Andai Hidayah Bisa Dibeli
Andai hidayah itu bisa dibeli di pasar-pasar, aku siap bekerja keras membanting tulang siang dan malam, mencari uang yg sebanyak-banyaknya, agar aku bisa membeli hidayah yg sebanyak-banyaknya pula.
Lalu aku berikan pada keluargaku, karib kerabatku, tetanggaku, teman-temanku, serta siapa saja yg aku cintai dan kuinginkan kebaikan baginya.
Namun...
Hidayah tak bisa dibeli. Hidayah tak dijual. Hidayah tak bisa ditebus dengan segepok uang, tak pula dengan segunung emas permata. Hidayah tak bisa dihadiahkan.
Sebab, hidayah ada di tangan Allah. Milik Allah. Haknya Allah. Terserah kehendak Allah, dianugerahkan kepada siapa.
Hidayah tidaklah diberikan kepada orang yang banyak uang. Namun, Allah karuniakan kepada orang yang tulus mencintai, mencari, serta mempelajari al-Haq.
Allah Maha Tahu, siapa dari kalangan hamba-Nya yang pantas beroleh hidayah.
Yakni hamba yg memang hati nuraninya menghendaki kebaikan untuk dirinya, untuk kebahagiaan akhiratnya. Hidayah akan sulit diraih oleh jiwa yang sombong terhadap kebenaran, serta merasa tak butuh kepada kebaikan dirinya dalam hidup di dunia dan akhirat.
Maka...
Bila engkau hingga hari ini belum mengecap manisnya hidayah, belum berpijak di atas al-Haq, periksalah jiwamu.
Barangkali jiwamu congkak terhadap kebenaran, barangkali malas mencari dan mempelajari kebenaran, hingga hidayah itu tak jua menyapamu.
"Rabbanaa laa tuzigh quluubanaa ba'da idz hadaitanaa wa hab lanaa min ladunka rahmah innaka Antal Wahhaab."
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)."
Aku Bangga Menjadi Muslim
Aku adalah Muslim;
Aku bangga menjadi Muslim;
Karena sejarah membuktikan:
Bukan Muslim yang memulai perang dunia pertama.
Bukan Muslim yang memulai perang dunia kedua.
Bukan Muslim yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki dengan menggunakan bom atom.
Bukan Muslim yang membunuh 200 juta Indian Amerika Utara.
Bukan Muslim yang menghabisi 80 juta Indian Amerika Selatan.
Bukan Muslim yang membunuh 90 juta Aborigin Australia.
Bukan Muslim yang menjadikan 180 juta orang Afrika sebagai budak lalu membuang 70 persen dari mereka yang meninggal ke lautan Atlantik.
Bukan Muslim yang menjajah Indonesia, Bosnia, Afghanistan, Ethiopia, Checnya, Suriah, Palestina dan negara-negara lainnya.
Bukan Muslim yang memulai kasus Poso, Ambon, Maluku, dan Papua.
Bukan Muslim yang memfitnah Irak dengan senjata pemusnah massal yang ternyata cuma isapan jempol belaka.
Bukan Muslim yang serakah merebut ladang minyak Timur Tengah.
Bukan Muslim yang suka menghina Nabi dan agama lain.
Dan aku bangga...
Walau Islam tidak pernah teriak-teriak sebagai agama damai, tapi Muslim tidak pernah menyerang siapa-siapa.
Walau Islam tidak pernah teriak-teriak HAM dan toleransi, tapi Muslim paling toleran.
Dibanding "PENDEKAR HAM" Amerika yang rasis kepada kulit hitam,
Dibanding Perancis yang melarang jilbab,
Dibanding Swedia yang melarang Adzan,
Dibanding Swiss yang melarang pendirian Masjid,
Muslim mayoritas itu toleran,
Muslim minoritas itu PEMBERANI,
Tapi tidak ada toleransi untuk melanggar perintah ALLAH Ta'ala,
Muslim bukan anjing yang serakah dengan nafsu menjajah,
Muslim bukan babi yang rakus nafsu membumi hangus,
Muslim bukan monyet licik yang selalu menebarkan fitnah,
Muslim tidak pernah mencari musuh,
dan Muslim HARAM lari saat jumpa musuh.
Wanita Cantik Di Mata Allah
Seorang wanita biasa akan terlihat cantik.
Seorang wanita manis akan terlihat semakin manis.
Dan seorang wanita cantik akan terlihat jauh lebih cantik.
Lalu siapakah Wanita itu?
- Wanita yang senantiasa menjaga keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah.
- Wanita yang senantiasa berpegang pada Sunnah dan meneladani Rasul-Nya.
- Wanita yang senantiasa menutupi auratnya serta tak berlebihan jika berhias.
- Wanita yang senantiasa berbakti kepada kedua orang tuanya.
- Wanita yang senantiasa patuh dan taat kepada suaminya (jika sudah bersuami).
- Wanita yang senantiasa menjaga kehalusan dan kesopanan dalam bertutur kata.
- Wanita yang senantiasa menjaga keindahan dan kemuliaan tingkah laku dan budi pekertinya.
- Wanita yang senantiasa bersikap ramah dan saling menyayangi antar sesama.
- Wanita yang senantiasa berusaha bersikap hormat kepada yang lebih tua dan bersikap menghargai kepada yang lebih muda.
- Wanita yang senantiasa bisa menjauhkan diri dari sekumpulan orang yang suka membicarakan kejelekan orang lain serta tidak suka memfitnah.
- Dan wanita yang pandai menempatkan diri baik dalam bertutur kata serta sikap ketika bersama siapapun ia bergaul dan dimanapun ia berada.
Semoga semua muslimah mampu untuk meraihnya.
Tidak Ada Iman Tanpa Rasa Malu
"Bila Allah hendak membinasakan seorang hamba, Dia akan mencabut rasa malu darinya. Bila rasa malu ini sudah dicabut, kau akan melihatnya dibenci dan dijauhi orang-orang. Apabila kaulihat ia dibenci dan dijauhi, dicabutlah sikap amanah darinya. Bila amanah itu sudah dicabut, kau akan lihat dia menjadi khianat dan pengkhianat. Jika ia dianggap khianat dan pengkhianat, dicabutlah rasa kasih sayang darinya. Bila rasa kasih sayang itu sudah dicabut, kau akan lihat dia menjadi penjahat dan terlaknat. Apabila ia sudah jadi penjahat dan terlaknat, dicabutlah Islam darinya." (HR. Ibnu Majah)
Coba kita resapi hadist diatas, betapa dengan gamblang Rasulullah SAW memaparkan keadaan seseorang hanya dari satu sifat saja. Yaitu hilangnya rasa malu! Hanya karena tidak malu berakibat datangnya, nestapa, khianat, jadi penjahat, hilang amanah, dijauhi orang,dibenci dan seabreg keburukan lainnya.
Sudahkah kita punya rasa malu? Harus kita bedakan mana namanya pemalu dan namanya MALU menurut syariat.
Hilang Rasa Malu, Maka Kalbu Akan Mati
Kaitan antara kalbu dan rasa malu sangatlah kuat, jika kalbu ini sudah dan bahkan sering diisi oleh nutrisi Iman, ilmu syariat dan lainnya pasti rasa malunya pun akan bertambah. Namun kebalikannya jika hati ini tidak pernah diisi dengan iman yang segar, cuman dibiarkan begitu saja, tidak ada perubahan yang signifikan mungkinkah akan bertambah rasa malunya?
Kalau kalbu sudah dibiarkan terbengkalai, maka dipastikan lambat laun KALBU nya padam, sirna dan pastilah kalbunya tidak akan pernah menerangi akal dan raganya.
Kalau sudah begini:
Sudah tidak malu melakukan perbuatan tercela, menganggap sepele maksiat malah senang membicarakannya kepada orang lain
Kalau mendapat nikmat tidak bersyukur, kalau banyak mendapat kecewa bilang kesana kemari, menganggap hidup tidak adil.
Senang melakukan keburukan, ejek sana, menghina disini. Apapun yang ditulisnya membuat orang sakit hati, apapun yang dikatakannya membuat orang benci.
Tak malu pada umurnya, semakin bertambah usia harusnya lebih banyak belajar agama.
Tidak malu bahwa ibadahnya tidak berkualitas padahal bisa lebih jika berusaha.
Tidak punya rasa ingin lebih baik ibadahnya dari yang kemarin.
Tidak malu sampai sebesar ini belum juga berbakti kepada Orang tua.
Tak malu terus-terusan minta bahagia, tapi lupa dengan orang miskin dan anak yatim.
Coba perhatikan, kata HAYA (yang berarti MALU) diambil dari kata HAYAH (kehidupan) jadi seakan-akan rasa malu itu akan membuat kalbu seseorang itu hidup, membuat kalbu seseorang itu terus mencari jati diri. Maka pantas sekali jika rasa malu itu bagian dari Iman, sebagaimana kekasih kita Rasulullah Saw menegaskan:
"Malu dan Iman saling berkaitan, jika salah satunya terangkat maka yang lainnya pun terangkat." (HR. Hakim)
"Malu itu bagian dari Iman, dan Iman tempatnya di surga. Sementara keburukan bagian dari hati yang sesat. Dan hati yang sesat tempatnya di neraka." (HR. Tirmizi)
Ibrahim bin Adham, seorang Sholeh, seorang yang pantas kita dengar nasehatnya ketika ia ditanya tentang orang yang suka maksiat:
Jika kau mau maksiat, jangan maksiat di Bumi Allah
Jika kau mau maksiat, jangan makan rezeki Allah
Jika kau mau maksiat, jangan sampai terlihat oleh Allah
Jika datang malaikat maut menjemput, bilang saja tunggu dulu aku mau tobat dulu
Hadirkan dalam hati rasa malu ini:
Malu Karena Sering Berbuat Dosa:
Jangan pernah menghitung ibadah kita, karena jika kita hitung pasti akan merasa sudah cukup, Anggap ibadah kita kecil dan tidak berarti, kalau sudah begini pasti ada keinginan untuk beribadah lebih banyak dan lebih baik. Coba bayangkan sekali saja sholat wajib, tiba-tiba kita berghibah (membicarakan keburukan orang lain) bukankah pahala solat itu hilang tidak berbekas? Jadi apa yang tersisa?
Malu Karena Lalai
Setiap doa yang kita panjatkan biasanya berkisar akan keinginan dan harapan kita yang belum wujud. Namun lupa bersyukur, lupa tahajud, lupa berbakti pada orang tua, lupa zakat, lupa sedekah, lupa ke pengajian, lupa membesarkan agama Allah dan sederet lupa lainnya.
Malu Karena Cinta
Karena kita merasa cinta pada Allah dan Rasul, maka perbanyak menyebut Asma Allah, padahal kalau cinta seseorang, setiap detik, setiap saat selalu teringat.
Kalau cinta Allah kenapa sulit belajar Al-Qur’an, tak pernah membesarkan agama Allah.
Kalau cinta Nabi kenapa banyak sunnah-sunnahnya ditinggalkan?
Malu Karena Nikmat
Kalau merasa banyak nikmat Allah yang dirasakan, kenapa harus sedih, mengapa tidak memperbanyak ibadah?
Ust. Ackmanz Lc
Geliat JIL dari waktu ke waktu
“HALAL, Tapi Tuhan Tidak Suka”. Judul artikel menggelitik ini terdapat di sebuah situs “Islam” tertanggal 6 Oktober 2010.
Berkisah tentang sebuah klaim fiqih yang menyatakan murtad bagi seorang muslim adalah hal lumrah, artikel ini kemudian mengqiyaskan pemurtadan yang dilakukan tiap mukmin setara dengan kasus perceraian. Jadi, walaupun Tuhan tidak suka, tapi halal. Begitu maksudnya.
Rupanya, kalimat Lâ Ikrâha fî ad-Dîn dalam Al Qur’an, bagi sang penulis adalah bukti tidak ada paksaan dalam beragama.
Keterpaksaan dalam beragama hanya akan melahirkan sosok-sosok labil yang tidak memiliki dasar filosofis-rasional dalam beragama. Nyaris mirip dengan memilih Istri.
Bahkan dalam tulisan lain berjudul “Salahkah Geert Wilders?”, seorang penulis menyatakan bahwa Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis cukup banyak membenarkan pandangan Geert Wilders seorang Belanda yang menghujat Islam, yang mengatakan Al Qur’an sebagai kitab barbar. Di akhir kalimat, sang penulis berujar:
“Orang yang meragukan Fitna Wilders dari sekarang harus menelaah al-Qur’an, hadis-hadis, dan sejarah Islam dengan akal yang sesehat-sehatnya.”
Kisah di atas adalah dua kasus dari bentuk situs Jaringan Islam Liberal (JIL) yang kerap mengeluarkan artikel penyudutan terhadap ajaran Islam. Nama JIL yang sudah tenar akan kenyelenehannya, kian populer pasca meledaknya Bom Utan Kayu hingga menyadarkan masyrakat luas bahwa JIL memang belum mati.
Betul memang nama JIL sempat redup, setelah desas-desus menyatakan mereka tidak lagi mendapat bantuan asing. Ulil Abshar Abdala sebagai koordinator membenarkan hal itu. Katanya, tahun 2004 adalah tahun terakhir bagi JIL dalam menerima dana asing.
Sejarah Jaringan Islam Liberal
Kisah seputar berdirinya JIL sebagai sebuah lembaga memiliki sejarah panjang. Kisah ini bermula dari sebuah mailing list (milis) bernama islamliberal@yahoogroups.com di awal tahun 2000-an. Kala itu, masih belum banyak pengikut milis ini, mengingat teknologi internet adalah perangkat teknologi masih relatif baru di kalangan masyarakat.
Sosialisasi milis ini pun belum tersebar secara merata. Beberapa mahasiswa muslim, alumni IAIN, dan juga dosen masih terpencar untuk dalam milis-milis kecil dan kelompok-kelompok kajian berbeda.
Namun yang jelas, wacana ataupun isu seputar liberalisasi pemikiran Islam bukanlah barang baru. Wacana akan hadirnya Islam liberal secara merata di seluruh daerah sudah sempat dimulai oleh beberapa kalangan, bahkan jauh sebelum ide sekularisasi Nurcholish Madjid mengemuka pada tahun 1970-an.
Setidaknya menurut Greg Barton dalam bukunya “Gerakan Islam Liberal di Indonesia” (Paramadina: 1999), sebuah kelompok diskusi di Jogjakarta tahun 1967 sudah melakukan inisiasi dalam mempopulerkan gagasan liberalisasi pemikiran Islam.
Adalah Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi yang terlibat aktif dalam diskusi Liberalisasi pemikiran Islam di rumah HA Mukti Ali. HA. Mukti Ali sendiri pada tahun 1971 terpilih menjadi Menteri Agama menggantikan KH. M Dachlan (Kabinet Pembangunan I) yang belum habis masa jabatannya, dan melanjutkan jabatan itu selama periode Kabinet Pembangunan II (1973-1978).
Sedangkan nama Ahmad Wahib adalah sosok yang juga menjadi penting akan “kelahiran” JIL. Naas mahasiswa Fisika UGM tersebut meninggal sesaat sebelum berangkat ke kantor Tempo sebagai wartawan pada tahun 1973. Nama Wahib kemudian menjadi tenar setelah itu.
Catatan hariannya yang berjudul “Pergolakan Pemikiran Islam” kemudian dibukukan dan menjadi “bacaan wajib” bagi mahasiswa liberal saat itu. Jika ingin tahu bagaimana gagasan liberal pada durasi tahun 60-an, mari kita dengarkan penuturan Wahib dalam catatan hariannya tertanggal 9 Oktober 1969:
“Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia.”
Tidak hanya itu, nama Ahmad Wahib pun kian santer setelah dijadikan sayembara penulisan esai di bidang pemikiran Islam liberal dengan tajuk “Ahmad Wahib Award”.
Pada tahun 2008 misalnya, tema-tema yang diangkat untuk ditulis nyaris mengkultuskan Wahib seperti “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Ahmad Wahib dan Kebinekaan Indonesia”; “Ahmad Wahib dan Islam Warna-Warni: Menyikapi Perbedaan dalam Ber-Islam”; “Berpikir Bebas bersama Ahmad Wahib, Siapa Takut?”. Juara pertama akan mendapatkan hadiah Rp. 20 Juta. Sebuah angka fantatis bagi ukuran mahasiswa S1.
Dalam bukunya “50 Tokoh Islam Liberal Indonesia” (Hujah Press: 2007), Budi Handrianto menyebut tokoh lainnya yang berperan penting dalam perjalanan liberalisasi pemikiran di Indonesia, yakni tiga serangkai pemikir sekaligus birokrat: Harun Nasution, Abdurahman Wahid, dan Munawir Sjadzali.
Kembali ke masalah milis, melihat animo yang cukup banyak, jejaring maya ini memiliki daya tahan cukup lama. Muka-muka baru pun muncul mewarnai diskusi seiring derasnya buku-buku liberal hadir di tengah masyarakat.
Dominasi periodeisasi pra kelahiran JIL masih dikuasai basis sedimentasi anak-anak Ciputat, juga tak sedikit dari alumni Barat dan para akademisi Jojga yang direpresentasikan mahasiswa IAIN Jogjakarta dan UGM. Dari serangkaian diskusi-diskusi inilah kemudian tergagas keinginan untuk membentuk suatu wadah bernama Jaringan Islam Liberal.
Pada tahun 2001 akhirnya Jaringan Islam Liberal (JIL) resmi didirikan di Jakarta. Menurut Luthfi Asy Syaukanie, salah satu pentolan JIL dan lulusan Melbourne, organisasi (lebih tepatnya gerakan) ini melengkapi munculnya organisasi Islam serupa yang sudah ada lebih dulu seperti, Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), serta Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ).
Sejak awal, menurut Luthfi Asy Syaukanie, JIL memang diniatkan sebagai payung atau lebih tepatnya penghubung organisasi Islam Liberal yang ada di Indonesia. Karena itu, gerakan ini tak memakai nama organisasi atau lembaga, tapi jaringan. Dengan nama jaringan, JIL berusaha jadi komunitas tempat para aktivis Muslim berbagai organisasi Islam Liberal berinteraksi dan bertukar pandangan secara bebas.
Sebagai tempat beraktifitas, lokasi Jalan Utan Kayu no. 68 H, di sekitaran komplek Rawamangun Jakarta Timur menjadi pilihan utama sebagai kantor JIL. Sebidang tanah ini sebenarnya adalah milik jurnalis dan intelektual senior Goenawan Mohammad yang juga memiliki visi sama dengan JIL. Komunitas Utan Kayu sendiri didirikan pada tahun 1996 sebagai bentuk perlawanan, khususnya di bidang informasi, terhadap rezim Orde Baru.
Goenawan Mohammad sempat menceritakan bahwa di Utan Kayu juga berdiri galeri kecil dan teater sederhana, yakni Galeri Lontar dan Jurnal Kebudayaan Kalam – ketiganya bergerak di lapangan kesenian baik untuk acara kesenian maupun pertemuan politik.
Selain daripada kedua hal diatas, Komunitas Utan Kayu juga memiliki kantor berita yang dipimpin oleh Santoso. Radio inilah yang disebut KBR 68H.
PASCA berdiri pada tanggal 8 maret 2001, Jaringan Islam Liberal (JIL) mulai disibukkan serangkaian agenda-agenda penting mereka untuk membumikan garis liberalisasi pemikiran Islam yang sempat booming pada era 1970-an. Tanggal ini pula menjadi saksi untuk pertama kali situs JIL didirikan dengan nama islamlib.com.
Dalam situs tersebut dijelaskan makna Islam Liberal dalam perspektif JIL adalah suatu bentuk penafsiran atas Islam dengan landasan: Pertama, membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Kedua, mengutamakan semangat religio-etik dan bukan makna literal teks. Ketiga, mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. Keempat, memihak pada minoritas yang tertindas. Kelima meyakini kebebasan beragama. Keenam memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi serta keagamaan dan politik (sekularisme).
Pada gilirannya, nama-nama seperti Goenawan Mohammad, Ahmad Sahal, Ulil Abshar Abdalla, Luthfie Asy-syaukanie, Hamid Basyaib dan Nong Darol Mahmada bisa disebut sebagai generasi pertama yang menggawangi lahirnya JIL.
Namun jika dikerucutkan kembali, kemunculan JIL tidak lepas dari tangan Ulil Abshar Abdalla (Lakpesdam NU), Ahmad Sahal (Jurnal Kalam), dan Goenawan Mohamad (ISAI) sebagai trimurti berdirinya JIL yang sempat melontarkan wacana itu ketika duduk-duduk di Jalan Utan Kayu 68 H, Jakarta Timur, Februari 2001.
Uniknya, jika kita berkaca pada nama-nama di atas, tak sedikit pengalaman mereka dipenuhi oleh deretan riwayat pendidikan pesantren dan perguruan tinggi Islam yang cukup kuat di Indonesia. Tak jarang pula mereka sempat berguru kepada para Ulama dan dosen yang sangat tulus dan lurus dalam memahami Islam.
Mari kita ulas satu persatu. Ahmad Sahal, misalnya, ia adalah Juara Pertama Pembaca Kitab Kuning dalam ajang Lomba Baca Kitab Kuning di Kampus IAIN Syahid Jakarta tempo dulu.
Sahal pula dikenal sebagai aktivis dari keluarga NU yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren Futuhiyyah, Mranggen Demak dan al-Falah, Ploso, Mojo, Kediri.
Atau Ulil Abshar Abdalla, mantan Mahasiwa LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) yang keluar dari “mainstream”. Ia sempat kuliah di LIPIA pada tahun 1988 sampai 1993 sebelum sempat di drop-out.
Seperti mahasiswa LIPIA pada umumnya, Ulil juga mempelajari kita-kitab tauhid seperti karangan Ibnu Taimiyyah. Bahkan Ulil nyaris saja mendapat gelar sarjana di Fakultas Syari’ah. Namun sayang, berkah LIPIA urung dia dapatkan hingga kemudian dikeluarkan pihak kampus tanpa sempat menyabet gelar akademis satu pun.
Sebagai santri, Ulil muda adalah seorang pelajar di Madrasah Mathali’ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz (wakil Rois Am PBNU periode 1994 1999 dan Rois Am PBNU 2004-2010). Tak hanya itu, Ulil juga pernah “mondok” di Pesantren Mansajul ‘Ulum, Cebolek, Kajen, Pati, serta Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang.
Berbeda dengan Ulil yang membela Ahmadiyah, KH Sahal Mahfudz justru terkenal keras menentang Ahmadiyah. Romo Kyai -begitu para santri- meminta agar Ahmadiyah keluar dari Islam. Beliau terkenal garang dalam mengkritik kalangan muda NU yang memakai jurus “atas nama HAM” untuk membela kehadiran Ahmadiyah.
KH. Sahal dengan tegas menyatakan bahwa Ahmadiyah mempunyai akidah yang berbeda dengan agama Islam. Ketua Umum MUI pun berkali-kali menyatakan Ahmadiyah sesat dan meminta pemerintah untuk membubarkan dalam kapasitasnya sebagai petinggi Majelis Ulama Indonesia.
Kisah lain guru, lain murid selanjutnya berlanjut jika kita menyebut nama Nong Darol Mahmada. Perempuan muda yang “istiqomah” melepas jilbabnya setelah keluar dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini pernah menulis tentang pengalamannya menjadi seorang yang taat beribadah sebelum singgah mengadopsi pemikiran liberal.
“Aku lahir dari keluarga santri. sejak kecil belajar mengaji. Lulus SD, terus nyantri di pesantren Cipasung Tasikmalaya dari SMP-SMA. Padahal orang tuaku punya pesantren dan sekolah.”
Bahkan mantan kader Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI) kala kuliah itu terang-terangan mengakui bahwa dirinya berada dalam derajat liberal yang kaffah. Simaklah ucapannya berikut ini:
“Di Freedom Institute dan Jaringan Islam Liberal, kita semua dekat seperti saudara. Yang menyatukan kita adalah kita benar-benar menjadi liberal yang kaffah. Kita merasa satu ide, satu perjuangan.”
Padahal jika kita tarik ke belakang, nama Pondok Pesantren Cipasung bukanlah institusi pendidikan Islam yang bisa dipandang sebelah mata. Pesantren terkemuka di Indonesia ini diasuh oleh seorang ulama kharismatik yang terekam dalam sejarah sebagai mujahid Islam.
Pondok pesantren Cipasung Tasikmalaya didirikan pada tahun 1930 oleh almarhum KH. Ruhiat dengan semangat syiar Islam demikian besar. Almarhum adalah tokoh terkemuka pada zamannya. Beliau terkenal teguh memegang prinsip Syariat Islam dan gigih mewarisi pendidikan Pesantren sekali pun halangan dan rintangan menghadang, utamanya dari pihak Kolonial yang menyebabkan Alm. KH. Ruhiat harus keluar masuk penjara.
Walaupun hidup dalam keadaan mencekam, beliau dengan penuh kesabaran dan ketawakalan, tidak henti-hentinya membina pesantren ini dengan ikhlas. Kyai Ruhiat memberikan pendidikan dan pengajaran kepada para santri tanpa mengenal lelah siang dan malam. Semuanya itu demi cita-cita mulia, yakni mendidik generasi muslim menjadi insan soleh dan takwa di jalan agama.
Bahkan Belanda pernah berusaha membunuh Kyai Ruhiat dengan melepaskan serentetan tembakan ke arahnya, namun berkat pertolongan Allah SWT, usaha ini gagal. Kendati demikian, bukan berarti tidak ada korban dalam aksi penyerangan itu. Kyai Ruhiat boleh selamat, namun muntahan peluru tersebut justru mengenai tiga orang santri yang setia bersamanya kala itu.
Abdur Rozak santri asal Tawang Banteng dan Ma’mun yang berasal dari Rancapaku keduanya gugur sebagai syuhada. Sedangkan santri lainya bernama Aen, mendapat luka lebar di bagian kepala.
Setelah dahsyatnya ancaman dan terror datang silih berganti, Ulama kharismatik itu pun ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara Tasikmalaya. Selama kurang lebih sembilan bulan beliau hidup dalam pengasingan jeruji besi, hingga pada tanggal 27 Desember 1949 pimpinan Ponpes Cipasung itu baru dibebaskan.
Namun sekalipun beraneka cobaan dan cerita pahit senantiasa menghampiri, Kyai Ruhiat tergolong Ulama yang sabar dan ikhlas berjuang menyisipkan iman kepada Allah SWT. Beliau berprinsip sekalipun hidup dalam kondisi sulit, kegiatan mencetak generasi-generasi soleh di pesantren tidak boleh hanyut tergerus waktu apalagi karam diterpa gelombang.
Entah apa jadinya jika KH Ruhiat masih hidup. Perjuangannya yang mesti dibayar dengan darah dan nyawa untuk mempertahankan pesantren bisa jadi sekarang sedang dikhianati oleh santrinya sendiri.
Dalam situs JIL, Nong Darol Mahmada pernah mengritik pemberlakuan hukum wajib berjilbab dalam Islam. Dengan mempersoalkan dalil sahih pemakaian jilbab, ia memulai tulisannya dengan pertanyaan “Benarkah jilbab itu adalah syariat Islam?”
Lantas dengan menelaah buku “Kritik Atas Jilbab” karya Muhammad Said Al-Asymawi yang diterbitkan JIL bulan April 2003, Nong mendelegasikan pernyataan yang justru tidak akan bisa diterima oleh umat Islam. Ia menulis, “Sebenarnya konsep hijab bukanlah milik Islam. Dalam kitab Taurat, Injil, bahkan sebelum munculnya agama-agama Samawi, (seperti zaman Asyria), tradisi penggunaan jilbab sudah dikenal. Pelembagaan hijab dalam Islam didasarkan pada ayat 24 Surat An-Nur.”
Menurut Nong, kalimat dalam ayat “hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya” adalah merupakan reaksi dari tradisi pakaian perempuan Arab jahiliah karena menurut tafsir Ibnu Katsir, perempuan zaman jahiliah biasa memperlihatkan lehernya. Artinya, ayat jilbab di atas bersifat kondisional.”
Lalu dengan mengutip Abu Syuqqah, Nong menulis bahwa kalimat “yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal…” dalam ayat 33:59, menunjukkan bahwa maksud, penggunaan jilbab adalah untuk membedakan perempuan merdeka dan perempuan budak, bukan pada substansi ajaran Islam. Bahkan lebih jauh lagi, Nong mengomentari bahwa ayat ini menunjukkan ketidakjelasan Islam dalam melihat posisi budak.
“Inilah yang dipahami bersifat elitis dan diskriminatif. Karena dengan ayat ini, ingin membedakan status perempuan Islam yang merdeka dan budak. Di sini dapat dilihat ambiguitas Islam dalam melihat posisi budak. Satu sisi ingin menghancurkan perbudakan, di sisi lain, masih mempertahankannya dalam strata masyarakat Islam misalnya dalam perbedaan berpakaian di atas.” tulis nong.
Kisah “penghianatan” murid kepada guru juga terjadi pada pendiri JIL lainnya yakni Luthfie Asy-Syaukani. Luthfie yang pernah melukai hati umat ketika menyamakan kasus Lia Eden dengan apa yang dialami Nabi Muhammad SAW, tidak lain adalah mahasiswa Prof Naquib Al Attas saat di ISTAC-IIUM Malaysia dalam jenjang Magister.
Berbeda dengan sang murid, Prof Al Attas adalah akademisi yang sangat concern melawan liberalisme, sekularisme, dan pluralisme Agama. Dari kegigihan Prof Al Attas lah lahir nama-nama cendekiawan muslim Indonesia yang kini silih berganti menangkal bahaya penyesatan Jaringan Islam Liberal. Sebutlah seperti DR. Adian Husaini, DR. Syamsuddin Arif hingga DR. Hamid Fahmy Zarkasy.
Dalam menepis bahaya Sekularisme dimana ada pemisahan antara agama dan politik, serta relasi Islam dan Ilmu, Al Attas sampai membuat satu buku berjudul “Islam and Secularism”.
Al Attas jugalah yang menekankan tiap mahasiswanya untuk tidak minder terhadap Barat. Al-Attas kemudian menuding bahwa konsep ilmu sekular Barat adalah sumber kerusakan terbesar bagi umat manusia saat ini.
Karena itu, saat menjadi Keynote Speaker pada Konferensi Pendidikan Islam di Mekkah, 1977, Al-Attas menggulirkan makalah berjudul ”The Dewesternization of Knowledge.” Dan langkah awal diajukannya untuk membangun peradaban Islam adalah “Islamisasi Ilmu.”
Sekali lagi: Lain guru, lain murid. Sebaliknya, Luthfie amat kagum kepada Barat. Ia pernah mengecam umat muslim yang alergi terhadap sekularisme. Dalam tulisannya, Berkah Sekularisme, yang dimuat pada koran Jawa Pos tahun 2005, Luthfie menyatakan bahwa Sekularisme adalah berkah bagi agama-agama.
“Dalam perkembangannya, sekularisme menjadi konsep yang sangat efektif, bukan hanya dalam meredam konflik dan ketegangan antara kuasa agama dan negara, tapi juga dalam memberikan landasan pada demokrasi dan persamaan hak.” tulis Luthfie. (Pizaro/Islampos)
SETELAH generasi pertama Jaringan Islam Liberal naik daun. Era berfikir liberal mulai beralih ke generasi yang lebih muda. Nama-nama pengusung pemikiran liberal tidak lagi hanya menjadi domain Ulil Abshar Abdalla, Nong Darol Mahmada, ataupun Ahmad Sahal.
Budhy Munawar Rahman menyebut minimal ada lima orang yang menjadi kiblat generasi kedua JIL, yakni Abdul Moqsith Ghazali, Guntur Romli, Novriantoni, Anick Hamin Tohari, dan Burhanuddin Muhtadi. [1]
Tak jauh berbeda dari pendahulunya, generasi penerus ini pun tampak lebih berani dan semakin gigih melontarkan ucapan-ucapan menyeleh. Dari menganggap murtad perkara biasa sampai menyatakan KH. Kholil Ridwan bid’ah karena mengharamkan film “?” Hanung. Mari kita kupas satu persatu.
Abdul Moqsith Ghazali: Ketika Murtad Menjadi Hal Biasa
Nama ini sudah tidak asing bagi pengkaji pemikiran Islam. Ia adalah dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dilahirkan di Situbondo pada 7 Juni 1971, Moqsith -sapaan akrabnya- kini telah menamatkan program S-3 di almamater yang sama.
Nama Moqsith mulai mencuat ketika menjadi konsultan dan pengasuh rubrik fiqh majalah Syir’ah Jakarta bersama fatwa-fatwanya yang dinilai kontroversial. Salah satunya menimpa salah seorang ibu ketika berkonsultasi tentang masalah fiqih. Singkatnya sang ibu memiliki anak yang berencana pindah agama meninggalkan Islam.
Sang anak yang duduk di bangku kuliah itu sudah tidak betah berada dalam agama suci ini karena termakan isu terorisme. Ibu tersebut lalu bertanya kepada Moqsith, “Bagaimana pandangan fikih Islam menyangkut perpindahan agama?”
Menjawab pertanyaan hukum murtad tersebut, Moqsith mengemukakan tiga ayat Qur’an yaitu “bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” (QS Al Kafirun: 6), “Barangsiapa yang ingin beriman maka berimanlah dan barangsiapa ingin kafir maka kafirlah (Al Kahfi 29). “dan tidak ada paksaan di dalam urusan agama” (Al Baqarah: 256).
Setelah mengutip ketiga ayat tersebut Moqsith menjelaskan, “Ayat-ayat diatas cukup jelas bahwa manusia itu tidak dipaksa untuk memeluk suatu agama dan keluar dari agamanya. Tuhan memberi kebebasan penuh kepada manusia untuk beriman dan tidak beriman, beragama Islam ataupun tidak. Kalau Tuhan saja tidak memaksa seluruh hamba-hambanya untuk beriman kepadaNya, maka lebih-lebih orangtua terhadap anaknya.”
Setelah itu Moqsith menyimpulkan, “Namun sekiranya dia telah berketetapan hati untuk pindah agama ke agama lain maka tidak ada pilihan kecuali bahwa ibu mesti mengikhlaskan kepergiannya ke agama lain. Sesuai dengan perintah Al Qur’an di atas, tidak boleh ada pemaksanaan menyangkut perkara agama” (Majalah Syir’ah No 39 hal 84-85) [2]
Disertasi Moqsith pun sempat menuai kontroversi di UIN Syarih Hidayatulah Jakarta. Ia menulis penelitian untuk gelar doktor itu dengan judul Pluralitas Umat Beragama dalam al-Qur’an: Kajian terhadap Ayat Pluralis dan Tidak Pluralis. [3]
Dalam disertasi itu, untuk mendukung pluralisme agama, Moqsith sampai-sampai menyelewengkan Sirah Nabawiyah. Dia mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw pernah menikahi wanita Kristen koptik bernama Maria Qibtiyyah. Ia juga menyebutkan ada sahabat yang menikahi wanita ahlul kitab yakni, Utsman bin ‘Affan, Thalhah bin Abdullah, Khudzaifah bin Yaman, dan Sa’ad bin Abi Waqash.
Tak puas mendistorsi sirah, ia mengobok-obok ajaran Islam. Moqsith menulis, “… terutama Yahudi dan Nasrani, Islam tak menafikkan konsep-konsep ajarannya. Kebenaran wahyu dalam agama-agama itu tidak bertentangan satu dengan lainnya.” Untuk mendukung argumennya itu, ia mengutip surat al-Maidah ayat 48. [4]
Sayang dari delapan penguji, hanya satu yang menolak meluluskan disertasi nyeleneh ini yakni Profesor Salman Harun. Beliau mencap Moqsith telah melakukan pemurtadan dan menyembunyikan tafsir-tafsir ulama klasik yang menolak pluralisme. “Disertasi kayak begini kok lulus?” geram Prof Salman. [5]
Sekalipun berpemikiran liberal, Moqsith tercatat sebagai dewan pengasuh pondok pesantern Zainul Huda, Arjasa, Sumenep Madura. Ia juga menulis di pebagai jurnal seperti Tashwirul Afkara (Lakpesdam NU), Jurnal Dialog Litbang Depag RI serta aktif menjadi editor buku-buku Islam. Terakhir ia pun menulis buku berjudul Metodologi Studi Al Qur’an (2010), sekalipun judul buku itu terlihat Islam, di dalamnya justru meragukan kesucian Al Qur’an.
Guntur Romli: Kerap Berbohong dan Melecehkan
Untuk kita ketahui saja, Guntur Romli telah menikah dengan sesama aktivis JIL lainnya, yakni Nong Darol Mahmada. Entah apa yang menyatukan kedua insan ini. Mungkin memang karena Nong dan Guntur memiliki kesamaan pemikiran dalam memandang Islam liberal, atau mungkin juga ingin membentuk contoh keluarga liberal? Wallahua’lam.
Guntur lahir di Situbondo, Jawa Timur. Ia berhasil lulus dari Pesantren Al Amien Madura lalu melanjutkan belajar di Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir dari tahun 1998 sampai akhir tahun 2004.
Sekalipun ia jebolan Universitas Al Azhar, tak menutup dirinya untuk berfikiran liberal. Dalam tulisannya yang sempat dimuat di sebuah jurnal feminisme radikal, Guntur Romli menyatakan bahwa Umar bin Khathab pernah melakukan anal seks.
Tuduhan tersebut diklaimnya bersumber dari tafsir al-Durrul Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur karya Imam Suyuthi. Hal itu diungkap Munarman pada kasus persidangannya terkait Insiden Monas, senin 8 september tahun 2009. Kita tahu kasus itu sangat santer.
Namun, Guntur tidak mengakui soal tulisannya tersebut. Ia beralasan apa yang dia tulis tidak persis seperti itu. Munarman pun menunjukkan tulisan Guntur yang lain. Salah satunya berjudul “Pewahyuan Al-Quran: Antara Budaya dan Sejarah” yang dimuat Koran Tempo pada 4 Mei 2007.
Dalam tulisan itu, Guntur menyebut Al Qur’an merupakan rumusan gotong royong antara Allah SWT, Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad saw. Guntur juga menuding Al Qur’an adalah kitab saduran yang menyunting (mengedit) keyakinan dari kitab suci Kristen sekte Ebyon, yang disesuaikan dengan kepentingan penyuntingnya.
Salah satu kepentingannya adalah karena kedekatan Nabi Muhammad dengan Waraqah bin Naufal, seorang rahib Kristen Ebyon, yang memiliki jasa besar dalam menikahkannya dengan Khadijah. Berikut tuduhan Guntur:
“Bukti lain bahwa Al Qur’an tidak bisa melampaui konteksnya adalah kisah tentang Nabi Isa (Yesus Kristus). Sekilas kita melihat bahwa kisah Nabi Isa dalam Al Qur’an berbeda dengan versi Kristen. Dalam Al Qur’an, Isa (Yesus) hanyalah seorang rasul, bukan anak Allah dan akhir hayatnya tidak disalib. Sementara itu dalam doktrin Kristen, akhir hidup Yesus itu disalib, yang diyakini untuk menebus dosa umatnya.
“Ternyata kisah tentang tidak disalibnya Nabi Isa juga dipengaruhi oleh keyakinan salah satu kelompok Kristen minoritas yang berkembang saat itu, yakni sekte Ebyon. Bagi kelompok Kristen mayoritas yang menyatakan Isa (Yesus) mati di salib, sekte Ebyon adalah sekte Kristen yang bi’dah…
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa Al Qur’an lebih memilih pandangan Ebyon yang minoritas dan keyakinannya dianggap bid’ah oleh mayoritas Kristen waktu itu? Saya memiliki dua asumsi. Pertama, karena pandangan Ebyon ini lebih dekat dengan akidah ketauhidan Islam. Kedua, sepupu Khadijah bernama Waraqah bin Naufal adalah seorang rahib sekte Ebyon. Kedekatan Waraqah dengan pasangan Muhammad-Khadijah diakui oleh sumber-sumber Islam, baik dari buku-buku Sirah (Biografi Nabi Muhammad), seperti Sirah Ibn Ishaq dan Ibn Hisyam, ataupun buku-buku hadis standar: Al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain.”
Artikel inilah yang dibawa Munarman dipersidangan. Hal itu dilakukan karena Munarman ragu saat Guntur dijadikan saksi atas kasus AKKBB saat tragedi Monas karena kerap menulis hal yang nyeleneh.
Namun anehnya, Guntur menolak jika dikatakan tulisan tersebut merupakan hasil karyanya sendiri. “Saya menolak karena itu bukan tulisan saya,” bantah Guntur.
Padahal, setelah mendapatkan izin majelis hakim, Munarman menunjukkan berkas tulisan-tulisan tersebut pada Guntur, jaksa dan pengacaranya. Dan jika anda tidak percaya, anda bisa menelusuri sendiri bahwa tulisan itu benar adanya dari Guntur. Silahkan dicek pada situs tempo (http://www.korantempo.com/korantempo/cetak/2007/05/04/Opini/krn.20070504.100548.id.html)
Dalam kesaksiannya di persidangan, Guntur Romli juga sempat memberikan keterangan yang berbeda terkait dengan posisinya saat kejadian insiden Monas.
“Dalam jangka waktu 2 menit, ada 4 keterangannya yang berbeda,” ujar Munarman saat rehat sidang untuk buka puasa dan sholat maghrib. [6]
Selain gemar berbohong, Guntur juga kerap melecehkan. Baru-baru ini Guntur melecehkan KH. Kholil Ridwan yang mengharamkan film ? milik Hanung. Guntur mengatakan apakah menonton film itu bid’ah, karena tidak ada di zaman Nabi. “Maaf, Cholil Ridwan juga bid’ah karena muka dia juga tidak ada di zaman Nabi,” terangnya. Sekali lagi dengan gaya melecehkan. [7] (Pz/Islampos/bersambung)
Catatan Kaki
[1] Budhy Munawar Rachman, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. (Jakarta: Grasindo, 2010) h. 32
[2] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme Agama, (Jakarta: Hujjah Press, 2007). h. 179-181
[3] Disertasi ini kini telah menjadi buku dengan judul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Jakarta: KataKita, 2009, 401 halaman)
[4] Erdy Nasrul, Demi Pluralisme Sirah Nabi Diplintir, Liputan Majalah Sabili
[5] http://www.wahidinstitute.org/, Moqsith Raih Gelar Doktor”Disertasi Begini kok Lulus”, Rabu, 19 Desember 2007
[6] http://suara-islam.com, Sebut Sahabat Umar ra Pelaku Anal Seks, Munarman Ragukan Kredibilitas Guntur Romli. Senin, 8 September 2009
[7] http://pedomannews.com, Guntur Romli: Cholil Juga Bid’ah, Mukanya Nggak Ada di Zaman Nabi . Ahad, 17 April 2011
www.islampos.com
Berkisah tentang sebuah klaim fiqih yang menyatakan murtad bagi seorang muslim adalah hal lumrah, artikel ini kemudian mengqiyaskan pemurtadan yang dilakukan tiap mukmin setara dengan kasus perceraian. Jadi, walaupun Tuhan tidak suka, tapi halal. Begitu maksudnya.
Rupanya, kalimat Lâ Ikrâha fî ad-Dîn dalam Al Qur’an, bagi sang penulis adalah bukti tidak ada paksaan dalam beragama.
Keterpaksaan dalam beragama hanya akan melahirkan sosok-sosok labil yang tidak memiliki dasar filosofis-rasional dalam beragama. Nyaris mirip dengan memilih Istri.
Bahkan dalam tulisan lain berjudul “Salahkah Geert Wilders?”, seorang penulis menyatakan bahwa Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis cukup banyak membenarkan pandangan Geert Wilders seorang Belanda yang menghujat Islam, yang mengatakan Al Qur’an sebagai kitab barbar. Di akhir kalimat, sang penulis berujar:
“Orang yang meragukan Fitna Wilders dari sekarang harus menelaah al-Qur’an, hadis-hadis, dan sejarah Islam dengan akal yang sesehat-sehatnya.”
Kisah di atas adalah dua kasus dari bentuk situs Jaringan Islam Liberal (JIL) yang kerap mengeluarkan artikel penyudutan terhadap ajaran Islam. Nama JIL yang sudah tenar akan kenyelenehannya, kian populer pasca meledaknya Bom Utan Kayu hingga menyadarkan masyrakat luas bahwa JIL memang belum mati.
Betul memang nama JIL sempat redup, setelah desas-desus menyatakan mereka tidak lagi mendapat bantuan asing. Ulil Abshar Abdala sebagai koordinator membenarkan hal itu. Katanya, tahun 2004 adalah tahun terakhir bagi JIL dalam menerima dana asing.
Sejarah Jaringan Islam Liberal
Kisah seputar berdirinya JIL sebagai sebuah lembaga memiliki sejarah panjang. Kisah ini bermula dari sebuah mailing list (milis) bernama islamliberal@yahoogroups.com di awal tahun 2000-an. Kala itu, masih belum banyak pengikut milis ini, mengingat teknologi internet adalah perangkat teknologi masih relatif baru di kalangan masyarakat.
Sosialisasi milis ini pun belum tersebar secara merata. Beberapa mahasiswa muslim, alumni IAIN, dan juga dosen masih terpencar untuk dalam milis-milis kecil dan kelompok-kelompok kajian berbeda.
Namun yang jelas, wacana ataupun isu seputar liberalisasi pemikiran Islam bukanlah barang baru. Wacana akan hadirnya Islam liberal secara merata di seluruh daerah sudah sempat dimulai oleh beberapa kalangan, bahkan jauh sebelum ide sekularisasi Nurcholish Madjid mengemuka pada tahun 1970-an.
Setidaknya menurut Greg Barton dalam bukunya “Gerakan Islam Liberal di Indonesia” (Paramadina: 1999), sebuah kelompok diskusi di Jogjakarta tahun 1967 sudah melakukan inisiasi dalam mempopulerkan gagasan liberalisasi pemikiran Islam.
Adalah Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi yang terlibat aktif dalam diskusi Liberalisasi pemikiran Islam di rumah HA Mukti Ali. HA. Mukti Ali sendiri pada tahun 1971 terpilih menjadi Menteri Agama menggantikan KH. M Dachlan (Kabinet Pembangunan I) yang belum habis masa jabatannya, dan melanjutkan jabatan itu selama periode Kabinet Pembangunan II (1973-1978).
Sedangkan nama Ahmad Wahib adalah sosok yang juga menjadi penting akan “kelahiran” JIL. Naas mahasiswa Fisika UGM tersebut meninggal sesaat sebelum berangkat ke kantor Tempo sebagai wartawan pada tahun 1973. Nama Wahib kemudian menjadi tenar setelah itu.
Catatan hariannya yang berjudul “Pergolakan Pemikiran Islam” kemudian dibukukan dan menjadi “bacaan wajib” bagi mahasiswa liberal saat itu. Jika ingin tahu bagaimana gagasan liberal pada durasi tahun 60-an, mari kita dengarkan penuturan Wahib dalam catatan hariannya tertanggal 9 Oktober 1969:
“Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia.”
Tidak hanya itu, nama Ahmad Wahib pun kian santer setelah dijadikan sayembara penulisan esai di bidang pemikiran Islam liberal dengan tajuk “Ahmad Wahib Award”.
Pada tahun 2008 misalnya, tema-tema yang diangkat untuk ditulis nyaris mengkultuskan Wahib seperti “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Ahmad Wahib dan Kebinekaan Indonesia”; “Ahmad Wahib dan Islam Warna-Warni: Menyikapi Perbedaan dalam Ber-Islam”; “Berpikir Bebas bersama Ahmad Wahib, Siapa Takut?”. Juara pertama akan mendapatkan hadiah Rp. 20 Juta. Sebuah angka fantatis bagi ukuran mahasiswa S1.
Dalam bukunya “50 Tokoh Islam Liberal Indonesia” (Hujah Press: 2007), Budi Handrianto menyebut tokoh lainnya yang berperan penting dalam perjalanan liberalisasi pemikiran di Indonesia, yakni tiga serangkai pemikir sekaligus birokrat: Harun Nasution, Abdurahman Wahid, dan Munawir Sjadzali.
Kembali ke masalah milis, melihat animo yang cukup banyak, jejaring maya ini memiliki daya tahan cukup lama. Muka-muka baru pun muncul mewarnai diskusi seiring derasnya buku-buku liberal hadir di tengah masyarakat.
Dominasi periodeisasi pra kelahiran JIL masih dikuasai basis sedimentasi anak-anak Ciputat, juga tak sedikit dari alumni Barat dan para akademisi Jojga yang direpresentasikan mahasiswa IAIN Jogjakarta dan UGM. Dari serangkaian diskusi-diskusi inilah kemudian tergagas keinginan untuk membentuk suatu wadah bernama Jaringan Islam Liberal.
Pada tahun 2001 akhirnya Jaringan Islam Liberal (JIL) resmi didirikan di Jakarta. Menurut Luthfi Asy Syaukanie, salah satu pentolan JIL dan lulusan Melbourne, organisasi (lebih tepatnya gerakan) ini melengkapi munculnya organisasi Islam serupa yang sudah ada lebih dulu seperti, Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), serta Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ).
Sejak awal, menurut Luthfi Asy Syaukanie, JIL memang diniatkan sebagai payung atau lebih tepatnya penghubung organisasi Islam Liberal yang ada di Indonesia. Karena itu, gerakan ini tak memakai nama organisasi atau lembaga, tapi jaringan. Dengan nama jaringan, JIL berusaha jadi komunitas tempat para aktivis Muslim berbagai organisasi Islam Liberal berinteraksi dan bertukar pandangan secara bebas.
Sebagai tempat beraktifitas, lokasi Jalan Utan Kayu no. 68 H, di sekitaran komplek Rawamangun Jakarta Timur menjadi pilihan utama sebagai kantor JIL. Sebidang tanah ini sebenarnya adalah milik jurnalis dan intelektual senior Goenawan Mohammad yang juga memiliki visi sama dengan JIL. Komunitas Utan Kayu sendiri didirikan pada tahun 1996 sebagai bentuk perlawanan, khususnya di bidang informasi, terhadap rezim Orde Baru.
Goenawan Mohammad sempat menceritakan bahwa di Utan Kayu juga berdiri galeri kecil dan teater sederhana, yakni Galeri Lontar dan Jurnal Kebudayaan Kalam – ketiganya bergerak di lapangan kesenian baik untuk acara kesenian maupun pertemuan politik.
Selain daripada kedua hal diatas, Komunitas Utan Kayu juga memiliki kantor berita yang dipimpin oleh Santoso. Radio inilah yang disebut KBR 68H.
PASCA berdiri pada tanggal 8 maret 2001, Jaringan Islam Liberal (JIL) mulai disibukkan serangkaian agenda-agenda penting mereka untuk membumikan garis liberalisasi pemikiran Islam yang sempat booming pada era 1970-an. Tanggal ini pula menjadi saksi untuk pertama kali situs JIL didirikan dengan nama islamlib.com.
Dalam situs tersebut dijelaskan makna Islam Liberal dalam perspektif JIL adalah suatu bentuk penafsiran atas Islam dengan landasan: Pertama, membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Kedua, mengutamakan semangat religio-etik dan bukan makna literal teks. Ketiga, mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. Keempat, memihak pada minoritas yang tertindas. Kelima meyakini kebebasan beragama. Keenam memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi serta keagamaan dan politik (sekularisme).
Pada gilirannya, nama-nama seperti Goenawan Mohammad, Ahmad Sahal, Ulil Abshar Abdalla, Luthfie Asy-syaukanie, Hamid Basyaib dan Nong Darol Mahmada bisa disebut sebagai generasi pertama yang menggawangi lahirnya JIL.
Namun jika dikerucutkan kembali, kemunculan JIL tidak lepas dari tangan Ulil Abshar Abdalla (Lakpesdam NU), Ahmad Sahal (Jurnal Kalam), dan Goenawan Mohamad (ISAI) sebagai trimurti berdirinya JIL yang sempat melontarkan wacana itu ketika duduk-duduk di Jalan Utan Kayu 68 H, Jakarta Timur, Februari 2001.
Uniknya, jika kita berkaca pada nama-nama di atas, tak sedikit pengalaman mereka dipenuhi oleh deretan riwayat pendidikan pesantren dan perguruan tinggi Islam yang cukup kuat di Indonesia. Tak jarang pula mereka sempat berguru kepada para Ulama dan dosen yang sangat tulus dan lurus dalam memahami Islam.
Mari kita ulas satu persatu. Ahmad Sahal, misalnya, ia adalah Juara Pertama Pembaca Kitab Kuning dalam ajang Lomba Baca Kitab Kuning di Kampus IAIN Syahid Jakarta tempo dulu.
Sahal pula dikenal sebagai aktivis dari keluarga NU yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren Futuhiyyah, Mranggen Demak dan al-Falah, Ploso, Mojo, Kediri.
Atau Ulil Abshar Abdalla, mantan Mahasiwa LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) yang keluar dari “mainstream”. Ia sempat kuliah di LIPIA pada tahun 1988 sampai 1993 sebelum sempat di drop-out.
Seperti mahasiswa LIPIA pada umumnya, Ulil juga mempelajari kita-kitab tauhid seperti karangan Ibnu Taimiyyah. Bahkan Ulil nyaris saja mendapat gelar sarjana di Fakultas Syari’ah. Namun sayang, berkah LIPIA urung dia dapatkan hingga kemudian dikeluarkan pihak kampus tanpa sempat menyabet gelar akademis satu pun.
Sebagai santri, Ulil muda adalah seorang pelajar di Madrasah Mathali’ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz (wakil Rois Am PBNU periode 1994 1999 dan Rois Am PBNU 2004-2010). Tak hanya itu, Ulil juga pernah “mondok” di Pesantren Mansajul ‘Ulum, Cebolek, Kajen, Pati, serta Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang.
Berbeda dengan Ulil yang membela Ahmadiyah, KH Sahal Mahfudz justru terkenal keras menentang Ahmadiyah. Romo Kyai -begitu para santri- meminta agar Ahmadiyah keluar dari Islam. Beliau terkenal garang dalam mengkritik kalangan muda NU yang memakai jurus “atas nama HAM” untuk membela kehadiran Ahmadiyah.
KH. Sahal dengan tegas menyatakan bahwa Ahmadiyah mempunyai akidah yang berbeda dengan agama Islam. Ketua Umum MUI pun berkali-kali menyatakan Ahmadiyah sesat dan meminta pemerintah untuk membubarkan dalam kapasitasnya sebagai petinggi Majelis Ulama Indonesia.
Kisah lain guru, lain murid selanjutnya berlanjut jika kita menyebut nama Nong Darol Mahmada. Perempuan muda yang “istiqomah” melepas jilbabnya setelah keluar dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini pernah menulis tentang pengalamannya menjadi seorang yang taat beribadah sebelum singgah mengadopsi pemikiran liberal.
“Aku lahir dari keluarga santri. sejak kecil belajar mengaji. Lulus SD, terus nyantri di pesantren Cipasung Tasikmalaya dari SMP-SMA. Padahal orang tuaku punya pesantren dan sekolah.”
Bahkan mantan kader Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI) kala kuliah itu terang-terangan mengakui bahwa dirinya berada dalam derajat liberal yang kaffah. Simaklah ucapannya berikut ini:
“Di Freedom Institute dan Jaringan Islam Liberal, kita semua dekat seperti saudara. Yang menyatukan kita adalah kita benar-benar menjadi liberal yang kaffah. Kita merasa satu ide, satu perjuangan.”
Padahal jika kita tarik ke belakang, nama Pondok Pesantren Cipasung bukanlah institusi pendidikan Islam yang bisa dipandang sebelah mata. Pesantren terkemuka di Indonesia ini diasuh oleh seorang ulama kharismatik yang terekam dalam sejarah sebagai mujahid Islam.
Pondok pesantren Cipasung Tasikmalaya didirikan pada tahun 1930 oleh almarhum KH. Ruhiat dengan semangat syiar Islam demikian besar. Almarhum adalah tokoh terkemuka pada zamannya. Beliau terkenal teguh memegang prinsip Syariat Islam dan gigih mewarisi pendidikan Pesantren sekali pun halangan dan rintangan menghadang, utamanya dari pihak Kolonial yang menyebabkan Alm. KH. Ruhiat harus keluar masuk penjara.
Walaupun hidup dalam keadaan mencekam, beliau dengan penuh kesabaran dan ketawakalan, tidak henti-hentinya membina pesantren ini dengan ikhlas. Kyai Ruhiat memberikan pendidikan dan pengajaran kepada para santri tanpa mengenal lelah siang dan malam. Semuanya itu demi cita-cita mulia, yakni mendidik generasi muslim menjadi insan soleh dan takwa di jalan agama.
Bahkan Belanda pernah berusaha membunuh Kyai Ruhiat dengan melepaskan serentetan tembakan ke arahnya, namun berkat pertolongan Allah SWT, usaha ini gagal. Kendati demikian, bukan berarti tidak ada korban dalam aksi penyerangan itu. Kyai Ruhiat boleh selamat, namun muntahan peluru tersebut justru mengenai tiga orang santri yang setia bersamanya kala itu.
Abdur Rozak santri asal Tawang Banteng dan Ma’mun yang berasal dari Rancapaku keduanya gugur sebagai syuhada. Sedangkan santri lainya bernama Aen, mendapat luka lebar di bagian kepala.
Setelah dahsyatnya ancaman dan terror datang silih berganti, Ulama kharismatik itu pun ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara Tasikmalaya. Selama kurang lebih sembilan bulan beliau hidup dalam pengasingan jeruji besi, hingga pada tanggal 27 Desember 1949 pimpinan Ponpes Cipasung itu baru dibebaskan.
Namun sekalipun beraneka cobaan dan cerita pahit senantiasa menghampiri, Kyai Ruhiat tergolong Ulama yang sabar dan ikhlas berjuang menyisipkan iman kepada Allah SWT. Beliau berprinsip sekalipun hidup dalam kondisi sulit, kegiatan mencetak generasi-generasi soleh di pesantren tidak boleh hanyut tergerus waktu apalagi karam diterpa gelombang.
Entah apa jadinya jika KH Ruhiat masih hidup. Perjuangannya yang mesti dibayar dengan darah dan nyawa untuk mempertahankan pesantren bisa jadi sekarang sedang dikhianati oleh santrinya sendiri.
Dalam situs JIL, Nong Darol Mahmada pernah mengritik pemberlakuan hukum wajib berjilbab dalam Islam. Dengan mempersoalkan dalil sahih pemakaian jilbab, ia memulai tulisannya dengan pertanyaan “Benarkah jilbab itu adalah syariat Islam?”
Lantas dengan menelaah buku “Kritik Atas Jilbab” karya Muhammad Said Al-Asymawi yang diterbitkan JIL bulan April 2003, Nong mendelegasikan pernyataan yang justru tidak akan bisa diterima oleh umat Islam. Ia menulis, “Sebenarnya konsep hijab bukanlah milik Islam. Dalam kitab Taurat, Injil, bahkan sebelum munculnya agama-agama Samawi, (seperti zaman Asyria), tradisi penggunaan jilbab sudah dikenal. Pelembagaan hijab dalam Islam didasarkan pada ayat 24 Surat An-Nur.”
Menurut Nong, kalimat dalam ayat “hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya” adalah merupakan reaksi dari tradisi pakaian perempuan Arab jahiliah karena menurut tafsir Ibnu Katsir, perempuan zaman jahiliah biasa memperlihatkan lehernya. Artinya, ayat jilbab di atas bersifat kondisional.”
Lalu dengan mengutip Abu Syuqqah, Nong menulis bahwa kalimat “yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal…” dalam ayat 33:59, menunjukkan bahwa maksud, penggunaan jilbab adalah untuk membedakan perempuan merdeka dan perempuan budak, bukan pada substansi ajaran Islam. Bahkan lebih jauh lagi, Nong mengomentari bahwa ayat ini menunjukkan ketidakjelasan Islam dalam melihat posisi budak.
“Inilah yang dipahami bersifat elitis dan diskriminatif. Karena dengan ayat ini, ingin membedakan status perempuan Islam yang merdeka dan budak. Di sini dapat dilihat ambiguitas Islam dalam melihat posisi budak. Satu sisi ingin menghancurkan perbudakan, di sisi lain, masih mempertahankannya dalam strata masyarakat Islam misalnya dalam perbedaan berpakaian di atas.” tulis nong.
Kisah “penghianatan” murid kepada guru juga terjadi pada pendiri JIL lainnya yakni Luthfie Asy-Syaukani. Luthfie yang pernah melukai hati umat ketika menyamakan kasus Lia Eden dengan apa yang dialami Nabi Muhammad SAW, tidak lain adalah mahasiswa Prof Naquib Al Attas saat di ISTAC-IIUM Malaysia dalam jenjang Magister.
Berbeda dengan sang murid, Prof Al Attas adalah akademisi yang sangat concern melawan liberalisme, sekularisme, dan pluralisme Agama. Dari kegigihan Prof Al Attas lah lahir nama-nama cendekiawan muslim Indonesia yang kini silih berganti menangkal bahaya penyesatan Jaringan Islam Liberal. Sebutlah seperti DR. Adian Husaini, DR. Syamsuddin Arif hingga DR. Hamid Fahmy Zarkasy.
Dalam menepis bahaya Sekularisme dimana ada pemisahan antara agama dan politik, serta relasi Islam dan Ilmu, Al Attas sampai membuat satu buku berjudul “Islam and Secularism”.
Al Attas jugalah yang menekankan tiap mahasiswanya untuk tidak minder terhadap Barat. Al-Attas kemudian menuding bahwa konsep ilmu sekular Barat adalah sumber kerusakan terbesar bagi umat manusia saat ini.
Karena itu, saat menjadi Keynote Speaker pada Konferensi Pendidikan Islam di Mekkah, 1977, Al-Attas menggulirkan makalah berjudul ”The Dewesternization of Knowledge.” Dan langkah awal diajukannya untuk membangun peradaban Islam adalah “Islamisasi Ilmu.”
Sekali lagi: Lain guru, lain murid. Sebaliknya, Luthfie amat kagum kepada Barat. Ia pernah mengecam umat muslim yang alergi terhadap sekularisme. Dalam tulisannya, Berkah Sekularisme, yang dimuat pada koran Jawa Pos tahun 2005, Luthfie menyatakan bahwa Sekularisme adalah berkah bagi agama-agama.
“Dalam perkembangannya, sekularisme menjadi konsep yang sangat efektif, bukan hanya dalam meredam konflik dan ketegangan antara kuasa agama dan negara, tapi juga dalam memberikan landasan pada demokrasi dan persamaan hak.” tulis Luthfie. (Pizaro/Islampos)
SETELAH generasi pertama Jaringan Islam Liberal naik daun. Era berfikir liberal mulai beralih ke generasi yang lebih muda. Nama-nama pengusung pemikiran liberal tidak lagi hanya menjadi domain Ulil Abshar Abdalla, Nong Darol Mahmada, ataupun Ahmad Sahal.
Budhy Munawar Rahman menyebut minimal ada lima orang yang menjadi kiblat generasi kedua JIL, yakni Abdul Moqsith Ghazali, Guntur Romli, Novriantoni, Anick Hamin Tohari, dan Burhanuddin Muhtadi. [1]
Tak jauh berbeda dari pendahulunya, generasi penerus ini pun tampak lebih berani dan semakin gigih melontarkan ucapan-ucapan menyeleh. Dari menganggap murtad perkara biasa sampai menyatakan KH. Kholil Ridwan bid’ah karena mengharamkan film “?” Hanung. Mari kita kupas satu persatu.
Abdul Moqsith Ghazali: Ketika Murtad Menjadi Hal Biasa
Nama ini sudah tidak asing bagi pengkaji pemikiran Islam. Ia adalah dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dilahirkan di Situbondo pada 7 Juni 1971, Moqsith -sapaan akrabnya- kini telah menamatkan program S-3 di almamater yang sama.
Nama Moqsith mulai mencuat ketika menjadi konsultan dan pengasuh rubrik fiqh majalah Syir’ah Jakarta bersama fatwa-fatwanya yang dinilai kontroversial. Salah satunya menimpa salah seorang ibu ketika berkonsultasi tentang masalah fiqih. Singkatnya sang ibu memiliki anak yang berencana pindah agama meninggalkan Islam.
Sang anak yang duduk di bangku kuliah itu sudah tidak betah berada dalam agama suci ini karena termakan isu terorisme. Ibu tersebut lalu bertanya kepada Moqsith, “Bagaimana pandangan fikih Islam menyangkut perpindahan agama?”
Menjawab pertanyaan hukum murtad tersebut, Moqsith mengemukakan tiga ayat Qur’an yaitu “bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” (QS Al Kafirun: 6), “Barangsiapa yang ingin beriman maka berimanlah dan barangsiapa ingin kafir maka kafirlah (Al Kahfi 29). “dan tidak ada paksaan di dalam urusan agama” (Al Baqarah: 256).
Setelah mengutip ketiga ayat tersebut Moqsith menjelaskan, “Ayat-ayat diatas cukup jelas bahwa manusia itu tidak dipaksa untuk memeluk suatu agama dan keluar dari agamanya. Tuhan memberi kebebasan penuh kepada manusia untuk beriman dan tidak beriman, beragama Islam ataupun tidak. Kalau Tuhan saja tidak memaksa seluruh hamba-hambanya untuk beriman kepadaNya, maka lebih-lebih orangtua terhadap anaknya.”
Setelah itu Moqsith menyimpulkan, “Namun sekiranya dia telah berketetapan hati untuk pindah agama ke agama lain maka tidak ada pilihan kecuali bahwa ibu mesti mengikhlaskan kepergiannya ke agama lain. Sesuai dengan perintah Al Qur’an di atas, tidak boleh ada pemaksanaan menyangkut perkara agama” (Majalah Syir’ah No 39 hal 84-85) [2]
Disertasi Moqsith pun sempat menuai kontroversi di UIN Syarih Hidayatulah Jakarta. Ia menulis penelitian untuk gelar doktor itu dengan judul Pluralitas Umat Beragama dalam al-Qur’an: Kajian terhadap Ayat Pluralis dan Tidak Pluralis. [3]
Dalam disertasi itu, untuk mendukung pluralisme agama, Moqsith sampai-sampai menyelewengkan Sirah Nabawiyah. Dia mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw pernah menikahi wanita Kristen koptik bernama Maria Qibtiyyah. Ia juga menyebutkan ada sahabat yang menikahi wanita ahlul kitab yakni, Utsman bin ‘Affan, Thalhah bin Abdullah, Khudzaifah bin Yaman, dan Sa’ad bin Abi Waqash.
Tak puas mendistorsi sirah, ia mengobok-obok ajaran Islam. Moqsith menulis, “… terutama Yahudi dan Nasrani, Islam tak menafikkan konsep-konsep ajarannya. Kebenaran wahyu dalam agama-agama itu tidak bertentangan satu dengan lainnya.” Untuk mendukung argumennya itu, ia mengutip surat al-Maidah ayat 48. [4]
Sayang dari delapan penguji, hanya satu yang menolak meluluskan disertasi nyeleneh ini yakni Profesor Salman Harun. Beliau mencap Moqsith telah melakukan pemurtadan dan menyembunyikan tafsir-tafsir ulama klasik yang menolak pluralisme. “Disertasi kayak begini kok lulus?” geram Prof Salman. [5]
Sekalipun berpemikiran liberal, Moqsith tercatat sebagai dewan pengasuh pondok pesantern Zainul Huda, Arjasa, Sumenep Madura. Ia juga menulis di pebagai jurnal seperti Tashwirul Afkara (Lakpesdam NU), Jurnal Dialog Litbang Depag RI serta aktif menjadi editor buku-buku Islam. Terakhir ia pun menulis buku berjudul Metodologi Studi Al Qur’an (2010), sekalipun judul buku itu terlihat Islam, di dalamnya justru meragukan kesucian Al Qur’an.
Guntur Romli: Kerap Berbohong dan Melecehkan
Untuk kita ketahui saja, Guntur Romli telah menikah dengan sesama aktivis JIL lainnya, yakni Nong Darol Mahmada. Entah apa yang menyatukan kedua insan ini. Mungkin memang karena Nong dan Guntur memiliki kesamaan pemikiran dalam memandang Islam liberal, atau mungkin juga ingin membentuk contoh keluarga liberal? Wallahua’lam.
Guntur lahir di Situbondo, Jawa Timur. Ia berhasil lulus dari Pesantren Al Amien Madura lalu melanjutkan belajar di Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir dari tahun 1998 sampai akhir tahun 2004.
Sekalipun ia jebolan Universitas Al Azhar, tak menutup dirinya untuk berfikiran liberal. Dalam tulisannya yang sempat dimuat di sebuah jurnal feminisme radikal, Guntur Romli menyatakan bahwa Umar bin Khathab pernah melakukan anal seks.
Tuduhan tersebut diklaimnya bersumber dari tafsir al-Durrul Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur karya Imam Suyuthi. Hal itu diungkap Munarman pada kasus persidangannya terkait Insiden Monas, senin 8 september tahun 2009. Kita tahu kasus itu sangat santer.
Namun, Guntur tidak mengakui soal tulisannya tersebut. Ia beralasan apa yang dia tulis tidak persis seperti itu. Munarman pun menunjukkan tulisan Guntur yang lain. Salah satunya berjudul “Pewahyuan Al-Quran: Antara Budaya dan Sejarah” yang dimuat Koran Tempo pada 4 Mei 2007.
Dalam tulisan itu, Guntur menyebut Al Qur’an merupakan rumusan gotong royong antara Allah SWT, Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad saw. Guntur juga menuding Al Qur’an adalah kitab saduran yang menyunting (mengedit) keyakinan dari kitab suci Kristen sekte Ebyon, yang disesuaikan dengan kepentingan penyuntingnya.
Salah satu kepentingannya adalah karena kedekatan Nabi Muhammad dengan Waraqah bin Naufal, seorang rahib Kristen Ebyon, yang memiliki jasa besar dalam menikahkannya dengan Khadijah. Berikut tuduhan Guntur:
“Bukti lain bahwa Al Qur’an tidak bisa melampaui konteksnya adalah kisah tentang Nabi Isa (Yesus Kristus). Sekilas kita melihat bahwa kisah Nabi Isa dalam Al Qur’an berbeda dengan versi Kristen. Dalam Al Qur’an, Isa (Yesus) hanyalah seorang rasul, bukan anak Allah dan akhir hayatnya tidak disalib. Sementara itu dalam doktrin Kristen, akhir hidup Yesus itu disalib, yang diyakini untuk menebus dosa umatnya.
“Ternyata kisah tentang tidak disalibnya Nabi Isa juga dipengaruhi oleh keyakinan salah satu kelompok Kristen minoritas yang berkembang saat itu, yakni sekte Ebyon. Bagi kelompok Kristen mayoritas yang menyatakan Isa (Yesus) mati di salib, sekte Ebyon adalah sekte Kristen yang bi’dah…
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa Al Qur’an lebih memilih pandangan Ebyon yang minoritas dan keyakinannya dianggap bid’ah oleh mayoritas Kristen waktu itu? Saya memiliki dua asumsi. Pertama, karena pandangan Ebyon ini lebih dekat dengan akidah ketauhidan Islam. Kedua, sepupu Khadijah bernama Waraqah bin Naufal adalah seorang rahib sekte Ebyon. Kedekatan Waraqah dengan pasangan Muhammad-Khadijah diakui oleh sumber-sumber Islam, baik dari buku-buku Sirah (Biografi Nabi Muhammad), seperti Sirah Ibn Ishaq dan Ibn Hisyam, ataupun buku-buku hadis standar: Al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain.”
Artikel inilah yang dibawa Munarman dipersidangan. Hal itu dilakukan karena Munarman ragu saat Guntur dijadikan saksi atas kasus AKKBB saat tragedi Monas karena kerap menulis hal yang nyeleneh.
Namun anehnya, Guntur menolak jika dikatakan tulisan tersebut merupakan hasil karyanya sendiri. “Saya menolak karena itu bukan tulisan saya,” bantah Guntur.
Padahal, setelah mendapatkan izin majelis hakim, Munarman menunjukkan berkas tulisan-tulisan tersebut pada Guntur, jaksa dan pengacaranya. Dan jika anda tidak percaya, anda bisa menelusuri sendiri bahwa tulisan itu benar adanya dari Guntur. Silahkan dicek pada situs tempo (http://www.korantempo.com/korantempo/cetak/2007/05/04/Opini/krn.20070504.100548.id.html)
Dalam kesaksiannya di persidangan, Guntur Romli juga sempat memberikan keterangan yang berbeda terkait dengan posisinya saat kejadian insiden Monas.
“Dalam jangka waktu 2 menit, ada 4 keterangannya yang berbeda,” ujar Munarman saat rehat sidang untuk buka puasa dan sholat maghrib. [6]
Selain gemar berbohong, Guntur juga kerap melecehkan. Baru-baru ini Guntur melecehkan KH. Kholil Ridwan yang mengharamkan film ? milik Hanung. Guntur mengatakan apakah menonton film itu bid’ah, karena tidak ada di zaman Nabi. “Maaf, Cholil Ridwan juga bid’ah karena muka dia juga tidak ada di zaman Nabi,” terangnya. Sekali lagi dengan gaya melecehkan. [7] (Pz/Islampos/bersambung)
Catatan Kaki
[1] Budhy Munawar Rachman, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. (Jakarta: Grasindo, 2010) h. 32
[2] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme Agama, (Jakarta: Hujjah Press, 2007). h. 179-181
[3] Disertasi ini kini telah menjadi buku dengan judul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Jakarta: KataKita, 2009, 401 halaman)
[4] Erdy Nasrul, Demi Pluralisme Sirah Nabi Diplintir, Liputan Majalah Sabili
[5] http://www.wahidinstitute.org/, Moqsith Raih Gelar Doktor”Disertasi Begini kok Lulus”, Rabu, 19 Desember 2007
[6] http://suara-islam.com, Sebut Sahabat Umar ra Pelaku Anal Seks, Munarman Ragukan Kredibilitas Guntur Romli. Senin, 8 September 2009
[7] http://pedomannews.com, Guntur Romli: Cholil Juga Bid’ah, Mukanya Nggak Ada di Zaman Nabi . Ahad, 17 April 2011
www.islampos.com
Pemikiran Jaringan Islam Liberal
JARINGAN Islam Liberal (JIL) adalah sebuah pemikiran yang sifatnya liberal, yang menurut mereka tidak terpaku dengan teks-teks Agama (Al Quran dan Hadis), tetapi lebih terikat dengan nilai-nilai yang terkandung dalam teks-teks tersebut. Dalam implementasinya pemikiran ini dapat disebut meninggalkan teks sama sekali, dan hanya menggunakan rasio dan selera belaka.
Ditinjau dari sudut kebahasaan. penggandengan antara kata “Islam” dan “Liberal” itu tidak tepat. Sebab Islam itu artinya tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan liberal artinya bebas dalam pengertian tidak harus tunduk kepada ajaran Agama (al-Qur’an dan Hadis), Oleh karena itu, pemikiran liberal sebenarnya lebih tepat disebut “Pemikiran Iblis” dari pada “Pemikiran Islam”, karena makhluk pertama yang tidak taat kepada Allah adalah Iblis.
Lebih jelasnya, di bawah ini kami cantumkan point-point pemikiran kelompok JIL tersebut yang kami kutip dari berbagai sumber
1. Umat Islam tidak boleh memisahkan diri dari umat lain, sebab manusia adalah keluarga universal yang memiliki kedudukan yang sederajat. Karena itu larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan pria non muslim sudah tidak relevan lagi.
2. Produk hukum Islam klasik (fiqh) yang membedakan antara muslim dengan non muslim harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal manusia.
3. Agama adalah urusan pribadi, sedangkan urusan Negara adalah murni kesepakatan masyarakat secara demokratis.
4. Hukum Tuhan itu tidak ada. Hukum mencuri, zina, jual-beli, dan pernikahan itu sepenuhnya diserahkan kepada umat Islam sendiri sebagai penerjemahan nilai-nilai universal.
5. Muhammad adalah tokoh historis yang harus dikaji secara kritis karena beliau adalah juga manusia yang banyak memiliki kesalahan.
6. Kita tidak wajib meniru rasulllah secara harfiah. Rasulullah berhasil menerjemahkan nilai-nilai Islam universal di Madinah secara kontekstual. Maka kita harus dapat menerjemahkan nilai itu sesuai dengan konteks yang ada dalam bentuk yang lain.
7. Wahyu tidak hanya berhenti pada zaman Nabi Muhammad saja (wahyu verbal memang telah selesai dalam bentuk al-Qur’an). Tapi wahyu dalam bentuk temuan ahli fikir akan terus berlanjut, sebab temuan akal juga merupakan wahyu karena akal adalah anugerah Tuhan.
8. Karena semua temuan manusia adalah wahyu, maka umat Islam tidak perlu membuat garis pemisah antara Islam dan Kristen, timur dan barat, dan seterusnya.
9. Nilai islami itu bisa terdapat di semua tempat, semua agama, dan semua suku bangsa. Maka melihat Islam harus dilihat dari isinya bukan bentuknya.
10. Agama adalah baju, dan perbedaan agama sama dengan perbedaan baju. Maka sangat konyol orang yang bertikai karena perbedaan baju (agama). semua agama mempunyai tujuan pokok yang sama, yaitu penyerahan diri kepada Tuhan.
11. Misi utama Islam adalah penegakan keadilan. Umat Islam tidak perlu memperjuangkan jilbab, memelihara jenggot, dan sebagainya.
12. Memperjuangkan tegaknya syariat Islam adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menyelesaikan masalah secara rasional. Mereka adalah pemalas yang tidak mau berfikir.
13. Orang yang beranggapan bahwa semua masalah dapat diselesaikan dengan syariat adalah orang kolot dan dogmatis.
14. Islam adalah proses yang tidak pernah berhenti, yaitu untuk kebaikan manusia. Karena keadaan umat manusia itu berkembang, maka Agama (Islam) juga harus berkembang dan berproses demi kebaikan manusia. Kalau Islam itu diartikan sebagai paket sempurna seperti zaman rasulullah, maka itu adalah fosil Islam yang sudah tidak berguna lagi.
Itulah beberapa pemikiran pokok dari jaringan Islam Liberal (JIL).
Selanjutnya sebelum kita menentukan sikap kita terhadap kelompok tersebut, kita perlu tahu apakah pemikiran liberal itu dibenarkan al-Qur’an dan Hadis. Oleh karena itu kami akan mencoba melihat dari dua hal, yang pertama adalah nama kelompok itu sendiri, dan yang kedua substansi pemikiran-pemikirannya.
Ditinjau dari sudut kebahasaan. penggandengan antara kata “Islam” dan “Liberal” itu tidak tepat. Sebab Islam itu artinya tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan liberal artinya bebas dalam pengertian tidak harus tunduk kepada ajaran Agama (al-Qur’an dan Hadis), Oleh karena itu, pemikiran liberal sebenarnya lebih tepat disebut “Pemikiran Iblis” dari pada “Pemikiran Islam”, karena makhluk pertama yang tidak taat kepada Allah adalah Iblis.
Sementara dari sisi substansinya, seperti yang terlihat pada point-point yang tersebut di atas, sebut saja misalnya pendapat mereka yang membolehkan lelaki yahudi (non muslim) menikahi wanita muslimat. Pemikiran iblis liberal ini tidak mendasarkan sama sekali terhadap al-Qur’an dan Hadis. Ia hanya mendasarkan pemikirannya kepada rasio dan selera. Padahal al-Qur’an dengan tegas mcnyatakan bahwa wanita muslimat tidak halal dinikahi lelaki kafir dan lelaki kafir tidak halal menikahi wanita muslimat.
Demikian penegasan Allah dalam Surat al-Mumtahanah ayat 10, Dalam hal ini, ahli tafsir kondang al-lmam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir al-Qur’a'n al-Adzim menyatakan bahwa ayat inilah yang mengharamkan wanita muslimat dinikahi orang musyrikin (non muslim}. Demikian pula yata 5 Surat al-Maidah. Keharaman ini juga ditegaskan dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh al-lmam al-Thabari. Sementara itu, para shahabat dan ulama sejak zaman rasulullah hingga sekarang tidak ada yang menghalalkan pernikahan lelaki non muslim dengan muslimah.
Oleh karena itu, pemikiran kelompok liberal ini bertentangan dengan al-Quran, Hadis, dan ijma’ (konsensus) ulama.
Selanjutnya, bagaimana sikap kita terhadap mereka? Jawabannya adalah:
Kita jangan sekali-kali mengikuti pemikiran-pemikiran mereka, karena al-Qur’an menegaskan dalam Surat al-Ahzab ayat 36, “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan siapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguh dia telah tcrsesat dengan kesesatan yang nyata”.
Pengertian “faqad dhalla dhalalan mubina” (sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata) ditafsiri dengan ayat 63 Surat al-Nur, “…maka orang-orang yang menyalahi perintah rasul-Nya hendaknya mereka takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. Orang yang tersesat dengan kesesatan yang nyata akan ditimpa azab yang sangat pedih, dan siksa yang pedih tidak ada lagi kecuali neraka. Maka mengikuti pemikiran liberal dapat menyesatkan dengan kesesatan yang nyata, dan bahkan dapat menyebabkan orang yang bersangkutan kafir, misalnya apabila ia menentang al-Qur’an dan atau Hadis.
Kepada orang yang mengikuti pemikiran liberal ini, kita menganjurkan agar mereka segera bertobat dan kembali pada jalan yang benar.
Prof. KH. Ali Mustafa Yakub, MA
Imam Besar Masjid Istiqlal
Ditinjau dari sudut kebahasaan. penggandengan antara kata “Islam” dan “Liberal” itu tidak tepat. Sebab Islam itu artinya tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan liberal artinya bebas dalam pengertian tidak harus tunduk kepada ajaran Agama (al-Qur’an dan Hadis), Oleh karena itu, pemikiran liberal sebenarnya lebih tepat disebut “Pemikiran Iblis” dari pada “Pemikiran Islam”, karena makhluk pertama yang tidak taat kepada Allah adalah Iblis.
Lebih jelasnya, di bawah ini kami cantumkan point-point pemikiran kelompok JIL tersebut yang kami kutip dari berbagai sumber
1. Umat Islam tidak boleh memisahkan diri dari umat lain, sebab manusia adalah keluarga universal yang memiliki kedudukan yang sederajat. Karena itu larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan pria non muslim sudah tidak relevan lagi.
2. Produk hukum Islam klasik (fiqh) yang membedakan antara muslim dengan non muslim harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal manusia.
3. Agama adalah urusan pribadi, sedangkan urusan Negara adalah murni kesepakatan masyarakat secara demokratis.
4. Hukum Tuhan itu tidak ada. Hukum mencuri, zina, jual-beli, dan pernikahan itu sepenuhnya diserahkan kepada umat Islam sendiri sebagai penerjemahan nilai-nilai universal.
5. Muhammad adalah tokoh historis yang harus dikaji secara kritis karena beliau adalah juga manusia yang banyak memiliki kesalahan.
6. Kita tidak wajib meniru rasulllah secara harfiah. Rasulullah berhasil menerjemahkan nilai-nilai Islam universal di Madinah secara kontekstual. Maka kita harus dapat menerjemahkan nilai itu sesuai dengan konteks yang ada dalam bentuk yang lain.
7. Wahyu tidak hanya berhenti pada zaman Nabi Muhammad saja (wahyu verbal memang telah selesai dalam bentuk al-Qur’an). Tapi wahyu dalam bentuk temuan ahli fikir akan terus berlanjut, sebab temuan akal juga merupakan wahyu karena akal adalah anugerah Tuhan.
8. Karena semua temuan manusia adalah wahyu, maka umat Islam tidak perlu membuat garis pemisah antara Islam dan Kristen, timur dan barat, dan seterusnya.
9. Nilai islami itu bisa terdapat di semua tempat, semua agama, dan semua suku bangsa. Maka melihat Islam harus dilihat dari isinya bukan bentuknya.
10. Agama adalah baju, dan perbedaan agama sama dengan perbedaan baju. Maka sangat konyol orang yang bertikai karena perbedaan baju (agama). semua agama mempunyai tujuan pokok yang sama, yaitu penyerahan diri kepada Tuhan.
11. Misi utama Islam adalah penegakan keadilan. Umat Islam tidak perlu memperjuangkan jilbab, memelihara jenggot, dan sebagainya.
12. Memperjuangkan tegaknya syariat Islam adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menyelesaikan masalah secara rasional. Mereka adalah pemalas yang tidak mau berfikir.
13. Orang yang beranggapan bahwa semua masalah dapat diselesaikan dengan syariat adalah orang kolot dan dogmatis.
14. Islam adalah proses yang tidak pernah berhenti, yaitu untuk kebaikan manusia. Karena keadaan umat manusia itu berkembang, maka Agama (Islam) juga harus berkembang dan berproses demi kebaikan manusia. Kalau Islam itu diartikan sebagai paket sempurna seperti zaman rasulullah, maka itu adalah fosil Islam yang sudah tidak berguna lagi.
Itulah beberapa pemikiran pokok dari jaringan Islam Liberal (JIL).
Selanjutnya sebelum kita menentukan sikap kita terhadap kelompok tersebut, kita perlu tahu apakah pemikiran liberal itu dibenarkan al-Qur’an dan Hadis. Oleh karena itu kami akan mencoba melihat dari dua hal, yang pertama adalah nama kelompok itu sendiri, dan yang kedua substansi pemikiran-pemikirannya.
Ditinjau dari sudut kebahasaan. penggandengan antara kata “Islam” dan “Liberal” itu tidak tepat. Sebab Islam itu artinya tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan liberal artinya bebas dalam pengertian tidak harus tunduk kepada ajaran Agama (al-Qur’an dan Hadis), Oleh karena itu, pemikiran liberal sebenarnya lebih tepat disebut “Pemikiran Iblis” dari pada “Pemikiran Islam”, karena makhluk pertama yang tidak taat kepada Allah adalah Iblis.
Sementara dari sisi substansinya, seperti yang terlihat pada point-point yang tersebut di atas, sebut saja misalnya pendapat mereka yang membolehkan lelaki yahudi (non muslim) menikahi wanita muslimat. Pemikiran iblis liberal ini tidak mendasarkan sama sekali terhadap al-Qur’an dan Hadis. Ia hanya mendasarkan pemikirannya kepada rasio dan selera. Padahal al-Qur’an dengan tegas mcnyatakan bahwa wanita muslimat tidak halal dinikahi lelaki kafir dan lelaki kafir tidak halal menikahi wanita muslimat.
Demikian penegasan Allah dalam Surat al-Mumtahanah ayat 10, Dalam hal ini, ahli tafsir kondang al-lmam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir al-Qur’a'n al-Adzim menyatakan bahwa ayat inilah yang mengharamkan wanita muslimat dinikahi orang musyrikin (non muslim}. Demikian pula yata 5 Surat al-Maidah. Keharaman ini juga ditegaskan dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh al-lmam al-Thabari. Sementara itu, para shahabat dan ulama sejak zaman rasulullah hingga sekarang tidak ada yang menghalalkan pernikahan lelaki non muslim dengan muslimah.
Oleh karena itu, pemikiran kelompok liberal ini bertentangan dengan al-Quran, Hadis, dan ijma’ (konsensus) ulama.
Selanjutnya, bagaimana sikap kita terhadap mereka? Jawabannya adalah:
Kita jangan sekali-kali mengikuti pemikiran-pemikiran mereka, karena al-Qur’an menegaskan dalam Surat al-Ahzab ayat 36, “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan siapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguh dia telah tcrsesat dengan kesesatan yang nyata”.
Pengertian “faqad dhalla dhalalan mubina” (sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata) ditafsiri dengan ayat 63 Surat al-Nur, “…maka orang-orang yang menyalahi perintah rasul-Nya hendaknya mereka takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. Orang yang tersesat dengan kesesatan yang nyata akan ditimpa azab yang sangat pedih, dan siksa yang pedih tidak ada lagi kecuali neraka. Maka mengikuti pemikiran liberal dapat menyesatkan dengan kesesatan yang nyata, dan bahkan dapat menyebabkan orang yang bersangkutan kafir, misalnya apabila ia menentang al-Qur’an dan atau Hadis.
Kepada orang yang mengikuti pemikiran liberal ini, kita menganjurkan agar mereka segera bertobat dan kembali pada jalan yang benar.
Prof. KH. Ali Mustafa Yakub, MA
Imam Besar Masjid Istiqlal
Pentingnya Komunikasi
Komunikasi memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan keharmonisan kehidupan rumah tangga. Gagal berkomunikasi bisa mengancam keutuhan sebuah keluarga. Sebenarnya apakah maksud komunikasi, dan bagaimana agar bisa berkomunikasi secara efektif kepada pasangan? Agar komunikasi antara suami dan istri bisa efektif, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak:
1. Mengetahui ragam komunikasi, dari berbicara, menulis, hingga menyampaikan pesan lewat berbagai media.
2. Bersikap empati. Memposisikan diri Anda pada situasi perasaan dan pikiran yang sedang dialami pasangan.
3. Fleksibel, komunikasi kadang memerlukan suasana dan gaya serius, namun ada kalanya lebih efektif menggunakan suasana dan gaya yang santai.
4. Memahami bahasa nonverbal. Kadang ekspresi wajah dan bahasa tubuh pasangan Anda sudah mengisyaratkan sesuatu pesan.
5. Jadilah pendengar yang baik. Jangan menguasai komunikasi dengan terlalu banyak bicara dan tidak mau mendengar.
6. Egaliter, hilangkan sekat pembatas antara Anda dengan pasangan yang menghalangi kehangatan komunikasi.
7. Hindarkan kalimat dan gaya yang menyakiti hati pasangan, atau menyinggung perasaannya.
8. Sampaikan pesan dengan lembut dan bijak. Jangan berlaku kasar dalam komunikasi.
9. Gunakan bahasa dan media yang tepat, sesuai dengan situasi dan kondisi saat melakukan komunikasi.
10. Pilih waktu, suasana dan tempat yang tepat untuk mendukung kelancaran berkomunikasi.
Demikianlah sepuluh prinsip komunikasi efektif antara suami dan istri. Semoga kita semua mampu menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Aamiin.
1. Mengetahui ragam komunikasi, dari berbicara, menulis, hingga menyampaikan pesan lewat berbagai media.
2. Bersikap empati. Memposisikan diri Anda pada situasi perasaan dan pikiran yang sedang dialami pasangan.
3. Fleksibel, komunikasi kadang memerlukan suasana dan gaya serius, namun ada kalanya lebih efektif menggunakan suasana dan gaya yang santai.
4. Memahami bahasa nonverbal. Kadang ekspresi wajah dan bahasa tubuh pasangan Anda sudah mengisyaratkan sesuatu pesan.
5. Jadilah pendengar yang baik. Jangan menguasai komunikasi dengan terlalu banyak bicara dan tidak mau mendengar.
6. Egaliter, hilangkan sekat pembatas antara Anda dengan pasangan yang menghalangi kehangatan komunikasi.
7. Hindarkan kalimat dan gaya yang menyakiti hati pasangan, atau menyinggung perasaannya.
8. Sampaikan pesan dengan lembut dan bijak. Jangan berlaku kasar dalam komunikasi.
9. Gunakan bahasa dan media yang tepat, sesuai dengan situasi dan kondisi saat melakukan komunikasi.
10. Pilih waktu, suasana dan tempat yang tepat untuk mendukung kelancaran berkomunikasi.
Demikianlah sepuluh prinsip komunikasi efektif antara suami dan istri. Semoga kita semua mampu menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Aamiin.
Tanggal Istimewa 29 Februari
Hari ini, Rabu (29/2/2012), merupakan hari istimewa dalam penanggalan Masehi. Keistimewaan itu terletak pada tanggalnya, 29 Februari. Tanggal ini hanya muncul satu kali dalam rentang empat tahun atau delapan tahun. Ini menandakan tahun 2012 adalah tahun kabisat.
Cikal bakal kalender Masehi yang digunakan saat ini berasal dari kalender Julian yang diperkenalkan sejak masa Julius Caesar pada tahun 46 sebelum Masehi atas bantuan astronom asal Aleksandria, Sosigenes.
Dalam kalender Julian, satu tahun didefinsikan sebagai waktu yang diperlukan Bumi untuk mengelilingi Matahari, yaitu selama 365,25 hari. Karena sulit dan tidak praktis mengubah tahun pada seperempat hari, maka satu tahun dibulatkan menjadi 365 hari.
”Tahun yang memiliki jumlah 365 hari disebut tahun basit atau tahun pendek,” kata ahli kalender dari Program Studi Astronomi, Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto, Selasa (28/2).
Sisa 0,25 hari digabung menjadi satu hari penuh yang ditambahkan pada Februari tahun keempat. Itulah sebabnya Februari yang biasanya hanya memiliki 28 hari setiap empat tahun menjadi 29 hari.
Penambahan satu hari pada tahun keempat inilah yang kemudian membuat setiap angka tahun yang habis dibagi empat disebut tahun kabisat atau tahun panjang karena memiliki 366 hari.
Tidak tepat
Ternyata waktu yang dibutuhkan Bumi untuk mengelilingi Matahari tidak tepat 365,25 hari atau 365 hari 6 jam seperti yang ditetapkan dalam kalender Julian. Waktu yang tepat adalah 365,242199 hari atau 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik.
”Astronom pada masa itu belum bisa menentukan waktu revolusi Bumi hingga detail,” ujar Moedji.
Waktu Bumi mengelilingi Matahari ini didasarkan atas waktu yang ditempuh Matahari seolah-olah mengelilingi Bumi dari titik Aries hingga kembali ke titik Aries lagi. Ini disebut sebagai satu tahun tropis.
Matahari berada di titik Aries ditetapkan terjadi pada 21 Maret. Tanggal ini menjadi tanda datangnya musim semi di belahan Bumi utara atau tibanya musim gugur di belahan Bumi selatan.
Penghitungan yang tidak tepat ini membuat setiap satu tahun terjadi kekurangan 11 menit 14 detik. Dalam jangka pendek, kekurangan ini tidak menimbulkan masalah pada kalender yang digunakan. Namun, jika kalender digunakan hingga ribuan tahun, kekurangan ini menjadi sangat terasa.
Dalam 1.000 tahun, hari bergerak 7,8 hari lebih cepat dibandingkan semestinya. Ini ditandai dengan lebih cepatnya Matahari tiba di titik Aries dari hasil penghitungan dibandingkan kondisi sebenarnya.
Hal lain yang dirasakan akibat ketidaktepatan ini adalah musim semi yang datang lebih awal dari 21 Maret sesuai ketetapan.
Majunya waktu ini juga memengaruhi berbagai kegiatan keagamaan yang tidak tepat, seperti dalam penentuan hari raya keagamaan yang memiliki aturan khusus. Ini sangat bertentangan dengan tujuan dibuatnya kalender, yaitu untuk menentukan waktu dilaksanakannya berbagai kegiatan keagamaan dan penanda musim.
Reformasi
Kondisi ini membuat Paus Gregorius XIII pada 1582 Masehi membarui kalender Julian. Ketentuan tahun kabisat tidak hanya angka tahun yang habis dibagi 4, tetapi juga harus habis dibagi 400 untuk tahun abad (tahun yang merupakan kelipatan angka 100).
Ini membuat tahun 1800 atau 1900 yang dalam kalender Julian disebut tahun kabisat setelah ketentuan baru ini tidak lagi disebut tahun kabisat. Namun, tahun 1600 dan 2000 masih disebut tahun kabisat.
Ini akan membuat orang yang lahir pada 29 Februari, perayaan ulang tahunnya tidak hanya akan jatuh tepat empat tahun sekali, tetapi bisa juga delapan tahun sekali, seperti antara 29 Februari 2096 dan 29 Februari 2104. Hal ini karena tahun 2100 bukan tahun kabisat.
Reformasi ini berhasil mengurangi kesalahan penghitungan kumulatif hari. ”Jika dalam kalender Julian terjadi kesalahan 78 hari dalam 10.000 tahun, setelah direformasi kesalahannya tinggal 3 hari dalam 10.000 tahun,” ungkap Moedji.
Selain mengeluarkan aturan baru tahun kabisat, Paus Gregorius XIII juga memotong 10 hari pada Oktober 1582. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan kalender agar bersesuaian kembali dengan musim yang terjadi.
Pemotongan ini membuat tanggal 4 Oktober 1582 langsung dilanjutkan dengan tanggal 15 Oktober 1582. Artinya, dalam sejarah kalender Masehi, tidak pernah ada tanggal 5 Oktober sampai 14 Oktober 1582.
Penghapusan ini mirip dengan yang dilakukan Pemerintah Samoa dan Tokelau di Pasifik Selatan yang menghapus tanggal 30 Desember 2011 untuk menyesuaikan dengan waktu di Selandia Baru dan Australia. Penghapusan ini membuat 29 Desember di negara itu langsung dilanjutkan dengan tanggal 31 Desember 2011.
Pembaruan yang dilakukan Paus Gregorius XIII ini membuat sistem penanggalan ini dinamakan kalender Gregorian. Meski demikian, sistem ini tidak langsung diterapkan di semua negara. Rusia, China, Yunani, ataupun Turki baru mengakomodasi kalander ini pada awal abad ke-20.
Belum pas
Meski sudah dikoreksi, kalender Gregorian masih mengandung salah, yaitu tiga hari dalam 10.000 tahun. Kesalahan ini terjadi karena dalam satu tahun kalender Gregorian jumlah harinya masih 365,2425 hari. Ini berbeda sedikit dengan waktu dalam satu tahun tropis yang mencapai 365,242199 hari.
Ketidaktepatan ini disebabkan adanya gerak presesi atau gerak sumbu rotasi Bumi sembari mengelilingi Matahari. Gerak presesi membuat posisi titik Aries bergeser 50,2 detik busur per tahun ke arah barat dari koordinat langit.
”Untuk membuat kalender dengan jumlah hari yang tepat dengan satu tahun tropis tidaklah mudah. Banyak hal yang harus diperhatikan, baik dari sisi kepraktisan kalender untuk digunakan maupun idealisme sistem kalender itu sendiri,” kata Moedji.
Sumber :Kompas Cetak
M Zaid Wahyudi
Subscribe to:
Posts (Atom)