Panama Papers sebetulnya hanya istilah saja. Sama seperti Wikileaks.
Kalau Wikileaks berupa bocoran data intelijen dari berbagai negara terutama negara barat. Sementara Panama Papers berisi confidential documents yang dimiliki oleh Mossack Fonseca & Co, Perusahaan hukum yang berpusat di Panama.
Dokumen ini berisi informasi rinci mengenai lebih dari 214.000 perusahaan luar negeri, termasuk identitas pemegang saham dan direkturnya.
Mossack Fonseca & Co jika di Indonesia mirip firma hukum atau notaris yang salah satu pekerjaannya mengesahkan pendirian perusahaan, jadi sebetulnya legal dan tak ada masalah.
Hanya saja di Indonesia salah satu syarat perusahaan baik PT maupun CV harus memiliki TDP (Tanda Daftar Perusahaan) dan SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) -dokumen resmi dari pemerintah untuk kegiatan usaha dagang- dimana salah satu syaratnya adalah memegang NPWP untuk pembayaran pajaknya.
Yang jadi pertanyaan, kenapa banyak perusahaan didaftarkan melalui Mossack Fonseca & Co?
Mossack Fonseca & Co membantu membuat perusahaan di luar negeri untuk kepentingan bisnis yang memang butuh entitas bisnis Luar Negeri -baik untuk bisnis international maupun kepentingan merger dan akuisisi- dengan pajak transaksi yang minimal atau bahkan tidak ada pajak.
Hal yang biasa dilakukan di dunia bisnis. Sama halnya dengan membuat perusahaan di Indonesia melalui bantuan notaris dengan biaya 5-15 jutaan rupiah.
Panama Papers berisi daftar perusahaan yang pembuatannya dibantu oleh Mossack Fonseca untuk didaftarkan di BVI (British Virgin Island, negara bekas koloni Inggris yang terletak di laut Karibia) yang bebas pajak. Rata-rata tarif Mossack Fonseca itu 300-700 USD sekali daftar/urusan. Mempunyai perusahaan terdaftar di BVI belum tentu dan memang tidak harus punya rekening di BVI.
Soal Panama Papers itu sekarang sudah menjadi heboh viral dan makin banyak mis-interpretasi dan interpretasi tambahannya.
Sayangnya interpretasinya ditambah-tambahi seolah itu adalah daftar orang yang punya rekening di BVI (di luar negeri), atau lebih seru lagi itu adalah daftar orang atau perusahaan yang mengemplang pajak atau melarikan uang dari Indonesia ke negara asing. Dan viral dis-informasi ini diperparah oleh media massa yang memang mau mencari sensasi dengan tidak membedakan fakta berita dengan opini.
Dan sesungguhnya tidak ada hukum yang dilanggar dengan mendirikan perusahaan di BVI dalam kaitannya untuk memudahkan transaksi international dan memaksimalkan potensi pendapatan dengan pajak yang minim ataupun nihil di negara-negara bebas pajak. Hal itu normal legal business practice biasa saja.
Masalahnya: banyak koruptor atau pengemplang pajak atau penguasa dan pejabat dari berbagai negara yang menjalankan bisnis perusahaannya dengan melakukan transaksi "pencucian uang" lewat BVI.
Maka dengan sudut yang sedikit diubah, media memainkannya sedemikian rupa seolah-olah semua nama perusahaan dan individu yang ada dalam list itu "punya kecenderungan" melakukan hal yang sama (pencucian uang, ngemplang pajak dsb).
Selain itu yang bikin heboh: ternyata banyak pejabat berbagai negara (termasuk Indonesia tentunya) yang mempunyai perusahaan di BVI itu pada waktu mereka masih aktif menjabat dan itu umumnya bertentangan dengan etika bahkan illegal di berbagai negara jika pejabat juga terlibat berbisnis. Namun bagi pihak swasta adalah lumrah menjalankan bisnis, bahkan di luar negeri sekalipun.
Sebenarnya di webnya ICIJ yang memuat bocoran Panama Papers itu ditulis:
"There are legitimate uses for offshore companies and trusts. We do not intend to suggest or imply that any persons, companies or other entities included in the ICIJ Offshore Leaks Database have broken the law or otherwise acted improperly."
Namun dengan diskresi dan mungkin kesengajaan media: sudut pemberitaan diubah karena ada koruptor dan buronan tertera pada daftar Panama Papers kemudian diangkat menjadi "red alert" bahwa siapapun yang ada di situ disamakan dengan koruptor dan penggelap pajak.
No comments:
Post a Comment