Tidak Ada Iman Tanpa Rasa Malu
"Bila Allah hendak membinasakan seorang hamba, Dia akan mencabut rasa malu darinya. Bila rasa malu ini sudah dicabut, kau akan melihatnya dibenci dan dijauhi orang-orang. Apabila kaulihat ia dibenci dan dijauhi, dicabutlah sikap amanah darinya. Bila amanah itu sudah dicabut, kau akan lihat dia menjadi khianat dan pengkhianat. Jika ia dianggap khianat dan pengkhianat, dicabutlah rasa kasih sayang darinya. Bila rasa kasih sayang itu sudah dicabut, kau akan lihat dia menjadi penjahat dan terlaknat. Apabila ia sudah jadi penjahat dan terlaknat, dicabutlah Islam darinya." (HR. Ibnu Majah)
Coba kita resapi hadist diatas, betapa dengan gamblang Rasulullah SAW memaparkan keadaan seseorang hanya dari satu sifat saja. Yaitu hilangnya rasa malu! Hanya karena tidak malu berakibat datangnya, nestapa, khianat, jadi penjahat, hilang amanah, dijauhi orang,dibenci dan seabreg keburukan lainnya.
Sudahkah kita punya rasa malu? Harus kita bedakan mana namanya pemalu dan namanya MALU menurut syariat.
Hilang Rasa Malu, Maka Kalbu Akan Mati
Kaitan antara kalbu dan rasa malu sangatlah kuat, jika kalbu ini sudah dan bahkan sering diisi oleh nutrisi Iman, ilmu syariat dan lainnya pasti rasa malunya pun akan bertambah. Namun kebalikannya jika hati ini tidak pernah diisi dengan iman yang segar, cuman dibiarkan begitu saja, tidak ada perubahan yang signifikan mungkinkah akan bertambah rasa malunya?
Kalau kalbu sudah dibiarkan terbengkalai, maka dipastikan lambat laun KALBU nya padam, sirna dan pastilah kalbunya tidak akan pernah menerangi akal dan raganya.
Kalau sudah begini:
Sudah tidak malu melakukan perbuatan tercela, menganggap sepele maksiat malah senang membicarakannya kepada orang lain
Kalau mendapat nikmat tidak bersyukur, kalau banyak mendapat kecewa bilang kesana kemari, menganggap hidup tidak adil.
Senang melakukan keburukan, ejek sana, menghina disini. Apapun yang ditulisnya membuat orang sakit hati, apapun yang dikatakannya membuat orang benci.
Tak malu pada umurnya, semakin bertambah usia harusnya lebih banyak belajar agama.
Tidak malu bahwa ibadahnya tidak berkualitas padahal bisa lebih jika berusaha.
Tidak punya rasa ingin lebih baik ibadahnya dari yang kemarin.
Tidak malu sampai sebesar ini belum juga berbakti kepada Orang tua.
Tak malu terus-terusan minta bahagia, tapi lupa dengan orang miskin dan anak yatim.
Coba perhatikan, kata HAYA (yang berarti MALU) diambil dari kata HAYAH (kehidupan) jadi seakan-akan rasa malu itu akan membuat kalbu seseorang itu hidup, membuat kalbu seseorang itu terus mencari jati diri. Maka pantas sekali jika rasa malu itu bagian dari Iman, sebagaimana kekasih kita Rasulullah Saw menegaskan:
"Malu dan Iman saling berkaitan, jika salah satunya terangkat maka yang lainnya pun terangkat." (HR. Hakim)
"Malu itu bagian dari Iman, dan Iman tempatnya di surga. Sementara keburukan bagian dari hati yang sesat. Dan hati yang sesat tempatnya di neraka." (HR. Tirmizi)
Ibrahim bin Adham, seorang Sholeh, seorang yang pantas kita dengar nasehatnya ketika ia ditanya tentang orang yang suka maksiat:
Jika kau mau maksiat, jangan maksiat di Bumi Allah
Jika kau mau maksiat, jangan makan rezeki Allah
Jika kau mau maksiat, jangan sampai terlihat oleh Allah
Jika datang malaikat maut menjemput, bilang saja tunggu dulu aku mau tobat dulu
Hadirkan dalam hati rasa malu ini:
Malu Karena Sering Berbuat Dosa:
Jangan pernah menghitung ibadah kita, karena jika kita hitung pasti akan merasa sudah cukup, Anggap ibadah kita kecil dan tidak berarti, kalau sudah begini pasti ada keinginan untuk beribadah lebih banyak dan lebih baik. Coba bayangkan sekali saja sholat wajib, tiba-tiba kita berghibah (membicarakan keburukan orang lain) bukankah pahala solat itu hilang tidak berbekas? Jadi apa yang tersisa?
Malu Karena Lalai
Setiap doa yang kita panjatkan biasanya berkisar akan keinginan dan harapan kita yang belum wujud. Namun lupa bersyukur, lupa tahajud, lupa berbakti pada orang tua, lupa zakat, lupa sedekah, lupa ke pengajian, lupa membesarkan agama Allah dan sederet lupa lainnya.
Malu Karena Cinta
Karena kita merasa cinta pada Allah dan Rasul, maka perbanyak menyebut Asma Allah, padahal kalau cinta seseorang, setiap detik, setiap saat selalu teringat.
Kalau cinta Allah kenapa sulit belajar Al-Qur’an, tak pernah membesarkan agama Allah.
Kalau cinta Nabi kenapa banyak sunnah-sunnahnya ditinggalkan?
Malu Karena Nikmat
Kalau merasa banyak nikmat Allah yang dirasakan, kenapa harus sedih, mengapa tidak memperbanyak ibadah?
Ust. Ackmanz Lc
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment