"Krisis lingkungan saat ini telah mencengkeram planet kita! Merupakan kewajaran karena konsumsi manusia yang berlebihan terhadap sumber daya alam. Degradasi tinggi, hilangnya habitat dan spesies, yang mengorbankan ekosistem adalah demi mempertahankan kualitas hidup bagi miliaran orang di seluruh dunia, "kata Corey Bradshaw, pemimpin sebuah studi baru di Institut teknologi lingkungan di Adelaide, Australia. Mari kita simak hasil penelitian mereka pada tahun 2010.
Peringkat #10, PERU
Negara Amerika Selatan ini menempati peringkat ke-sepuluh dari seluruh negara pencipta dampak negatif terhadap lingkungan di dunia. Dari 179 negara, Peru menempati peringkat ke-dua untuk penangkapan liar di laut dan peringkat ke-tujuh untuk penangkapan ilegal spesies yang terancam punah. Penangkapan yang berlebihan dan perdagangan spesies terlarang menjadi penyebab utamanya.
Peringkat #9, AUSTRALIA
Sekitar 11.5 % dari total lahan tanah di Australia kini telah dilindungi oleh pemerintah, lahan ini adalah tempat tumbuhnya banyak pepohonan. Meskipun bertempat di padang pasir gersang, lahan ini dilindungi pemerintah demi mengendalikan tingkat konversi lahan yang mulai tak terkendali. Australia menempati peringkat ke-tujuh terburuk dalam hal penggunaan lahan menjadi tempat tinggal, peringkat ke-sembilan untuk penggunaan pupuk, dan ke-sepuluh untuk kehilangan hutan alam.
Peringkat #8, RUSIA
Hanya kurang dari separuh penduduk Rusia yang memiliki akses air minum aman. Limbah kota dan kontaminasi nuklir menambah masalah besar pada sumber air utama. Rusia di posisi ke-empat untuk pencemaran air terburuk. Peringkat ke-lima terburuk pada kualitas udara emisi CO2–kualitas udara sama buruknya dengan kualitas air. Ada lebih dari 200 kota yang sering melebihi batas polusi Rusia. Peringkat ke-tujuh untuk penangkapan liar di laut.
Peringkat #7, INDIA
India berada pada peringkat ke-tiga dunia untuk pencemaran air. Hal ini terjadi sebagai dampak meningkatnya persaingan air di berbagai sektor, termasuk pertanian, industri, domestik, minum, pembangkit energi dan lain-lain. Persaingan ini menyebabkan sumber daya alam berharga menjadi cepat habis. Polusi air pada negara ini juga menyebabkan penghancuran habitat satwa liar yang hidup di perairan. India menempati peringkatke-delapan untuk tiga bidang: spesies terancam, penangkapan liar di laut dan emisi CO2.
Peringkat #6, MEXICO
Meksiko memiliki lebih banyak spesies tanaman dan hewan dari hampir semua negara lain: 450 mamalia (Brasil, yang lebih dari dua kali ukuran Meksiko hanya memiliki 394 mamalia); sekitar 1000 burung, 693 reptil, 285 amfibi, dan lebih dari 2000 ikan. Pada pertengahan 1990-an, banyak spesies yang diketahui sudah terancam: 64 mamalia, 36 burung, 18 reptil, 3 amfibi, dan sekitar 85 ikan. Meksiko tidak bergabung dengan Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Langka (CITES), perjanjian internasional utama untuk menghentikan perdagangan flora fauna terancam dan hampir punah , yang berlaku sejak tahun 1975 hingga tahun 1991. Hal ini menjadikan Mexico menempati peringkat pertama untuk spesies terancam. Juga peringkat ke-sembilan pada tingkat kehilangan hutan alam paling banyak di dunia.
Peringkat #5, JEPANG
Jepang menempati peringkat ke-empat untuk penangkapan ikan di laut. Pada tahun 2004, jumlah tuna sirip biru Atlantik dewasa yang berada pada umur pemijahan telah turun menjadi sekitar 19 % dibandingkan pada 1975, yang memiliki seperempat dari pasokan dunia dari lima besar spesies ikan tuna: sirip biru, sirip biru selatan, bigeye, madidihang dan Albacore. Setelah moratorium penangkapan ikan paus komersial pada 1986, pemerintah Jepang mulai lagi dengan "penangkapan ikan paus untuk tujuan penelitian" pada tahun berikutnya, penelitian ini didokumentasikan dengan berakhirnya daging ikan paus tersebut di piring-piring sashimi. Jepang menempati peringkat ke-lima untuk konversi habitat alam dan pencemaran air, dan ke-enam untuk emisi CO2.
Peringkat #4, INDONESIA
Menurut Global Forest Watch, Indonesia adalah wilayah padat hutan pada 1950, namun 40 % dari hutan yang ada pada 1950 tersebut telah hilang hanya dalam waktu 50 tahun berikutnya. Jika dibulatkan, Hutan hujan tropis di Imdonesia jumlahnya jatuh dari 162 juta ha menjadi hanya 98 juta ha saja . Untuk ini, Indonesia menempati peringkat ke-dua di hilangnya hutan alam, efek ini menyebabkan indonesia menempati peringkat ke-tiga tempat untuk spesies terancam. Indonesia menempati peringkat ke-tiga untuk emisi CO2, ke-enam untuk penangkapan di laut, ke-enam untuk penggunaan pupuk, dan ke-tujuh untuk pencemaran air.
Peringkat #3, CHINA
Perairan pesisir Cina semakin tercemar oleh segala sesuatu mulai dari minyak, pestisida, dan air limbah. Pencemaran ini membantu Cina mendapatkan peringkat pertama untuk pencemaran air di dunia. Di Cina, 20 juta orang tidak memiliki akses terhadap air minum bersih; lebih dari 70 persen dari danau dan sungai tercemar, dan insiden polusi besar terjadi di dekat rumah-rumah. Organisasi Kesehatan Dunia baru-baru ini memperkirakan bahwa hampir 100 ribu orang meninggal setiap tahunnya karena penyakit yang bersumber dari polusi air.
Di China, kepentingan pembangunan ekonomi selalu lebih dimenangkan atas usaha penjagaan dan perlindungan lingkungan.
Peringkat #2, USA
Meskipun Amerika menempati peringkat 211 terbaik untuk konversi tempat tinggal dan menghormati alam, namun banyak perilaku buruknya yang melampaui negara-negara lain. Dalam hal ini Amerika adalah pengguna terbesar dalam penggunaan pupuk dan nitrogen, fosfor dan potassium (NPK). Penggunaan pupuk yang berlebihan mengakibatkan pencemaran bahan kimia ke dalam air tanah, bahkan mengubah atau menghancurkan habitat alam. Amerika Serikat juga berada pada peringkat pertama untuk emisi CO2, peringkat ke-dua sebagai tempat polusi air, tempat ke-tiga untuk penangkapan ikan di laut, dan ke-sembilan tempat untuk spesies terancam.
Peringkat #1, BRAZIL
Dari semua tujuh kategori yang dipertimbangkan untuk hasil penelitian ini, Brasil berada dalam semua peringkat sepuluh besar dalam kategori penyumbang kerusakan terbesar di bumi, kecuali penangkapan ikan di laut.
Peringkat pertama untuk kehilangan hutan alam, tempat ke-tiga untuk menggunakan pupuk, posisi ke-empat untuk spesies terancam, posisi ke-empat untuk emisi CO2, dan tempat ke-delapan untuk polusi air . Untuk apakah perusakan lingkungan yang luar biasa ini ditujukan? Sebagian besar kerusakan hutan di Brasil terkait erat dengan hutan hujan Amazon yang luas (digambarkan di atas) pembukaan lahan untuk pastureland oleh kepentingan komersial dan spekulatif, kebijakan pemerintah yang salah arah, tidak sesuai proyek Bank Dunia. Ditambah eksploitasi komersial sumber daya hutan menjadi lahan Kedelai dan tanaman kakao dan peternakan.
Bertambahnya populasi manusia di Brazil (saat ini diperkirakan hampir 7 miliar dan diproyeksikan akan mencapai 9-10 milyar pada tahun 2050), kualitas hidup manusia akan menurun secara substansial dalam waktu dekat. Meningkatnya kompetisi untuk sumber daya akan menyebabkan perselisihan dan perang sipil akan lebih sering. Lanjutan degradasi lingkungan ini menuntut negara-negara lain di dunia untuk membantu Brazil dalam konservasi dan restorasi lingkungan.
Bagaimana nasib kita 30 atau 50 tahun mendatang? Mari kita untuk menjaga lingkungan kita, dengan:
-> Gunakan file digital di kantor daripada banyak membuang kertas
-> Naik Sepeda ke kantor
-> Menanam 1 Pohon
-> Mengurangi penggunaan kendaraan BBM
-> Hemat dalam penggunaan listrik, sebisa mungkin gunakan alat elektronik secara bergantian.
sumber : wowpocong.info
"Dan Kami Turunkan Air dari Langit menurut Suatu UKURAN"
Hujan dan Musibah Banjir
“Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu UKURAN; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya”. (QS. Al Mukminun[23] :18)
Allah Ta’alaa sebagai Dzat Pengatur alam semesta dan Pemberi rizki kepada penghuninya sesungguhnya menurunkan hujan dengan ukuran. Al Imam Al Suyuthi dalam kitab tafsir al-Jalalain memberikan tafsiran “dengan ukuran” yaitu dengan ukuran yang sesuai dengan kecukupan dan dan kemaslahatan (penghuni alam semesta). Allah Yang Maha Tahu berapa debit air yang diperlukan oleh penduduk bumi baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan dan sebanyak kebutuhan itulah yang Allah curahkan. Jadi hujan adalah benar-benar rahmat Allah bagi hamba-Nya dan bukan penyebab utama musibah banjir yang berkepanjangan.
Maka disini kita bisa mulai melacak akar permasalahan musibah banjir dari dalam lingkungan sosial kita :
1. Pembangunan infrastruktur sosial yang tidak ramah lingkungan.
2. Penutupan dan pengalih fungsi situ-situ resapan air untuk mall dan bangunan-bangunan mengakibatkan tidak terserapnya air hujan atau sebaliknya terjadi genangan banjir.
3. Kesadaran rendah terhadap arti kebersihan bagi sebuah lingkungan sosial yang sehat. Pembuangan sampah di sembarang tempat menjadi penyebab utama tersendatnya aliran air limbah maupun air hujan ke tempat semestinya.
4. Salah urus sistem pengaturan air yang mestinya membawa kemaslahatan ini diperparah oleh kenekatan penduduk yang beramai-ramai tinggal di kawasan bantaran sungai.
5. Penebangan dan bahkan penggundulan hutan yang membabi-buta untuk tujuan-tujuan ekonomis sesaat. Sehingga salah satu fungsi hutan sebagai tempat resapan airpun menjadi hilang.
Maka melihat hal-hal di atas musibah banjir adalah human and social error, kesalahan manusia dan kesalahan sosial, kesalahan lingkungan sosial yang tidak akrab dengan ekosistem dan bukan “God Error.” Curah hujan tetaplah sebagai rahmat Allah untuk alam semesta. Sayang penghuni alam semesta ini (utamanya manusia) menolaknya dengan berbagai cara.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. Ar Rum [30] : 41)
Sebuah Solusi
Menarik sekali kita mencermati penghujung ayat di atas “agar mereka kembali”. Potongan ayat ini mengisyaratkan harus adanya solusi sosial atas musibah yang menimpa masyarakat (dalam hal ini musibah banjir). Menjalani kehidupan sosial yang sadar etika lingkungan alam dan lingkungan sosial serta pandai memahami ayat-ayat kauniyah (ayat-ayat Allah) yang berlaku atas alam semesta ini sebagai wujud kembali kepada kebenaran Allah Ta’alaa.
Perilaku sosial yang merusak harus dihentikan, siapapun pelakunya. Sikap acuh terhadap perilaku, menyimpang ini hanya akan menebar bencana demi bencana yang mungkin akan menjadi sejumlah lingkaran setan persoalan sosial yang tidak teratasi.
Ustadz Muzayin Abdul Wahab
http://islampos.com/musibah-banjir-dan-rahmat-hujan-39022/
“Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu UKURAN; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya”. (QS. Al Mukminun[23] :18)
Allah Ta’alaa sebagai Dzat Pengatur alam semesta dan Pemberi rizki kepada penghuninya sesungguhnya menurunkan hujan dengan ukuran. Al Imam Al Suyuthi dalam kitab tafsir al-Jalalain memberikan tafsiran “dengan ukuran” yaitu dengan ukuran yang sesuai dengan kecukupan dan dan kemaslahatan (penghuni alam semesta). Allah Yang Maha Tahu berapa debit air yang diperlukan oleh penduduk bumi baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan dan sebanyak kebutuhan itulah yang Allah curahkan. Jadi hujan adalah benar-benar rahmat Allah bagi hamba-Nya dan bukan penyebab utama musibah banjir yang berkepanjangan.
Maka disini kita bisa mulai melacak akar permasalahan musibah banjir dari dalam lingkungan sosial kita :
1. Pembangunan infrastruktur sosial yang tidak ramah lingkungan.
2. Penutupan dan pengalih fungsi situ-situ resapan air untuk mall dan bangunan-bangunan mengakibatkan tidak terserapnya air hujan atau sebaliknya terjadi genangan banjir.
3. Kesadaran rendah terhadap arti kebersihan bagi sebuah lingkungan sosial yang sehat. Pembuangan sampah di sembarang tempat menjadi penyebab utama tersendatnya aliran air limbah maupun air hujan ke tempat semestinya.
4. Salah urus sistem pengaturan air yang mestinya membawa kemaslahatan ini diperparah oleh kenekatan penduduk yang beramai-ramai tinggal di kawasan bantaran sungai.
5. Penebangan dan bahkan penggundulan hutan yang membabi-buta untuk tujuan-tujuan ekonomis sesaat. Sehingga salah satu fungsi hutan sebagai tempat resapan airpun menjadi hilang.
Maka melihat hal-hal di atas musibah banjir adalah human and social error, kesalahan manusia dan kesalahan sosial, kesalahan lingkungan sosial yang tidak akrab dengan ekosistem dan bukan “God Error.” Curah hujan tetaplah sebagai rahmat Allah untuk alam semesta. Sayang penghuni alam semesta ini (utamanya manusia) menolaknya dengan berbagai cara.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. Ar Rum [30] : 41)
Sebuah Solusi
Menarik sekali kita mencermati penghujung ayat di atas “agar mereka kembali”. Potongan ayat ini mengisyaratkan harus adanya solusi sosial atas musibah yang menimpa masyarakat (dalam hal ini musibah banjir). Menjalani kehidupan sosial yang sadar etika lingkungan alam dan lingkungan sosial serta pandai memahami ayat-ayat kauniyah (ayat-ayat Allah) yang berlaku atas alam semesta ini sebagai wujud kembali kepada kebenaran Allah Ta’alaa.
Perilaku sosial yang merusak harus dihentikan, siapapun pelakunya. Sikap acuh terhadap perilaku, menyimpang ini hanya akan menebar bencana demi bencana yang mungkin akan menjadi sejumlah lingkaran setan persoalan sosial yang tidak teratasi.
Ustadz Muzayin Abdul Wahab
http://islampos.com/musibah-banjir-dan-rahmat-hujan-39022/
Musibah Banjir dalam Pandangan Islam
Banjir yang menerjang beberapa daerah di negeri ini semestinya melecut diri kita sejenak untuk merenungi ihwal relasi dengan alam sekitar.
Betul, bahwa banjir merupakan fenomena alam yang sering terjadi ketika musim hujan tiba. Namun, tak salah kiranya jika kita terus berupaya meminimalisasi dengan segala daya upaya guna meredamnya, karena kita adalah manusia berpikir.
Manusia yang terus mencoba memikirkan ulang tentang bentuk relasi dengan alam sekitar. Dalam ajaran agama Islam, itu merupakan pertanda berfungsinya sisi kemanusiaan sekaligus keilahian dalam diri.
Di dalam Al Quran, banjir pernah menelan korban jiwa kaum ‘Ad, negeri Saba’ dan kaumnya Nabi Nuh. Peristiwa ini dapat kita telaah dalam beberapa ayat di antaranya Surah Hud ayat 32-49, Surah al-A’raf ayat 65-72, dan Surah Saba ayat 15-16. Secara teologis, awal timbulnya banjir tersebut karena pembangkangan umat manusia pada ajaran Tuhan yang coba disampaikan para nabi. Namun, secara ekologis, bencana tersebut bisa diakibatkan ketidakseimbangan dan disorientasi manusia ketika memperlakukan alam sekitar.
Betul juga apa yang terkandung dalam Al Quran, “Bukanlah Kami yang menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, (disebabkan) citra (kondisi) lingkungan mereka tidak mampu menolong di saat banjir, bahkan mereka semakin terpuruk dalam kehancuran”. (Q.S. Hud: 101).
Islam tentu saja mengemban misi suci dalam setiap gerakannya. Semua lini kehidupan mesti mendapat perhatian dari aktivis dakwah Islam agar mendapatkan keberkahan dari-Nya (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Tak terkecuali dengan lingkungan hidup sekitar kita.
Hewan, alam, dan manusia merupakan “trias kehidupan” yang mesti melandasi relasi hidup dengan penghargaan. Bukankah, ketika kita sakit, sang dokter akan memberikan resep obat yang terbuat dari bahan-bahan yang dihasilkan alam? Doktrin Islam pun mengajarkan, hidup tak boleh dihiasi dengan laku eksploitatif dan merusak (wa laa tufsidu fi al-ardh). Termasuk ketika kita berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Selokan, seharusnya tak dipenuhi sampah yang menggunung, pembangunan gedung atau perumahan mesti menggunakan analisis dampak lingkungan (amdal), dan kawasan yang rawan bencana mestinya dilindungi oleh pemangku jabatan.
Hukum sebab akibat ternyata tak dipatri dalam jiwa umat manusia. Ada saluran mampat dengan sampah menumpuk, tentunya akan berakibat pada meluapnya aliran pada saluran air itu. Namun, hal ini tak membuat jera umat manusia membuang sampah ke sungai, sehingga yang terjadi adalah terulangnya banjir di sejumlah daerah. Banjir lebih banyak diinisiasi oleh perilaku tak terpuji dengan merusak keseimbangan ekosistem sekitar. Oleh karena itulah, eksistensi penyeru (dai) ramah lingkungan di tengah bencana alam yang kerap terjadi di musim hujan ini, merupakan keniscayaan tak nisbi.
Makna kata ayaatina (ayat-ayat Kami) dalam Al Quran tak hanya memiliki arti ayat-ayat tertulis, tetapi lebih luas lagi, yakni meliputi ayat-ayat yang yang menghampar di lingkungan sekitar. Banjir yang disebutkan dalam Al Quran, meskipun tak menyebutkan secara spesifik penyebab ekologis terjadinya banjir, itu bukan berarti Islam menghalalkan perusakan lingkungan hidup. Justru ketika tidak disebutkan secara spesifik, mengindikasikan umat manusia dapat melakukan penafsiran yang bersifat ekologis. Dalam pendekatan ini, banjir tak sekadar dipahami sebagai musibah atau azab dari Tuhan, melainkan juga gejala kesakitan ekologis yang diakibatkan manusia tak mengikuti hukum Tuhan.
Ingat, Dia (Allah) menciptakan bumi beserta kehidupan dalam sebuah keteraturan (ekuilibrium). Oleh karena itu, ketika manusia merusak keteraturan tersebut, efek samping akan berubah menjadi musibah. Dan, sudah dapat dipastikan apabila musibah tersebut berasal dari ulah manusia yang eksploitatif terhadap alam sekitar, tepat rasanya kalau disebut sebagai azab. Namun, bagaimana dengan kebijakan pemerintah yang tak bisa menyediakan pengelolaan lingkungan? Siapakah yang akan menanggung dosanya? Warga korban banjir ataukah sang pemimpin?
Tentunya, banjir yang terjadi adalah dosa bagi orang yang menjabat sebagai pejabat tertentu. Mereka tidak menyediakan ruang untuk membuang sampah. Baiknya kita renungkan ayat qauliyah berikut, “Mereka mendustakan Allah, maka Kami selamatkan nabi Nuh dan pengikutnya dengan naik kapal dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustai ayat-ayat Kami, sesungguhnya mereka adalah komunitas yang buta.” (Q.S. Al-A’raf: 64).
Pada surat yang lain, Allah berfirman, “Dan tatkala datang adzab Kami, Kami selamatkan Hud dan orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami; dan Kami selamatkan (pula) mereka (di akhirat) dari `adzab yang berat. (Q.S. Hud: 58). Termasuk pada golongan manakah kita? Mudah-mudahan termasuk pada golongan umat manusia yang sadar, bahwa membina relasi harmonis dengan alam sekitar merupakan misi suci dalam Islam.
Wallahua’lam
Betul, bahwa banjir merupakan fenomena alam yang sering terjadi ketika musim hujan tiba. Namun, tak salah kiranya jika kita terus berupaya meminimalisasi dengan segala daya upaya guna meredamnya, karena kita adalah manusia berpikir.
Manusia yang terus mencoba memikirkan ulang tentang bentuk relasi dengan alam sekitar. Dalam ajaran agama Islam, itu merupakan pertanda berfungsinya sisi kemanusiaan sekaligus keilahian dalam diri.
Di dalam Al Quran, banjir pernah menelan korban jiwa kaum ‘Ad, negeri Saba’ dan kaumnya Nabi Nuh. Peristiwa ini dapat kita telaah dalam beberapa ayat di antaranya Surah Hud ayat 32-49, Surah al-A’raf ayat 65-72, dan Surah Saba ayat 15-16. Secara teologis, awal timbulnya banjir tersebut karena pembangkangan umat manusia pada ajaran Tuhan yang coba disampaikan para nabi. Namun, secara ekologis, bencana tersebut bisa diakibatkan ketidakseimbangan dan disorientasi manusia ketika memperlakukan alam sekitar.
Betul juga apa yang terkandung dalam Al Quran, “Bukanlah Kami yang menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, (disebabkan) citra (kondisi) lingkungan mereka tidak mampu menolong di saat banjir, bahkan mereka semakin terpuruk dalam kehancuran”. (Q.S. Hud: 101).
Islam tentu saja mengemban misi suci dalam setiap gerakannya. Semua lini kehidupan mesti mendapat perhatian dari aktivis dakwah Islam agar mendapatkan keberkahan dari-Nya (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Tak terkecuali dengan lingkungan hidup sekitar kita.
Hewan, alam, dan manusia merupakan “trias kehidupan” yang mesti melandasi relasi hidup dengan penghargaan. Bukankah, ketika kita sakit, sang dokter akan memberikan resep obat yang terbuat dari bahan-bahan yang dihasilkan alam? Doktrin Islam pun mengajarkan, hidup tak boleh dihiasi dengan laku eksploitatif dan merusak (wa laa tufsidu fi al-ardh). Termasuk ketika kita berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Selokan, seharusnya tak dipenuhi sampah yang menggunung, pembangunan gedung atau perumahan mesti menggunakan analisis dampak lingkungan (amdal), dan kawasan yang rawan bencana mestinya dilindungi oleh pemangku jabatan.
Hukum sebab akibat ternyata tak dipatri dalam jiwa umat manusia. Ada saluran mampat dengan sampah menumpuk, tentunya akan berakibat pada meluapnya aliran pada saluran air itu. Namun, hal ini tak membuat jera umat manusia membuang sampah ke sungai, sehingga yang terjadi adalah terulangnya banjir di sejumlah daerah. Banjir lebih banyak diinisiasi oleh perilaku tak terpuji dengan merusak keseimbangan ekosistem sekitar. Oleh karena itulah, eksistensi penyeru (dai) ramah lingkungan di tengah bencana alam yang kerap terjadi di musim hujan ini, merupakan keniscayaan tak nisbi.
Makna kata ayaatina (ayat-ayat Kami) dalam Al Quran tak hanya memiliki arti ayat-ayat tertulis, tetapi lebih luas lagi, yakni meliputi ayat-ayat yang yang menghampar di lingkungan sekitar. Banjir yang disebutkan dalam Al Quran, meskipun tak menyebutkan secara spesifik penyebab ekologis terjadinya banjir, itu bukan berarti Islam menghalalkan perusakan lingkungan hidup. Justru ketika tidak disebutkan secara spesifik, mengindikasikan umat manusia dapat melakukan penafsiran yang bersifat ekologis. Dalam pendekatan ini, banjir tak sekadar dipahami sebagai musibah atau azab dari Tuhan, melainkan juga gejala kesakitan ekologis yang diakibatkan manusia tak mengikuti hukum Tuhan.
Ingat, Dia (Allah) menciptakan bumi beserta kehidupan dalam sebuah keteraturan (ekuilibrium). Oleh karena itu, ketika manusia merusak keteraturan tersebut, efek samping akan berubah menjadi musibah. Dan, sudah dapat dipastikan apabila musibah tersebut berasal dari ulah manusia yang eksploitatif terhadap alam sekitar, tepat rasanya kalau disebut sebagai azab. Namun, bagaimana dengan kebijakan pemerintah yang tak bisa menyediakan pengelolaan lingkungan? Siapakah yang akan menanggung dosanya? Warga korban banjir ataukah sang pemimpin?
Tentunya, banjir yang terjadi adalah dosa bagi orang yang menjabat sebagai pejabat tertentu. Mereka tidak menyediakan ruang untuk membuang sampah. Baiknya kita renungkan ayat qauliyah berikut, “Mereka mendustakan Allah, maka Kami selamatkan nabi Nuh dan pengikutnya dengan naik kapal dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustai ayat-ayat Kami, sesungguhnya mereka adalah komunitas yang buta.” (Q.S. Al-A’raf: 64).
Pada surat yang lain, Allah berfirman, “Dan tatkala datang adzab Kami, Kami selamatkan Hud dan orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami; dan Kami selamatkan (pula) mereka (di akhirat) dari `adzab yang berat. (Q.S. Hud: 58). Termasuk pada golongan manakah kita? Mudah-mudahan termasuk pada golongan umat manusia yang sadar, bahwa membina relasi harmonis dengan alam sekitar merupakan misi suci dalam Islam.
Wallahua’lam
A to Z
A : Accept
Terimalah Diri Anda sebagaimana adanya.
B : Believe
Percayalah terhadap Kemampuan Anda untuk meraih apa yang Anda inginkan dalam Hidup.
C : Care
Pedulilah pada Kemampuan Anda meraih apa yang Anda inginkan dalam Hidup.
D : Direct
Arahkan pikiran pada hal-hal Positif yang meningkatkan Kepercayaan Diri.
E : Earn
Terimalah Penghargaan yang diberi orang lain dengan tetap berusaha menjadi yang Terbaik.
F : Face
Hadapi masalah dengan Benar dan Yakin.
G : Go
Berangkatlah dari Kebenaran.
H : Homework
Pekerjaan Rumah adalah langkah penting untuk Pengumpulan Informasi.
I : Ignore
Abaikan celaan orang yang menghalangi jalan Anda mencapai Tujuan.
J : Jealously
Rasa Iri dapat membuat Anda tidak menghargai kelebihan Anda sendiri, jadi hindarilah.
K : Keep
Terus Berusaha walaupun beberapa kali Gagal.
L : Learn
Belajar dari Kesalahan dan Berusaha untuk tidak mengulanginya.
M : Mind
Perhatikan Urusan sendiri dan Tidak menyebar Gossip tentang orang lain.
N : Never
Jangan pernah Putus Asa.
O : Observe
Amatilah segala hal di sekeliling Anda. Perhatikan, Dengarkan, dan Belajar dari Orang lain.
P : Patience
Sabar adalah Kekuatan tak ternilai yang membuat Anda terus Berusaha.
Q : Question
Pertanyaan perlu untuk mencari Jawaban yang Benar dan menambah Ilmu.
R : Respect
Hargai Diri sendiri dan juga Orang lain.
S : Self Confidence, Self Esteem, Self Respect
Percaya diri, Harga diri, Citra diri, Penghormatan diri membebaskan kita dari saat-saat tegang.
T : Take
Bertanggung jawab pada setiap Tindakan Anda.
U : Understand
Pahami bahwa Hidup itu selalu ada Potensi untuk naik
V : Value
Nilai Diri sendiri dan orang lain, Berusahalah melakukan yang Terbaik.
W : Work
Bekerja dengan Giat, Jangan lupa Berdoa.
X : X'tra
Usaha lebih Keras membawa Keberhasilan.
Y : You
Anda dapat membuat suatu yang berbeda.
Z : Zero
Selalu Ingat, Usaha Nol membawa hasil Nol pula.
Otak Kiri Vs Otak Kanan
Ibadah cara otak kiri :
~ Kaya dulu baru sedekah, baru umrah.
~ Mapan dulu, baru menikah, baru punya anak.
... ~ Cukup dulu, baru berbakti kepada orang tua.
~ Dapat nikmat dulu, baru bersyukur, baru khusnudzon
~ Punya kebebasan waktu dulu, baru shalat dhuha, baru shalat tahajjut.
~ Merasa berdosa dulu baru shalat taubat, baru istighfar
~ Selesai shalat dulu, baru dzikir.
~ Dzikir dengan hitung2an khusus.
Sepintas ini nampak masuk akal.
Padahal otak kanan dan agama malah mengajarkan kebalikannya :
~ Sedekah dulu, baru rejekinya bisa berlimpah
~ Menikah dulu, baru rejekinya bisa berlebih
~ Bersyukur, khusnudzon, istighfar dan dzikir itu mesti diamalkan kapanpun, dimanapun, dan tidak harus ada sebab2 khusus, juga tidak harus ada hitungan2 khusus( boleh sih boleh tapi taidak harus)
~ Tidak percaya..? coba aja sendiri.
~ Memang, otak kiri dan otak kanan senantiasa bekerja beriringan dan saling mendukung.
Apalagi terkait ibadah, otak kiri sangat berperan untuk keteraturan dan penghafalan. Apa yg disesalkan disini adalah pola pikir kiri yg berlebihan terutama soal rasionalistis.
Sumber : Mega Best Seller 7 Keajaiban Rezeki.
~ Kaya dulu baru sedekah, baru umrah.
~ Mapan dulu, baru menikah, baru punya anak.
... ~ Cukup dulu, baru berbakti kepada orang tua.
~ Dapat nikmat dulu, baru bersyukur, baru khusnudzon
~ Punya kebebasan waktu dulu, baru shalat dhuha, baru shalat tahajjut.
~ Merasa berdosa dulu baru shalat taubat, baru istighfar
~ Selesai shalat dulu, baru dzikir.
~ Dzikir dengan hitung2an khusus.
Sepintas ini nampak masuk akal.
Padahal otak kanan dan agama malah mengajarkan kebalikannya :
~ Sedekah dulu, baru rejekinya bisa berlimpah
~ Menikah dulu, baru rejekinya bisa berlebih
~ Bersyukur, khusnudzon, istighfar dan dzikir itu mesti diamalkan kapanpun, dimanapun, dan tidak harus ada sebab2 khusus, juga tidak harus ada hitungan2 khusus( boleh sih boleh tapi taidak harus)
~ Tidak percaya..? coba aja sendiri.
~ Memang, otak kiri dan otak kanan senantiasa bekerja beriringan dan saling mendukung.
Apalagi terkait ibadah, otak kiri sangat berperan untuk keteraturan dan penghafalan. Apa yg disesalkan disini adalah pola pikir kiri yg berlebihan terutama soal rasionalistis.
Sumber : Mega Best Seller 7 Keajaiban Rezeki.
SETUJU?
- Yang Singkat Itu "WAKTU".
- Yang Menipu Itu "DUNIA".
- Yang Dekat Itu "KEMATIAN".
- Yang Besar Itu "HAWA NAFSU".
- Yang Berat Itu "AMANAH"
- Yang Sulit Itu "IKHLAS".
- Yang Mudah Itu "BERBUAT DOSA".
- Yang Susah Itu "SABAR".
- Yang Sering Lupa Itu "BERSYUKUR".
- Yang Membakar Amal Itu "GHIBAH".
- Yang Mendorong Ke Neraka Itu "LIDAH".
- Yang Berharga Itu "IMAN".
- Yang Menenteramkan Hati Itu ''BERDZIKIR".
- Yang Ditunggu Allah Ta'ala Itu "TAUBAT".
Setujuu...?
Andai Hari Ini Aku Dimakamkan
Oleh Remy Soetansyah
1 Mei 2012
Hari ini aku mati,
Perlahan,
Tubuhku ditutup tanah.
Perlahan,
Semua pergi meninggalkanku.
Masih terdengar jelas langkah-langkah terakhir mereka,
Aku sendirian,
Di tempat gelap yang tak pernah terbayang,
Sendiri,
Menunggu pertanyaan malaikat.
Belahan hati,
Belahan jiwa pun pergi.
Apa lagi sekedar kawan dekat atau orang lain.
Aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka.
Sanak keluarga menangis,
Sangat pedih,
Aku pun demikian,
Tak kalah sedih.
Tetapi aku tetap sendiri,
Disini, menunggu perhitungan.
Menyesal sudah tak mungkin.
Tobat tak lagi dianggap,
Dan maaf pun tak bakal didengar,
Aku benar-benar harus sendiri.
Ya Allah…
Jika Engkau beri aku satu lagi kesempatan,
Jika Engkau pinjamkan lagi beberapa hari milikMU,
Untuk aku perbaiki diriku,
Aku ingin memohon maaf pada mereka.
Yang selama ini telah merasakan zalimku,
Yang selama ini sengsara karena aku,
Tersakiti karena aku.
Aku akan kembalikan jika ada harta kotor ini yg telah kukumpulkan,
Yang bahkan kumakan,
Ya Allah beri lagi aku beberapa hari milik-Mu,
Untuk berbakti kepada Ayah dan Ibu tercinta.
Teringat kata-kata kasar dan keras yang menyakitkan hati mereka,
Maafkan aku Ayah dan Ibu, mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayangmu,
Beri juga ya Allah aku waktu untuk berkumpul dengan keluargaku,
Menyenangkan saudara-saudaraku.
Untuk sungguh-sungguh beramal soleh.
Aku sungguh ingin bersujud di hadapan-Mu lebih lama lagi.
Begitu menyesal diri ini.
Kesenangan yang pernah kuraih dulu,
Tak ada artinya sama sekali.
Mengapa kusia-siakan waktu hidup yang hanya sekali itu?
Andai aku bisa putar ulang waktu itu.
Aku dimakamkan hari ini,
Dan ketika semua menjadi tak termaafkan,
Dan ketika semua menjadi terlambat,
Dan ketika aku harus sendiri.
Untuk waktu yang tak terbayangkan sampai yaumul hisab dan dikumpulkan di Padang Mahsyar.
Puisi Almarhum Remy Soetansyah, wartawan senior wafat 30 Oktober 2012
1 Mei 2012
Hari ini aku mati,
Perlahan,
Tubuhku ditutup tanah.
Perlahan,
Semua pergi meninggalkanku.
Masih terdengar jelas langkah-langkah terakhir mereka,
Aku sendirian,
Di tempat gelap yang tak pernah terbayang,
Sendiri,
Menunggu pertanyaan malaikat.
Belahan hati,
Belahan jiwa pun pergi.
Apa lagi sekedar kawan dekat atau orang lain.
Aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka.
Sanak keluarga menangis,
Sangat pedih,
Aku pun demikian,
Tak kalah sedih.
Tetapi aku tetap sendiri,
Disini, menunggu perhitungan.
Menyesal sudah tak mungkin.
Tobat tak lagi dianggap,
Dan maaf pun tak bakal didengar,
Aku benar-benar harus sendiri.
Ya Allah…
Jika Engkau beri aku satu lagi kesempatan,
Jika Engkau pinjamkan lagi beberapa hari milikMU,
Untuk aku perbaiki diriku,
Aku ingin memohon maaf pada mereka.
Yang selama ini telah merasakan zalimku,
Yang selama ini sengsara karena aku,
Tersakiti karena aku.
Aku akan kembalikan jika ada harta kotor ini yg telah kukumpulkan,
Yang bahkan kumakan,
Ya Allah beri lagi aku beberapa hari milik-Mu,
Untuk berbakti kepada Ayah dan Ibu tercinta.
Teringat kata-kata kasar dan keras yang menyakitkan hati mereka,
Maafkan aku Ayah dan Ibu, mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayangmu,
Beri juga ya Allah aku waktu untuk berkumpul dengan keluargaku,
Menyenangkan saudara-saudaraku.
Untuk sungguh-sungguh beramal soleh.
Aku sungguh ingin bersujud di hadapan-Mu lebih lama lagi.
Begitu menyesal diri ini.
Kesenangan yang pernah kuraih dulu,
Tak ada artinya sama sekali.
Mengapa kusia-siakan waktu hidup yang hanya sekali itu?
Andai aku bisa putar ulang waktu itu.
Aku dimakamkan hari ini,
Dan ketika semua menjadi tak termaafkan,
Dan ketika semua menjadi terlambat,
Dan ketika aku harus sendiri.
Untuk waktu yang tak terbayangkan sampai yaumul hisab dan dikumpulkan di Padang Mahsyar.
Puisi Almarhum Remy Soetansyah, wartawan senior wafat 30 Oktober 2012
Pentingnya Sikap Istiqamah
Kecerdasan akal merupakan karunia Allah dan modal untuk meraih tujuan dan cita-cita.
Namun, modal tersebut belum cukup sebab kecerdasan akal harus dilengkapi dengan kecerdasan spiritual dan emosional.
Betapa banyak sahabat di bangku sekolah dasar hingga kuliah yang hebat kemampuan akalnya, namun ketika terjun di masyarakat dilampaui peranan dan kesuksesannya oleh sahabat-sahabat lain yang pada masa pendidikan biasa-biasa saja.
Akal memerlukan pemeliharaan ketajaman dan kecerdasannya. Pemeliharaan tersebut dilakukan oleh jiwa dengan cara menjaga semangat, ketekunan, keteguhan dan komitmen atau di dalam bahasa agama dengan sikap istiqamah.
Jika akal istiqamah dengan tujuannya, maka istiqamahlah seluruh anggota badannya, sebaliknya jika akal bengkok maka hilanglah fokus pada tujuan yang dimaksudkannya.
Islam memandang penting sikap istiqamah setelah seseorang meyakini kebenaran akidah. Allah Ta'ala memerintahkan baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam untuk bersikap istiqamah melalui firman-Nya, "Maka istiqamahlah engkau (Muhammad) di jalan yang benar..." (QS. Huud: 112).
Sikap istiqamah juga dipegang teguh oleh para sahabat dalam mempertahankan keimanan mereka, betapa pun ejekan, intimidasi dan penyiksaan terus menimpa. Lihatlah penyiksaan yang dialami oleh Bilal bin Rabah, namun semua bentuk intimidasi dan penyiksaan tersebut sama sekali tidak menggoyahkan keimanannya.
Kita (kaum muslimin) juga diperintahkan oleh Allah untuk beristiqamah dalam memegang teguh dan menjalankan agama ini dengan disertai memohon ampun kepada-Nya. (QS. Fushilat: 6).
Istiqamah menjadi penting di dalam beragama maupun di semua bidang usaha karena ia merupakan kumpulan dari cabang ibadah dan keimanan serta pembuka bagi jalan yang lurus, Maka Rasulullah pun berwasiat kepada kita semua agar kita senantiasa beristiqamah, "Katakanlah, aku beriman kepada Allah kemudian beristiqamahlah." (HR. Muslim).
Sedemikian pentingnya sikap istiqamah, sehingga tidak ada satu usaha (ikhtiar) yang berujung pada keberhasilan tanpa dilandasi oleh sikap istiqamah. Rasulullah telah memberikan petunjuk mengenai sikap istiqamah melalui sabdanya, "Tidaklah istiqamah iman seseorang sampai hatinya istiqamah. Dan sekali-kali hati seseorang tidak akan istiqamah sampai lisannya dulu istiqamah).”
Adapun keuntungan bagi orang-orang yang istiqamah, maka mereka ini akan senantiasa merasa dekat dengan Allah, tenang hati dan pikirannya, pandai menerima takdir, tidak takut dan khawatir dalam menghadapi segala macam cobaan dan rintangan dalam kehidupan dunianya, selalu optimis dan tidak kenal kata putus asa.
Sebagaimana kabar gembira yang diberikan Allah , "Sesungguhnya orang-orang yang berkata, "Tuhan kami adalah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.”
“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat. Di dalamnya (surga ) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan mendapatkan apa yang kamu minta." (QS. Fushshilat: 30-31). Wallahu a'lam.
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/01/09/mgcdcn-pentingnya-sikap-istiqamah
Namun, modal tersebut belum cukup sebab kecerdasan akal harus dilengkapi dengan kecerdasan spiritual dan emosional.
Betapa banyak sahabat di bangku sekolah dasar hingga kuliah yang hebat kemampuan akalnya, namun ketika terjun di masyarakat dilampaui peranan dan kesuksesannya oleh sahabat-sahabat lain yang pada masa pendidikan biasa-biasa saja.
Akal memerlukan pemeliharaan ketajaman dan kecerdasannya. Pemeliharaan tersebut dilakukan oleh jiwa dengan cara menjaga semangat, ketekunan, keteguhan dan komitmen atau di dalam bahasa agama dengan sikap istiqamah.
Jika akal istiqamah dengan tujuannya, maka istiqamahlah seluruh anggota badannya, sebaliknya jika akal bengkok maka hilanglah fokus pada tujuan yang dimaksudkannya.
Islam memandang penting sikap istiqamah setelah seseorang meyakini kebenaran akidah. Allah Ta'ala memerintahkan baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam untuk bersikap istiqamah melalui firman-Nya, "Maka istiqamahlah engkau (Muhammad) di jalan yang benar..." (QS. Huud: 112).
Sikap istiqamah juga dipegang teguh oleh para sahabat dalam mempertahankan keimanan mereka, betapa pun ejekan, intimidasi dan penyiksaan terus menimpa. Lihatlah penyiksaan yang dialami oleh Bilal bin Rabah, namun semua bentuk intimidasi dan penyiksaan tersebut sama sekali tidak menggoyahkan keimanannya.
Kita (kaum muslimin) juga diperintahkan oleh Allah untuk beristiqamah dalam memegang teguh dan menjalankan agama ini dengan disertai memohon ampun kepada-Nya. (QS. Fushilat: 6).
Istiqamah menjadi penting di dalam beragama maupun di semua bidang usaha karena ia merupakan kumpulan dari cabang ibadah dan keimanan serta pembuka bagi jalan yang lurus, Maka Rasulullah pun berwasiat kepada kita semua agar kita senantiasa beristiqamah, "Katakanlah, aku beriman kepada Allah kemudian beristiqamahlah." (HR. Muslim).
Sedemikian pentingnya sikap istiqamah, sehingga tidak ada satu usaha (ikhtiar) yang berujung pada keberhasilan tanpa dilandasi oleh sikap istiqamah. Rasulullah telah memberikan petunjuk mengenai sikap istiqamah melalui sabdanya, "Tidaklah istiqamah iman seseorang sampai hatinya istiqamah. Dan sekali-kali hati seseorang tidak akan istiqamah sampai lisannya dulu istiqamah).”
Adapun keuntungan bagi orang-orang yang istiqamah, maka mereka ini akan senantiasa merasa dekat dengan Allah, tenang hati dan pikirannya, pandai menerima takdir, tidak takut dan khawatir dalam menghadapi segala macam cobaan dan rintangan dalam kehidupan dunianya, selalu optimis dan tidak kenal kata putus asa.
Sebagaimana kabar gembira yang diberikan Allah , "Sesungguhnya orang-orang yang berkata, "Tuhan kami adalah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.”
“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat. Di dalamnya (surga ) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan mendapatkan apa yang kamu minta." (QS. Fushshilat: 30-31). Wallahu a'lam.
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/01/09/mgcdcn-pentingnya-sikap-istiqamah
Makna dan Pengertian "Islam"
Di antara keistimewaan agama Islam adalah namanya. Berbeda dengan agama lain, nama agama ini bukan berasal dari nama pendirinya atau nama tempat penyebarannya. Tapi, nama Islam menunjukkan sikap dan sifat pemeluknya terhadap Allah.
Yang memberi nama Islam juga bukan seseorang, bukan pula suatu masyarakat, tapi Allah Ta’ala, Pencipta alam semesta dan segala isinya. Jadi, Islam sudah dikenal sejak sebelum kedatangan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam dengan nama yang diberikan Allah.
Islam berasal dari kata salima yuslimu istislaam –artinya tunduk atau patuh– selain yaslamu salaam –yang berarti selamat, sejahtera, atau damai. Menurut bahasa Arab, pecahan kata Islam mengandung pengertian: islamul wajh (ikhlas menyerahkan diri kepada Allah), istislama (tunduk secara total kepada Allah), salaamah atau saliim (suci dan bersih), salaam (selamat sejahtera), dan silmi (tenang dan damai). Semua pengertian itu digunakan Al Quran seperti di ayat-ayat berikut ini.
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. (An-Nisa’: 125)
Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan Hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan. (Ali Imran: 83)
Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (Asy-Syu’araa’: 89)
Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami itu datang kepadamu, Maka Katakanlah: “Salaamun alaikum (Mudah-mudahan Allah melimpahkan kesejahteraan atas kamu).” Tuhanmu Telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-An’am: 54)
Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah pun bersamamu dan dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu. (Muhammad: 35)
Sementara sebagai istilah, Islam memiliki arti: tunduk dan menerima segala perintah dan larangan Allah yang terdapat dalam wahyu yang diturunkan Allah kepada para Nabi dan Rasul yang terhimpun di dalam Alquran dan Sunnah. Manusia yang menerima ajaran Islam disebut muslim. Seorang muslim mengikuti ajaran Islam secara total dan perbuatannya membawa perdamaian dan keselamatan bagi manusia. Dia terikat untuk mengimani, menghayati, dan mengamalkan Alquran dan Sunnah.
Kalimatul Islam (kata Al-Islam) mengandung pengertian dan prinsip-prinsip yang dapat didefinisikan secara terpisah dan bila dipahami secara menyeluruh merupakan pengertian yang utuh.
1. Islam adalah Ketundukan
Allah menciptakan alam semesta, kemudian menetapkan manusia sebagai hambaNya yang paling besar perannya di muka bumi. Manusia berinteraksi dengan sesamanya, dengan alam semesta di sekitarnya, kemudian berusaha mencari jalan untuk kembali kepada Penciptanya. Tatkala salah berinteraksi dengan Allah, kebanyakan manusia beranggapan alam sebagai Tuhannya sehingga mereka menyembah sesuatu dari alam. Ada yang menduga-duga sehingga banyak di antara mereka yang tersesat. Ajaran yang benar adalah ikhlas berserah diri kepada Pencipta alam yang kepada-Nya alam tunduk patuh berserah diri (An-Nisa: 125). Maka, Islam identik dengan ketundukan kepada sunnatullah yang terdapat di alam semesta (tidak tertulis) maupun Kitabullah yang tertulis (Alquran).
2. Islam adalah Wahyu Allah
Dengan kasih sayangnya, Allah menurunkan Ad-Dien (aturan hidup) kepada manusia. Tujuannya agar manusia hidup teratur dan menemukan jalan yang benar menuju Tuhannya. Aturan itu meliputi seluruh bidang kehidupan: politik, hukum, sosial, budaya, dan sebagainya. Dengan demikian, manusia akan tenteram dan damai, hidup rukun, dan bahagia dengan sesamanya dalam naungan ridha Tuhannya (Al-Baqarah: 38).
Karena kebijaksanaan-Nya, Allah tidak menurunkan banyak agama. Dia hanya menurunkan Islam. Agama selain Islam tidak diakui di sisi Allah dan akan merugikan penganutnya di akhirat nanti.
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (Ali Imran: 19)
Islam merupakan satu-satunya agama yang bersandar kepada wahyu Allah secara murni. Artinya, seluruh sumber nilai dari nilai agama ini adalah wahyu yang Allah turunkan kepada para Rasul-Nya terdahulu. Dengan kata lain, setiap Nabi adalah muslim dan mengajak kepada ajaran Islam. Ada pun agama-agama yang lain, seperti Yahudi dan Nasrani, adalah penyimpangan dari ajaran wahyu yang dibawa oleh para nabi tersebut.
3. Islam adalah Agama Para Nabi dan Rasul
Perhatikan kesaksian Alquran berikut ini bahwa Nabi Ibrahim adalah Muslim, bukan Yahudi atau pun Nasrani.
Dan Ibrahim Telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. (Al-Baqarah: 132)
Nabi-nabi lain pun mendakwahkan ajaran Islam kepada manusia. Mereka mengajarkan agama sebagaimana yang dibawa Nabi Muhammad. Hanya saja, dari segi syariat (hukum dan aturan) belum selengkap yang diajarkan Nabi Muhammad. Tetapi, ajaran prinsip-prinsip keimanan dan akhlaknya sama. Nabi Muhammad datang menyempurnakan ajaran para Rasul, menghapus syariat yang tidak sesuai dan menggantinya dengan syariat yang baru.
Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan Hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri.” (Ali Imran: 84)
Menurut pandangan Alquran, agama Nasrani yang ada sekarang ini adalah penyimpangan dari ajaran Islam yang dibawa Nabi Isa a.s. Nama agama ini sesuai nama suku yang mengembangkannya. Isinya jauh dari Kitab Injil yang diajarkan Isa a.s.. Agama Yahudi pun telah menyimpang dari ajaran Islam yang dibawa Nabi Musa a.s.. Diberi nama dengan nama salah satu Suku Bani Israil, Yahuda. Kitab Suci Taurat mereka campur aduk dengan pemikiran para pendeta dan ajarannya ditinggalkan.
4. Islam adalah Hukum-hukum Allah di dalam Alquran dan Sunnah
Orang yang ingin mengetahui apa itu Islam hendaknya melihat Kitabullah Alquran dan Sunnah Rasulullah. Keduanya, menjadi sumber nilai dan sumber hukum ajaran Islam. Islam tidak dapat dilihat pada perilaku penganut-penganutnya, kecuali pada pribadi Rasulullah saw. dan para sahabat beliau. Nabi Muhammad saw. bersifat ma’shum (terpelihara dari kesalahan) dalam mengamalkan Islam.
Beliau membangun masyarakat Islam yang terdiri dari para sahabat yang langsung terkontrol perilakunya oleh Allah dan Rasul-Nya. Jadi, para sahabat Nabi tidaklah ma’shum bagaimana Nabi, tapi mereka istimewa karena merupakan pribadi-pribadi dididik langsung Nabi Muhammad. Islam adalah akidah dan ibadah, tanah air dan penduduk, rohani dan amal, Alquran dan pedang. Pemahaman yang seperti ini telah dibuktikan dalam hidup Nabi, para sahabat, dan para pengikut mereka yang setia sepanjang zaman.
5. Islam adalah Jalan Allah Yang Lurus
Islam merupakan satu-satunya pedoman hidup bagi seorang muslim. Baginya, tidak ada agama lain yang benar selain Islam. Karena ini merupakan jalan Allah yang lurus yang diberikan kepada orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah.
Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (Al-An’am: 153)
Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui. (Al-Jaatsiyah: 18)
6. Islam Pembawa Keselamatan Dunia dan Akhirat
Sebagaimana sifatnya yang bermakna selamat sejahtera, Islam menyelamatkan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
Keselamatan dunia adalah kebersihan hati dari noda syirik dan kerusakan jiwa. Sedangkan keselamatan akhirat adalah masuk surga yang disebut Daarus Salaam.
Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). (Yunus: 25)
Dengan enam prinsip di atas, kita dapat memahami kemuliaan dan keagungan ajaran agama Allah ini. Nabi Muhammad saw. bersabda, “Islam itu tinggi dan tidak ada kerendahan di dalamnya.” Sebagai ajaran, Islam tidak terkalahkan oleh agama lain. Maka, setiap muslim wajib meyakini kelebihan Islam dari agama lain atau ajaran hidup yang lain. Allah sendiri memberi jaminan.
Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Al-Maa-idah: 3)
dakwatuna.com
Keutamaan Istighfar
Oleh: Hasan Basri Hambali
Makna dan Urgensi Istighfar
Dilihat dari asal kata, istighfar berasal dari kata غَفَر يَغْفِر (ghofaro yaghfiru) yang bermakna mengampuni atau memaafkan. Lafazh ini mengikuti wazan إستفعل يستفعل إستفعال (istaf'ala yastaf'ilu istif'al), sehingga istighfar mengandung arti meminta ampunan.
Sebagai hamba Alloh yang tidak luput dari salah dan dosa, selayaknya kita memperbanyak istighfar kepada Alloh SWT. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh RA Rosululloh SAW bersabda:
واللَّه إِنِّي لأَسْتَغْفرُ الله، وَأَتُوبُ إِليْه، في اليَوْمِ، أَكثر مِنْ سَبْعِين مرَّةً - رواه البخاري
"Demi Alloh, sesungguhnya aku beristighfar dan bertaubat kepada Alloh lebih dari 70 kali dalam sehari". (HR Bukhori)
Dalam hadits yang lain Rosululloh SAW bersabda:
يَا أَيُّها النَّاس تُوبُوا إِلى اللَّهِ واسْتغْفرُوهُ فإِني أَتوبُ في اليَوْمِ مائة مَرَّة - رواه مسلم
"Wahai manusia, bertaubatlah kepada Alloh dan beristigfarlah kepada-Nya, sesungguhnya aku bertaubat kepadanya 100 kali dalam sehari". (HR Muslim)
Dua hadits di atas memberikan gambaran taubat dan istighfarnya Rosululloh SAW. Meski telah mendapat jaminan ampunan dan sorga dari Alloh SWT, namun beliau tetap bersungguh-sungguh dalam beristighfar dan bertaubat kepada-Nya. Sebagai hamba Alloh yang tidak mendapatkan jaminan dari Alloh, hendaknya kita mencontoh prilaku Baginda Nabi dan merasa malu kepadanya apabila kita lalai dalam memohon ampunan Alloh SWT.
Abu al-Hasan asy-Syadzili Rohimahulloh berkata:
عليك بالإستغفار وإن لم يكن هناك ذنب، واعتبر باستغفار المعصوم الأكبر صلى الله عليه وسلم بعد البشارة واليقين بمغفرة ما تقدم من ذنبه وما تأخر
"Hendaklah kamu beristighfar walaupun tidak mempunyai dosa, ambillah pelajaran dari istighfarnya Nabi Besar yang terpelihara dari dosa Muhammad SAW setelah ia mendapat kabar gembira dan keyakinan atas ampunan dosa baik terdahulu maupun kemudian."
Waktu dan Keutamaan Istighfar
Syaikh 'Abdul Wahhab asy-Sya'roni Rohimahulloh memberi anjuran untuk memperbanyak istighfar, khususnya pada beberapa waktu berikut:
1. pada awal dan akhir malam, serta awal dan akhir siang. Nabi Muhammad SAW bersabda:
ما من حافظين يرفعان إلى الله تعالى في يوم صحيفةً فيرى في أول الصحيفة وفي آخرها استغفارا إلا قال الله تعالى: قد غفرتُ لعبدي ما بين طرفي الصحيفة. فطوبى لمن وجد في صحيفته استغفارا كثيرا - رواه ابن ماجه
"Tidaklah dua malaikat hafazhoh melaporkan buku amal (seorang hamba) kepada Alloh pada suatu hari, kemudian Alloh melihat istighfar pada awal dan akhir buku amal tersebut, melainkan Alloh berfirman "sungguh aku telah mengampuni hamba-Ku atas apa yang terdapat diantara dua ujung buku amalnya", maka beruntunglah orang yang mendapatkan banyak istighfar dalam buku amalnya". (HR Ibnu Majah)
2. ketika mengalami kesulitan rizki. Rosululloh SAW bersabda:
من لزم الإستغفار جعل الله له من كل ضيق مخرجا، ومن كل هم فرجا، ورزقه من حيث لا يحتسب - رواه ابن حبان
"Barangsiapa membiasakan beristighfar maka Alloh akan memberinya jalan keluar dari setiap kesulitan, keluasan dari setiap kebingungan, dan Alloh akan memberinya rizki dari tempat yang tidak diduga-duga". (HR Ibnu Hibban)
3. ketika jatuh ke dalam perbuatan dosa. Baginda Nabi Muhammad SAW bersabda:
ما من مسلم يعمل ذنبا إلا وقف الملك الموكل بإحصاء ذنوبه ثلاث ساعات. فإن استغفر الله تعالى في شيء من تلك الساعات لم يوقعه عليه ولم يعذب عليه يوم القيامة - رواه الحاكم
"Tidaklah seorang muslim melakukan dosa, melainkan malaikat yang bertugas menghitung dosanya menundanya selama tiga saat. Jika ia beristighfar kepada Alloh pada salah satu saat tersebut, maka dosa tersebut tidak akan dibebankan kepadanya dan ia tidak akan mendapat siksa pada hari kiamat." (HR al-Hakim)
4. saat menutup setiap kegiatan. Dalam hadits dijelaskan bahwa Rosululloh SAW selalu beristighfar sebanyak tiga kali setiap selesai melaksanakan sholat fardhu. Melalui amalan ini Baginda Nabi Muhammad SAW memberi peringatan kepada umatnya bahwa dalam ketaatan mereka kepada Alloh SWT masih terdapat kekurangan.
Rosululloh SAW mengajarkan do'a yang sering disebut dengan do'a kaffarotul majlis, yaitu menutup setiap kegiatan dengan membaca سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ، وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
كَفَّارَةُ الْمَجْلِسِ إِذَا أَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقُومَ مِنْ مَجْلِسِهِ أَنْ يَقُولُ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ، وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ، فَإِنْ كَانَ مَجْلِسَ ذِكْرٍ كَانَ كَالطَّابِعِ عَلَيْهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَإِنْ كَانَ مَجْلِسَ لَغْوٍ كَانَ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهُ
Kaffarotul majlis adalah jika salah seorang diantara kamu akan berdiri dari majlisnya maka hendaknya mengucapkan سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ، وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ (maha suci Engkau ya Alloh, dengan memuji kepada-Mu, aku bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Engkau, aku memohon ampunan-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu). Jika majlis itu adalah majlis dzikir, maka do'a tersebut laksana cap sampai hari kiamat. Dan jika majlis itu adalah majlis lalai, maka doa itu menjadi kaffaroh (tebusan) atas apa yang terjadi sebelumnya."
5. ketika mendapatkan prasangka baik dari orang lain padahal pribadi kita tidak sebaik yang mereka sangkakan. Hal ini mungkin berlawanan dengan sifat manusia pada umumnya, karena biasanya seseorang selalu ingin dianggap baik melebihi kadar kebaikan yang ia miliki. Oleh karena itu, selama pada diri seseorang masih terdapat hal yang tercela baik dalam ucapan, perbuatan maupun bisikan hati, maka selayaknya ia memperbanyak istighfar kepada Alloh SWT supaya tidak termasuk orang yang suka menipu orang lain.
Syaikh 'Abdulloh bin 'Alawi al-Haddad mengajarkan doa yang selalu dibaca oleh sebagian ulama salaf apabila mendapat pujian yang tidak selayaknya kita dapatkan.
اللّهُمَّ لَا تُؤَاخِذْنِيْ بِمَا يَقُوْلُوْن وَاغْفِرْ لِيْ مَا لَا يَعْلَمُوْن وَاجْعَلْنِيْ خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْن
"Ya Alloh, janganlah Engkau menghukum aku dengan apa yang mereka ucapkan, ampunilah aku atas sesuatu yang tidak mereka ketahui, dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka sangkakan."
Wallohu a'lamu bish-showab
Referensi:
1. 'Abdul Wahhab asy-Sya'roni, al-Minah as-Saniyyah, hal. 14-15
2. 'Abdulloh bin 'Alawi al-Haddad, Risalah al-Mu'awanah, hal. 30
3. an-Nawawi, Riyadh ash-Sholihin, hal. 34
4. as-Samarqondi, Tanbih al-Ghofilin, hal. 399
Nilai Diri Kaum Pria
♥ Pria terindah di mata wanita bukanlah yang paling tampan raut wajahnya, melainkan yang paling menawan keimanan dan budi pekertinya...
♥ Pria terjantan di hadapan wanita bukanlah yang paling berani mengungkap kata cinta, melainkan yang paling berani menemui wali sang hawa untuk meminangnya...
♥ Pria teromantis di hati wanita bukanlah yang paling mesra mengungkap kata cinta, melainkan yang berani mempertanggung jawabkan kata cinta di hadapan Allah dengan berazam untuk menghalalkannya...
♥ Pria tergagah di hadapan wanita bukanlah yang paling kekar tubuhnya, melainkan yang mampu bertanggungjawab menopang keluarga...
♥ Pria terkaya di angan wanita bukan terbanyak hartanya, melainkan yang kaya hatinya sehingga pandai bersyukur atas karunia-Nya...
♥ Pria terpandai di benak wanita bukanlah yang paling banyak ilmunya, melainkan yang paling peduli untuk membimbing kepada jalan yang diridhoi-Nya...
♥ Pria paling dermawan di hadapan wanita bukanlah yang paling banyak sedekahnya, melainkan yang paling perhatian memenuhi kewajiban keluarga...
Saudariku, sejatinya nilai diri kaum pria bukan hanya karena tampan, jantan, romantis, gagah, kaya, pandai dan dermawan, namun sejauh mana ia mampu mengasah keimanan dan perilakunya agar lebih menawan. Kaum pria begitu berharga jika ia mampu mempertanggungjawabkan segala ucapan dan perbuatan di hadapan Allah yang maha menyaksikan.
=====
Follow twitter: @kutipanhikmah
♥ Pria terjantan di hadapan wanita bukanlah yang paling berani mengungkap kata cinta, melainkan yang paling berani menemui wali sang hawa untuk meminangnya...
♥ Pria teromantis di hati wanita bukanlah yang paling mesra mengungkap kata cinta, melainkan yang berani mempertanggung jawabkan kata cinta di hadapan Allah dengan berazam untuk menghalalkannya...
♥ Pria tergagah di hadapan wanita bukanlah yang paling kekar tubuhnya, melainkan yang mampu bertanggungjawab menopang keluarga...
♥ Pria terkaya di angan wanita bukan terbanyak hartanya, melainkan yang kaya hatinya sehingga pandai bersyukur atas karunia-Nya...
♥ Pria terpandai di benak wanita bukanlah yang paling banyak ilmunya, melainkan yang paling peduli untuk membimbing kepada jalan yang diridhoi-Nya...
♥ Pria paling dermawan di hadapan wanita bukanlah yang paling banyak sedekahnya, melainkan yang paling perhatian memenuhi kewajiban keluarga...
Saudariku, sejatinya nilai diri kaum pria bukan hanya karena tampan, jantan, romantis, gagah, kaya, pandai dan dermawan, namun sejauh mana ia mampu mengasah keimanan dan perilakunya agar lebih menawan. Kaum pria begitu berharga jika ia mampu mempertanggungjawabkan segala ucapan dan perbuatan di hadapan Allah yang maha menyaksikan.
=====
Follow twitter: @kutipanhikmah
Ma'rifatullah
dakwatuna.com – Mungkin ada di kalangan kaum muslimin yang bertanya kenapa pada saat ini kita masih perlu berbicara tentang Allah padahal kita sudah sering mendengar dan menyebut namaNya, dan kita tahu bahwa Allah itu Tuhan kita. Tidakkah itu sudah cukup untuk kita?
Tidak. Jangan sekali-kali kita merasa cukup dengan pemahaman dan pengenalan kita terhadap Allah. Karena, semakin memahami dan mengenaliNya kita merasa semakin dekat denganNya. Selain itu, dengan pengenalan yang lebih dalam lagi, kita bisa terhindar dari pemahaman-pemahaman yang keliru tentang Allah dan kita terhindar dari sikap-sikap yang salah terhadap Allah.
Ketika kita membicarakan makrifatullah, maknanya kita berbicara tentang Rabb, Malik, dan Ilah kita. Rabb yang kita pahami dari istilah Al-Qur’an adalah sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa. Kata Ilah mengandung arti yang dicintai, yang ditakuti, dan juga sebagai sumber pengharapan. Makna seperti ini ada di dalam surat An-Naas (114): 1-3.
Dengan demikian jelaslah bahwa usaha kita untuk lebih jauh memahami dan mengenal Allah adalah bagian terpenting di dalam hidup ini. Lantas, bagaimana metoda yang harus kita tempuh untuk bisa mengenal Allah? Apa saja halangan yang senantiasa menghantui manusia dari mengenalNya? Benarkan kalimat yang mengatakan, “Kenalilah dirimu niscaya engkau akan mengenali Tuhanmu.” Dari pengenalan diri sendiri, maka ia akan membawa kepada pengenalan (makrifah) yang menciptakan diri, yaitu Allah. Ini adalah karena pada hakikatnya makrifah kepada Allah adalah sebenar-benar makrifah dan merupakan asas segala kehidupan rohani. Setelah makrifah kepada Allah, akan membawa kita kepada makrifah kepada Nabi dan Rasul, makrifah kepada alam nyata dan alam ghaib dan makrifah kepada alam akhirat.
Keyakinan terhadap Allah menjadi mantap apabila kita mempunyai dalil-dalil dan bukti yang jelas tentang kewujudan (eksistensi) Allah lantas melahirkan pengesaan dalam mentauhidkan Allah secara mutlak. Pengabdian diri kita hanya semata-mata kepada Allah saja. Ini memberi arti kita menolak dan berusaha menghindarkan diri dari bahaya-bahaya disebabkan oleh syirik kepadaNya.
Kita harus berusaha menempatkan kehidupan kita di bawah bayangan tauhid dengan cara kita memahami ruang perbahasan dalam tauhid dengan benar tanpa penyelewengan sesuai dengan manhaj salafush shalih. Kita juga harus memahami empat bentuk tauhidullah yang menjadi misi ajaran Islam di dalam Al-Qur’an maupun sunnah, yaitu tauhid asma wa sifat, tauhid rububiah, tauhid mulkiyah, dan tauhid uluhiyah. Dengan pemahaman ini kita akan termotivasi untuk melaksanakan sikap-sikap yang menjadi tuntutan utama dari setiap empat tauhid tersebut.
Kehidupan paling tenang adalah kehidupan yang bersandar terus kecintaannya kepada Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu kita harus mampu membedakan di antara cinta kepada Allah dengan cinta kepada selainNya serta menjadikan cinta kepada Allah mengatasi segala-galanya. Apa yang menjadi tuntutan kepada kita ialah kita menyadari pentingnya melandasi seluruh aktivitas hidup dengan kecintaan kepada Allah, Rasul, dan jihad secara minhaji.
Di dalam memahami dan mengenal Allah ini, kita seharusnya memahami bahwa Allah sebagai sumber ilmu dan pengetahuan. Ilmu-ilmu yang Allah berikan itu menerusi dua jalan yang membentuk dua fungsi yaitu sebagai pedoman hidup dan juga sebagai sarana hidup. Kita juga sepatutnya menyadari kepentingan kedua bentuk ilmu Allah dalam pengabdian kepada Allah untuk mencapai tahap takwa yang lebih cemerlang.
Ayat-ayat Allah ada dalam bentuk ayat-ayat qauliyah dan kauniyah. Kedua jenis ayat-ayat Allah ini terbuka bagi siapa saja yang ingin membaca dan menelitinya. Namun terdapat berbagai halangan akan muncul di hadapan kita dalam mengenali Allah. Halangan-halangan ini muncul dalam bentuk sifat-sifat pribadi kita yang bersumber dari syahwat –seperti nifaq, takabbur, zhalim, dan dusta– dan sifat-sifat yang bersumber dari syubhat –seperti jahil, ragu-ragu, dan menyimpang. Kesemua sifat-sifat fujur itu akan menghasilkan kekufuran terhadap Allah Ta'ala.
Ahammiyah Ma’rifatullah (Urgensi mempelajari Makrifatullah)
Riwayat ada menyatakan bahwa perkara pertama yang mesti dilaksanakan dalam agama adalah mengenal Allah (awwaluddin ma’rifatullah). Bermula dengan mengenal Allah, maka kita akan mengenali diri kita sendiri. Siapakah kita, di manakah kedudukan kita berbanding makhluk-makhluk yang lain? Apakah sama misi hidup kita dengan binatang-binatang yang ada di bumi ini? Apakah tanggung jawab kita dan ke manakah kesudahan hidup kita? Semua persoalan itu akan terjawab secara tepat setelah kita mengenali betul Allah sebagai Rabb dan Ilah, Yang Mencipta, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan.
Dalil-dalil:
[QS. Muhammad (47): 19 ] Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.
Ayat ini mengarahkan kepada kita dengan kalimat “ketahuilah olehmu” bahwasanya tidak ada ilah selain Allah dan minta ampunlah untuk dosamu dan untuk mukminin dan mukminat. Apabila Al-Qur’an menggunakan sibghah amar (perintah), maka menjadi wajib menyambut perintah tersebut. Dalam konteks ini, mengetahui atau mengenali Allah (ma’rifatullah) adalah wajib.
QS. Ali Imran (3): 18
Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan melainkan Dia, dan telah mengakui pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu sedang Allah berdiri dengan keadilan. Tidak ada tuhan melainkan Dia Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.
QS. Al-Hajj (22): 72-73
Dan apabila dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat Kami yang terang, niscaya kamu melihat tanda-tanda keingkaran pada muka orang-orang yang kafir itu. Hampir-hampir mereka menyerang orang-orang yang membacakan ayat-ayat Kami di hadapan mereka. Katakanlah, “Apakah akan aku kabarkan kepadamu yang lebih buruk daripada itu, yaitu neraka?” Allah telah mengancamkannya kepada orang-orang yang kafir. Dan neraka itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.
Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.
QS. Az-Zumar (39): 67
Mereka tidak mentaqdirkan Allah dengan ukuran yang sebenarnya sedangkan keseluruhan bumi berada di dalam genggamanNya pada Hari Kiamat dan langit-langit dilipatkan dengan kananNya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka sekutukan.
Tema Perbicaraan Makrifatullah – Allah Rabbul Alamin.
Ketika membicarakan ma’rifatullah, artinya kita sedang membicarakan tentang Rabb, Malik, dan Ilah kita. Rabb yang kita pahami dari istilah Al-Qur’an adalah sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara, dan Penguasa. Sedangkan kata Ilah mengandungi arti yang dicintai, yang ditakuti, dan juga sebagai sumber pengharapan. Hal ini termaktub dalam surat An-Naas (114): 1-3. Inilah tema yang dibahas dalam ma’rifatullah. Jika kita menguasai dan menghayati keseluruhan tema ini, bermakna kita telah mampu menghayati makna ketuhanan yang sebenarnya.
Dalil-dalil:
QS. Ar-Ra’du (13): 16
Katakanlah, “Siapakah Rabb segala langit dan bumi?” Katakanlah, “Allah.” Katakanlah, “Adakah kamu mengambil wali selain dariNya yang tiada manfaat kepada dirinya dan tidak pula dapat memberikan mudarat?” Katakanlah, “Apakah sama orang buta dengan orang yang melihat? Apakah sama gelap dan nur (cahaya)?” Bahkan adakah mereka mengadakan bagi Allah sekutu-sekutu yang menjadikan sebagaimana Allah menjadikan, lalu serupa makhluk atas mereka? Katakanlah, “Allah. Allah yang menciptakan tiap tiap sesuatu dan Dia Esa lagi Maha Kuasa.”
QS. Al-An’am (6): 12
Katakanlah, “Bagi siapakah apa-apa yang di langit dan bumi?” Katakanlah, “Bagi Allah.” Dia telah menetapkan ke atas diriNya akan memberikan rahmat. Sesungguhnya Dia akan menghimpun kamu pada Hari Kiamat, yang tidak ada keraguan padanya. Orang-orang yang merugikan diri mereka, maka mereka tidak beriman.”
QS. Al-An’am (6): 19
Katakanlah, “Apakah saksi yang paling besar?” Katakanlah, “Allah lah saksi di antara aku dan kamu. Diwahyukan kepadaku Al-Qur’an ini untuk aku memberikan amaran kepada engkau dan sesiapa yang sampai kepadanya Al-Qur’an. Adakah engkau menyaksikan bahawa bersama Allah ada tuhan-tuhan yang lain?” Katakanlah, “Aku tidak menyaksikan demikian.” Katakanlah, “Hanya Dia-lah Tuhan yang satu dan aku bersih dari apa yang kamu sekutukan.”
QS. An-Naml (27): 59
Katakanlah, “Segala puji-pujian itu adalah hanya untuk Allah dan salam sejahtera ke atas hamba-hambanya yang dipilih. Adakah Allah yang paling baik ataukah apa yang mereka sekutukan?”
QS. An-Nur (24): 35
“Allah memberi cahaya kepada seluruh langit dan bumi.”
QS. Al-Baqarah (2): 255
“Allah. Tidak ada tuhan melainkan Dia. Dia hidup dan berdiri menguasai seluruh isi bumi dan langit.”
Didukung Dengan Dalil Yang Kuat
QS. Al-Qiyamah (75): 14-15
Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri. Meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.
Makrifatullah yang sahih dan tepat itu mestilah bersandarkan dalil-dalil dan bukti-bukti kuat yang telah siap disediakan oleh Allah untuk manusia dalam berbagai bentuk agar manusia berpikir dan membuat penilaian. Oleh karena itu banyak fenomena alam yang dibahas oleh Al-Qur‘an dan diakhiri dengan kalimat pertanyaan: tidakkah kamu berpikir, tidakkah kamu mendengar. Pertanyaan-pertanyaan itu mendudukkan kita pada satu pandangan yang konkrit betapa semua fenomena alam adalah di bawah milik dan aturan Allah Ta'ala.
Dalil-dalil:
Naqli [QS. Al-An'am (6): 19]
Katakanlah, “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?” Katakanlah, “Allah.” Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al-Qu’ran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?” Katakanlah, “Aku tidak mengakui.” Katakanlah, “Sesungguhnya dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).”
Aqli, [QS. Ali Imran (3): 190]
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
Fitri, [QS. Al-A'raf (7): 172]
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan).”
Dapat Menghasilkan: peningkatan iman dan taqwa.
Apabila kita betul-betul mengenal Allah mentadaburi dalil-dalil yang dalam, hubungan kita dengan Allah menjadi lebih akrab. Apabila kita dekat dengan Allah, Allah lebih dekat lagi kepada kita. Setiap ayat Allah baik ayat qauliyah maupun kauniyah tetap akan menjadi bahan berpikir kepada kita dan penambah keimanan serta ketakwaan. Dari sini akan menghasilkan pribadi muslim yang merdeka, tenang, penuh keberkatan, dan kehidupan yang baik. Tentunya tempat abadi baginya adalah surga yang telah dijanjikan oleh Allah kepada hamba-hamba yang telah diridhaiNya.
Kemerdekaan [QS. Al-An'am (6): 82]
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan; dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ketenangan [QS. Al-Ra'du (13): 28]
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Barakah [QS. Al-A'raf (7): 96]
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Kehidupan Yang Baik [QS. Al-Nahl (16): 97]
Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Surga [QS. Yunus (10): 25-26]
Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.
Mardhotillah [QS. Al-Bayinah (98): 8]
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
Ath-Thariqu Ila Ma’rifatullah, Jalan Menuju Pengenalan Terhadap Allah Ta'ala.
Allah Ta'ala tidak menampilkan wujud Dzatnya Yang Maha Hebat di hadapan makhluk-makhluknya secara langsung dan dapat dilihat seperti kita melihat sesama makhluk. Maka, segala sesuatu yang tampak dan dapat dilihat dengan mata kepala kita, pasti itu bukan tuhan. Allah menganjurkan kepada manusia untuk mengikuti Nabi saw. supaya berpikir tentang makhluk-makhluk Allah. Jangan sekali-kali berpikir tentang Dzat Allah. Makhluk-makhluk yang menjadi tanda kebesaran dan keagungan Allah inilah yang disarankan di dalam banyak ayat Al-Qur’an agar menjadi bahan berpikir tentang kebesaran Allah.
Ayat Qauliyah
Ayat-ayat qauliyah adalah ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah swt. di dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat ini menyentuh berbagai aspek, termasuk tentang cara mengenal Allah.
QS. At-Tin (95): 1-5
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman; sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).
Ayat Kauniyah
Ayat kauniah adalah ayat atau tanda yang wujud di sekeliling yang diciptakan oleh Allah. Ayat-ayat ini adalah dalam bentuk benda, kejadian, peristiwa dan sebagainya yang ada di dalam alam ini. Oleh karena alam ini hanya mampu dilaksanakan oleh Allah dengan segala sistem dan peraturanNya yang unik, maka ia menjadi tanda kehebatan dan keagungan Penciptanya.
QS. Nuh (41): 53
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
Metode Islam Dengan Naqli dan Akal
Islam menghargai nilai akal yang dimiliki manusia. Karena dengan sarana akal ini, manusia mampu berpikir dan memilih antara yang benar atau salah. Walau begitu, dengan akal semata-mata tanpa panduan dari Pencipta akal, pencapai pemikiran manusia cukup terbatas. Apa lagi jika dicampurkan dengan unsur (anasir) hawa nafsu dan zhan (prasangka). Gabungan antara kemampuan akal dan panduan dari Penciptanya akan menghasilkan pengenalan yang tepat dan mantap terhadap Allah swt. Maka, menjadi satu kesalahan besar apabila manusia tidak menggunakan akalnya untuk berpikir.
QS. Yunus (10): 100-101
Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. Katakanlah, “Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.”
QS. Ath-Thalaaq (65): 10
Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah, hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu.
QS. Al-Mulk (67): 10
Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.”
Tasdiq (membenarkan)
Hasil dari berpikir dan meneliti secara terus menurut pedoman-pedoman yang sewajarnya, akan mencetuskan rasa kebenaran, kehebatan dan keagungan Allah. Boleh jadi ia berbetulan dengan firman Allah di An-Najm (53): 11 yang berbunyi, “Tiadalah hatinya mendustakan (mengingkari) apa-apa yang dilihatnya). Hati mula membenarkan dan akur kepada kebijaksanaan Tuhan.”
QS. Ali Imran (3): 191
Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.
QS. Qaf (50): 37
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.
Menghasilkan Iman.
Metode pengenalan kepada Allah yang dibawa oleh Islam ini cukup efektif secara berurutan sehingga akhirnya menghasilkan keimanan sejati kepada Allah azzawajalla.
Metode Selain Islam
Pemikiran berkenaan theologi dan ketuhanan banyak juga dibawa oleh pemikir-pemikir dari penjuru dunia, tetapi tidak berlandaskan kepada metoda yang sebenarnya. Kebanyakannya berlandaskan duga-dugaan, sangka-sangkaan, dan hawa nafsu. Pastinya metoda itu tidak akan sampai kepada tujuan (natijah) yang sebenar karena bayang-bayang khayalan tetap menghantui pemikiran mereka. Ada tuhan angin, tuhan api, tuhan air yang berasingan dengan rupa-rupa yang berbeda seperti yang digambarkan oleh Hindu, Budha, dan seumpamanya.
Dugaan dan Hawa Nafsu
Dua unsur utama dalam metoda mengenal tuhan yang tidak berlandaskan disiplin yang sebenar adalah sangka-sangkaan dan juga hawa nafsu. Campur tangan dua unsur ini sangat tidak mungkin untuk mencapai natijah yang tepat dan shahih.
QS. Al-Baqarah (2): 55
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang,” karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya.
QS. Yunus (10): 36
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.
QS. Al-An’am (6): 115
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ragu-Ragu
Apabila jalan yang dilalui tidak jelas dan tidak tepat, maka hasil yang didapati juga sangat tidak meyakinkan. Mungkin ada hasil yang didapati, tetapi bukan hasil yang sebenarnya. Bagaimanakah kita ingin mengenal Allah tetapi kaidah pengenalan yang kita gunakan tidak menurut neraca dan panduan yang telah ditetapkan oleh Allah. Kadangkala Umar bin Khattab tersenyum sendiri mengenangkan kebodohannya menyembah patung yang dibuatnya sendiri dari gandum sewaktu jahiliyah. Apabila terasa lapar, dimakannya pujaan itu.
QS. Al-Hajj (22): 55
Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu-raguan terhadap Al-Qur’an, hingga datang kepada mereka saat (kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat.
QS. An-Nur (24): 50
Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu, ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim.
Berakibat Kufur
Semua metoda pengenalan yang tidak berasaskan cara yang dianjurkan oleh Islam, yaitu mengikuti aqli dan naqli, akan membawa ke jalan kekufuran terhadap Allah swt.
Mawani’ Ma’rifatullah
Sifat yang berasal dari penyakit syahwat.
Fasiq
Yaitu orang-orang yang melanggar janji Allah, memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah menghubungkannya dan mereka melakukan bencana di atas muka bumi.
QS. Al-Baqarah (2): 26-27
Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan, “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan? ” Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. mereka Itulah orang-orang yang rugi.
QS. Al-Hasyr (59): 19
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Sombong
Adalah orang yang hatinya ingkar dan membantah terhadap ayat-ayat Allah dan mereka tidak beriman dengan Allah
QS. Al-Nahl (16): 22
Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong.
QS. Ghaafir (40): 35
(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.
QS. Ghaafir (40): 56
Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha mendengar lagi Maha Melihat.
QS. Al-A’raf (7): 12
Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab, “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.”
Zalim
QS. As-Sajdah (32): 22
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.
Dusta
QS. Al-Baqarah (2): 10
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.
QS. Mursalaat (77): 9-19
Dan apabila langit Telah dibelah, dan apabila gunung-gunung Telah dihancurkan menjadi debu, dan apabila rasul-rasul telah ditetapkan waktu (mereka). (Niscaya dikatakan kepada mereka,) “Sampai hari apakah ditangguhkan (mengazab orang-orang kafir itu)?” Sampai hari Keputusan. Dan tahukah kamu apakah hari Keputusan itu? Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. Bukankah kami telah membinasakan orang-orang yang dahulu? Lalu kami iringkan (azab kami terhadap) mereka dengan (mengazab) orang-orang yang datang kemudian. Demikianlah kami berbuat terhadap orang-orang yang berdosa. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.
Banyak Dosa
QS. Al-Muthaffifin (83): 14
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.
Semua sifat-sifat yang disebutkan di atas tadi akan berakhir dengan kemurkaan dari Allah swt. Karena itu, sifat-sifat itu harus diobati. Obatnya dengan mujahadah. Manakala kelompok kedua adalah sifat-sifat yang berasal dari penyakit syubhat yang ada pada personaliti seseorang.
Jahil
QS. Az-Zumar (39): 65
Dan Sesungguhnya Telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.
Ragu-Ragu
QS. Al-Hajj (22): 55
Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu- raguan terhadap Al Quran, hingga datang kepada mereka saat (kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat.
Menyimpang
QS. Al-Maidah (5): 13
(tetapi) Karena mereka melanggar janjinya, kami kutuki mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya[407], dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka Telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Lalai
QS. Al-A’raf (7): 179
Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/
Tidak. Jangan sekali-kali kita merasa cukup dengan pemahaman dan pengenalan kita terhadap Allah. Karena, semakin memahami dan mengenaliNya kita merasa semakin dekat denganNya. Selain itu, dengan pengenalan yang lebih dalam lagi, kita bisa terhindar dari pemahaman-pemahaman yang keliru tentang Allah dan kita terhindar dari sikap-sikap yang salah terhadap Allah.
Ketika kita membicarakan makrifatullah, maknanya kita berbicara tentang Rabb, Malik, dan Ilah kita. Rabb yang kita pahami dari istilah Al-Qur’an adalah sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa. Kata Ilah mengandung arti yang dicintai, yang ditakuti, dan juga sebagai sumber pengharapan. Makna seperti ini ada di dalam surat An-Naas (114): 1-3.
Dengan demikian jelaslah bahwa usaha kita untuk lebih jauh memahami dan mengenal Allah adalah bagian terpenting di dalam hidup ini. Lantas, bagaimana metoda yang harus kita tempuh untuk bisa mengenal Allah? Apa saja halangan yang senantiasa menghantui manusia dari mengenalNya? Benarkan kalimat yang mengatakan, “Kenalilah dirimu niscaya engkau akan mengenali Tuhanmu.” Dari pengenalan diri sendiri, maka ia akan membawa kepada pengenalan (makrifah) yang menciptakan diri, yaitu Allah. Ini adalah karena pada hakikatnya makrifah kepada Allah adalah sebenar-benar makrifah dan merupakan asas segala kehidupan rohani. Setelah makrifah kepada Allah, akan membawa kita kepada makrifah kepada Nabi dan Rasul, makrifah kepada alam nyata dan alam ghaib dan makrifah kepada alam akhirat.
Keyakinan terhadap Allah menjadi mantap apabila kita mempunyai dalil-dalil dan bukti yang jelas tentang kewujudan (eksistensi) Allah lantas melahirkan pengesaan dalam mentauhidkan Allah secara mutlak. Pengabdian diri kita hanya semata-mata kepada Allah saja. Ini memberi arti kita menolak dan berusaha menghindarkan diri dari bahaya-bahaya disebabkan oleh syirik kepadaNya.
Kita harus berusaha menempatkan kehidupan kita di bawah bayangan tauhid dengan cara kita memahami ruang perbahasan dalam tauhid dengan benar tanpa penyelewengan sesuai dengan manhaj salafush shalih. Kita juga harus memahami empat bentuk tauhidullah yang menjadi misi ajaran Islam di dalam Al-Qur’an maupun sunnah, yaitu tauhid asma wa sifat, tauhid rububiah, tauhid mulkiyah, dan tauhid uluhiyah. Dengan pemahaman ini kita akan termotivasi untuk melaksanakan sikap-sikap yang menjadi tuntutan utama dari setiap empat tauhid tersebut.
Kehidupan paling tenang adalah kehidupan yang bersandar terus kecintaannya kepada Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu kita harus mampu membedakan di antara cinta kepada Allah dengan cinta kepada selainNya serta menjadikan cinta kepada Allah mengatasi segala-galanya. Apa yang menjadi tuntutan kepada kita ialah kita menyadari pentingnya melandasi seluruh aktivitas hidup dengan kecintaan kepada Allah, Rasul, dan jihad secara minhaji.
Di dalam memahami dan mengenal Allah ini, kita seharusnya memahami bahwa Allah sebagai sumber ilmu dan pengetahuan. Ilmu-ilmu yang Allah berikan itu menerusi dua jalan yang membentuk dua fungsi yaitu sebagai pedoman hidup dan juga sebagai sarana hidup. Kita juga sepatutnya menyadari kepentingan kedua bentuk ilmu Allah dalam pengabdian kepada Allah untuk mencapai tahap takwa yang lebih cemerlang.
Ayat-ayat Allah ada dalam bentuk ayat-ayat qauliyah dan kauniyah. Kedua jenis ayat-ayat Allah ini terbuka bagi siapa saja yang ingin membaca dan menelitinya. Namun terdapat berbagai halangan akan muncul di hadapan kita dalam mengenali Allah. Halangan-halangan ini muncul dalam bentuk sifat-sifat pribadi kita yang bersumber dari syahwat –seperti nifaq, takabbur, zhalim, dan dusta– dan sifat-sifat yang bersumber dari syubhat –seperti jahil, ragu-ragu, dan menyimpang. Kesemua sifat-sifat fujur itu akan menghasilkan kekufuran terhadap Allah Ta'ala.
Ahammiyah Ma’rifatullah (Urgensi mempelajari Makrifatullah)
Riwayat ada menyatakan bahwa perkara pertama yang mesti dilaksanakan dalam agama adalah mengenal Allah (awwaluddin ma’rifatullah). Bermula dengan mengenal Allah, maka kita akan mengenali diri kita sendiri. Siapakah kita, di manakah kedudukan kita berbanding makhluk-makhluk yang lain? Apakah sama misi hidup kita dengan binatang-binatang yang ada di bumi ini? Apakah tanggung jawab kita dan ke manakah kesudahan hidup kita? Semua persoalan itu akan terjawab secara tepat setelah kita mengenali betul Allah sebagai Rabb dan Ilah, Yang Mencipta, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan.
Dalil-dalil:
[QS. Muhammad (47): 19 ] Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.
Ayat ini mengarahkan kepada kita dengan kalimat “ketahuilah olehmu” bahwasanya tidak ada ilah selain Allah dan minta ampunlah untuk dosamu dan untuk mukminin dan mukminat. Apabila Al-Qur’an menggunakan sibghah amar (perintah), maka menjadi wajib menyambut perintah tersebut. Dalam konteks ini, mengetahui atau mengenali Allah (ma’rifatullah) adalah wajib.
QS. Ali Imran (3): 18
Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan melainkan Dia, dan telah mengakui pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu sedang Allah berdiri dengan keadilan. Tidak ada tuhan melainkan Dia Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.
QS. Al-Hajj (22): 72-73
Dan apabila dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat Kami yang terang, niscaya kamu melihat tanda-tanda keingkaran pada muka orang-orang yang kafir itu. Hampir-hampir mereka menyerang orang-orang yang membacakan ayat-ayat Kami di hadapan mereka. Katakanlah, “Apakah akan aku kabarkan kepadamu yang lebih buruk daripada itu, yaitu neraka?” Allah telah mengancamkannya kepada orang-orang yang kafir. Dan neraka itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.
Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.
QS. Az-Zumar (39): 67
Mereka tidak mentaqdirkan Allah dengan ukuran yang sebenarnya sedangkan keseluruhan bumi berada di dalam genggamanNya pada Hari Kiamat dan langit-langit dilipatkan dengan kananNya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka sekutukan.
Tema Perbicaraan Makrifatullah – Allah Rabbul Alamin.
Ketika membicarakan ma’rifatullah, artinya kita sedang membicarakan tentang Rabb, Malik, dan Ilah kita. Rabb yang kita pahami dari istilah Al-Qur’an adalah sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara, dan Penguasa. Sedangkan kata Ilah mengandungi arti yang dicintai, yang ditakuti, dan juga sebagai sumber pengharapan. Hal ini termaktub dalam surat An-Naas (114): 1-3. Inilah tema yang dibahas dalam ma’rifatullah. Jika kita menguasai dan menghayati keseluruhan tema ini, bermakna kita telah mampu menghayati makna ketuhanan yang sebenarnya.
Dalil-dalil:
QS. Ar-Ra’du (13): 16
Katakanlah, “Siapakah Rabb segala langit dan bumi?” Katakanlah, “Allah.” Katakanlah, “Adakah kamu mengambil wali selain dariNya yang tiada manfaat kepada dirinya dan tidak pula dapat memberikan mudarat?” Katakanlah, “Apakah sama orang buta dengan orang yang melihat? Apakah sama gelap dan nur (cahaya)?” Bahkan adakah mereka mengadakan bagi Allah sekutu-sekutu yang menjadikan sebagaimana Allah menjadikan, lalu serupa makhluk atas mereka? Katakanlah, “Allah. Allah yang menciptakan tiap tiap sesuatu dan Dia Esa lagi Maha Kuasa.”
QS. Al-An’am (6): 12
Katakanlah, “Bagi siapakah apa-apa yang di langit dan bumi?” Katakanlah, “Bagi Allah.” Dia telah menetapkan ke atas diriNya akan memberikan rahmat. Sesungguhnya Dia akan menghimpun kamu pada Hari Kiamat, yang tidak ada keraguan padanya. Orang-orang yang merugikan diri mereka, maka mereka tidak beriman.”
QS. Al-An’am (6): 19
Katakanlah, “Apakah saksi yang paling besar?” Katakanlah, “Allah lah saksi di antara aku dan kamu. Diwahyukan kepadaku Al-Qur’an ini untuk aku memberikan amaran kepada engkau dan sesiapa yang sampai kepadanya Al-Qur’an. Adakah engkau menyaksikan bahawa bersama Allah ada tuhan-tuhan yang lain?” Katakanlah, “Aku tidak menyaksikan demikian.” Katakanlah, “Hanya Dia-lah Tuhan yang satu dan aku bersih dari apa yang kamu sekutukan.”
QS. An-Naml (27): 59
Katakanlah, “Segala puji-pujian itu adalah hanya untuk Allah dan salam sejahtera ke atas hamba-hambanya yang dipilih. Adakah Allah yang paling baik ataukah apa yang mereka sekutukan?”
QS. An-Nur (24): 35
“Allah memberi cahaya kepada seluruh langit dan bumi.”
QS. Al-Baqarah (2): 255
“Allah. Tidak ada tuhan melainkan Dia. Dia hidup dan berdiri menguasai seluruh isi bumi dan langit.”
Didukung Dengan Dalil Yang Kuat
QS. Al-Qiyamah (75): 14-15
Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri. Meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.
Makrifatullah yang sahih dan tepat itu mestilah bersandarkan dalil-dalil dan bukti-bukti kuat yang telah siap disediakan oleh Allah untuk manusia dalam berbagai bentuk agar manusia berpikir dan membuat penilaian. Oleh karena itu banyak fenomena alam yang dibahas oleh Al-Qur‘an dan diakhiri dengan kalimat pertanyaan: tidakkah kamu berpikir, tidakkah kamu mendengar. Pertanyaan-pertanyaan itu mendudukkan kita pada satu pandangan yang konkrit betapa semua fenomena alam adalah di bawah milik dan aturan Allah Ta'ala.
Dalil-dalil:
Naqli [QS. Al-An'am (6): 19]
Katakanlah, “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?” Katakanlah, “Allah.” Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al-Qu’ran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?” Katakanlah, “Aku tidak mengakui.” Katakanlah, “Sesungguhnya dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).”
Aqli, [QS. Ali Imran (3): 190]
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
Fitri, [QS. Al-A'raf (7): 172]
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan).”
Dapat Menghasilkan: peningkatan iman dan taqwa.
Apabila kita betul-betul mengenal Allah mentadaburi dalil-dalil yang dalam, hubungan kita dengan Allah menjadi lebih akrab. Apabila kita dekat dengan Allah, Allah lebih dekat lagi kepada kita. Setiap ayat Allah baik ayat qauliyah maupun kauniyah tetap akan menjadi bahan berpikir kepada kita dan penambah keimanan serta ketakwaan. Dari sini akan menghasilkan pribadi muslim yang merdeka, tenang, penuh keberkatan, dan kehidupan yang baik. Tentunya tempat abadi baginya adalah surga yang telah dijanjikan oleh Allah kepada hamba-hamba yang telah diridhaiNya.
Kemerdekaan [QS. Al-An'am (6): 82]
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan; dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ketenangan [QS. Al-Ra'du (13): 28]
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Barakah [QS. Al-A'raf (7): 96]
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Kehidupan Yang Baik [QS. Al-Nahl (16): 97]
Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Surga [QS. Yunus (10): 25-26]
Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.
Mardhotillah [QS. Al-Bayinah (98): 8]
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
Ath-Thariqu Ila Ma’rifatullah, Jalan Menuju Pengenalan Terhadap Allah Ta'ala.
Allah Ta'ala tidak menampilkan wujud Dzatnya Yang Maha Hebat di hadapan makhluk-makhluknya secara langsung dan dapat dilihat seperti kita melihat sesama makhluk. Maka, segala sesuatu yang tampak dan dapat dilihat dengan mata kepala kita, pasti itu bukan tuhan. Allah menganjurkan kepada manusia untuk mengikuti Nabi saw. supaya berpikir tentang makhluk-makhluk Allah. Jangan sekali-kali berpikir tentang Dzat Allah. Makhluk-makhluk yang menjadi tanda kebesaran dan keagungan Allah inilah yang disarankan di dalam banyak ayat Al-Qur’an agar menjadi bahan berpikir tentang kebesaran Allah.
Ayat Qauliyah
Ayat-ayat qauliyah adalah ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah swt. di dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat ini menyentuh berbagai aspek, termasuk tentang cara mengenal Allah.
QS. At-Tin (95): 1-5
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman; sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).
Ayat Kauniyah
Ayat kauniah adalah ayat atau tanda yang wujud di sekeliling yang diciptakan oleh Allah. Ayat-ayat ini adalah dalam bentuk benda, kejadian, peristiwa dan sebagainya yang ada di dalam alam ini. Oleh karena alam ini hanya mampu dilaksanakan oleh Allah dengan segala sistem dan peraturanNya yang unik, maka ia menjadi tanda kehebatan dan keagungan Penciptanya.
QS. Nuh (41): 53
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
Metode Islam Dengan Naqli dan Akal
Islam menghargai nilai akal yang dimiliki manusia. Karena dengan sarana akal ini, manusia mampu berpikir dan memilih antara yang benar atau salah. Walau begitu, dengan akal semata-mata tanpa panduan dari Pencipta akal, pencapai pemikiran manusia cukup terbatas. Apa lagi jika dicampurkan dengan unsur (anasir) hawa nafsu dan zhan (prasangka). Gabungan antara kemampuan akal dan panduan dari Penciptanya akan menghasilkan pengenalan yang tepat dan mantap terhadap Allah swt. Maka, menjadi satu kesalahan besar apabila manusia tidak menggunakan akalnya untuk berpikir.
QS. Yunus (10): 100-101
Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. Katakanlah, “Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.”
QS. Ath-Thalaaq (65): 10
Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah, hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu.
QS. Al-Mulk (67): 10
Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.”
Tasdiq (membenarkan)
Hasil dari berpikir dan meneliti secara terus menurut pedoman-pedoman yang sewajarnya, akan mencetuskan rasa kebenaran, kehebatan dan keagungan Allah. Boleh jadi ia berbetulan dengan firman Allah di An-Najm (53): 11 yang berbunyi, “Tiadalah hatinya mendustakan (mengingkari) apa-apa yang dilihatnya). Hati mula membenarkan dan akur kepada kebijaksanaan Tuhan.”
QS. Ali Imran (3): 191
Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.
QS. Qaf (50): 37
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.
Menghasilkan Iman.
Metode pengenalan kepada Allah yang dibawa oleh Islam ini cukup efektif secara berurutan sehingga akhirnya menghasilkan keimanan sejati kepada Allah azzawajalla.
Metode Selain Islam
Pemikiran berkenaan theologi dan ketuhanan banyak juga dibawa oleh pemikir-pemikir dari penjuru dunia, tetapi tidak berlandaskan kepada metoda yang sebenarnya. Kebanyakannya berlandaskan duga-dugaan, sangka-sangkaan, dan hawa nafsu. Pastinya metoda itu tidak akan sampai kepada tujuan (natijah) yang sebenar karena bayang-bayang khayalan tetap menghantui pemikiran mereka. Ada tuhan angin, tuhan api, tuhan air yang berasingan dengan rupa-rupa yang berbeda seperti yang digambarkan oleh Hindu, Budha, dan seumpamanya.
Dugaan dan Hawa Nafsu
Dua unsur utama dalam metoda mengenal tuhan yang tidak berlandaskan disiplin yang sebenar adalah sangka-sangkaan dan juga hawa nafsu. Campur tangan dua unsur ini sangat tidak mungkin untuk mencapai natijah yang tepat dan shahih.
QS. Al-Baqarah (2): 55
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang,” karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya.
QS. Yunus (10): 36
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.
QS. Al-An’am (6): 115
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ragu-Ragu
Apabila jalan yang dilalui tidak jelas dan tidak tepat, maka hasil yang didapati juga sangat tidak meyakinkan. Mungkin ada hasil yang didapati, tetapi bukan hasil yang sebenarnya. Bagaimanakah kita ingin mengenal Allah tetapi kaidah pengenalan yang kita gunakan tidak menurut neraca dan panduan yang telah ditetapkan oleh Allah. Kadangkala Umar bin Khattab tersenyum sendiri mengenangkan kebodohannya menyembah patung yang dibuatnya sendiri dari gandum sewaktu jahiliyah. Apabila terasa lapar, dimakannya pujaan itu.
QS. Al-Hajj (22): 55
Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu-raguan terhadap Al-Qur’an, hingga datang kepada mereka saat (kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat.
QS. An-Nur (24): 50
Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu, ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim.
Berakibat Kufur
Semua metoda pengenalan yang tidak berasaskan cara yang dianjurkan oleh Islam, yaitu mengikuti aqli dan naqli, akan membawa ke jalan kekufuran terhadap Allah swt.
Mawani’ Ma’rifatullah
Sifat yang berasal dari penyakit syahwat.
Fasiq
Yaitu orang-orang yang melanggar janji Allah, memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah menghubungkannya dan mereka melakukan bencana di atas muka bumi.
QS. Al-Baqarah (2): 26-27
Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan, “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan? ” Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. mereka Itulah orang-orang yang rugi.
QS. Al-Hasyr (59): 19
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Sombong
Adalah orang yang hatinya ingkar dan membantah terhadap ayat-ayat Allah dan mereka tidak beriman dengan Allah
QS. Al-Nahl (16): 22
Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong.
QS. Ghaafir (40): 35
(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.
QS. Ghaafir (40): 56
Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha mendengar lagi Maha Melihat.
QS. Al-A’raf (7): 12
Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab, “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.”
Zalim
QS. As-Sajdah (32): 22
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.
Dusta
QS. Al-Baqarah (2): 10
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.
QS. Mursalaat (77): 9-19
Dan apabila langit Telah dibelah, dan apabila gunung-gunung Telah dihancurkan menjadi debu, dan apabila rasul-rasul telah ditetapkan waktu (mereka). (Niscaya dikatakan kepada mereka,) “Sampai hari apakah ditangguhkan (mengazab orang-orang kafir itu)?” Sampai hari Keputusan. Dan tahukah kamu apakah hari Keputusan itu? Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. Bukankah kami telah membinasakan orang-orang yang dahulu? Lalu kami iringkan (azab kami terhadap) mereka dengan (mengazab) orang-orang yang datang kemudian. Demikianlah kami berbuat terhadap orang-orang yang berdosa. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.
Banyak Dosa
QS. Al-Muthaffifin (83): 14
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.
Semua sifat-sifat yang disebutkan di atas tadi akan berakhir dengan kemurkaan dari Allah swt. Karena itu, sifat-sifat itu harus diobati. Obatnya dengan mujahadah. Manakala kelompok kedua adalah sifat-sifat yang berasal dari penyakit syubhat yang ada pada personaliti seseorang.
Jahil
QS. Az-Zumar (39): 65
Dan Sesungguhnya Telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.
Ragu-Ragu
QS. Al-Hajj (22): 55
Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu- raguan terhadap Al Quran, hingga datang kepada mereka saat (kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat.
Menyimpang
QS. Al-Maidah (5): 13
(tetapi) Karena mereka melanggar janjinya, kami kutuki mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya[407], dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka Telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Lalai
QS. Al-A’raf (7): 179
Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/
Seluruh Ajaran Islam Mengandung Maslahat
Seluruh ajaran Islam itu mengandung maslahat dan dipastikan pula setiap ajaran Islam bermaksud untuk mengenyampingkan mudhorot pada hamba. Yang menerangkan bahwa seluruh ajaran Islam mengandung maslahat dan menolak mudhorot adalah dalil-dalil berikut ini:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al Anbiya’: 107). Jika syari’at itu rahmat, maka konsekuensinya pasti ajaran Islam selalu mendatangkan maslahat dan menolak bahaya.
Begitu pula dalam ayat,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3).
Sempurnanya nikmat adalah dengan sempurnanya ajaran agama ini. Dan sebagai tandanya, ajaran ini pasti selalu mendatangkan maslahat dan menolak mudhorot.
Begitu juga dalam berbagai ajaran Islam jika kita tilik satu per satu, selalu diberikan alasan bahwa ajaran tersebut mendatangkan maslahat bagi hamba. Sebagaimana dalam hukum qishash, Allah Ta’ala berfirman,
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 179).
Semacam pula dalam perintah menggunakan jilbab bagi wanita, disebutkan pula maslahat di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).
Saking pentingnya kaidah ini, para ulama sangat perhatian di dalamnya. Sampai-sampai ada di antara mereka membuat tulisan tersendiri tentang masalah ini. Semacam Imam Al ‘Izz bin ‘Abdis Salam menyusun buku yang sempurna yang membahas hal ini. Beliau menjadikan seluruh ajaran dalam hukum Islam berputar di antara maslahat.
Macam-Macam Maslahat
Jika melihat ajaran Islam, kita akan temukan bahwa ajaran tersebut ada yang mengandung maslahat yang wajib, seperti shalat lima waktu. Ada pula yang mengandung maslahat yang sunnah (mustahab) seperti shalat sunnah. Ada juga yang mengandung maslahat bagi orang banyak dan jika tidak dikerjakan oleh semua, maka cukup sebagian yang mengerjakannya seperti dalam shalat jenazah.
Jadi kita dapat membagi maslahat menjadi:
1. Maslahat yang dijalankan dalam masyarakat oleh sebagian orang.
2. Maslahat yang dituntunkan untuk dikerjakan oleh setiap individu muslim.
Begitu juga kita dapat membagi maslahat menjadi:
1. Maslahat yang wajib, yaitu mendapati hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
2. Maslahat yang sunnah, yaitu tidak dampai mendapati hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
Mafsadat (bahaya) juga ada yang haram dan ada yang makruh. Yang haram semisal melanggar harta dan darah muslim yang lain, maka jika melakukannya akan mendapatkan dosa. Mafsadat seperti ini ada yang berdampak dosa besar, ada pula yang dosa kecil. Adapun mafsadat yang makruh tidak berdampak dosa bagi yang melanggarnya, bahkan bisa memperoleh pahala jika ditinggalkan.
Pembahasan Berbagai Maslahat
Ada pula tinjauan pembagian maslahat dari sisi lain. Para ulama juga membagi maslahat menjadi tiga macam:
1. Maslahat mu’tabaroh, yaitu maslahat yang dianggap sebagai maslahat oleh syari’at baik ditetapkan oleh dalil Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ maupun qiyas. Contohnya adalah dalam masalah qishash dan jilbab yang telah disebutkan di atas.
2. Maslahat mulghoh, yaitu maslahat yang bertentangan dengan syari’at. Contohnya dalam masalah ini, siapa yang bersumpah lalu ia melanggar sumpahnya, maka ia punya kewajiban untuk menunaikan kafaroh sumpah. Kafarohnya adalah memberi makan kepada sepuluh orang miskin atau memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin atau memerdekakan satu orang budak. Jika tidak mampu melakukan ketiga hal tersebut, barulah menunaikan pilihan berpuasa selama tiga hari. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam surat Al Maidah ayat 89. Namun ada yang melanggar sumpahnya dan belum melakukan tiga pilihan pertama dari kafaroh tadi, malah sudah melangkah ke pilihan kedua, yaitu melakukan puasa selama tiga hari. Puasa itu baik, namun bertentangan dengan aturan syari’at yang telah disebutkan. Ini yang namanya maslahat mulghoh atau maslahat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan yang dianggap baik di sini sebenarnya mafsadat.
Contoh lainnya lagi adalah dalam masalah shalat Jum’at. Di sebagian negeri kafir sangatlah sulit menunaikan shalat Jum’at pada hari Jum’at karena hari Jum’at bukanlah waktu libur. Beda halnya dengan di negara Islam yang memberikan waktu libur pada hari Jum’at. Lalu sebagian orang memberikan solusi, shalat Jum’at sebaiknya dipindahkan saja ke hari Minggu karena hari tersebut adalah hari libur. Mereka anggap, seperti itu adalah maslahat. Namun sebenarnya pemikiran tersebut bertentangan dengan ajaran Islam dan teranggap sebagai maslahat yang mulghoh yang tertolak (tidak teranggap).
3. Maslahat mursalah, yaitu maslahat yang tidak memiliki dalil, namun tidak bertentangan (ditiadakan) oleh syari’at dan tidak pula dianggap. Mengenai maslahat yang satu ini, para ulama berselisih pendapat apakah bisa dijadikan hujjah (alasan kuat) ataukah tidak. Sebagian ulama ada yang menolaknya sebagai hujjah. Di antara yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan bahwa semua maslahat pasti teranggap oleh syari’at. Jika ada yang menganggapnya sebagai maslahat mursalah, maka hal itu tidak lepas dari dua keadaan:
a. Sebenarnya maslahat tersebut adalah mafsadat (mengandung bahaya).
b. Sebenarnya ada dalil yang menunjukkan hal yang dimaksud sebagai maslahat, namun mungkin tidak diketahui oleh sebagian mereka.
Pendapat yang dianut oleh Ibnu Taimiyah adalah pendapat yang kuat. Karena jika kita menetapkan seperti ini berarti kita menganggap syari’at Islam benar-benar sempurna sehingga bisa menjadi dalil dan bisa sebagai jawaban dari segala permasalahan, serta tidak diperlukan qiyas kecuali dalam sedikit masalah yang tidak ditemukan dalil untuk menjawab permasalah tersebut.
Jika Tidak Diketahui Adanya Maslahat
Para ulama juga menjelaskan bahwa maslahat dalam hukum dibagi menjadi dua yaitu maslahat ma’lumah (yang diketahui) dan maslahat majhulah (yang tidak diketahui).
Maslahat majhulah berarti kita dapat pastikan dalam hukum syari’at ada maslahat tetapi kita tidak mengetahui seperti apa bentuk maslahat tersebut. Seperti memakan daging unta bisa membatalkan wudhu. Dalilnya adalah hadist dari Jabir bin Samuroh,
“Ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Apakah aku mesti berwudhu setelah memakan daging kambing?” Beliau bersabda, “Jika engkau mau, berwudhulah. Namun jika enggan, maka tidak mengapa engkau tidak berwudhu.” Orang tadi bertanya lagi, “ Apakah seseorang mesti berwudhu setelah memakan daging unta?” Beliau bersabda, “Iya, engkau harus berwudhu setelah memakan daging unta.” (HR. Muslim no. 360). Kita tidak mengetahui apa maslahat perintah wudhu setelah memakan daging unta. Namun kita tidak bisa meninggalkan hukum tersebut karena tidak mengetahui hikmahnya. Ini yang patut dicatat.
Sedangkan maslahat ma’lumah adalah suatu maslahat yang diketahui. Seperti dalam pensyari’atan nikah. Dalam nikah ada maslahat untuk menghasilkan keturunan yang sholeh dan bertambah tenang karena selalu bersama pasangan hidup. Begitu pula dengan adanya keturunan yang sholeh, pahala bagi kedua orang tua akan terus mengalir sebagaimana disebutkan dalam hadits,
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631). Ini adalah maslahat yang jelas kita ketahui.
Selengkapnya di Rumaysho.com
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al Anbiya’: 107). Jika syari’at itu rahmat, maka konsekuensinya pasti ajaran Islam selalu mendatangkan maslahat dan menolak bahaya.
Begitu pula dalam ayat,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3).
Sempurnanya nikmat adalah dengan sempurnanya ajaran agama ini. Dan sebagai tandanya, ajaran ini pasti selalu mendatangkan maslahat dan menolak mudhorot.
Begitu juga dalam berbagai ajaran Islam jika kita tilik satu per satu, selalu diberikan alasan bahwa ajaran tersebut mendatangkan maslahat bagi hamba. Sebagaimana dalam hukum qishash, Allah Ta’ala berfirman,
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 179).
Semacam pula dalam perintah menggunakan jilbab bagi wanita, disebutkan pula maslahat di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).
Saking pentingnya kaidah ini, para ulama sangat perhatian di dalamnya. Sampai-sampai ada di antara mereka membuat tulisan tersendiri tentang masalah ini. Semacam Imam Al ‘Izz bin ‘Abdis Salam menyusun buku yang sempurna yang membahas hal ini. Beliau menjadikan seluruh ajaran dalam hukum Islam berputar di antara maslahat.
Macam-Macam Maslahat
Jika melihat ajaran Islam, kita akan temukan bahwa ajaran tersebut ada yang mengandung maslahat yang wajib, seperti shalat lima waktu. Ada pula yang mengandung maslahat yang sunnah (mustahab) seperti shalat sunnah. Ada juga yang mengandung maslahat bagi orang banyak dan jika tidak dikerjakan oleh semua, maka cukup sebagian yang mengerjakannya seperti dalam shalat jenazah.
Jadi kita dapat membagi maslahat menjadi:
1. Maslahat yang dijalankan dalam masyarakat oleh sebagian orang.
2. Maslahat yang dituntunkan untuk dikerjakan oleh setiap individu muslim.
Begitu juga kita dapat membagi maslahat menjadi:
1. Maslahat yang wajib, yaitu mendapati hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
2. Maslahat yang sunnah, yaitu tidak dampai mendapati hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
Mafsadat (bahaya) juga ada yang haram dan ada yang makruh. Yang haram semisal melanggar harta dan darah muslim yang lain, maka jika melakukannya akan mendapatkan dosa. Mafsadat seperti ini ada yang berdampak dosa besar, ada pula yang dosa kecil. Adapun mafsadat yang makruh tidak berdampak dosa bagi yang melanggarnya, bahkan bisa memperoleh pahala jika ditinggalkan.
Pembahasan Berbagai Maslahat
Ada pula tinjauan pembagian maslahat dari sisi lain. Para ulama juga membagi maslahat menjadi tiga macam:
1. Maslahat mu’tabaroh, yaitu maslahat yang dianggap sebagai maslahat oleh syari’at baik ditetapkan oleh dalil Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ maupun qiyas. Contohnya adalah dalam masalah qishash dan jilbab yang telah disebutkan di atas.
2. Maslahat mulghoh, yaitu maslahat yang bertentangan dengan syari’at. Contohnya dalam masalah ini, siapa yang bersumpah lalu ia melanggar sumpahnya, maka ia punya kewajiban untuk menunaikan kafaroh sumpah. Kafarohnya adalah memberi makan kepada sepuluh orang miskin atau memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin atau memerdekakan satu orang budak. Jika tidak mampu melakukan ketiga hal tersebut, barulah menunaikan pilihan berpuasa selama tiga hari. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam surat Al Maidah ayat 89. Namun ada yang melanggar sumpahnya dan belum melakukan tiga pilihan pertama dari kafaroh tadi, malah sudah melangkah ke pilihan kedua, yaitu melakukan puasa selama tiga hari. Puasa itu baik, namun bertentangan dengan aturan syari’at yang telah disebutkan. Ini yang namanya maslahat mulghoh atau maslahat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan yang dianggap baik di sini sebenarnya mafsadat.
Contoh lainnya lagi adalah dalam masalah shalat Jum’at. Di sebagian negeri kafir sangatlah sulit menunaikan shalat Jum’at pada hari Jum’at karena hari Jum’at bukanlah waktu libur. Beda halnya dengan di negara Islam yang memberikan waktu libur pada hari Jum’at. Lalu sebagian orang memberikan solusi, shalat Jum’at sebaiknya dipindahkan saja ke hari Minggu karena hari tersebut adalah hari libur. Mereka anggap, seperti itu adalah maslahat. Namun sebenarnya pemikiran tersebut bertentangan dengan ajaran Islam dan teranggap sebagai maslahat yang mulghoh yang tertolak (tidak teranggap).
3. Maslahat mursalah, yaitu maslahat yang tidak memiliki dalil, namun tidak bertentangan (ditiadakan) oleh syari’at dan tidak pula dianggap. Mengenai maslahat yang satu ini, para ulama berselisih pendapat apakah bisa dijadikan hujjah (alasan kuat) ataukah tidak. Sebagian ulama ada yang menolaknya sebagai hujjah. Di antara yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan bahwa semua maslahat pasti teranggap oleh syari’at. Jika ada yang menganggapnya sebagai maslahat mursalah, maka hal itu tidak lepas dari dua keadaan:
a. Sebenarnya maslahat tersebut adalah mafsadat (mengandung bahaya).
b. Sebenarnya ada dalil yang menunjukkan hal yang dimaksud sebagai maslahat, namun mungkin tidak diketahui oleh sebagian mereka.
Pendapat yang dianut oleh Ibnu Taimiyah adalah pendapat yang kuat. Karena jika kita menetapkan seperti ini berarti kita menganggap syari’at Islam benar-benar sempurna sehingga bisa menjadi dalil dan bisa sebagai jawaban dari segala permasalahan, serta tidak diperlukan qiyas kecuali dalam sedikit masalah yang tidak ditemukan dalil untuk menjawab permasalah tersebut.
Jika Tidak Diketahui Adanya Maslahat
Para ulama juga menjelaskan bahwa maslahat dalam hukum dibagi menjadi dua yaitu maslahat ma’lumah (yang diketahui) dan maslahat majhulah (yang tidak diketahui).
Maslahat majhulah berarti kita dapat pastikan dalam hukum syari’at ada maslahat tetapi kita tidak mengetahui seperti apa bentuk maslahat tersebut. Seperti memakan daging unta bisa membatalkan wudhu. Dalilnya adalah hadist dari Jabir bin Samuroh,
“Ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Apakah aku mesti berwudhu setelah memakan daging kambing?” Beliau bersabda, “Jika engkau mau, berwudhulah. Namun jika enggan, maka tidak mengapa engkau tidak berwudhu.” Orang tadi bertanya lagi, “ Apakah seseorang mesti berwudhu setelah memakan daging unta?” Beliau bersabda, “Iya, engkau harus berwudhu setelah memakan daging unta.” (HR. Muslim no. 360). Kita tidak mengetahui apa maslahat perintah wudhu setelah memakan daging unta. Namun kita tidak bisa meninggalkan hukum tersebut karena tidak mengetahui hikmahnya. Ini yang patut dicatat.
Sedangkan maslahat ma’lumah adalah suatu maslahat yang diketahui. Seperti dalam pensyari’atan nikah. Dalam nikah ada maslahat untuk menghasilkan keturunan yang sholeh dan bertambah tenang karena selalu bersama pasangan hidup. Begitu pula dengan adanya keturunan yang sholeh, pahala bagi kedua orang tua akan terus mengalir sebagaimana disebutkan dalam hadits,
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631). Ini adalah maslahat yang jelas kita ketahui.
Selengkapnya di Rumaysho.com
Ilusi Spiritual Laundering Korupsi
Muh Kholid AS ;
Jurnalis, alumnus Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo
JAWA POS, 04 Januari 2013
BERGANTI tahun, korupsi tampaknya masih menjadi mimpi buruk bangsa ini. Berdasar data KPK selama 2004-2011, tercatat 1.408 kasus korupsi ditangani aparat hukum dengan kerugian negara Rp 39,3 triliun. Tak hanya itu, pelaku korupsi ternyata ''sukses'' meregenerasi ke koruptor berusia 40 tahunan.
Kian sedih, tidak sedikit kasus korupsi yang menggambarkan anomali keberagamaan. Fenomena itu secara tersamar bisa dilihat dari pengakuan Inspektur Jenderal Kementerian Agama (Kemenag) M. Jasin tentang ''pungutan liar'' dalam pencatatan pernikahan dan kepemilikan ''rekening gendut'' di lingkungan kerjanya (Jawa Pos, 27 Desember 2012). Sulit dipahami, kementerian yang terkait dengan misi moral dan ketuhanan tersebut justru melakukan korupsi yang jelas-jelas dekat dengan perbuatan keji dan mungkar.
Koruptor juga telah berani menjarah proyek yang memiliki dimensi celestial sebagaimana dilukiskan pada korupsi pengadaan Alquran di Kemenag. Tragisnya lagi, sandi yang digunakan untuk menyebut para penerima dana hasil permainan proyek itu cukup melecehkan agama. Mereka menggunakan idiom ''kiai'' untuk merujuk politisi Senayan yang menerima fee korupsi, ''ustad'' untuk menyebut pejabat Kemenag, dan ''pesantren'' untuk partai politik.
Yang menggelikan, ternyata ada juga pelaku korupsi yang menggunakan hasil korupsinya untuk keperluan ibadah: sedekah, zakat, umrah, maupun haji. Gayus Tambunan memberikan kesaksian miris. Sebagian uang hasil korupsinya digunakan untuk membiayai ibadah umrah seorang hakim yang menangani perkaranya.
Ragam modus korupsi tersebut tentu menjadi tamparan mahadahsyat bagi kaum agamawan. Yang kian menyedihkan, berdasar ajaran agama yang dianutnya, seseorang bisa menempatkan korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa, tapi (mungkin) ada juga yang memandangnya (memanipulasinya) sebagai tindakan termaafkan, bahkan terpuji.
Distorsi pemahaman agama tersebut membuat tidak sedikit koruptor yang cenderung meremehkan dosa kejahatannya (Mulkhan: 2003). Penafsiran serampangan tentang sifat dan cara Tuhan membalas tindakan manusia membuat mereka semakin ''berani'' berkorupsi, atau bahkan malah yakin kesalahannya tetap diampuni Tuhan. Bahkan, tidak mustahil koruptor malah berkeyakinan pahalanya jauh lebih besar dibanding dosanya saat dihitung di akhirat kelak.
Malapraktek ''spiritual laundering'' (pencucian spiritual) dengan mendistorsi ajaran agama memang bukan perkara sulit untuk dicarikan justifikasinya. Dalam Islam, misalnya, selalu terbuka peluang pintu pengampunan Tuhan atas semua kejahatan, kecuali tindakan yang didasari kepercayaan atas kekuatan lain selain Tuhan (syirik). Kejahatan hanya akan dibalas dengan kejahatan yang setara (QS As-Syuura: 40). Sementara itu, kebaikan akan dibalas dengan ganjaran 700 lipat (QS Al-Baqarah: 261), berlaku 1.000 bulan (QS Al-Qadar: 3), bahkan mengalirkan tanpa putus (HR Turmudzi dan Nasa'i).
Dengan kalkulator reward pahala dan punishment itu, bisa jadi para koruptor tetap yakin mampu ''memutihkan'' dosanya. Jika seseorang melakukan korupsi Rp 10 miliar, misalnya, dengan menyedekahkan 1 persen (Rp 100 juta), dia tetap mendapat pahala Rp 70 miliar. Secara matematis, pahalanya masih banyak dibanding dosanya yang itu pun masih punya keuntungan dunia 9,9 miliar. Reward tersebut akan bertahan selama 83,3 tahun jika waktu bersedekah bertepatan dengan malam Qadar dan tidak terputus jika berbentuk jariyah.
Koruptor pendistorsi agama tersebut tentu sangat berbahaya karena mereduksi nilai luhur agama, termasuk keberaniannya ''mengakali'' Tuhan dalam bentuk pseudo-agamis. Misalnya, tiba-tiba berjilbab atau bercadar saat dijadikan tersangka, meski sebelumnya dikenal senang berpakaian modis dan seksi. Bahkan, tidak sedikit yang ''menyuap'' Tuhan dengan hasil korupsinya dalam bentuk umrah, sumbangan masjid, sedekah, dan lain-lain. Selain tameng, ia dijadikan sarana ''merayu'' Tuhan untuk memutihkan dosa korupsinya.
Malapraktek spiritual laundering mendorong seseorang yang punya pengetahuan lebih tentang agama tidak terjamin imun dari korupsi. Agama harus membangun pemahaman bahwa dosa korupsi tidak akan diampuni Tuhan, termasuk menjalankan ''ruilslag'' dengan ragam ibadah. Apalagi, Muhammad SAW -manusia agung yang sama miskinnya sejak sebelum jadi rasul sampai wafat- dalam riwayat Imam Muslim telah menegaskan: sedekah dan infak hasil kecurangan tidak akan diterima Tuhan, seperti tidak diterimanya salat tanpa wudu. Jelas, teologi itu melawan keyakinan koruptor yang menghibur diri bahwa dosa korupsinya masih bisa ''dicuci'' dengan menyuap Tuhan dalam bentuk haji, umrah, zakat, infak, sedekah, dan lain-lain. Keyakinan koruptor ''agamis'' itu sesat sejauh-jauhnya.
Jurnalis, alumnus Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo
JAWA POS, 04 Januari 2013
BERGANTI tahun, korupsi tampaknya masih menjadi mimpi buruk bangsa ini. Berdasar data KPK selama 2004-2011, tercatat 1.408 kasus korupsi ditangani aparat hukum dengan kerugian negara Rp 39,3 triliun. Tak hanya itu, pelaku korupsi ternyata ''sukses'' meregenerasi ke koruptor berusia 40 tahunan.
Kian sedih, tidak sedikit kasus korupsi yang menggambarkan anomali keberagamaan. Fenomena itu secara tersamar bisa dilihat dari pengakuan Inspektur Jenderal Kementerian Agama (Kemenag) M. Jasin tentang ''pungutan liar'' dalam pencatatan pernikahan dan kepemilikan ''rekening gendut'' di lingkungan kerjanya (Jawa Pos, 27 Desember 2012). Sulit dipahami, kementerian yang terkait dengan misi moral dan ketuhanan tersebut justru melakukan korupsi yang jelas-jelas dekat dengan perbuatan keji dan mungkar.
Koruptor juga telah berani menjarah proyek yang memiliki dimensi celestial sebagaimana dilukiskan pada korupsi pengadaan Alquran di Kemenag. Tragisnya lagi, sandi yang digunakan untuk menyebut para penerima dana hasil permainan proyek itu cukup melecehkan agama. Mereka menggunakan idiom ''kiai'' untuk merujuk politisi Senayan yang menerima fee korupsi, ''ustad'' untuk menyebut pejabat Kemenag, dan ''pesantren'' untuk partai politik.
Yang menggelikan, ternyata ada juga pelaku korupsi yang menggunakan hasil korupsinya untuk keperluan ibadah: sedekah, zakat, umrah, maupun haji. Gayus Tambunan memberikan kesaksian miris. Sebagian uang hasil korupsinya digunakan untuk membiayai ibadah umrah seorang hakim yang menangani perkaranya.
Ragam modus korupsi tersebut tentu menjadi tamparan mahadahsyat bagi kaum agamawan. Yang kian menyedihkan, berdasar ajaran agama yang dianutnya, seseorang bisa menempatkan korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa, tapi (mungkin) ada juga yang memandangnya (memanipulasinya) sebagai tindakan termaafkan, bahkan terpuji.
Distorsi pemahaman agama tersebut membuat tidak sedikit koruptor yang cenderung meremehkan dosa kejahatannya (Mulkhan: 2003). Penafsiran serampangan tentang sifat dan cara Tuhan membalas tindakan manusia membuat mereka semakin ''berani'' berkorupsi, atau bahkan malah yakin kesalahannya tetap diampuni Tuhan. Bahkan, tidak mustahil koruptor malah berkeyakinan pahalanya jauh lebih besar dibanding dosanya saat dihitung di akhirat kelak.
Malapraktek ''spiritual laundering'' (pencucian spiritual) dengan mendistorsi ajaran agama memang bukan perkara sulit untuk dicarikan justifikasinya. Dalam Islam, misalnya, selalu terbuka peluang pintu pengampunan Tuhan atas semua kejahatan, kecuali tindakan yang didasari kepercayaan atas kekuatan lain selain Tuhan (syirik). Kejahatan hanya akan dibalas dengan kejahatan yang setara (QS As-Syuura: 40). Sementara itu, kebaikan akan dibalas dengan ganjaran 700 lipat (QS Al-Baqarah: 261), berlaku 1.000 bulan (QS Al-Qadar: 3), bahkan mengalirkan tanpa putus (HR Turmudzi dan Nasa'i).
Dengan kalkulator reward pahala dan punishment itu, bisa jadi para koruptor tetap yakin mampu ''memutihkan'' dosanya. Jika seseorang melakukan korupsi Rp 10 miliar, misalnya, dengan menyedekahkan 1 persen (Rp 100 juta), dia tetap mendapat pahala Rp 70 miliar. Secara matematis, pahalanya masih banyak dibanding dosanya yang itu pun masih punya keuntungan dunia 9,9 miliar. Reward tersebut akan bertahan selama 83,3 tahun jika waktu bersedekah bertepatan dengan malam Qadar dan tidak terputus jika berbentuk jariyah.
Koruptor pendistorsi agama tersebut tentu sangat berbahaya karena mereduksi nilai luhur agama, termasuk keberaniannya ''mengakali'' Tuhan dalam bentuk pseudo-agamis. Misalnya, tiba-tiba berjilbab atau bercadar saat dijadikan tersangka, meski sebelumnya dikenal senang berpakaian modis dan seksi. Bahkan, tidak sedikit yang ''menyuap'' Tuhan dengan hasil korupsinya dalam bentuk umrah, sumbangan masjid, sedekah, dan lain-lain. Selain tameng, ia dijadikan sarana ''merayu'' Tuhan untuk memutihkan dosa korupsinya.
Malapraktek spiritual laundering mendorong seseorang yang punya pengetahuan lebih tentang agama tidak terjamin imun dari korupsi. Agama harus membangun pemahaman bahwa dosa korupsi tidak akan diampuni Tuhan, termasuk menjalankan ''ruilslag'' dengan ragam ibadah. Apalagi, Muhammad SAW -manusia agung yang sama miskinnya sejak sebelum jadi rasul sampai wafat- dalam riwayat Imam Muslim telah menegaskan: sedekah dan infak hasil kecurangan tidak akan diterima Tuhan, seperti tidak diterimanya salat tanpa wudu. Jelas, teologi itu melawan keyakinan koruptor yang menghibur diri bahwa dosa korupsinya masih bisa ''dicuci'' dengan menyuap Tuhan dalam bentuk haji, umrah, zakat, infak, sedekah, dan lain-lain. Keyakinan koruptor ''agamis'' itu sesat sejauh-jauhnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)