Tatsabbut dan Tabayyun

Tatsabbut sangat dibutuhkan di zaman yang penuh fitnah ini, Allah telah memerintahkan kita untuk tatsabbut sebagaimana firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian orang fasiq dengan membawa berita, maka periksalah dahulu dengan teliti, agar kalian tidak menuduh suatu kaum dengan kebodohan, lalu kalian menyesal akibat perbuatan yang telah kalian lakukan.” (QS. Al Hujurat : 6).

Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan tabayyun adalah memeriksa dengan teliti dan yang dimaksud dengan tatsabbut adalah berhati-hati dan tidak tergesa-gesa, melihat dengan keilmuan yang dalam terhadap sebuah peristiwa dan kabar yang datang, sampai menjadi jelas dan terang baginya.” (Fathul Qadir, 5:65).

Ia adalah konsekwensi sikap Al Anah yang disebutkan dalam hadits:
“Sesungguhnya pada dirimu ada dua perangai yang dicintai oleh Allah yaitu Al Hilmu dan Al Anah.” (HR Muslim).

Al Anah adalah tenang dalam menghadapi gejolak dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil sikap, dan tatsabbut kita lakukan dalam berbagai macam kabar yang sampai kepada kita, terutama ketika menghadapi beberapa perkara berikut ini:

a. Isu dan Kabar Burung
Sesungguhnya kehidupan masyarakat tidak lepas dari isu dan kabar burung, ini disebabkan oleh adanya tiga jenis manusia: Pertama adalah orang yang menggunakan isu untuk merusak kehidupan masyarakat Islam, yaitu dari kalangan orang-orang munafik dan non muslim. Kedua adalah orang yang mudah menerima kabar dan segera menyampaikannya kepada orang lain tanpa memeriksa kebenarannya. Dan yang ketiga adalah orang yang mudah berburuk sangka atau cepat menyimpulkan lalu ia segera mengabarkan kepada orang lain berdasarkan sangkaan yang salah tersebut.

Jenis yang pertama dan kedua ditunjukkan dalam kisah dimana Aisyah dituduh berzina dengan seorang shahabat sehingga kota Madinah pun berguncang dan sebagian shahabat terpengaruh oleh kabar burung yang disebarkan oleh orang-orang Munafik, lalu Allah menurunkan ayat-ayat Alquran [QS. An Nuur: 11-20] yang membersihkan nama Aisyah dan mengancam orang yang membuat isu dengan adzab yang pedih.

Adapun jenis yang ketiga ditunjukkan oleh kisah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengisolir istri-istrinya selama dua puluh sembilan hari, lalu dipahami oleh sebagian shahabat bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menalak istri-istrinya, sehingga tersebarlah isu bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menalak istri-istrinya, namun ketika ditanyakan langsung oleh Umar apakah engkau menalak istri-istrimu? Beliau menjawab, “Tidak”.

Isu dan kabar burung adalah penyakit yang berat yang dapat merusak nama baik seseorang. Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita menyampaikan semua kabar yang kita dengar tanpa diperiksa terlebih dahulu. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Cukuplah bagi seseorang kedustaan; ia menyampaikan semua kabar yang ia dengar.” (HR. Muslim).

Dan menyebarkan isu adalah perangai yang dibenci oleh Allah dan tidak layak bagi seorang mukmin, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah membenci untukmu tiga perkara: kata anu kata anu (isu), menyia-nyiakan harta dan banyak bertanya (yang tidak-tidak).” (HR. Bukhari dan Muslim).

Terlebih bila isu tersebut berhubungan dengan kehormatan seorang muslim, maka hendaknya kita lebih berhati-hati agar kita tidak menuduh seseorang dengan kebodohan lalu menjadi penyesalan bagi kita kelak, Syaikh Abdul ‘Aziz As Sadhan rahimahullah berkata, “Apabila isu itu berhubungan dengan orang yang shalih dan baik, maka hendaklah berbaik sangka terlebih dahulu dan memberikan udzur (dispensasi) untuknya jika udzur itu masih diterima secara syariat”. [Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi]

Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu berkata, “Janganlah engkau berprasangka buruk terhadap kalimat yang keluar dari mulut seorang muslim sementara engkau masih menemukan untuknya makna dalam kebaikan.” [Kanzul ‘ummal, no. 44372]

Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata, “Kabar apapun apabila engkau ingin menukilnya, wajib memeriksanya terlebih dahulu, apakah benar kabar tersebut dari orang yang engkau nukil atau tidak. Kemudian jika benar, maka jangan langsung menghukumi sampai engkau periksa dalam vonis tersebut, barangkali kabar yang engkau dengar berdasarkan pada pokok yang engkau tidak mengetahuinya sehingga engkau memvonis bahwa ia di atas kesalahan, namun kenyataannya tidak salah.” [Syarah Hilyah Tholibil ‘Ilmi]

b. Menukil Ilmu
Seorang muslim terlebih penuntut ilmu wajib berhati-hati dalam menerima segala kutipan dari kitab-kitab atau penceramah yang tidak sejalan dengan sunnah. Karena seringkali kita dapati mereka mengutip suatu dalil dengan tidak lengkap atau menisbatkan hadits kepada shahih Bukhari dan Muslim misalnya, namun setelah diperiksa ternyata hadits tersebut tidak ada pada kedua kitab tersebut. Terkadang juga membawakan pendapat ulama dengan cara memenggalnya sebatas yang mendukung dugaan mereka dan menghilangkan sebagian kata yang tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka dan lain sebagainya. “Mereka tidak mempunyai ilmu kecuali mengikuti sangkaan belaka, dan mereka tidak membunuhnya dengan yakin.” (QS. An Nisaa: 157).

c. Berita dan Peristiwa
Banyak peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia ini merupakan hasil rekayasa orang-orang yang dengki terhadap Islam dan kaum muslimin. Mereka berusaha menyulut api fitnah dan membakar semangat orang-orang yang mempunyai ghirah yang tinggi terhadap Islam, sehingga banyak orang-orang tidak tahu termakan dan dipermainkan oleh berita.

Seorang muslim yang berpegang kepada sunnah bukanlah orang yang mudah terpengaruh dan terpicu oleh api fitnah. Mereka memeriksa dengan teliti segala berita yang ia dengar atau saksikan dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil sikap. Mereka memandang jauh dengan keilmuan yang dalam dan tajam tentang hakikat di balik sebuah peristiwa, sebelum mereka menyebarkan kabar tersebut, sehingga ia mengetahui sikap apa yang harus ia lakukan.

Dan selayaknya kabar-kabar dan peristiwa yang ada hendaknya diserahkan kepada para ulama dan orang-orang yang mempunyai pengalaman, agar mereka memahaminya dan meletakkannya pada tempatnya. Demikianlah seharusnya sikap kaum muslimin mengamalkan firman Allah, “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalaulah mereka menyerahkan kepada Rasul dan ulil amri (para ulama) diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka. Kalaulah bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan kecuali sebagian kecil saja di antaramu.” (QS. An Nisaa : 83).

Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah berkata, “Ini adalah pemberian adab/tata cara dari Allah kepada hamba-hamba-Nya bahwa perbuatan (menebarkan setiap berita) itu tidak layak. Hendaknya apabila datang kepada mereka berita tentang urusan-urusan yang penting dan kemashlahatan umum yang berhubungan dengan keamanan dan kegembiraan kaum muslimin atau berhubungan dengan ketakutan yang menjadi musibah agar diperiksa dahulu secara seksama (tatsabbut) dan janganlah tergesa-gesa menyebarkan berita tersebut, akan tetapi mengembalikannya kepada Rasul dan ulil amri yaitu ahli ilmu dan akal yang mengetahui hakikat perkara itu dan mengetahui kemashlahatan dan kebalikannya. Jika mereka memandang bahwa menyebarkannya dapat memberikan mashlahat dan kegembiraan kepada kaum muslimin dan keselamatan dari musuh mereka, tidak mengapa dilakukan. Dan jika mereka memandang bahwa menyebarkannya tidak memberikan mashlahat, atau ada padanya mashlahat namun madharatnya lebih banyak maka tidak boleh disebarkan.”[Taisir Al Karimirrahman, Hal. 154]

Syaikh Muhamad Al ‘Aqil hafizhahullah berkata, “Di antara keanehan keadaan umat di zaman ini, yaitu bahwa orang-orang yang menukil berita dan segera menyebarkannya tidak dapat membedakan siapa yang membawa berita itu. Engkau lihat ia meriwayatkan berita dari majalah atau media milik orang-orang kufar dan menjadikannya sebagai kabar yang menghasilkan keyakinan. Dengan itu ia membangun di atasnya masalah-masalah yang berbahaya yang berhubungan dengan mashlahat umat. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa orang kafir tidak layak dijadikan sebagai rujukan dalam menerima berita. Tidakkah mereka tahu bahwa orang-orang kafir itu menyebarkan kabar-kabar tersebut untuk memporak-porandakan barisan kaum muslimin dan menebarkan ketakutan, kelemahan, dan keraguan kepada umat?” [ Al Fitnah, Hal. 75]

Terapi terhadap sikap tiada tabayyun
1. Senatiasa meningkatkan ketaqwaan, karena salahsatu di antara keutamaan taqwa adalah Allaah akan memberikan ‘Furqan’ kepadanya, yaitu kemampuan membedakan yang haq dari yang batil, yang benar dari yang bohong. [QS AlAnfal:29].

2. Bergaul dengan orang-orang yang memiliki sikap tabayyun. Hal ini akan banyak memberi manfaat baginya kepada sikap kritis, penuh pemikiran dan pertimbangan hingga ia selamat dari ketergelinciran dan salah langkah dalam mengambil langkah dan tindakan.

3.Membaca, memahami,merenungi dan mengamalkan ayat-ayat yang membahas tabayyun (misalnya AlHujurat :6, Annisaa :94).

4. Membiasakan diri untuk selalu berprasangka baik terhadap muslim lainnya. (QS. Annuur :12).

” Ya Allaah, lapangkanlah dada kami, tenangkanlah jiwa dan fikiran kami, karuniakanlah sifat tabayyun pada diri kami, sehingga kami dapat menyikapi semua berita yang sampai kepada kami dengan benar sesuai kehendak-Mu”.

Penulis: Ustadz Badrussalam
www.cintasunnah.com

No comments:

Post a Comment