Menjadi suami dan bapak ideal dalam rumah tangga? Tentu
ini dambaan setiap lelaki, khususnya yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan tentu saja ini tidak
mudah kecuali bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah.
Sosok kepala rumah tangga ideal yang sejati,
Rasulullah pernah bersabda: “Sebaik-baik
kalian adalah orang yang paling baik (dalam bergaul) dengan keluarganya dan aku
adalah orang yang paling baik (dalam bergaul) dengan keluargaku.” [ HR
at-Tirmidzi no. 3895 dan Ibnu Hibban no. 4177].
Karena kalau bukan kepada anggota keluarganya seseorang
berbuat baik, maka kepada siapa lagi dia akan berbuat baik? Bukankah mereka
yang paling berhak mendapatkan kebaikan dan kasih sayang dari suami dan bapak
mereka karena kelemahan dan ketergantungan mereka kepadanya?. Kalau bukan
kepada orang-orang yang terdekat dan dicintainya seorang kepala rumah tangga
bersabar menghadapi perlakuan buruk, maka kepada siapa lagi dia bersabar?
Imam al-Munawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat argumentasi
yang menunjukkan (wajibnya) bergaul dengan baik terhadap istri dan anak-anak,
terlebih lagi anak-anak perempuan, (dengan) bersabar menghadapi perlakuan
buruk, akhlak kurang sopan dan kelemahan akal mereka, serta (berusaha selalu)
menyayangi mereka.” [ Kitab “Faidul Qadiir” 3/498].
Potret kepala keluarga ideal dalam al-Qur-an
Allah
menggambarkan sosok dan sifat kepala keluarga ideal dalam beberapa ayat
al-Qur-an, di antaranya dalam firman-Nya:
“Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS
an-Nisaa’: 34).
Inilah sosok suami ideal, dialah lelaki yang mampu
menjadi pemimpin dalam arti yang sebenarnya bagi istri dan anak-anaknya.
Memimpin mereka artinya mengatur urusan mereka, memberikan nafkah untuk
kebutuhan hidup mereka, mendidik dan membimbing mereka dalam kebaikan, dengan
memerintahkan mereka menunaikan kewajiban-kewajiban dalam agama dan melarang
mereka dari hal-hal yang diharamkan dalam Islam, serta meluruskan penyimpangan
yang ada pada diri mereka.
Dalam ayat lain, Allah
berfirman:
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada
mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam al-Qur’an. Sesungguhnya dia
adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan
dia (selalu) memerintahkan kepada keluarganya untuk (menunaikan) shalat dan
(membayar) zakat, dan dia adalah seorang yang di ridhoi di sisi Allah.” (QS Maryam: 54-55).
Inilah potret hamba yang mulia dan kepala rumah tangga
ideal, Nabi Ismail, sempurna imannya kepada Allah, shaleh dan kuat dalam
menunaikan ketaatan kepada-Nya, sehingga beliau
meraih keridhaan-Nya. Tidak cukup sampai di situ, beliau juga selalu membimbing dan memotivasi anggota
keluarganya untuk taat kepada Allah, karena mereka yang paling pertama berhak
mendapatkan bimbingannya.
Demukian pula dalam ayat lain, Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang berkata: “Ya Rabb kami,
anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai
penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami imam (panutan) bagi orang-orang yang
bertakwa.” (QS al-Furqaan: 74).
Dalam ayat ini Allah
memuji hamba-hamba-Nya yang beriman karena mereka selalu mendokan dan
mengusahakan kebaikan dalam agama bagi anak-anak dan istri-istri mereka. Inilah
makna “qurratul ‘ain” (penyejuk hati) bagi orang-orang yang beriman di dunia
dan akhirat.
Imam Hasan al-Bashri berkata: “Demi Allah, tidak ada
sesuatupun yang lebih menyejukkan pandangan mata (hati) seorang muslim daripada
ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang dicintainya taat
kepada Allah.”
Beberapa sifat kepala rumah tangga ideal
1. Shaleh dan taat beribadah
Keshalehan dan ketakwaan seorang hamba adalah ukuran
kemuliaannya di sisi Allah , sebagaimana dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS al-Hujuraat: 13).
Seorang kepala rumah tangga yang selalu taat kepada
Allah akan dimudahkan segala urusannya,
baik yang berhubungan dengan dirinya sendiri maupun yang berhubungan dengan
anggota keluarganya. Allah berfirman:
“Barangsiapa yang
bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam
semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezki dari arah yang tidak
disangka-sangkanya.” (QS. ath-Thalaaq:2-3).
Dalam ayat berikutnya Allah berfirman:
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (QS.
ath-Thalaaq:4).
Artinya: Allah
akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan
baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang
dihadapinya).
Bahkan dengan ketakwaan seorang kepala rumah tangga,
dengan menjaga batasan-batasan syariat-Nya, Allah akan memudahkan penjagaan dan taufik-Nya untuk
dirinya dan keluarganya, sebagaimana sabda Rasulullah :
“Jagalah (batasan-batasan/syariat) Allah
maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/syariat) Allah maka kamu akan
mendapati-Nya dihadapanmu.” [ HR at-Tirmidzi no.
2516].
Makna “menjaga (batasan-batasan/syariat) Allah” adalah
menunaikan hak-hak-Nya dengan selalu beribadah kepada-Nya, serta menjalankan
semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dan makna “kamu akan
mendapati-Nya dihadapanmu”: Dia akan selalu bersamamu dengan selalu memberi
pertolongan dan taufik-Nya kepadamu.
Penjagaan Allah
dalam hadits ini juga mencakup penjagaan terhadap anggota keluarga hamba
yang bertakwa tersebut.
2. Bertanggung jawab memberi nafkah untuk keluarga
Menafkahi keluarga dengan benar adalah salah satu
kewajiban utama seorang kepala keluarga dan dengan inilah di antaranya dia
disebut pemimpin bagi anggota keluarganya. Alah
berfirman:
“Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS
an-Nisaa’: 34).
Dalam ayat lain, Allah
berfirman:
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (QS
al-Baqarah: 233).
Dalam hadits yang shahih, ketika Rasulullah ditanya
tentang hak seorang istri atas suaminya, beliau
bersabda: “Hendaknya dia memberi
(nafkah untuk) makanan bagi istrinya sebagaimana yang dimakannya, memberi
(nafkah untuk) pakaian baginya sebagaimana yang dipakainya, tidak memukul
wajahnya, tidak mendokan keburukan baginya (mencelanya), dan tidak memboikotnya
kecuali di dalam rumah (saja).” [HR Abu Dawud no. 2142].
Tentu saja maksud pemberian nafkah di sini adalah yang
mencukupi dan sesuai dengan kebutuhan, tidak berlebihan dan tidak kurang.
Karena termasuk sifat hamba-hamba Allah
yang bertakwa adalah mereka selalu mengatur pengeluaran harta mereka
agar tidak terlalu boros adan tidak juga kikir. Allah berfirman:
“Dan (hamba-hamba
Allah yang beriman adalah) orang-orang yang apabila mereka membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan mereka) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS al-Furqaan:67).
Artinya: mereka tidak mubazir (berlebihan) dalam
membelanjakan harta sehingga melebihi kebutuhan, dan (bersamaan dengan itu)
mereka juga tidak kikir terhadap keluarga mereka sehingga kurang dalam
(menunaikan) hak-hak mereka dan tidak mencukupi (keperluan) mereka, tetapi
mereka (bersikap) adil (seimbang) dan moderat (dalam pengeluaran), dan
sebaik-baik perkara adalah yang moderat (pertengahan). [ Kitab “Tafsir Ibnu
Katsir].
Ini semua mereka lakukan bukan karena cinta yang
berlebihan kepada harta, tapi kerena mereka takut akan pertanggungjawaban harta
tersebut di hadapan Allah di hari kiamat
kelak. Rasulullah bersabda: “Tidak akan bergeser dua telapak kaki
seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban)
tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia
mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana
dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya.” [ HR
at-Tirmidzi (no. 2417].
3. Memperhatikan pendidikan agama bagi keluarga
Ini adalah kewajiban utama seorang kepala rumah tangga
terhadap anggota keluarganya. Allah
berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu.” (QS at-Tahriim:6).
Ali bin Abi Thalib , ketika menafsirkan ayat di atas,
beliau berkata: “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu sendiri dan
keluargamu”[ Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” 2/535].
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “Memelihara diri
(dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan
yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak
(dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat
Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang
hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar)
melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada
orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya.”[Taisiirul Kariimir
Rahmaan, hal. 640].
Dalam sebuah hadits shahih, ketika shahabat yang mulia,
Malik bin al-Huwairits dan kaumnya
mengunjungi Rasulullah selama dua puluh
hari untuk mempelajari al-Qur-an dan sunnah beliau , kemudian Rasulullah bersabda kepada mereka: “Pulanglah kepada keluargamu, tinggallah bersama mereka dan ajarkanlah
(petunjuk Allah ) kepada mereka.” [HR al-Bukhari no. 602].
4. Pembimbing dan motivator
Seorang kepala keluarga adalah pemimpin dalam rumah
tangganya, ini berarti dialah yang bertanggung jawab atas semua kebaikan dan
keburukan dalam rumah tangganya dan dialah yang punya kekuasaan, dengan izin
Allah, untuk membimbing dan memotivasi anggota keluarganya dalam kebaikan dan
ketaatan kepada Allah.
Rasulullah bersabda: “Ketahuilah,
kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban
tentang apa yang dipimpinnya, seorang suami adalah pemimpin (keluarganya) dan
dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang mereka.” [HR al-Bukhari no.
2278 dan Muslim no. 1829].
Rasulullah mencontohkan sebaik-baik teladan sebagai
pembimbing dan motivator. Dalam banyak hadits yang shahih, beliau selalu memberikan bimbingan yang baik kepada
orang-orang yang berbuat salah, sampaipun kepada anak yang masih kecil.
Beliau pernah
melihat seorang anak kecil yang berlaku kurang sopan ketika makan, maka
beliau menegur dan membimbing anak
tersebut, beliau bersabda: “Wahai anak
kecil, sebutlah nama Allah (ketika hendak makan), makanlah dengan tangan
kananmu dan makanlah (makanan) yang ada di depanmu”[ HSR al-Bukhari no. 5061
dan Muslim no. 2022].
Dalam hadits lain, Rasulullah pernah melarang cucu beliau , Hasan bin
‘Ali memakan kurma sedekah, padahal
waktu itu Hasan masih kecil, Rasulullah bersabda: “Hekh hekh” agar Hasan membuang
kurma tersebut, kemudian beliau
bersabda: “Apakah kamu tidak
mengetahui bahwa kita (Rasulullah dan
keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?” [ HSR al-Bukhari no. 1420 dan
Muslim no. 1069].
Imam Ibnu Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits
ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan
adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu
yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang
diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat,
agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut.
Memotivasi anggota keluarga dalam kebaikan juga dilakukan
dengan mencontohkan dan mengajak anggota keluarga mengerjakan amal-amal
kebaikan yang disyariatkan dalam Islam.
Rasulullah
bersabda: “Semoga Allah merahmati
seorang laki-laki yang bangun di malam hari lalu dia melaksanakan shalat
(malam), kemudian dia membangunkan istrinya, kalau istrinya enggan maka dia akan
memercikkan air pada wajahnya.” [HR Abu Dawud no. 1308 dan Ibnu Majah no.
1336].
Teladan baik yang dicontohkan seorang kepala keluarga
kepada anggota keluarganya merupakan sebab, setelah taufik dari Allah untuk
memudahkan mereka menerima nasehat dan bimbingannya. Sebaliknya, contoh buruk
yang ditampilkannya merupakan sebab besar jatuhnya wibawanya di mata mereka.
Imam Ibnul Jauzi membawakan sebuah ucapan seorang ulama
salaf yang terkenal, Ibrahim al-Harbi [wafat 285 H]. Dari Muqatil bin Muhammad al-’Ataki, beliau
berkata: Aku pernah hadir bersama ayah dan saudaraku menemui Abu Ishak Ibrahim
al-Harbi, maka beliau bertanya kepada ayahku: “Mereka ini anak-anakmu?”. Ayahku
menjawab: “Iya”. (Maka) beliau berkata (kepada ayahku): “Hati-hatilah! Jangan
sampai mereka melihatmu melanggar larangan Allah, sehingga (wibawamu) jatuh di
mata mereka.”[ Kitab
“Shifatush shafwah” 2/409].
5. Bersikap baik dan sabar dalam menghadapi perlakuan
buruk anggota keluarganya
Seorang pemimpin keluarga yang bijak tentu mampu
memaklumi kekurangan dan kelemahan yang ada pada anggota keluarganya, kemudian
bersabar dalam menghadapi dan meluruskannya.
Ini termasuk pergaulan baik terhadap keluarga yang
diperintahkan dalam firman Allah :
“Dan bergaullah dengan mereka secara
patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak.” (QS an-Nisaa’: 19).
Rasulullah bersabda: “Berwasiatlah
untuk berbuat baik kepada kaum wanita, karena sesungguhnya wanita diciptakan
dari tulang rusuk (yang bengkok), dan bagian yang paling bengkok dari tulang
rusuk adalah yang paling atas, maka jika kamu meluruskannya (berarti) kamu
mematahkannya, dan kalau kamu membiarkannya maka dia akan terus bengkok, maka
berwasiatlah (untuk berbuat baik) kepada kaum wanita.” [HR al-Bukhari no.
3153 dan Muslim no. 1468].
Seorang istri bagaimanapun baik sifat asalnya, tetap saja
dia adalah seorang perempuan yang lemah dan asalnya susah untuk diluruskan,
karena diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, ditambah lagi dengan
kekurangan pada akalnya. Rasulullah
bersabda:
“Sesungguhnya
perempuan diciptakan dari tulang rusuk (yang bengkok), (sehingga) dia tidak
bisa terus-menerus (dalam keadaan) lurus jalan (hidup)nya.”
[ HR Muslim no. 1468].
Dalam hadits lain Rasulullah menyifati perempuan sebagai:
“Orang-orang
yang kurang (lemah) akal dan agamanya.” [HR al-Bukhari no.
298 dan Muslim no. 132].
Maka seorang istri yang demikian keadaannya tentu sangat
membutuhkan bimbingan dan pengarahan dari seorang laki-laki yang memiliki akal,
kekuatan, kesabaran, dan keteguhan pendirian yang melebihi perempuan. Oleh karena
itulah, Allah menjadikan kaum laki-laki
sebagai pemimpin dan penegak urusan kaum perempuan.
Seorang laki-laki yang beriman tentu akan selalu
menggunakan pertimbangan akal sehatnya ketika menghadapi perlakuan kurang baik
dari orang lain, untuk kemudian dia berusaha menasehati dan meluruskannya
dengan cara yang baik dan bijak, terlebih lagi jika orang tersebut adalah orang
yang terdekat dengannya, yaitu istri dan anak-anaknya. Rasulullah bersabda: “Janganlah
seorang lelaki beriman membenci seorang wanita beriman, kalau dia tidak
menyukai satu akhlaknya, maka dia akan meridhai/menyukai akhlaknya yang lain.” [HR
Muslim no. 1469].
6. Selalu mendoakan kebaikan bagi anak dan istrinya
Termasuk sifat hamba-hamba Allah yang beriman adalah selalu mendoakan kebaikan
bagi dirinya dan anggota keluarganya. Allah
berfirman:
“Dan orang-orang
yang berkata: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan
keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami imam (panutan)
bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS al-Furqaan: 74).
Dalam hadits yang shahih, ketika Rasulullah menjelaskan tentang kewajiban seorang suami
terhadap istrinya, diantaranya: “Dan tidak mendokan keburukan baginya.” [HR Abu
Dawud no. 2142].
Maka kepala keluarga yang ideal tentu akan selalu
mengusahakan dan mendoakan kebaikan bagi anggota keluarganya, istri dan
anak-anaknya, bahkan inilah yang menjadi sebab terhiburnya hatinya, yaitu
ketika menyaksikan orang-orang yang dicintainya selalu menunaikan ketaatan
kepada Allah.
Penutup
Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi
motivasi bagi orang-orang yang beriman, khusunya para kepala keluarga, untuk
menghiasi dirinya dengan akhlak yang terpuji ini, untuk menjadikan mereka
meraih kemuliaan dan kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat bersama anggota
keluarga mereka, dengan taufik dari Allah.
Kota Kendari, 9 Rajab 1434 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
No comments:
Post a Comment