Firman Allah Ta’ala:
يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan qalbun salim.” (Asy-Syu’araa’: 88-89)
1. HATI SEHAT
Salim artinya sehat. As-Salimul Qalbi adalah hati yang memiliki kesehatan sebagai sifat baku. Salim adalah antonim (lawan kata) dari maridh, saqim dan ‘alil yang berarti sakit.
Manusia menggunakan ungkapan yang berbeda-beda dalam menggambarkan hakikat hati yang sehat ini. Titik temunya adalah bahwa HATI YANG SEHAT adalah YANG TERBEBAS DARI SYAHWAT YANG KONTRADIKTIF DENGAN PERINTAH DAN LARANGAN ALLAH atau yang terbebas dari SYUBHAT.
Ia terbebas dari peribadatan kepada selain Allah dan dari pengambilan keputusan hukum kepada selain Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ia mencintai Allah dengan tulus dan mengikuti ketentuan Rasul-Nya dalam takut, harap, tawakal, dan ketundukan kepada Allah, MENGUTAMAKAN RIDHA-NYA DALAM SETIAP KEADAAN, dan MENJAUHI KEMURKAAN-NYA DENGAN SEGALA CARA. Inilah hakikat ‘ubudiyah yang hanya boleh diberikan kepada Allah.
Hati yang sehat tidak menyekutukan Allah dengan apapun dalam bentuk apapun.
‘Ubudiyahnya murni ditujukan kepada Allah Ta’ala, baik yang berupa kehendak, cinta, tawakal, ikhbat (ketundukan), khauf (takut), dan roja’ (harap).
Ia mengikhlaskan amal untuk Allah. Bila mencintai, ia mencintai karena Allah; bila membenci, ia membenci karena Allah; dan bila memberi, ia memberi karena Allah; dan bila tidak memberi, ia tidak memberi karena Allah.
Baik secara garis besar maupun rinci, YANG MENJADI PANUTAN adalah ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia tidak mendahului beliau dalam berkeyakinan, berbicara, maupun beramal. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujuraat: 1)
Maksudnya:
“Jangan berkata (berpendapat) sebelum beliau berkata dan jangan berbuat sebelum beliau memerintahkan (jangan melakukan amal ibadah kecuali yang diperintahkan).”
Seorang salaf berkata:
“Setiap perbuatan, sekecil apapun, pasti akan ditanya dengan dua pertanyaan, yaitu: MENGAPA dan BAGAIMANA. Yakni, mengapa kamu berbuat dan bagaimana kamu berbuat?”
Pertanyaan pertama berkenaan dengan sebab, motivasi dan latar belakang perbuatan; apakah bertitik-tolak dari kepentingan dan ambisi si pelaku di dunia seperti kesenangan dipuji orang, ketakutan terhadap celaan mereka, keinginan untuk memperoleh sesuatu yang disukai, upaya menghindari sesuatu yang dibenci di dunia; atau perbuatan itu timbul dengan motivasi untuk menunaikan kewajiban beribadah, meraih cinta Allah, mendekatkan diri kepada-Nya, dan mencari jalan menuju ridha-Nya?
Sasaran pertanyaan ini adalah: Anda melakukan perbuatan ini untuk Rabb anda ataukah untuk kepentingan dan hawa nafsu anda sendiri?
Adapun pertanyaan kedua adalah berkenaan dengan mutaba’ah (peneladanan) kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam ibadah tersebut. Artinya, perbuatan tersebut telah disyari’atkan-Nya kepadamu melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah tidak diperintahkan-Nya sehingga tidak diridhai-Nya?
Yang pertama adalah pertanyaan mengenai ikhlas sedangkan yang kedua adalah pertanyaan mengenai mutaba’ah (teladan dan tuntunan yang diikuti). Sebab, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima amal kecuali dengan keduanya (ikhlas dan sesuai tuntutan).
Antisipasi terhadap pertanyaan pertama adalah dengan memurnikan keikhlasan, sedangkan terhadap pertanyaan kedua adalah dengan merealisasikan mutaba’ah dengan sebenar-benarnya. Hati harus bersih dari keinginan yang kontradiktif dengan keikhlasan dan dari nafsu yang kontradiktif dengan mutaba’ah. Inilah hakikat kesehatan bagi hati yang dijamin selamat dan bahagia.”
يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan qalbun salim.” (Asy-Syu’araa’: 88-89)
1. HATI SEHAT
Salim artinya sehat. As-Salimul Qalbi adalah hati yang memiliki kesehatan sebagai sifat baku. Salim adalah antonim (lawan kata) dari maridh, saqim dan ‘alil yang berarti sakit.
Manusia menggunakan ungkapan yang berbeda-beda dalam menggambarkan hakikat hati yang sehat ini. Titik temunya adalah bahwa HATI YANG SEHAT adalah YANG TERBEBAS DARI SYAHWAT YANG KONTRADIKTIF DENGAN PERINTAH DAN LARANGAN ALLAH atau yang terbebas dari SYUBHAT.
Ia terbebas dari peribadatan kepada selain Allah dan dari pengambilan keputusan hukum kepada selain Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ia mencintai Allah dengan tulus dan mengikuti ketentuan Rasul-Nya dalam takut, harap, tawakal, dan ketundukan kepada Allah, MENGUTAMAKAN RIDHA-NYA DALAM SETIAP KEADAAN, dan MENJAUHI KEMURKAAN-NYA DENGAN SEGALA CARA. Inilah hakikat ‘ubudiyah yang hanya boleh diberikan kepada Allah.
Hati yang sehat tidak menyekutukan Allah dengan apapun dalam bentuk apapun.
‘Ubudiyahnya murni ditujukan kepada Allah Ta’ala, baik yang berupa kehendak, cinta, tawakal, ikhbat (ketundukan), khauf (takut), dan roja’ (harap).
Ia mengikhlaskan amal untuk Allah. Bila mencintai, ia mencintai karena Allah; bila membenci, ia membenci karena Allah; dan bila memberi, ia memberi karena Allah; dan bila tidak memberi, ia tidak memberi karena Allah.
Baik secara garis besar maupun rinci, YANG MENJADI PANUTAN adalah ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia tidak mendahului beliau dalam berkeyakinan, berbicara, maupun beramal. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujuraat: 1)
Maksudnya:
“Jangan berkata (berpendapat) sebelum beliau berkata dan jangan berbuat sebelum beliau memerintahkan (jangan melakukan amal ibadah kecuali yang diperintahkan).”
Seorang salaf berkata:
“Setiap perbuatan, sekecil apapun, pasti akan ditanya dengan dua pertanyaan, yaitu: MENGAPA dan BAGAIMANA. Yakni, mengapa kamu berbuat dan bagaimana kamu berbuat?”
Pertanyaan pertama berkenaan dengan sebab, motivasi dan latar belakang perbuatan; apakah bertitik-tolak dari kepentingan dan ambisi si pelaku di dunia seperti kesenangan dipuji orang, ketakutan terhadap celaan mereka, keinginan untuk memperoleh sesuatu yang disukai, upaya menghindari sesuatu yang dibenci di dunia; atau perbuatan itu timbul dengan motivasi untuk menunaikan kewajiban beribadah, meraih cinta Allah, mendekatkan diri kepada-Nya, dan mencari jalan menuju ridha-Nya?
Sasaran pertanyaan ini adalah: Anda melakukan perbuatan ini untuk Rabb anda ataukah untuk kepentingan dan hawa nafsu anda sendiri?
Adapun pertanyaan kedua adalah berkenaan dengan mutaba’ah (peneladanan) kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam ibadah tersebut. Artinya, perbuatan tersebut telah disyari’atkan-Nya kepadamu melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah tidak diperintahkan-Nya sehingga tidak diridhai-Nya?
Yang pertama adalah pertanyaan mengenai ikhlas sedangkan yang kedua adalah pertanyaan mengenai mutaba’ah (teladan dan tuntunan yang diikuti). Sebab, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima amal kecuali dengan keduanya (ikhlas dan sesuai tuntutan).
Antisipasi terhadap pertanyaan pertama adalah dengan memurnikan keikhlasan, sedangkan terhadap pertanyaan kedua adalah dengan merealisasikan mutaba’ah dengan sebenar-benarnya. Hati harus bersih dari keinginan yang kontradiktif dengan keikhlasan dan dari nafsu yang kontradiktif dengan mutaba’ah. Inilah hakikat kesehatan bagi hati yang dijamin selamat dan bahagia.”
2. HATI MATI
Ini kebalikan dari yang pertama. Ini adalah hati yang mati, tanpa kehidupan sama sekali. Ia tidak mengenal Rabb serta tidak beribadah kepada-Nya dengan melaksanakan apa yang diperintahkan, dicintai, dan dridhai-Nya.
Sebaliknya, ia SENANTIASA MENGIKUTI HAWA NAFSU sekalipun dimurkai dan dibenci Rabb-nya.
Ia TIDAK PEDULI apakah dengan mengikuti hawa nafsu, Rabb-nya ridha atau murka kepadanya. Ia menghambakan dirinya kepada selain Allah dalam kecintaan, ketakutan, pengharapan, keridhaan, kemurkaan, pengagungan, dan ketundukan.
Bila mencintai, ia mencintai karena nafsu; bila membenci, ia membenci karena nafsu; bila memberi, ia memberi karena nafsu; dan bila menolak, ia menolak karena nafsu juga. Jadi, hawa nafsu lebih diutamakan dan dicintainya daripada ridha Rabb-nya.
Hawa nafsu adalah imamnya, syahwat adalah komandannya, kebodohan adalah pengendalinya, dan kelalaian adalah kendaraannya. Ia senantiasa sibuk berpikir untuk memperoleh ambisi-ambisi duniawi serta DIMABUK OLEH HAWA NAFSU dan CINTA DUNIA.
DARI JAUH, IA DIPANGGIL UNTUK KEMBALI KEPADA ALLAH dan MENGUTAMAKAN KEBAHAGIAAN AKHIRAT, akan tetapi IA ENGGAN MENYAMBUT PANGGILAN SANG PEMBERI NASIHAT, bahkan mengikuti bujukan setan yang durhaka. Murka dan ridhanya tergantung oleh dunia. Hawa nafsu telah menulikan dan membutakannya.
“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali orang-orang yang enggan untuk memasukinya. Ada seseorang yang bertanya, siapakah orang yang enggan tersebut wahai Rasulullah ? Beliau bersabda, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk surga, barangsiapa tidak taat kepadaku sungguh dia orang yang enggan masuk surga “ (HR. Bukhari)
Bergaul dengan orang yang berhati seperti ini adalah PENYAKIT dan RACUN. Bersahabat dengannya adalah KEBINASAAN.
3. HATI SAKIT
Hati jenis ini adalah hati yang mempunyai kehidupan, tetapi berpenyakit. Kadang-kadanag kehidupan tampak padanya, tetapi kadang-kadang yang tampak penyakitnya, tergantung yang mana di antara keduanya yang sedang dominan.
Dalam hati yang ini, terdapat kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakal kepada Allah, yang semua ini merupakan bahan baku kehidupannya. Tetapi di dalamnya juga terdapat kecintaan kepada hawa nafsu, pengutamaan terhadapnya dan ambisi untuk memperolehnya, kedengkian, kesombongan, dan kebanggaan terhadap diri sendiri.
Ia dipengaruhi oleh dua penyeru; yang satu mengajaknya kepada Allah, Rasul-Nya dan negeri akhirat, sedangkan yang lain mengajaknya kepada dunia. Ia mengikuti salah satu dari kedua penyeru itu, (mana) yang pintu dan jaraknya lebih dekat kepadanya.
Hati jenis pertama (Hati Sehat) adalah hati yang khusyu’, lembut dan sehat.
Hati jenis kedua (Hati Mati) adalah hati yang kering dan mati.
Sedangkan hati yang yang sakit, yang bisa jadi lebih dekat kepada kesehatan atau sebaliknya lebih dekat kepada kematian (hati). Allah Ta’ala telah menyebutkan ketiga jenis hati ini dalm firman-Nya:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلا نَبِيٍّ إِلا إِذَا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang lalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat, dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Qur’an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (Al-Hajj: 52-54)
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi hati menjadi tiga: dua di antaranya terkena fitnah dan hanya satu yang selamat. Dua jenis hati yang terkena fitnah adalah hati yang berpenyakit dan hati yang keras (mati). Sedangkan yang selamat adalah hati orang mukmin yang tunduk dan patuh kepada Rabb-nya. Diharapkan, hati dan anggota badan lain dalam keadaan sehat tanpa penyakit apapun, sehingga bisa berfungsi sebagaimana mestinya.
Hati yang terkena fitnah, senantiasa dalam keraguan disebabkan oleh bisikan setan, tetapi hati yang sehat tidak akan terkena mudharat darinya.
Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Fitnah-fitnah dibentangkan dan dilekatkan di hati, sebagaimana dibentangkannya serat-serat tikar satu persatu. Hati mana pun yang dirasukinya, niscaya padanya membekas sebuah noda hitam, sedang hati mana pun yang menolaknya, niscaya padanya membekas sebuah titik putih, sehingga seluruh hati akan terbagi menjadi dua: ada hati yang hitam berbintik putih dan seperti kendi yang terbalik, ia tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak menolak yang munkar, yang diketahuinya hanyalah hawa nafsu yang dirasukkan kepadanya. Ada pula hati yang putih, ia tidak terkena mudharat fitnah selama ada langit dan bumi.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Beliau menyerupakan pembentangan dan pelekatan fitnah di hati seperti serat-serat tikar yang dibentangkan dan dilekatkan satu persatu.
Beliau juga membagi hati pada saat pembentangan fitnah tersebut, menjadi dua yaitu: Ada hati yang ketika fitnah dibentangkan, terasuki olenya sebagaimana bunga karang yang diresapi air. Pada hati tersebut akan timbul sebuah titik hitam. Setiap fitnah yang dibentangkan akan terus meresap padanya, sehingga warnanya menjadi hitam dan posisinya terbalik. Inilah sabda beliau “seperti kendi yang terbalik”. Apabila hati menjadi hitam dan terbalik, maka ia terancam oleh dua penyakit yang berbahaya yang akan mencampakkannya ke dalam kebinasaan, yaitu:
1. Ia akan kabur dalam melihat yang ma’ruf dan yang munkar. Ia tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak menolak yang munkar. Bisa jadi penyakit ini semakin parah sehingga ia meyakini yang ma’ruf sebagai kemunkaran dan yang munkar sebagai yang ma’ruf; yang sunnah sebagi bid’ah dan yang bid’ah sebagai sunnah; serta kebenaran sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai kebenaran.
2. Ia lebih mengutamakan hawa nafsu daripada ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia tunduk dan mengikuti hawa nafsunya.
Ada pula hati yang putih. Cahaya dan pelita-pelita iman memancar dan menyala di dalamnya. Apabila fitnah dibentangkan kepadanya, ia menolak, sehingga cahaya, pancaran dan kekuatannya semakin bertambah.
Fitnah-fitnah yang dibentangkan pada hati merupakan penyebab sakitnya. Itulah fitnah syahwat dan syubhat, atau fitnah al-ghayy (penyimpangan) dan adh-dhalal (kesesatan), atau fitnah maksiat dan bid’ah, atau fitnah kezhaliman dan kebodohan.
Fitnah pertama (fitnah syahwat) mengakibatkan rusaknya maksud dan kehendak. Sedangkan fitnah kedua (fitnah syubhat) mengakibatkan rusaknya lmu dan keyakinan.
Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Hati itu ada empat: ada hati yang bersih, di dalamnya terdapat pelita yang menyala, itulah hati orang mukmin. Ada hati yang tertutup, itulah hati orang kafir. Ada hati yang terbalik, itulah hati orang munafik, yang telah mengetahui tetapi kemudian menolak dan telah melihat tetapi kemudian buta. Ada pula hati yang terdiri dari dua unsur, yaitu unsur keimanan dan kemunafikan. Keadaannya tergantung kepada salah satu dari kedua unsur tersebut yang paling dominan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Abdullah bin Imam Ahmad. Syaikh Al-Albani berkata: “Hadits ini mauquf shahih.”)
Perkataan beliau “hati yang bersih”, maksudnya adalah hati yang bersih dari selain Allah dan Rasul-Nya. Jadi, hati tersebut bersih dari selain kebenaran.
Adapun hati yang tertutup, adalah hati orang kafir, karena hati tersebut masuk di dalam tutupnya, sehingga cahaya ilmu dan iman tidak bisa mencapainya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَقَالُوا قُلُوبُنَا غُلْفٌ بَلْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَقَلِيلا مَا يُؤْمِنُونَ
“Dan mereka berkata: “Hati kami tertutup”. Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; maka sedikit sekali mereka yang beriman.” (Al-Baqarah: 88)
Penutup di sini adalah yang dipasang oleh Allah di hati mereka sebagai hukuman atas penolakan mereka terhadap kebenaan dan kesombongan mereka untuk menerimanya.
وَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ حِجَابًا مَسْتُورًا وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي آذَانِهِمْ وَقْرًا وَإِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِي الْقُرْآنِ وَحْدَهُ وَلَّوْا عَلَى أَدْبَارِهِمْ نُفُورًا
“Dan apabila kamu membaca Al Qur’an niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup. Dan Kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya. Dan apabila kamu menyebut Tuhanmu saja dalam Al Qur’an, niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya.” (Al-Israa’: 45-46)
Apabila hati semacam ini diingatkan untuk memurnikan tauhid dan mutaba’ah, para pemiliknya akan berpaling menjauh.
Beliau juga menyebutkan hati yang terbalik sebagai isyarat bagi hati orang munafik. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَمَا لَكُمْ فِي الْمُنَافِقِينَ فِئَتَيْنِ وَاللَّهُ أَرْكَسَهُمْ بِمَا كَسَبُوا أَتُرِيدُونَ أَنْ تَهْدُوا مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ سَبِيلا
“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barang siapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya.” (An-Nisaa’: 88)
Artinya, Allah telah membalikkan dan mengembalikan mereka kepada kebatilan mereka semula, DISEBABKAN OLEH USAHA dan PERBUATAN MEREKA YANG BATHIL. Ini adalah hati yang paling buruk. IA MEYAKINI KEBATILAN SEBAGAI KEBENARAN dan MENCINTAI PELAKU KEBATILAN, sebaliknya MENGANGGAP KEBENARAN SEBAGAI KEBATILAN dan MEMUSUHI PARA PELAKU KEBENARAN. Hanya Allah tempat memohon pertolongan.
Sedangkan yang dimaksud beliau dengan hati yang memiliki dua unsur, adalah hati yang di dalamnya terdapat keimanan, akan tetapi pelita keimanan tersebut tidak menyala di dalamnya. Kebenaran yang ada di dalamnya, yang dengannya Allah mengutus Rasul-Nya, tidak murni. Di dalamnya terdapat unsur tersebut dan unsur kebalikannya. Kadang-kadang ia lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan, tetapi kadang-kadang lebih dekat kepada keimanan daripada kekafiran. Yang menentukan adalah unsur yang sedang dominan. Ke situlah ia kembali.
Wallahu a'lam.
Dikutip dari kitab Menyelamatkan Hati dari Tipu Daya Setan (Ighatsatul Lahfan min Mashayidisy Syaithan), karya Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Damaskus, 1292-1349 Masehi
No comments:
Post a Comment