“HALAL, Tapi Tuhan Tidak Suka”. Judul artikel menggelitik ini terdapat di sebuah situs “Islam” tertanggal 6 Oktober 2010.
Berkisah tentang sebuah klaim fiqih yang menyatakan murtad bagi seorang muslim adalah hal lumrah, artikel ini kemudian mengqiyaskan pemurtadan yang dilakukan tiap mukmin setara dengan kasus perceraian. Jadi, walaupun Tuhan tidak suka, tapi halal. Begitu maksudnya.
Rupanya, kalimat Lâ Ikrâha fî ad-Dîn dalam Al Qur’an, bagi sang penulis adalah bukti tidak ada paksaan dalam beragama.
Keterpaksaan dalam beragama hanya akan melahirkan sosok-sosok labil yang tidak memiliki dasar filosofis-rasional dalam beragama. Nyaris mirip dengan memilih Istri.
Bahkan dalam tulisan lain berjudul “Salahkah Geert Wilders?”, seorang penulis menyatakan bahwa Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis cukup banyak membenarkan pandangan Geert Wilders seorang Belanda yang menghujat Islam, yang mengatakan Al Qur’an sebagai kitab barbar. Di akhir kalimat, sang penulis berujar:
“Orang yang meragukan Fitna Wilders dari sekarang harus menelaah al-Qur’an, hadis-hadis, dan sejarah Islam dengan akal yang sesehat-sehatnya.”
Kisah di atas adalah dua kasus dari bentuk situs Jaringan Islam Liberal (JIL) yang kerap mengeluarkan artikel penyudutan terhadap ajaran Islam. Nama JIL yang sudah tenar akan kenyelenehannya, kian populer pasca meledaknya Bom Utan Kayu hingga menyadarkan masyrakat luas bahwa JIL memang belum mati.
Betul memang nama JIL sempat redup, setelah desas-desus menyatakan mereka tidak lagi mendapat bantuan asing. Ulil Abshar Abdala sebagai koordinator membenarkan hal itu. Katanya, tahun 2004 adalah tahun terakhir bagi JIL dalam menerima dana asing.
Sejarah Jaringan Islam Liberal
Kisah seputar berdirinya JIL sebagai sebuah lembaga memiliki sejarah panjang. Kisah ini bermula dari sebuah mailing list (milis) bernama islamliberal@yahoogroups.com di awal tahun 2000-an. Kala itu, masih belum banyak pengikut milis ini, mengingat teknologi internet adalah perangkat teknologi masih relatif baru di kalangan masyarakat.
Sosialisasi milis ini pun belum tersebar secara merata. Beberapa mahasiswa muslim, alumni IAIN, dan juga dosen masih terpencar untuk dalam milis-milis kecil dan kelompok-kelompok kajian berbeda.
Namun yang jelas, wacana ataupun isu seputar liberalisasi pemikiran Islam bukanlah barang baru. Wacana akan hadirnya Islam liberal secara merata di seluruh daerah sudah sempat dimulai oleh beberapa kalangan, bahkan jauh sebelum ide sekularisasi Nurcholish Madjid mengemuka pada tahun 1970-an.
Setidaknya menurut Greg Barton dalam bukunya “Gerakan Islam Liberal di Indonesia” (Paramadina: 1999), sebuah kelompok diskusi di Jogjakarta tahun 1967 sudah melakukan inisiasi dalam mempopulerkan gagasan liberalisasi pemikiran Islam.
Adalah Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi yang terlibat aktif dalam diskusi Liberalisasi pemikiran Islam di rumah HA Mukti Ali. HA. Mukti Ali sendiri pada tahun 1971 terpilih menjadi Menteri Agama menggantikan KH. M Dachlan (Kabinet Pembangunan I) yang belum habis masa jabatannya, dan melanjutkan jabatan itu selama periode Kabinet Pembangunan II (1973-1978).
Sedangkan nama Ahmad Wahib adalah sosok yang juga menjadi penting akan “kelahiran” JIL. Naas mahasiswa Fisika UGM tersebut meninggal sesaat sebelum berangkat ke kantor Tempo sebagai wartawan pada tahun 1973. Nama Wahib kemudian menjadi tenar setelah itu.
Catatan hariannya yang berjudul “Pergolakan Pemikiran Islam” kemudian dibukukan dan menjadi “bacaan wajib” bagi mahasiswa liberal saat itu. Jika ingin tahu bagaimana gagasan liberal pada durasi tahun 60-an, mari kita dengarkan penuturan Wahib dalam catatan hariannya tertanggal 9 Oktober 1969:
“Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia.”
Tidak hanya itu, nama Ahmad Wahib pun kian santer setelah dijadikan sayembara penulisan esai di bidang pemikiran Islam liberal dengan tajuk “Ahmad Wahib Award”.
Pada tahun 2008 misalnya, tema-tema yang diangkat untuk ditulis nyaris mengkultuskan Wahib seperti “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Ahmad Wahib dan Kebinekaan Indonesia”; “Ahmad Wahib dan Islam Warna-Warni: Menyikapi Perbedaan dalam Ber-Islam”; “Berpikir Bebas bersama Ahmad Wahib, Siapa Takut?”. Juara pertama akan mendapatkan hadiah Rp. 20 Juta. Sebuah angka fantatis bagi ukuran mahasiswa S1.
Dalam bukunya “50 Tokoh Islam Liberal Indonesia” (Hujah Press: 2007), Budi Handrianto menyebut tokoh lainnya yang berperan penting dalam perjalanan liberalisasi pemikiran di Indonesia, yakni tiga serangkai pemikir sekaligus birokrat: Harun Nasution, Abdurahman Wahid, dan Munawir Sjadzali.
Kembali ke masalah milis, melihat animo yang cukup banyak, jejaring maya ini memiliki daya tahan cukup lama. Muka-muka baru pun muncul mewarnai diskusi seiring derasnya buku-buku liberal hadir di tengah masyarakat.
Dominasi periodeisasi pra kelahiran JIL masih dikuasai basis sedimentasi anak-anak Ciputat, juga tak sedikit dari alumni Barat dan para akademisi Jojga yang direpresentasikan mahasiswa IAIN Jogjakarta dan UGM. Dari serangkaian diskusi-diskusi inilah kemudian tergagas keinginan untuk membentuk suatu wadah bernama Jaringan Islam Liberal.
Pada tahun 2001 akhirnya Jaringan Islam Liberal (JIL) resmi didirikan di Jakarta. Menurut Luthfi Asy Syaukanie, salah satu pentolan JIL dan lulusan Melbourne, organisasi (lebih tepatnya gerakan) ini melengkapi munculnya organisasi Islam serupa yang sudah ada lebih dulu seperti, Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), serta Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ).
Sejak awal, menurut Luthfi Asy Syaukanie, JIL memang diniatkan sebagai payung atau lebih tepatnya penghubung organisasi Islam Liberal yang ada di Indonesia. Karena itu, gerakan ini tak memakai nama organisasi atau lembaga, tapi jaringan. Dengan nama jaringan, JIL berusaha jadi komunitas tempat para aktivis Muslim berbagai organisasi Islam Liberal berinteraksi dan bertukar pandangan secara bebas.
Sebagai tempat beraktifitas, lokasi Jalan Utan Kayu no. 68 H, di sekitaran komplek Rawamangun Jakarta Timur menjadi pilihan utama sebagai kantor JIL. Sebidang tanah ini sebenarnya adalah milik jurnalis dan intelektual senior Goenawan Mohammad yang juga memiliki visi sama dengan JIL. Komunitas Utan Kayu sendiri didirikan pada tahun 1996 sebagai bentuk perlawanan, khususnya di bidang informasi, terhadap rezim Orde Baru.
Goenawan Mohammad sempat menceritakan bahwa di Utan Kayu juga berdiri galeri kecil dan teater sederhana, yakni Galeri Lontar dan Jurnal Kebudayaan Kalam – ketiganya bergerak di lapangan kesenian baik untuk acara kesenian maupun pertemuan politik.
Selain daripada kedua hal diatas, Komunitas Utan Kayu juga memiliki kantor berita yang dipimpin oleh Santoso. Radio inilah yang disebut KBR 68H.
PASCA berdiri pada tanggal 8 maret 2001, Jaringan Islam Liberal (JIL) mulai disibukkan serangkaian agenda-agenda penting mereka untuk membumikan garis liberalisasi pemikiran Islam yang sempat booming pada era 1970-an. Tanggal ini pula menjadi saksi untuk pertama kali situs JIL didirikan dengan nama islamlib.com.
Dalam situs tersebut dijelaskan makna Islam Liberal dalam perspektif JIL adalah suatu bentuk penafsiran atas Islam dengan landasan: Pertama, membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Kedua, mengutamakan semangat religio-etik dan bukan makna literal teks. Ketiga, mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. Keempat, memihak pada minoritas yang tertindas. Kelima meyakini kebebasan beragama. Keenam memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi serta keagamaan dan politik (sekularisme).
Pada gilirannya, nama-nama seperti Goenawan Mohammad, Ahmad Sahal, Ulil Abshar Abdalla, Luthfie Asy-syaukanie, Hamid Basyaib dan Nong Darol Mahmada bisa disebut sebagai generasi pertama yang menggawangi lahirnya JIL.
Namun jika dikerucutkan kembali, kemunculan JIL tidak lepas dari tangan Ulil Abshar Abdalla (Lakpesdam NU), Ahmad Sahal (Jurnal Kalam), dan Goenawan Mohamad (ISAI) sebagai trimurti berdirinya JIL yang sempat melontarkan wacana itu ketika duduk-duduk di Jalan Utan Kayu 68 H, Jakarta Timur, Februari 2001.
Uniknya, jika kita berkaca pada nama-nama di atas, tak sedikit pengalaman mereka dipenuhi oleh deretan riwayat pendidikan pesantren dan perguruan tinggi Islam yang cukup kuat di Indonesia. Tak jarang pula mereka sempat berguru kepada para Ulama dan dosen yang sangat tulus dan lurus dalam memahami Islam.
Mari kita ulas satu persatu. Ahmad Sahal, misalnya, ia adalah Juara Pertama Pembaca Kitab Kuning dalam ajang Lomba Baca Kitab Kuning di Kampus IAIN Syahid Jakarta tempo dulu.
Sahal pula dikenal sebagai aktivis dari keluarga NU yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren Futuhiyyah, Mranggen Demak dan al-Falah, Ploso, Mojo, Kediri.
Atau Ulil Abshar Abdalla, mantan Mahasiwa LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) yang keluar dari “mainstream”. Ia sempat kuliah di LIPIA pada tahun 1988 sampai 1993 sebelum sempat di drop-out.
Seperti mahasiswa LIPIA pada umumnya, Ulil juga mempelajari kita-kitab tauhid seperti karangan Ibnu Taimiyyah. Bahkan Ulil nyaris saja mendapat gelar sarjana di Fakultas Syari’ah. Namun sayang, berkah LIPIA urung dia dapatkan hingga kemudian dikeluarkan pihak kampus tanpa sempat menyabet gelar akademis satu pun.
Sebagai santri, Ulil muda adalah seorang pelajar di Madrasah Mathali’ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz (wakil Rois Am PBNU periode 1994 1999 dan Rois Am PBNU 2004-2010). Tak hanya itu, Ulil juga pernah “mondok” di Pesantren Mansajul ‘Ulum, Cebolek, Kajen, Pati, serta Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang.
Berbeda dengan Ulil yang membela Ahmadiyah, KH Sahal Mahfudz justru terkenal keras menentang Ahmadiyah. Romo Kyai -begitu para santri- meminta agar Ahmadiyah keluar dari Islam. Beliau terkenal garang dalam mengkritik kalangan muda NU yang memakai jurus “atas nama HAM” untuk membela kehadiran Ahmadiyah.
KH. Sahal dengan tegas menyatakan bahwa Ahmadiyah mempunyai akidah yang berbeda dengan agama Islam. Ketua Umum MUI pun berkali-kali menyatakan Ahmadiyah sesat dan meminta pemerintah untuk membubarkan dalam kapasitasnya sebagai petinggi Majelis Ulama Indonesia.
Kisah lain guru, lain murid selanjutnya berlanjut jika kita menyebut nama Nong Darol Mahmada. Perempuan muda yang “istiqomah” melepas jilbabnya setelah keluar dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini pernah menulis tentang pengalamannya menjadi seorang yang taat beribadah sebelum singgah mengadopsi pemikiran liberal.
“Aku lahir dari keluarga santri. sejak kecil belajar mengaji. Lulus SD, terus nyantri di pesantren Cipasung Tasikmalaya dari SMP-SMA. Padahal orang tuaku punya pesantren dan sekolah.”
Bahkan mantan kader Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI) kala kuliah itu terang-terangan mengakui bahwa dirinya berada dalam derajat liberal yang kaffah. Simaklah ucapannya berikut ini:
“Di Freedom Institute dan Jaringan Islam Liberal, kita semua dekat seperti saudara. Yang menyatukan kita adalah kita benar-benar menjadi liberal yang kaffah. Kita merasa satu ide, satu perjuangan.”
Padahal jika kita tarik ke belakang, nama Pondok Pesantren Cipasung bukanlah institusi pendidikan Islam yang bisa dipandang sebelah mata. Pesantren terkemuka di Indonesia ini diasuh oleh seorang ulama kharismatik yang terekam dalam sejarah sebagai mujahid Islam.
Pondok pesantren Cipasung Tasikmalaya didirikan pada tahun 1930 oleh almarhum KH. Ruhiat dengan semangat syiar Islam demikian besar. Almarhum adalah tokoh terkemuka pada zamannya. Beliau terkenal teguh memegang prinsip Syariat Islam dan gigih mewarisi pendidikan Pesantren sekali pun halangan dan rintangan menghadang, utamanya dari pihak Kolonial yang menyebabkan Alm. KH. Ruhiat harus keluar masuk penjara.
Walaupun hidup dalam keadaan mencekam, beliau dengan penuh kesabaran dan ketawakalan, tidak henti-hentinya membina pesantren ini dengan ikhlas. Kyai Ruhiat memberikan pendidikan dan pengajaran kepada para santri tanpa mengenal lelah siang dan malam. Semuanya itu demi cita-cita mulia, yakni mendidik generasi muslim menjadi insan soleh dan takwa di jalan agama.
Bahkan Belanda pernah berusaha membunuh Kyai Ruhiat dengan melepaskan serentetan tembakan ke arahnya, namun berkat pertolongan Allah SWT, usaha ini gagal. Kendati demikian, bukan berarti tidak ada korban dalam aksi penyerangan itu. Kyai Ruhiat boleh selamat, namun muntahan peluru tersebut justru mengenai tiga orang santri yang setia bersamanya kala itu.
Abdur Rozak santri asal Tawang Banteng dan Ma’mun yang berasal dari Rancapaku keduanya gugur sebagai syuhada. Sedangkan santri lainya bernama Aen, mendapat luka lebar di bagian kepala.
Setelah dahsyatnya ancaman dan terror datang silih berganti, Ulama kharismatik itu pun ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara Tasikmalaya. Selama kurang lebih sembilan bulan beliau hidup dalam pengasingan jeruji besi, hingga pada tanggal 27 Desember 1949 pimpinan Ponpes Cipasung itu baru dibebaskan.
Namun sekalipun beraneka cobaan dan cerita pahit senantiasa menghampiri, Kyai Ruhiat tergolong Ulama yang sabar dan ikhlas berjuang menyisipkan iman kepada Allah SWT. Beliau berprinsip sekalipun hidup dalam kondisi sulit, kegiatan mencetak generasi-generasi soleh di pesantren tidak boleh hanyut tergerus waktu apalagi karam diterpa gelombang.
Entah apa jadinya jika KH Ruhiat masih hidup. Perjuangannya yang mesti dibayar dengan darah dan nyawa untuk mempertahankan pesantren bisa jadi sekarang sedang dikhianati oleh santrinya sendiri.
Dalam situs JIL, Nong Darol Mahmada pernah mengritik pemberlakuan hukum wajib berjilbab dalam Islam. Dengan mempersoalkan dalil sahih pemakaian jilbab, ia memulai tulisannya dengan pertanyaan “Benarkah jilbab itu adalah syariat Islam?”
Lantas dengan menelaah buku “Kritik Atas Jilbab” karya Muhammad Said Al-Asymawi yang diterbitkan JIL bulan April 2003, Nong mendelegasikan pernyataan yang justru tidak akan bisa diterima oleh umat Islam. Ia menulis, “Sebenarnya konsep hijab bukanlah milik Islam. Dalam kitab Taurat, Injil, bahkan sebelum munculnya agama-agama Samawi, (seperti zaman Asyria), tradisi penggunaan jilbab sudah dikenal. Pelembagaan hijab dalam Islam didasarkan pada ayat 24 Surat An-Nur.”
Menurut Nong, kalimat dalam ayat “hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya” adalah merupakan reaksi dari tradisi pakaian perempuan Arab jahiliah karena menurut tafsir Ibnu Katsir, perempuan zaman jahiliah biasa memperlihatkan lehernya. Artinya, ayat jilbab di atas bersifat kondisional.”
Lalu dengan mengutip Abu Syuqqah, Nong menulis bahwa kalimat “yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal…” dalam ayat 33:59, menunjukkan bahwa maksud, penggunaan jilbab adalah untuk membedakan perempuan merdeka dan perempuan budak, bukan pada substansi ajaran Islam. Bahkan lebih jauh lagi, Nong mengomentari bahwa ayat ini menunjukkan ketidakjelasan Islam dalam melihat posisi budak.
“Inilah yang dipahami bersifat elitis dan diskriminatif. Karena dengan ayat ini, ingin membedakan status perempuan Islam yang merdeka dan budak. Di sini dapat dilihat ambiguitas Islam dalam melihat posisi budak. Satu sisi ingin menghancurkan perbudakan, di sisi lain, masih mempertahankannya dalam strata masyarakat Islam misalnya dalam perbedaan berpakaian di atas.” tulis nong.
Kisah “penghianatan” murid kepada guru juga terjadi pada pendiri JIL lainnya yakni Luthfie Asy-Syaukani. Luthfie yang pernah melukai hati umat ketika menyamakan kasus Lia Eden dengan apa yang dialami Nabi Muhammad SAW, tidak lain adalah mahasiswa Prof Naquib Al Attas saat di ISTAC-IIUM Malaysia dalam jenjang Magister.
Berbeda dengan sang murid, Prof Al Attas adalah akademisi yang sangat concern melawan liberalisme, sekularisme, dan pluralisme Agama. Dari kegigihan Prof Al Attas lah lahir nama-nama cendekiawan muslim Indonesia yang kini silih berganti menangkal bahaya penyesatan Jaringan Islam Liberal. Sebutlah seperti DR. Adian Husaini, DR. Syamsuddin Arif hingga DR. Hamid Fahmy Zarkasy.
Dalam menepis bahaya Sekularisme dimana ada pemisahan antara agama dan politik, serta relasi Islam dan Ilmu, Al Attas sampai membuat satu buku berjudul “Islam and Secularism”.
Al Attas jugalah yang menekankan tiap mahasiswanya untuk tidak minder terhadap Barat. Al-Attas kemudian menuding bahwa konsep ilmu sekular Barat adalah sumber kerusakan terbesar bagi umat manusia saat ini.
Karena itu, saat menjadi Keynote Speaker pada Konferensi Pendidikan Islam di Mekkah, 1977, Al-Attas menggulirkan makalah berjudul ”The Dewesternization of Knowledge.” Dan langkah awal diajukannya untuk membangun peradaban Islam adalah “Islamisasi Ilmu.”
Sekali lagi: Lain guru, lain murid. Sebaliknya, Luthfie amat kagum kepada Barat. Ia pernah mengecam umat muslim yang alergi terhadap sekularisme. Dalam tulisannya, Berkah Sekularisme, yang dimuat pada koran Jawa Pos tahun 2005, Luthfie menyatakan bahwa Sekularisme adalah berkah bagi agama-agama.
“Dalam perkembangannya, sekularisme menjadi konsep yang sangat efektif, bukan hanya dalam meredam konflik dan ketegangan antara kuasa agama dan negara, tapi juga dalam memberikan landasan pada demokrasi dan persamaan hak.” tulis Luthfie. (Pizaro/Islampos)
SETELAH generasi pertama Jaringan Islam Liberal naik daun. Era berfikir liberal mulai beralih ke generasi yang lebih muda. Nama-nama pengusung pemikiran liberal tidak lagi hanya menjadi domain Ulil Abshar Abdalla, Nong Darol Mahmada, ataupun Ahmad Sahal.
Budhy Munawar Rahman menyebut minimal ada lima orang yang menjadi kiblat generasi kedua JIL, yakni Abdul Moqsith Ghazali, Guntur Romli, Novriantoni, Anick Hamin Tohari, dan Burhanuddin Muhtadi. [1]
Tak jauh berbeda dari pendahulunya, generasi penerus ini pun tampak lebih berani dan semakin gigih melontarkan ucapan-ucapan menyeleh. Dari menganggap murtad perkara biasa sampai menyatakan KH. Kholil Ridwan bid’ah karena mengharamkan film “?” Hanung. Mari kita kupas satu persatu.
Abdul Moqsith Ghazali: Ketika Murtad Menjadi Hal Biasa
Nama ini sudah tidak asing bagi pengkaji pemikiran Islam. Ia adalah dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dilahirkan di Situbondo pada 7 Juni 1971, Moqsith -sapaan akrabnya- kini telah menamatkan program S-3 di almamater yang sama.
Nama Moqsith mulai mencuat ketika menjadi konsultan dan pengasuh rubrik fiqh majalah Syir’ah Jakarta bersama fatwa-fatwanya yang dinilai kontroversial. Salah satunya menimpa salah seorang ibu ketika berkonsultasi tentang masalah fiqih. Singkatnya sang ibu memiliki anak yang berencana pindah agama meninggalkan Islam.
Sang anak yang duduk di bangku kuliah itu sudah tidak betah berada dalam agama suci ini karena termakan isu terorisme. Ibu tersebut lalu bertanya kepada Moqsith, “Bagaimana pandangan fikih Islam menyangkut perpindahan agama?”
Menjawab pertanyaan hukum murtad tersebut, Moqsith mengemukakan tiga ayat Qur’an yaitu “bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” (QS Al Kafirun: 6), “Barangsiapa yang ingin beriman maka berimanlah dan barangsiapa ingin kafir maka kafirlah (Al Kahfi 29). “dan tidak ada paksaan di dalam urusan agama” (Al Baqarah: 256).
Setelah mengutip ketiga ayat tersebut Moqsith menjelaskan, “Ayat-ayat diatas cukup jelas bahwa manusia itu tidak dipaksa untuk memeluk suatu agama dan keluar dari agamanya. Tuhan memberi kebebasan penuh kepada manusia untuk beriman dan tidak beriman, beragama Islam ataupun tidak. Kalau Tuhan saja tidak memaksa seluruh hamba-hambanya untuk beriman kepadaNya, maka lebih-lebih orangtua terhadap anaknya.”
Setelah itu Moqsith menyimpulkan, “Namun sekiranya dia telah berketetapan hati untuk pindah agama ke agama lain maka tidak ada pilihan kecuali bahwa ibu mesti mengikhlaskan kepergiannya ke agama lain. Sesuai dengan perintah Al Qur’an di atas, tidak boleh ada pemaksanaan menyangkut perkara agama” (Majalah Syir’ah No 39 hal 84-85) [2]
Disertasi Moqsith pun sempat menuai kontroversi di UIN Syarih Hidayatulah Jakarta. Ia menulis penelitian untuk gelar doktor itu dengan judul Pluralitas Umat Beragama dalam al-Qur’an: Kajian terhadap Ayat Pluralis dan Tidak Pluralis. [3]
Dalam disertasi itu, untuk mendukung pluralisme agama, Moqsith sampai-sampai menyelewengkan Sirah Nabawiyah. Dia mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw pernah menikahi wanita Kristen koptik bernama Maria Qibtiyyah. Ia juga menyebutkan ada sahabat yang menikahi wanita ahlul kitab yakni, Utsman bin ‘Affan, Thalhah bin Abdullah, Khudzaifah bin Yaman, dan Sa’ad bin Abi Waqash.
Tak puas mendistorsi sirah, ia mengobok-obok ajaran Islam. Moqsith menulis, “… terutama Yahudi dan Nasrani, Islam tak menafikkan konsep-konsep ajarannya. Kebenaran wahyu dalam agama-agama itu tidak bertentangan satu dengan lainnya.” Untuk mendukung argumennya itu, ia mengutip surat al-Maidah ayat 48. [4]
Sayang dari delapan penguji, hanya satu yang menolak meluluskan disertasi nyeleneh ini yakni Profesor Salman Harun. Beliau mencap Moqsith telah melakukan pemurtadan dan menyembunyikan tafsir-tafsir ulama klasik yang menolak pluralisme. “Disertasi kayak begini kok lulus?” geram Prof Salman. [5]
Sekalipun berpemikiran liberal, Moqsith tercatat sebagai dewan pengasuh pondok pesantern Zainul Huda, Arjasa, Sumenep Madura. Ia juga menulis di pebagai jurnal seperti Tashwirul Afkara (Lakpesdam NU), Jurnal Dialog Litbang Depag RI serta aktif menjadi editor buku-buku Islam. Terakhir ia pun menulis buku berjudul Metodologi Studi Al Qur’an (2010), sekalipun judul buku itu terlihat Islam, di dalamnya justru meragukan kesucian Al Qur’an.
Guntur Romli: Kerap Berbohong dan Melecehkan
Untuk kita ketahui saja, Guntur Romli telah menikah dengan sesama aktivis JIL lainnya, yakni Nong Darol Mahmada. Entah apa yang menyatukan kedua insan ini. Mungkin memang karena Nong dan Guntur memiliki kesamaan pemikiran dalam memandang Islam liberal, atau mungkin juga ingin membentuk contoh keluarga liberal? Wallahua’lam.
Guntur lahir di Situbondo, Jawa Timur. Ia berhasil lulus dari Pesantren Al Amien Madura lalu melanjutkan belajar di Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir dari tahun 1998 sampai akhir tahun 2004.
Sekalipun ia jebolan Universitas Al Azhar, tak menutup dirinya untuk berfikiran liberal. Dalam tulisannya yang sempat dimuat di sebuah jurnal feminisme radikal, Guntur Romli menyatakan bahwa Umar bin Khathab pernah melakukan anal seks.
Tuduhan tersebut diklaimnya bersumber dari tafsir al-Durrul Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur karya Imam Suyuthi. Hal itu diungkap Munarman pada kasus persidangannya terkait Insiden Monas, senin 8 september tahun 2009. Kita tahu kasus itu sangat santer.
Namun, Guntur tidak mengakui soal tulisannya tersebut. Ia beralasan apa yang dia tulis tidak persis seperti itu. Munarman pun menunjukkan tulisan Guntur yang lain. Salah satunya berjudul “Pewahyuan Al-Quran: Antara Budaya dan Sejarah” yang dimuat Koran Tempo pada 4 Mei 2007.
Dalam tulisan itu, Guntur menyebut Al Qur’an merupakan rumusan gotong royong antara Allah SWT, Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad saw. Guntur juga menuding Al Qur’an adalah kitab saduran yang menyunting (mengedit) keyakinan dari kitab suci Kristen sekte Ebyon, yang disesuaikan dengan kepentingan penyuntingnya.
Salah satu kepentingannya adalah karena kedekatan Nabi Muhammad dengan Waraqah bin Naufal, seorang rahib Kristen Ebyon, yang memiliki jasa besar dalam menikahkannya dengan Khadijah. Berikut tuduhan Guntur:
“Bukti lain bahwa Al Qur’an tidak bisa melampaui konteksnya adalah kisah tentang Nabi Isa (Yesus Kristus). Sekilas kita melihat bahwa kisah Nabi Isa dalam Al Qur’an berbeda dengan versi Kristen. Dalam Al Qur’an, Isa (Yesus) hanyalah seorang rasul, bukan anak Allah dan akhir hayatnya tidak disalib. Sementara itu dalam doktrin Kristen, akhir hidup Yesus itu disalib, yang diyakini untuk menebus dosa umatnya.
“Ternyata kisah tentang tidak disalibnya Nabi Isa juga dipengaruhi oleh keyakinan salah satu kelompok Kristen minoritas yang berkembang saat itu, yakni sekte Ebyon. Bagi kelompok Kristen mayoritas yang menyatakan Isa (Yesus) mati di salib, sekte Ebyon adalah sekte Kristen yang bi’dah…
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa Al Qur’an lebih memilih pandangan Ebyon yang minoritas dan keyakinannya dianggap bid’ah oleh mayoritas Kristen waktu itu? Saya memiliki dua asumsi. Pertama, karena pandangan Ebyon ini lebih dekat dengan akidah ketauhidan Islam. Kedua, sepupu Khadijah bernama Waraqah bin Naufal adalah seorang rahib sekte Ebyon. Kedekatan Waraqah dengan pasangan Muhammad-Khadijah diakui oleh sumber-sumber Islam, baik dari buku-buku Sirah (Biografi Nabi Muhammad), seperti Sirah Ibn Ishaq dan Ibn Hisyam, ataupun buku-buku hadis standar: Al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain.”
Artikel inilah yang dibawa Munarman dipersidangan. Hal itu dilakukan karena Munarman ragu saat Guntur dijadikan saksi atas kasus AKKBB saat tragedi Monas karena kerap menulis hal yang nyeleneh.
Namun anehnya, Guntur menolak jika dikatakan tulisan tersebut merupakan hasil karyanya sendiri. “Saya menolak karena itu bukan tulisan saya,” bantah Guntur.
Padahal, setelah mendapatkan izin majelis hakim, Munarman menunjukkan berkas tulisan-tulisan tersebut pada Guntur, jaksa dan pengacaranya. Dan jika anda tidak percaya, anda bisa menelusuri sendiri bahwa tulisan itu benar adanya dari Guntur. Silahkan dicek pada situs tempo (http://www.korantempo.com/korantempo/cetak/2007/05/04/Opini/krn.20070504.100548.id.html)
Dalam kesaksiannya di persidangan, Guntur Romli juga sempat memberikan keterangan yang berbeda terkait dengan posisinya saat kejadian insiden Monas.
“Dalam jangka waktu 2 menit, ada 4 keterangannya yang berbeda,” ujar Munarman saat rehat sidang untuk buka puasa dan sholat maghrib. [6]
Selain gemar berbohong, Guntur juga kerap melecehkan. Baru-baru ini Guntur melecehkan KH. Kholil Ridwan yang mengharamkan film ? milik Hanung. Guntur mengatakan apakah menonton film itu bid’ah, karena tidak ada di zaman Nabi. “Maaf, Cholil Ridwan juga bid’ah karena muka dia juga tidak ada di zaman Nabi,” terangnya. Sekali lagi dengan gaya melecehkan. [7] (Pz/Islampos/bersambung)
Catatan Kaki
[1] Budhy Munawar Rachman, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. (Jakarta: Grasindo, 2010) h. 32
[2] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme Agama, (Jakarta: Hujjah Press, 2007). h. 179-181
[3] Disertasi ini kini telah menjadi buku dengan judul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Jakarta: KataKita, 2009, 401 halaman)
[4] Erdy Nasrul, Demi Pluralisme Sirah Nabi Diplintir, Liputan Majalah Sabili
[5] http://www.wahidinstitute.org/, Moqsith Raih Gelar Doktor”Disertasi Begini kok Lulus”, Rabu, 19 Desember 2007
[6] http://suara-islam.com, Sebut Sahabat Umar ra Pelaku Anal Seks, Munarman Ragukan Kredibilitas Guntur Romli. Senin, 8 September 2009
[7] http://pedomannews.com, Guntur Romli: Cholil Juga Bid’ah, Mukanya Nggak Ada di Zaman Nabi . Ahad, 17 April 2011
www.islampos.com
No comments:
Post a Comment