah Allah menceritakan sifat orang munafik, Allah sambung dengan perintah agar orang yang beriman memperbanyak sedekah. Di surat Al-Munafiqun, Allah berfirman,
“Infakkanlah sebagian dari apa yang Aku berikan kepada kalian, sebelum kematian mendatangi kalian, kemudian dia meng-iba: “Ya Rab, andai Engkau menunda ajalku sedikit saja, agar aku bisa bersedekah dan aku menjadi orang shaleh.” (QS. Al-Munafiqun: 10).

Untuk itulah, seorang hamba hanya akan mendapatkan hakekat kebaikan dengan bersedekah, memberikan apa yang dia cintai. Allah berfirman,
“Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan, sampai kalian infakkan apa yang kalian cintai.” (QS. Ali Imran: 92)

Hadis berbicara tentang keajaiban Sedekah
a. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sedekah dengan rahasia bisa memadamkan murka Allah” (Shahih At-Targhib, 888)

b.  Dari Ka’b bin Ujrah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sedekah bisa memadamkan dosa, sebagaimana air bisa memadamkan api.(Shahih At-Targhib, 866)

c. Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya sedekah akan memadamkan panas kubur bagi pelakunya. Sungguh pada hari kiamat, seorang mukmin akan berlindung di bawah naungan sedekahnya.” (Silsilah As-Shahihah, 3484).
Yazid – salah seorang perawi yang membawakan hadis ini – menceritakan: ‘Dulu si Martsad, setiap kali melakukan satu dosa di hari itu maka dia akan bersedekah dengan apa yang dia miliki, meskipun hanya dengan secuil kue atau bawang.’ (As-Silsilah As-Shahihah, 872).

d. Dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Obati orang sakit di antara kalian dengan sedekah.” (Shahih At-Targhib, 744).
Ibnu Syaqiq menceritakan, bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Ibnul Mubarak – guru Imam Bukhari -: ‘Saya memiliki luka di lutut selama tujuh tahun, sudah coba diobati dengan berbagai macam cara, sudah konsultasi dokter dan tidak ada perubahan.’ Ibnul Mubarak menyarankan, ‘Buatlah sumur di daerah yang membutuhkan air. Saya berharap akan menghasilkan sumber air dan menyumbat darah yang keluar.’ Diapun melakukannya dan sembuh. (Shahih At-Targhib)

e. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap datang waktu pagi, ada dua malaikat yang turun dan keduanya berdoa. Malaikat pertama memohon kepada Allah, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang memberi nafkah’, sementara malaikat satunya berdoa, ‘Ya Allah, berikan kehancuran bagi orang yang pelit.’ (HR. Bukhari & Muslim).

f. Dari Al-Harits Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita tentang wasiat Nabi Yahya kepada bani israil. Salah satu isi wasiat itu, Nabi Yahya mengatakan,
Aku perintahkan kalian untuk banyak sedekah. Perumpamaan sedekah seperti orang orang yang ditawan oleh musuhnya dan tangannya diikat di lehernya. Ketika mereka hendak dipenggal kepalanya, dia bertanya: ‘Bolehkah aku tebus diriku sehingga tidak kalian bunuh.’ Kemudian dia memberikan yang dimiliki, sedikit atau banya, sampai dia berhasil menebus dirinya. (Shahih At-Targhib, 877).

Betapa luar biasanya pengaruh sedekah. Setiap dosa dan kesalahan yang dilakukan manusia merupakan ancaman baginya. Tumpukan dosa itu cepat atau lambat akan membinasakannya. Namun dia bisa selamat dari ancaman ini dengan memperbanyak sedekah, sampai dia bisa bebas dari neraka.

g. Sedekah sama sekali tidak mengurangi harta.
Itulah jaminan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,
“Sedekah tidak akan mengurangi harta.” (HR. Muslim)

h. Dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
“Diceritakan kepadaku bahwa semua amal akan saling dibanggakan. Kemudia amal sedekah mengatakan: ‘Saya yang paling utama diantara kalian.'” (Shahih At-Targhib)

Hadis di atas hanya sebagian riwayat yang menunjukkan keajaiban Sedekah. Masih banyak riwayat lain yang menyebutkan keajaiban Sedekah. Mengingat demikian besar keutamaan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan umatnya untuk mengharapkan kenikmatan yang Allah berikan kepada dua jenis manusia, salah satunya adalah orang yang Allah beri harta, dan dia rajin bersedekah siang dan malam. (HR. Bukhari & Muslim).

Sedekah yang Paling Utama
Sedekah dengan banyak keutamaan di atas, tentu saja nilainya bertingkat-tingkat sesuai keadaan ketika bersedekah. Berikut beberapa keadaan yang menyebabkan sedekah kita nilainya lebih utama dari pada sedekah normal.

Pertama, sedekah secara rahasia.
Merahasiakan sedekah akan lebih mendekati ikhlas. Karena itulah nilainya lebih besar dibanding sedekah yang diketahui orang lain. Allah berfirman,
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 271).

Kedua, sedekah ketika masih sehat, kuat, dan punya harapan hidup lebih lama.
Dari Abu hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sedekah seperti apakah yang paling besar pahalanya?’ beliau menjawab:
“Engkau bersedekah ketika kamu masih sehat, rakus dengan dunia, takut miskin, dan bercita-cita jadi orang kaya. Jangan tunda sedekah sampai ruh berada di tenggorokan, kemudian kamu mengatakan: ‘Untuk si A sekian, si B sekian, padahal sudah menjadi milik orang lain (melalui warisan).’ (HR. Bukhari & Muslim)
Pada saat sehat, muda, umumnya manusia masih sangat butuh harta, dan cinta harta dan kekayaan. Bersedekah pada kondisi tersebut akan membutuhkan perjuangan yang lebih besar untuk melawan nafsunya, dibandingkan sedekah yang dilakukan oleh orang yang tidak lagi punya harapan banyak dengan kehidupan dunia karena sudah tua.

Ketiga, sedekah yang diberikan setelah menunaikan kewajiban nafkah keluarga.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik sedekah adalah harta sisa selain jatah nafkah keluarga. Mulailah dari orang yang wajib kamu nafkahi.” (HR. Bukhari & Muslim)
Sedekah ini bernilai lebih baik, karena dilakukan tanpa menelantarkan kewajibannya. Mengingat kaidah baku dalam syariat, amal wajib lebih didahulukan dari pada amal sunah.

Keempat, sedekah pada saat krisis.
Orang yang memiliki sedikit, namun dia berani bersedekah, menunjukkan keseriusan dia dalam beramal, disamping sikap istiqamah yang dia lakukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Satu dirham bisa mengalahkan seratus ribu dirham.” Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana bia demikian’
“Ada orang yang memiliki 2 dirham, kemudian dia sedekahkan satu dirham. Sementara itu ada orang yang memiliki banyak harta, kemudian dia mengambil seratus ribu dirham untuk sedekah.” (HR. Nasai dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

Kelima, nafkah untuk keluarga.
Barangkali banyak kepala keluarga yang belum terbayang, ternyata nafkah yang kita berikan kepada kelurga sejatinya bisa bernilai pahala. Dengan syarat, dilakukan dalam rangka mengharap pahala Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seseorang yang memberikan nafkah kepada keluarganya dengan mengharap pahala dr Allah maka itu bernilai sedekah.” (HR. Bukhari & Muslim)
Bahkan nafkah keluarga yang diniatkan utk beribadah kepada Allah, nilainya lebih besar dibandingkan yang disumbangkan untuk orang miskin. Karena nafkah keluarga hukumnya wajib. Nabi bersabda,
"Ada 4 dinar: satu dinar kau berikan ke orang miskin, satu dinar kau sumbangkan untuk pembebasan budak, satu dinar untuk jihad fi sabililllah, dan satu dinar yang kau jadikan nafkah untuk keluarga, yang paling utama adalah satu dinar yang kau nafkahkan untuk keluarga. (HR. Muslim)

Keenam, sedekah kepada kerabat.
Sedekah ini lebih utama karena nilainya ganda: sedekah sekaligus mempererat silatur rahim. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sedekah kepada orang miskin nilainya hanya sedekah. Sedekah kepada kerabat nilainya dua: sedekah dan menyambung silaturrahim.” (HR. Ahmad, Nasai, Turmudzi dan Ibnu Majah).

Semoga bermanfaat
Allahu a’lam

Mengapa Harga Minyak Dunia Cenderung Turun?

Mengapa Harga Minyak Dunia Cenderung Turun?

SHALE GAS

Seperti dilansir dari oilpricenet, para ahli memprediksi keberadaan gas alam cair (LNG) akan memberikan porsi sebesar 50% pada perdagangan gas internasional di 2025.

Namun, dengan penemuan shale gas di Amerika, Inggris dan China, perkiraan tersebut telah berubah karena dihasilkan triliunan kaki kubik gas dari sumber-sumber bawah tanah di daerah tersebut. Di Amerika Utara saja dapat dihasilkan shale gas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar daerah tersebut setidaknya untuk 40 tahun berikutnya. Eropa juga diperkirakan memiliki jumlah sumber daya shale gas yang besar untuk digunakan di wilayah tersebut.

Di lain sisi membuat negara-negara pengekspor minyak dan batubara ketar-ketir melihat perkembangan Shale Gas karena mengancam pasar dari Minyak Bumi dan Batubara.

Munculnya shale gas juga telah menyebabkan jatuhnya harga komoditas energi lain, terutama batubara. Harga batubara telah turun sangat drastis dari rekor tertinggi US$ 192 per metrik ton pada Juni 2008 menjadi US$ 96 per metrik ton pada September 2012.

EFEK TERHADAP HARGA MINYAK DUNIA

Laporan OPEC menyebutkan bahwa permintaan minyak mentah dunia pada 2015 diperkirakan akan mengalami penurunan sebesar 250 bph (barrel perhour) dari permintaan tahun sebelumnya atau sebesar 29,61 juta bph. Turunnya permintaan minyak mentah ini juga akan diikuti dengan penurunan harga minyak mentah dunia. Penggunaan dan pengembangan energi terbarukan juga akan terancam karena murahnya harga-harga sumber energi yang berasal dari minyak mentah, batubara dan gas alam.

Sementara itu pihak OPEC sebenarnya dengan mudah bisa saja menaikkan harga minyak dunia, mereka tinggal menutup keran produksi saja. Namun karena ingin menekan Amerika, maka OPEC tidak menurukan produksi minyak walaupun di harga rendah.

Kondisi saat ini menimbulkan dilema tersendiri bagi posisi harga minyak dunia yang kecenderungannya terus turun. Jika harga minyak rendah, keuntungan Arab dan negara penghasil minyak lainnya (OPEC) akan terpangkas, bahkan Venezuela bisa tumbang perekenomiannya.

Biaya produksi minyak perbarrel di negara2 Arab sebesar 30 US dollar sementara untuk shale gas di AS perbarrel ekuivalen sebesar 45 US dollar. Inilah salah satu cara Arab untuk mengalahkan dominasi shale gas milik AS. Ketika minyak berada di kisaran 40 US dollar, Arab masih mendapat keuntungan 10 US dollar, sementara shale gas merugi.

ISLAM DIBAWA KE INDONESIA

ISLAM DIBAWA KE INDONESIA MELALUI UTUSAN BUKAN PEDAGANG!

------

Islam dibawa ke Indonesia melalui pedagang? Apa benar? Atau itu cara para orientalis yang notebene ingin menghancurkan Islam untuk menutupi sejarah bahwa Indonesia adalah bagian dari Khilafah?

Teori Gujarat

Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.

Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam? Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.

Teori Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat ini terletak di India bagain barat, berdekaran dengan Laut Arab. Tokoh yang menyosialisasikan teori ini kebanyakan adalah sarjana dari Belanda. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah J. Pijnapel dari Universitas Leiden pada abad ke 19. Menurutnya, orang-orang Arab bermahzab Syafei telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal Hijriyyah (abad ke 7 Masehi), namun yang menyebarkan Islam ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia timur, termasuk Indonesia.

Dalam perkembangan selanjutnya, teori Pijnapel ini diamini dan disebarkan oleh seorang orientalis terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje. Menurutnya, Islam telah lebih dulu berkembang di kota-kota pelabuhan Anak Benua India. Orang-orang Gujarat telah lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang Arab. Dalam pandangan Hurgronje, kedatangan orang Arab terjadi pada masa berikutnya. Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad yang menggunakan gelar “sayid” atau “syarif ” di di depan namanya.

Teori Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta (1912) yang memberikan argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya adalah kesamaan mahzab Syafei yang di anut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia.

------------

Teori Mekah

Teori Mekah mengatakan bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia adalah langsung dari Mekah atau Arab. Proses ini berlangsung pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. Tokoh yang memperkenalkan teori ini adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau HAMKA, salah seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia. Hamka mengemukakan pendapatnya ini pada tahun 1958, saat orasi yang disampaikan pada dies natalis Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN) di Yogyakarta. Ia menolak seluruh anggapan para sarjana Barat yang mengemukakan bahwa Islam datang ke Indonesia tidak langsung dari Arab. Bahan argumentasi yang dijadikan bahan rujukan HAMKA adalah sumber lokal Indonesia dan sumber Arab. Menurutnya, motivasi awal kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nilai nilai ekonomi, melainkan didorong oleh motivasi spirit penyebaran agama Islam. Dalam pandangan Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh sebelum tarikh masehi.

Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan.

Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan Rodhiyallohu ‘anhu (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).

Dalam hal ini, teori HAMKA merupakan sanggahan terhadap Teori Gujarat yang banyak kelemahan. Ia malah curiga terhadap prasangka-prasangka penulis orientalis Barat yang cenderung memojokkan Islam di Indonesia. Penulis Barat, kata HAMKA, melakukan upaya yang sangat sistematik untuk menghilangkan keyakinan negeri-negeri Melayu tentang hubungan rohani yang mesra antara mereka dengan tanah Arab sebagai sumber utama Islam di Indonesia dalam menimba ilmu agama. Dalam pandangan HAMKA, orang-orang Islam di Indonesia mendapatkan Islam dari orang- orang pertama (orang Arab), bukan dari hanya sekadar perdagangan. Pandangan HAMKA ini hampir sama dengan Teori Sufi yang diungkapkan oleh A.H. Johns yang mengatakan bahwa para musafirlah (kaum pengembara) yang telah melakukan islamisasi awal di Indonesia. Kaum Sufi biasanya mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendirikan kumpulan atau perguruan tarekat.

Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman. Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.

KESIMPULAN

Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah.

Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.

Anda mau ikut teori yang mana? Dari Hamka atau Orientalis?

Referensi:
Prof. Dr. HAMKA; Dari Perbendaharaan Lama; Pustaka Panjimas; cetakan III; Jakarta; 1996; Halaman 4-5.

Ciri Ilmu Yang Bermanfaat


SEBUAH hadits mengatakan bahwa ada tiga amalan yang ketika telah meninggal pahalanya terus mengalir kea lam kubur kita. Yang pertama shadaqah jariyah, yang kedua ilmu yang bermanfaat, dan ketiga doa anak yang soleh.

Terkait yang kedua, kita perlu tahu seperti apa ciri-ciri ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat akan terus mengalir pahalanya, ketika orang-orang mengamalkan ilmu yang dberikan oleh kita. Adapula ciri-ciri ilmu yang bermanfaat ketika kita masih hidup di dunia.

Imam Al-Ghazali menyebutkan 7 ciri ilmu yang bermanfaat di dalam kitabnya Bidayah al-Hidayah:

1). Barang yang menambah takutmu akan Allah S.W.T

2). Dan menambah pula di dalam penglihatan hatimu pada kecelaan dirimu,

3). Dan menambah pula dalam pengenalanmu akan ibadah kepada Tuhanmu yang Maha Mulia dan Yang Maha Tinggi,

4). Dan mengurangkan akan gemarmu kepada dunia,

5). Dan menambah gemarmu kepada akhirat,

6). Dan membukakan ia akan mata hatimu dengan yang membinasakan akan amalmu hingga engkau memelihara diri daripadanya,

7). Dan melihatkan dia akan dikau atas tipu daya syaitan dan perdayanya.

Selain itu di dalam kitab Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali yang berjudul Bayan Fadhli ‘Ilmissalaf ‘ala ‘Ilmilkhalaf. Ciri-ciri ilmu yang bermanfaat di dalam diri seseorang:

1). Menghasilkan rasa takut dan cinta kepada Allah.

2). Menjadikan hati tunduk atau khusyuk kepada Allah dan merasa hina di hadapan-Nya dan selalu bersikap tawaduk.

3). Membuat jiwa selalu merasa cukup (qanaah) dengan hal-hal yang halal walaupun sedikit yang itu merupakan bagian dari dunia.

4). Menumbuhkan rasa zuhud terhadap dunia.

5). Senantiasa didengar doanya.

6). Ilmu itu senantiasa berada di hatinya.

7). Menganggap bahwa dirinya tidak memiliki sesuatu dan kedudukan.

8). Menjadikannya benci akan tazkiah dan pujian.

9). Selalu mengharapkan akhirat.

10). Menunjukkan kepadanya agar lari dan menjauhi dunia. Yang paling menggiurkan dari dunia adalah kepemimpinan, kemasyhuran dan pujian.

11). Tidak mengatakan bahwa dia itu memiliki ilmu dan tidak mengatakan bahwa orang lain itu bodoh, kecuali terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah dan ahlussunnah. Sesungguhnya dia mengatakan hal itu karena hak-hak Allah, bukan untuk kepentingan pribadinya.

12). Berbaik sangka terhadap ulama-ulama salaf (terdahulu) dan berburuk sangka pada dirinya.

13). Mengakui keutamaan-keutamaan orang-orang yang terdahulu di dalam ilmu dan merasa tidak boleh menyaingi martabat mereka.

14). Sedikit berbicara karena takut jika terjadi kesalahan dan tidak berbicara kecuali dengan ilmu. Sesungguhnhya, sedikitnya perkataan-perkataan yang dinukil dari orang-orang yang terdahulu bukanlah karena mereka tidak mampu untuk berbicara,tetapi karena mereka memiliki sifat wara’ dan takut pada Allah Taala.

Apakah ilmu yang bermanfaat itu telah tercermin dalam diri kita? [ds/islampos/ibadurrahman99]

Solusi Bagi BPJS Dalam Menyikapi Fatwa Haram MUI

Hafiez Sofyani SE MSc
Dosen Akuntansi dan Sektor Publik Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Beberapa hari ini, masyarakat dihebohkan oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memfatwakan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau yang biasa disebut BPJS “Haram”. BPJS sendiri sesungguhnya merupakan salah satu program yang dicanangkan pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dilandasi pada teori Negara Kesejahteraan (Welfare Nation).

Konsep BPJS sebenarnya memiliki kesamaan gaya dengan konsep jaminan sosial yang dijalankan oleh Inggris, Malaysia, Singapura, dan Australia yang disebut dengan Medicare. Namun, dalam perjalanannya BPJS mendapat banyak kritik, karena berbagai alasam. Di antaranya pelayanan yang lamban, prosedur yang berbelit-belit, dan pelayanan hanya dilakukan oleh instansi tertentu yang ditunjuk.

Beberapa hari yang lalu BPJS kembali mendapat kritik, yakni terkait “kehalalan” mekanisme layanan yang mereka jalankan.
Apa dasar MUI menfatwakan bahwa mekanisme layanan dari BPJS haram? Keharaman BPJS, menurut MUI terkait pada lima aspek, yaitu
1) Permasalahan akad;
2) Adanya unsur riba;
3) Adanya denda yang tidak syar’i;
4) Adanya penghapusan data anggota BPJS secara sepihak,
5) Adanya maisir dan gharar (spekulasi dan ketidakjelasan) terkait mekanisme BPJS dalam berjalan.

Dari lima hal tersebut, tulisan ini akan berfokus pada masalah riba yang terkandung dalam mekanisme BPJS.

Jika ditelaah secara rinci, layanan BPJS diawali dengan masyarakat mendaftar dan menyetorkan sejumlah uang setiap bulannya ke bank yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola BPJS. Uang tersebut digunakan oleh bank untuk disalurkan dalam bentuk kredit kepada nasabahnya dengan bunga sebagai kompensasi yang harus dibayarkan kepada bank.

Uang dan bunga tersebut, kemudian digunakan oleh bank untuk membayarkan jaminan kesehatan masyarakat yang menggunakan jasa BPJS. Nah, di sinilah masalah kemudian muncul. Ketika bank yang ditunjuk bukan bank syariah, maka otomatis uang yang dikelola dan akan digunakan untuk membiayai jaminan kesehatan oleh BPJS tadi bercampur dengan bunga yang menurut fatwa MUI lainnya merupakan riba yang hukumnya haram.

Masalah tersebut muncul tidak lain karena pengguna jasa BPJS adalah masyarakat Indonesia yang notabene mayoritas beragama Islam. Sebenarnya kondisi serupa juga berlaku pada pengelolaan dana talangan haji jika bank yang ditunjuk bukan bank syariah.

Jadi, tidak menutup kemungkinan bahwa uang yang digunakan untuk memberangkatkan jamaah haji juga mengandung unsur bunga (riba).

Jika membandingkan dengan era 90-an yang notabene bank syariah belum banyak, dan bahkan bank syariah yang ada masih memiliki keerbatasan produk, maka era 90-an dapat dikatakan masa darurat (dharurah), sehingga penggunaan layanan dari produk yang mengandung unsur haram “terpaksa” dilakukan oleh umat muslim.

Hal ini dapat dikiaskan sepeti seorang muslim yang tersesat di hutan dan tidak menemukan buruan lain yang dapat dimakan, maka sebagian ulama berpendapat bahwa ia boleh memakan hewan yang tadinya dinyatakan hukumnya haram seperti ular, buaya, dan katak.

Lalu apa solusi yang dapat ditempuh pemerintah agar kiranya BPJS terbebas dari bunga yang difatwakan sebagai riba.

Pertama, solusi yang paling sederhana adalah mengalihkan pengelolaan dana BPJS ke bank syariah, jika memang keharaman tadi terkait adanya unsur ribawi di dalam pengelolaan dana layanan BPJS.

Kedua, BPJS dapat menggunakan konsep asuransi syariah sendiri, misalnya konsep asuransi syariah yang diusung oleh ulama Mesir Husain Husain As-Syahatah, dalam mengelola jaminan sosial kepada masyarakat.

Konsep asuransi syariah Husain As-Syahatah mirip dengan konsep koperasi yang diusung oleh Muhammad Hatta, dimana para masyarakat yang ingin mengajukan asuransi melakukan pendaftaran anggota dan menyetorkan dana iuran (tidak diatur jumlahnya) setiap bulannya dengan niat “investasi”. Dana yang terkumpul akan dikelola oleh institusi asuransi syariah tadi, boleh dengan cara dikelola sendiri maupun diminta kelolakan dengan konsep syariah seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, atau konsep syar’i lainnya.

Hasil pengelolaan dana dapat digunakan untuk mengelola institusi asuransi syariah dan menjaga institusi untuk terus berkembang agar keberlanjutan institusi asuransi syariah tadi dapat terus berjalan.

Selanjutnya, ketika salah seorang anggota mengalami ujian berupa sakit, kecelakaan, dan ujian lainnya, dana tadi akan digunakan untuk membantu membiayai anggota yang tengah diuji. Para anggota yang lain dianjurkan untuk mengikhlaskan uang yang mereka iurankan setiap bulan tadi dipakai untuk membiayai anggota yang lain yang tengah mendapat ujian tadi dengan niat “sedekah”.

Di akhir tahun nanti, sisa keuntungan pengelolaan dana dapat dibagikan kepada para anggota asuransi syariah, karena di awal pembayaran iuran tadi niat anggota adalah untuk investasi.
Kedua mekanisme ini selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai alternatif agar pengelolaan dana BPJS tidak termasuki oleh hal-hal yang diharamkan oleh syariat islam, mengingat pengguna produk BPJS mayoritas adalah penduduk muslim.

Namun, lebih bijaksana jika evaluasi mekanisme pelayanan BPJS tidak hanya dilakukan pada aspek menemukan kekeliruan syariah saja, tetapi juga secara menyeluruh. Misalnya, terkait pelayanan yang lebih baik, cepat, tidak terhambat oleh birokrasi yang bertele-tele, tidak membedakan si kaya dan miskin, dan mengedepankan program preventif ketimbang penyembuhan.

Akhirnya, harapan pemerintah dan masyarakat sekalian untuk menjadi negara dengan masyarakat yang sehat dan sejahtera serta islami semoga dapat terwujud di masa mendatang. Aamiin ya Rabbal ‘Alamiin. Wallahu a'lam. (*)

Banjarmasinpost.com