Seluruh Ajaran Islam Mengandung Maslahat

Seluruh ajaran Islam itu mengandung maslahat dan dipastikan pula setiap ajaran Islam bermaksud untuk mengenyampingkan mudhorot pada hamba. Yang menerangkan bahwa seluruh ajaran Islam mengandung maslahat dan menolak mudhorot adalah dalil-dalil berikut ini:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al Anbiya’: 107). Jika syari’at itu rahmat, maka konsekuensinya pasti ajaran Islam selalu mendatangkan maslahat dan menolak bahaya.

Begitu pula dalam ayat,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3).
Sempurnanya nikmat adalah dengan sempurnanya ajaran agama ini. Dan sebagai tandanya, ajaran ini pasti selalu mendatangkan maslahat dan menolak mudhorot.

Begitu juga dalam berbagai ajaran Islam jika kita tilik satu per satu, selalu diberikan alasan bahwa ajaran tersebut mendatangkan maslahat bagi hamba. Sebagaimana dalam hukum qishash, Allah Ta’ala berfirman,
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 179).

Semacam pula dalam perintah menggunakan jilbab bagi wanita, disebutkan pula maslahat di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).

Saking pentingnya kaidah ini, para ulama sangat perhatian di dalamnya. Sampai-sampai ada di antara mereka membuat tulisan tersendiri tentang masalah ini. Semacam Imam Al ‘Izz bin ‘Abdis Salam menyusun buku yang sempurna yang membahas hal ini. Beliau menjadikan seluruh ajaran dalam hukum Islam berputar di antara maslahat.

Macam-Macam Maslahat

Jika melihat ajaran Islam, kita akan temukan bahwa ajaran tersebut ada yang mengandung maslahat yang wajib, seperti shalat lima waktu. Ada pula yang mengandung maslahat yang sunnah (mustahab) seperti shalat sunnah. Ada juga yang mengandung maslahat bagi orang banyak dan jika tidak dikerjakan oleh semua, maka cukup sebagian yang mengerjakannya seperti dalam shalat jenazah.

Jadi kita dapat membagi maslahat menjadi:
1. Maslahat yang dijalankan dalam masyarakat oleh sebagian orang.
2. Maslahat yang dituntunkan untuk dikerjakan oleh setiap individu muslim.

Begitu juga kita dapat membagi maslahat menjadi:
1. Maslahat yang wajib, yaitu mendapati hukuman bagi orang yang meninggalkannya.

2. Maslahat yang sunnah, yaitu tidak dampai mendapati hukuman bagi orang yang meninggalkannya.

Mafsadat (bahaya) juga ada yang haram dan ada yang makruh. Yang haram semisal melanggar harta dan darah muslim yang lain, maka jika melakukannya akan mendapatkan dosa. Mafsadat seperti ini ada yang berdampak dosa besar, ada pula yang dosa kecil. Adapun mafsadat yang makruh tidak berdampak dosa bagi yang melanggarnya, bahkan bisa memperoleh pahala jika ditinggalkan.

Pembahasan Berbagai Maslahat

Ada pula tinjauan pembagian maslahat dari sisi lain. Para ulama juga membagi maslahat menjadi tiga macam:
1. Maslahat mu’tabaroh, yaitu maslahat yang dianggap sebagai maslahat oleh syari’at baik ditetapkan oleh dalil Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ maupun qiyas. Contohnya adalah dalam masalah qishash dan jilbab yang telah disebutkan di atas.

2. Maslahat mulghoh, yaitu maslahat yang bertentangan dengan syari’at. Contohnya dalam masalah ini, siapa yang bersumpah lalu ia melanggar sumpahnya, maka ia punya kewajiban untuk menunaikan kafaroh sumpah. Kafarohnya adalah memberi makan kepada sepuluh orang miskin atau memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin atau memerdekakan satu orang budak. Jika tidak mampu melakukan ketiga hal tersebut, barulah menunaikan pilihan berpuasa selama tiga hari. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam surat Al Maidah ayat 89. Namun ada yang melanggar sumpahnya dan belum melakukan tiga pilihan pertama dari kafaroh tadi, malah sudah melangkah ke pilihan kedua, yaitu melakukan puasa selama tiga hari. Puasa itu baik, namun bertentangan dengan aturan syari’at yang telah disebutkan. Ini yang namanya maslahat mulghoh atau maslahat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan yang dianggap baik di sini sebenarnya mafsadat.

Contoh lainnya lagi adalah dalam masalah shalat Jum’at. Di sebagian negeri kafir sangatlah sulit menunaikan shalat Jum’at pada hari Jum’at karena hari Jum’at bukanlah waktu libur. Beda halnya dengan di negara Islam yang memberikan waktu libur pada hari Jum’at. Lalu sebagian orang memberikan solusi, shalat Jum’at sebaiknya dipindahkan saja ke hari Minggu karena hari tersebut adalah hari libur. Mereka anggap, seperti itu adalah maslahat. Namun sebenarnya pemikiran tersebut bertentangan dengan ajaran Islam dan teranggap sebagai maslahat yang mulghoh yang tertolak (tidak teranggap).

3. Maslahat mursalah, yaitu maslahat yang tidak memiliki dalil, namun tidak bertentangan (ditiadakan) oleh syari’at dan tidak pula dianggap. Mengenai maslahat yang satu ini, para ulama berselisih pendapat apakah bisa dijadikan hujjah (alasan kuat) ataukah tidak. Sebagian ulama ada yang menolaknya sebagai hujjah. Di antara yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan bahwa semua maslahat pasti teranggap oleh syari’at. Jika ada yang menganggapnya sebagai maslahat mursalah, maka hal itu tidak lepas dari dua keadaan:

a. Sebenarnya maslahat tersebut adalah mafsadat (mengandung bahaya).
b. Sebenarnya ada dalil yang menunjukkan hal yang dimaksud sebagai maslahat, namun mungkin tidak diketahui oleh sebagian mereka.

Pendapat yang dianut oleh Ibnu Taimiyah adalah pendapat yang kuat. Karena jika kita menetapkan seperti ini berarti kita menganggap syari’at Islam benar-benar sempurna sehingga bisa menjadi dalil dan bisa sebagai jawaban dari segala permasalahan, serta tidak diperlukan qiyas kecuali dalam sedikit masalah yang tidak ditemukan dalil untuk menjawab permasalah tersebut.

Jika Tidak Diketahui Adanya Maslahat

Para ulama juga menjelaskan bahwa maslahat dalam hukum dibagi menjadi dua yaitu maslahat ma’lumah (yang diketahui) dan maslahat majhulah (yang tidak diketahui).

Maslahat majhulah berarti kita dapat pastikan dalam hukum syari’at ada maslahat tetapi kita tidak mengetahui seperti apa bentuk maslahat tersebut. Seperti memakan daging unta bisa membatalkan wudhu. Dalilnya adalah hadist dari Jabir bin Samuroh,
“Ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Apakah aku mesti berwudhu setelah memakan daging kambing?” Beliau bersabda, “Jika engkau mau, berwudhulah. Namun jika enggan, maka tidak mengapa engkau tidak berwudhu.” Orang tadi bertanya lagi, “ Apakah seseorang mesti berwudhu setelah memakan daging unta?” Beliau bersabda, “Iya, engkau harus berwudhu setelah memakan daging unta.” (HR. Muslim no. 360). Kita tidak mengetahui apa maslahat perintah wudhu setelah memakan daging unta. Namun kita tidak bisa meninggalkan hukum tersebut karena tidak mengetahui hikmahnya. Ini yang patut dicatat.

Sedangkan maslahat ma’lumah adalah suatu maslahat yang diketahui. Seperti dalam pensyari’atan nikah. Dalam nikah ada maslahat untuk menghasilkan keturunan yang sholeh dan bertambah tenang karena selalu bersama pasangan hidup. Begitu pula dengan adanya keturunan yang sholeh, pahala bagi kedua orang tua akan terus mengalir sebagaimana disebutkan dalam hadits,
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631). Ini adalah maslahat yang jelas kita ketahui.

Selengkapnya di Rumaysho.com

No comments:

Post a Comment