Oleh : Sujatmiko
(Sekjen Kelompok Riset Cekungan Bandung dan anggota IAGI)
Bandung, 12 Januari 2012
Gunung Sadahurip adalah sebuah gunung kecil terisolir
yang terletak di Desa Sukahurip , Kecamatan Pangatikan, Kabupaten Garut.
Tingginya yang 1463 meter di atas
permukaan laut, membuat gunung mungil ini tampak menyolok di kejauhan, begitu
kita memasuki Kecamatan Wanaraja dari arah Garut . Bentuknya yang mirip dengan
bangunan piramida, ditambah dengan mitos penduduk setempat tentang keanehan dan
keangkerannya, apalagi diperkuat oleh bisikan-bisikan ghoib, membuat Yayasan
Turangga Seta yakin bahwa G. Sadahurip adalah sebuah piramida budaya yang
dibangun oleh nenek moyang kita.
Keyakinan mereka kemudian dituangkan dalam suatu hipotesa
yang menyimpulkan bahwa selain di G. Sadahurip, terpendam bangunan piramida
budaya di gunung-gunung berbentuk piramida lainnya di Jawa Barat antara lain G.
Kaledong dan G. Haruman, keduanya di Garut, dan G. Lalakon di Bandung. Hipotesa
mereka ini tentu saja mengundang kontroversi khususnya bagi kalangan ilmuwan
kebumian mengingat geomorfologi model piramida yang merupakan produk dari
proses geologi dan gunung api sangat umum ditemukan di banyak penjuru dunia.
Walaupun demikian, berkat semangat dan kemahiran Yayasan
Turangga Seta dalam menyosialisasikan hipotesanya dan memanfaatkan nama besar
dari beberapa pakar ilmu kebumian yang di awal penelitian mereka ikut
berpartisipasi, maka akhirnya Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan
Bencana di Binagraha terpancing untuk ikut nimbrung melalui tim bentukannya
yaitu Tim Bencana Katastropik Purba. Tim inilah yang beberapa waktu lalu
mengklaim telah menemukan Piramida Sadahurip, yang selain tertinggi dan
terbesar di dunia, juga tertua yaitu lebih dari 6000 tahun sebelum Masehi.
Pernyataan-pernyataan lainnya yang tak kalah
kontroversialnya kemudian dilemparkan ke masyarakat luas antara lain tentang
temuan pintu masuk ke ruang piramida di perut G. Sadahurip, dan yang terakhir
tentang kehebatan para pendiri piramida yang diyakini telah mampu memindahkan
seluruh kandungan batuan yang sebelumnya menyusun lembah Batu Rahong untuk
dijadikan bahan bangunan Piramida Sadahurip.
Pernyataan terakhir ini yang sebetulnya dapat dijelaskan
dengan konsep ilmu rupa bumi atau geomorfologi mengindikasikan bahwa Tim
Bencana Katastropik Purba tidak
dilengkapi dengan tenaga ahli kebumian yang mumpuni, yang selain dapat membaca
dan menerjemahkan gejala alam yang telah dan sedang terjadi, juga dapat menjaga
martabat dan kehormatan institusi kepresidenan yang seharusnya selalu kita junjung tinggi.
Gunung Sadahurip asli bentukan alam
Kepastian bahwa G. Sadahurip merupakan bentukan alam
murni tanpa campur tangan manusia, apalagi tenaga ghoib, didapat setelah
penulis melakukan pengamatan geologi langsung di lapangan pada tanggal 8
Januari 2012. Dalam kegiatan ini tim penulis didukung dan dikawal oleh Dan Ramil 1103 Wanaraja
Garut, Kapten TNI Didi Suryadi beserta beberapa orang anggotanya, dan Sekretaris
Desa Sukahurip, Bapak Syarip Hidayat. Target pengamatan pertama adalah
morfologi G. Sadahurip yang tampak simetris sempurna dari arah Wanaraja, tetapi
ternyata menjadi tidak simetris dari arah selatan/Kampung Cicapar.
G. Sadahurip tidak berbentuk piramida dilihat dari
Cicapar
Pengamatan selanjutnya difokuskan kepada fenomena geologi
yang ditemukan di sepanjang perjalanan, dari mulai Kampung Cipacar sampai ke puncak
G. Sadahurip dan kemudian turun ke Kampung Sokol. Singkapan batuan yang
ditemukan berupa batuan beku andesit dalam bentuk aliran lava dan batuan
intrusif yang masif, yang di beberapa tempat melapuk meninggalkan struktur
kulit bawang atau kekar tiang.
Pelapukan mengulit bawang di lereng Sadahurip dengan
batuan asli kolom-kolom andesitis
Selain dari itu, ditemukan juga batuan piroklastika hasil
kegiatan gunung api yang kebanyakan telah lapuk. Dengan variasi batuan semacam
ini yang sangat umum ditemukan di morfologi gunung berbentuk piramida, maka dapat disimpulkan bahwa G. Sadahurip
adalah sebuah gunung api kecil yang utuh dengan bentuk menyerupai piramida.
Fenomena semacam ini oleh van Bemmelen disebut sebagai lava dome (The Geology
of Indonesia, 1949) dan oleh Arthur Holmes sebagai cumulo dome (Principles of
Physical Geology, 1984).
Metode penelitian geologi sederhana yang penulis uraikan
ini sebetulnya merupakan materi kuliah Geologi Dasar di seluruh Fakultas
Geologi di Indonesia yang seharusnya dipertimbangkan oleh Tim Bencana
Katastropik Purba dalam melaksanakan penelitiannya. Dengan demikian maka
pemakaian beragam peralatan super canggih seperti geolistrik superstring,
georadar, foto satelit 3 D–IFSAR resolusi 5 meter, dan bahkan penentuan umur
dengan metode Karbon C-14 atau radiocarbon dating yang tentunya telah menguras
dana dan tenaga yang tidak kecil akan dapat dihindari.
Antara bisikan ghoib dan pertimbangan ilmiah
Dalam wawancaranya dengan VIVAnews pada tanggal 15
Februari 2011, Yayasan Turangga Seta yang didirikan sekitar tahun 2004 mengakui
bahwa metode penelitian yang mereka terapkan banyak didasarkan atas kepekaan
beberapa anggotanya terhadap kehadiran ghoib yang mereka sebut sebagai parallel
existence (penulis menyebutnya sebagai bisikan ghoib). Mereka terkesan bangga
menyebut timnya sebagai MIT atau Menyan Institute of Technology dengan
argumentasi bahwa dalam melakukan perburuan situs prasejarah, yang mungkin
dengan ritual pembakaran kemenyan untuk mengundang roh, mereka kadang-kadang
mendapat sokongan informasi lokasi dari informan tak kasatmata (VIVAnews, 17
Maret 2011).
Dengan keyakinan semacam itu maka dapat dimengerti
mengapa dalam sosialisasi pertamanya di hadapan Wagub Jabar tanggal 3 Maret
2011, Yayasan Turangga Seta terkesan kurang senang ketika penulis dan Drs.
Lutfi Yondri M.Hum., pakar arkeologi dari Balai Bandung, memberikan masukan
ilmiah, padahal maksudnya agar Yayasan Turangga Seta yang sebagian besar
anggotanya masih muda-muda dapat lebih berhati-hati , baik dalam melakukan
penelitian ataupun dalam prosedur dan perizinannya (sesuai dengan isi Undang-Undang Cagar Budaya
No. 11 Tahun 2010).
Masukan serupa tetapi sedikit lebih keras diberikan lagi
kepada perwakilan Yayasan Turangga Seta ketika memperkenalkan hipotesanya di
Jurusan Tambang ITB pada tanggal 6 Mei 2011 yang dihadiri juga oleh penulis dan
Drs. Lutfi Yondri M.Hum. Pernyataan mereka ketika itu cukup tegas bahwa mereka
lebih percaya kepada bisikan ghoib atau
parallel existence dari pada pertimbangan ilmiah.
Selain peringatan secara langsung, sanggahan melalui
media internet dan media cetak dilayangkan juga
antara lain oleh Mang Okim (milis IAGI
20 Maret 2011 : Piramida G. Lalakon di Bandung, Akhir Sebuah
Harapan), Dr. Ir. Budi Brahmantyo M.Sc.
(PR 3 Agustus 2011: Gunung Lalakon, Sebuah Karya Alam), dan lain-lain. Artikel
dan tulisan berikut lampiran gambar-gambar yang menjelaskan dan menyanggah
hipotesas piramida tersebut dan telah dikutip oleh Google, dipastikan telah
dibaca juga oleh Yayasan Turangga Seta.
Selain dari itu, beberapa pakar geologi terkemuka di
Indonesia yang pada awalnya mendampingi dan mendukung secara sukarela
penelitian mereka, kemudian menarik diri setelah menyadari adanya penyimpangan
metode dan arah penelitian mereka dari kaidah-kaidah ilmu kebumian yang baku
(pengakuan Dr.Ir.Danny Hilman M.Sc. di Nasional, 4 April 2011, dan bantahan
keras Dr.Ir. Andang Bachtiar M.Sc. di FB karena nama dan reputasinya dimanfaatkan
secara tidak benar). Dengan adanya sanggahan dan bantahan dari para pakar
tersebut, maka sungguh sulit dimengerti bahwa Staf Khusus Presiden Bidang
Bantuan Sosial dan Bencana justru terpengaruh dan bahkan mendukung penuh
kegiatan eksplorasi dan penggalian arkeologi yang di beberapa lokasi diketahui
melanggar ketentuan dan prosedur yang digariskan dalam Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2010 .
Pelajaran berharga bagi kita semua
Gencarnya issue tentang Piramida G. Sadahurip ini , yang
oleh masyarakat Garut diartikan sebagai adanya bangunan piramida dan/atau
kandungan harta karun di perut G. Sadahurip, membuat aparat Kecamatan Pangatikan dan Desa
Sukahurip di Garut menjadi sibuk luar biasa. Selain karena membanjirnya para
pengunjung ke puncak G. Sadahurip sejak
sekitar 6 bulan terakhir, yang ketika penulis mendaki gunung ini pada tanggal
8 Januari 2012 jumlahnya mencapai lebih dari 200 orang, beberapa instansi
terkait dan Pemkab Garut tentunya tak kalah sibuknya melayani permintaan dan
pertanyaan para pejabat di Jakarta tentang issue piramida tersebut.
Wisatawan yg penasaran isu piramida melewati lereng
Sadahurip dengan lapisan lava andesitis
Hikmah dari semua itu adalah meningkatnya minat
masyarakat dan para pelajar untuk mendaki sampai ke puncak G. Sadahurip melalui
jalan setapak dan lereng terjal yang tidak ringan. Untuk melayani pengunjung,
paling sedikit tiga warung jajanan telah
dibangun mendadak oleh penduduk setempat
di lereng G. Sadahurip. Hal ini memberikan indikasi bahwa masyarakat sangat
mendambakan sarana wisata minat khusus yang sebetulnya bisa diciptakan oleh
para pemangku kekuasaan kalau mau.
Sehubungan dengan itu, maka walaupun G. Sadahurip bukan
bangunan piramida budaya, alangkah baiknya kalau minat masyarakat khususnya
para remaja dan pelajar yang dengan semangat pantang menyerah mendaki sampai ke
puncak G. Sadahurip dapat dipertahankan. Dengan anggaran yang tidak seberapa
dan bahkan melalui kerja gotong royong, jalan ke puncak G. Sadahurip dapat
diatur dengan membuat tangga-tangga sederhana. Pemandangan alam dilihat dari
puncak G. Sadahurip sungguh luar biasa antara lain G. Kaledong dan G. Haruman
serta beberapa gunung lainnya yang bentuk piramidanya tak kalah indahnya dari G. Sadahurip.
Kerucut G. Kaledong dan G. Haruman yang merupakan
sisa-sisa gunung api purba, juga disangka piramida.
Dan kepada Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan
Bencana, pesan moral yang kiranya perlu disampaikan adalah agar tidak terjun
terlalu jauh dalam masalah-masalah yang sebetulnya dapat dilakukan oleh lembaga
dan instansi serta institusi pendidikan terkait. Alangkah ironisnya bahwa
hilangnya bangunan sangat penting di puncak G.Sadahurip yaitu beton
Trianggulasi T74 yang dibongkar karena dikira mengandung harta karun, lepas
dari perhatian, padahal hukuman bagi pencurinya di zaman kolonial Belanda
begitu berat.
kapan-kapan kayakny pengin main kesan tuh
ReplyDelete