Singa pun Mendengarkan Bacaan Al-Quran Ahmad bin Thulun
Ahmad bin Thulun adalah salah seorang pemimpin Mesir abad 3 Hijriyah dan juga merupakan seorang Ulama yang memiliki kedudukan yang mulia. Nama lengkapnya adalah Abu Al-Hasan bin Ahmad bin Banan. Beliau pernah mendekam di penjara.
Penyebab beliau dijebloskan ke penjara adalah karena pernah menemui salah seorang pejabat, lalu beliau mendakwahinya. Pejabat tersebut pun marah kepada beliau seperti orang yang pura-pura tidak mengetahui sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam : “Ada dua orang yang apabila dua orang ini baik, maka menjadi baiklah umat dan apabila buruk, maka akan menjadi buruklah umat tersebut yakni para ulama dan umara.”
Pejabat itu lalu memerintahkan kepada para tentaranya : “Seretlah orang ini dan sodorkanlah dia kepada singa yang lapar.”
Ahmad bin Thulun dimasukkan ke dalam penjara dengan singa yang sedang kelaparan. Keesokan harinya, para penjaga penjara menemukan ulama tersebut sedang duduk dengan tenang dan nyaman tanpa rasa tkut sambil berdzikir mengingat Allah Ta’ala dan membaca ayat-ayat Al-Quran yang penuh berkah.
Mereka mendapati singa yang kemarin kelaparan tersebut sedang menundukkan kepalanya dengan tenang dan penuh kekhusyukan, menyimak ayat-ayat al-Quran yang dibacakannya.
Subhanallah, jika seekor singa yang buas dan kelaparan saja khusyu’ mendengarkan Al-Quran, lalu bagaimana dengan kita? Sudahkah kita khusyu’ dan mengambil pelajaran dari Al-Quran?
Ketahuilah sesungguhnya Al-Quran itu adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala sebagaimana firmanNya: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.” [QS. Az-Zumar : 23]
“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” [QS Al-Hasyr : 21]
http://kisahislam.net/2012/11/09/singa-pun-mendengarkan-bacaan-al-quran-ahmad-bin-thulun/
Marah dan Cara Meredamnya
Marah dan emosi adalah tabiat manusia. Lalu bagaimana mengendalikannya agar tidak sampai menimbulkan efek negatif. Dalam riwayat Abu Said al-Khudri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sebaik-baik orang adalah yang tidak mudah marah dan cepat meridhai, sedangkan seburuk-buruk orang adalah yang cepat marah dan lambat meridhai." (HR. Ahmad)
Dalam riwayat Abu Hurairah dikatakan, "Orang yang kuat tidaklah yang kuat dalam bergulat, namun mereka yang bisa mengendalikan dirinya ketika marah." (HR. Malik)
Menahan marah bukan pekerjaan gampang, sangat sulit untuk melakukannya. Ketika ada orang bikin gara-gara yang memancing emosi kita, barangkali darah kita langsung naik ke ubun-ubun, tangan sudah gemetar mau memukul, sumpah serapah sudah berada di ujung lidah tinggal menumpahkan saja, tapi jika saat itu kita mampu menahannya, maka bersyukurlah, karena kita termasuk orang yang kuat.
Cara-cara meredam atau mengendalikan kemarahan dari Hadits:
1. Membaca Ta'awwudz. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda "Ada kalimat kalau diucapkan niscaya akan hilang kemarahan seseorang, yaitu "A'uudzu billah mina-syaithaani-r-rajiim" "Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk." (HR. Bukhari Muslim)
2. Berwudhu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Kemarahan itu itu dari syaitan, sedangkan syaitan tercipta dari api, api hanya bisa padam dengan air, maka kalau kalian marah berwudhulah." (HR. Abud Dawud)
3. Duduk. "Kalau kalian marah maka duduklah, kalau tidak hilang juga maka berbaringlah." (HR. Abu Dawud)
4. Diam. Dalam sebuah hadits dikatakan, "Ajarilah (orang lain), mudahkanlah, jangan mempersulit masalah, kalau kalian marah, maka diamlah." (HR. Ahmad)
5. Bersujud, artinya shalat sunnah mininal dua rakaat. Dalam sebuahhadist dikatakan "Ketahuilah, sesungguhnya marah itu bara api dalam hati manusia. Tidaklah engkau melihat merahnya kedua matanya dan tegangnya urat darah di lehernya? Maka barangsiapa yang mendapatkan hal itu, maka hendaklah ia menempelkan pipinya dengan tanah (sujud)." (HR. Tirmidzi)
Kabar Burung
Menurut kamus bahasa Indonesia kata kabar burung setara dengan kata kabar angin atau berita selentingan, isu, gosip atau berita bohong. Kabar burung adalah informasi yang belum jelas benar atau salahnya. Tak jarang kabar burung juga bisa berupa fitnah. Kabar burung dan informasi yang benar batas pemisahnya hanya setipis kulit ari.
Bagi yang pernah menyembelih ternak, saat membersihkan isi dalam rongga dadanya tentu pernah melihat sebuah kantong berwarna hijau. Kantong itu menempel erat dan seperti menyatu dengan jantung, hati dan paru-paru. Kantong berwarna hijau lumut itu dinamakan kantong empedu.
Kantong itu terbuat dari selembar selaput tipis saja. Namun selama selaput itu tidak terganggu dan tidak bocor meski letaknya berdekatan, kita bisa menikmati lezatnya dendeng paru, kalio hati atau sate jantung. Tapi jika kantung empedu tersobek, cairannya terserak ke mana-mana, maka hewan ternak yang disembelih jadi tak berguna. Dagingnya akan berubah jadi pahit dan tidak enak akibat terkena cairan empedu yang pahitnya bukan kepalang. Kondisi ini hampir sama dengan yang digambarkan oleh pepatah “karena nila setitik, rusak susu sebelangga.”
Batas pemisah kabar burung dan berita yang benar/shahih juga begitu, bedanya tipis sekali, setipis kulit ari. Sering keduanya tercampur aduk sehingga sulit membedakan mana yang benar atau mana yang hanya sekadar kabar burung, desas desus bahkan fitnah. Dulu kita sulit mendapatkan informasi karena terbatasnya media komunikasi.
Kini informasi datang melanda begitu deras, nyaris 24 jam sehari dari berbagai penjuru. Informasi bisa datang melalui media televisi, radio, media cetak, sms bahkan sosial media yang bisa wadahnya digenggam ke manapun kita pergi.
Jika dulu kita berusaha mencari informasi, maka saat ini tugas kita menyaring informasi. Informasi apapun yang kita inginkan, nyaris tanpa batas, bisa diperoleh dalam hitungan detik melalui search engine di internet. Sungguh luar biasa. Tinggal memilih dan memilah, informasi mana yang akan diambil dan dianggap bermanfaat.
Karena gelombang informasi yang luar biasa itu, para ahli menamakan abad ini sebagai era revolusi informasi. Mereka yang bernyali bisnis memanfaatkan peluang bisnis yang timbul akibat fenomena revolusi informasi, begitu juga ilmuwan, artis, politikus atau siapa saja yang bisa memanfaatkannya.
Namun sayangnya berita yang benar dan kabar burung seperti empedu dan daging tadi, keduanya seperti tercampur aduk, sulit membedakan satu sama lain. Informasi yang benar dan baik tercampur aduk dengan informasi yang tidak benar dan tidak baik.
Lebih parah lagi ada orang yang mengambil kesempatan memanfaatkan peluang revolusi informasi secara tidak baik dan salah. Maka muncullah berbagai macam bentuk penipuan melalui internet maupun telepon genggam. Ada juga yang memanfaatkan revolusi informasi untuk kepentingan politik baik secara benar maupun tidak benar. Ada juga yang secara sadar maupun tidak sadar menyebarkan kabar burung bahkan fitnah melalui sarana media yang sedang booming. Akibatnya kadang-kala menimbulkan dampak yang fatal.
Sekali lagi, tugas kita menyaring mana informasi yang benar dan mana yang tidak benar. Silakan pilih mana informasi yang bermanfaat dan mana yang tidak bermanfaat. Jangan pula ikut terpancing untuk ikut jadi penyebar atau komentator informasi yang kita sendiri belum tahu pasti duduk masalahnya dan juga tidak tahu persis benar atau salahnya.
Seperti firman Allah dalam surat Al Hujurat ayat 6; “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dalam QS: Al-Israa’ ayat 36 Allah juga berfirman; Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.
Prof. Dr. H. Irwan Prayitno, Psi. M.Sc http://id.wikipedia.org/wiki/Irwan_Prayitno
Gubernur Sumatera Barat
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/03/29229/kabar-burung
Bagi yang pernah menyembelih ternak, saat membersihkan isi dalam rongga dadanya tentu pernah melihat sebuah kantong berwarna hijau. Kantong itu menempel erat dan seperti menyatu dengan jantung, hati dan paru-paru. Kantong berwarna hijau lumut itu dinamakan kantong empedu.
Kantong itu terbuat dari selembar selaput tipis saja. Namun selama selaput itu tidak terganggu dan tidak bocor meski letaknya berdekatan, kita bisa menikmati lezatnya dendeng paru, kalio hati atau sate jantung. Tapi jika kantung empedu tersobek, cairannya terserak ke mana-mana, maka hewan ternak yang disembelih jadi tak berguna. Dagingnya akan berubah jadi pahit dan tidak enak akibat terkena cairan empedu yang pahitnya bukan kepalang. Kondisi ini hampir sama dengan yang digambarkan oleh pepatah “karena nila setitik, rusak susu sebelangga.”
Batas pemisah kabar burung dan berita yang benar/shahih juga begitu, bedanya tipis sekali, setipis kulit ari. Sering keduanya tercampur aduk sehingga sulit membedakan mana yang benar atau mana yang hanya sekadar kabar burung, desas desus bahkan fitnah. Dulu kita sulit mendapatkan informasi karena terbatasnya media komunikasi.
Kini informasi datang melanda begitu deras, nyaris 24 jam sehari dari berbagai penjuru. Informasi bisa datang melalui media televisi, radio, media cetak, sms bahkan sosial media yang bisa wadahnya digenggam ke manapun kita pergi.
Jika dulu kita berusaha mencari informasi, maka saat ini tugas kita menyaring informasi. Informasi apapun yang kita inginkan, nyaris tanpa batas, bisa diperoleh dalam hitungan detik melalui search engine di internet. Sungguh luar biasa. Tinggal memilih dan memilah, informasi mana yang akan diambil dan dianggap bermanfaat.
Karena gelombang informasi yang luar biasa itu, para ahli menamakan abad ini sebagai era revolusi informasi. Mereka yang bernyali bisnis memanfaatkan peluang bisnis yang timbul akibat fenomena revolusi informasi, begitu juga ilmuwan, artis, politikus atau siapa saja yang bisa memanfaatkannya.
Namun sayangnya berita yang benar dan kabar burung seperti empedu dan daging tadi, keduanya seperti tercampur aduk, sulit membedakan satu sama lain. Informasi yang benar dan baik tercampur aduk dengan informasi yang tidak benar dan tidak baik.
Lebih parah lagi ada orang yang mengambil kesempatan memanfaatkan peluang revolusi informasi secara tidak baik dan salah. Maka muncullah berbagai macam bentuk penipuan melalui internet maupun telepon genggam. Ada juga yang memanfaatkan revolusi informasi untuk kepentingan politik baik secara benar maupun tidak benar. Ada juga yang secara sadar maupun tidak sadar menyebarkan kabar burung bahkan fitnah melalui sarana media yang sedang booming. Akibatnya kadang-kala menimbulkan dampak yang fatal.
Sekali lagi, tugas kita menyaring mana informasi yang benar dan mana yang tidak benar. Silakan pilih mana informasi yang bermanfaat dan mana yang tidak bermanfaat. Jangan pula ikut terpancing untuk ikut jadi penyebar atau komentator informasi yang kita sendiri belum tahu pasti duduk masalahnya dan juga tidak tahu persis benar atau salahnya.
Seperti firman Allah dalam surat Al Hujurat ayat 6; “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dalam QS: Al-Israa’ ayat 36 Allah juga berfirman; Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.
Prof. Dr. H. Irwan Prayitno, Psi. M.Sc http://id.wikipedia.org/wiki/Irwan_Prayitno
Gubernur Sumatera Barat
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/03/29229/kabar-burung
Kekayaan Bukan Ukuran Kemuliaan
“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.”(QS. Asy Syuraa: 27).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,“Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuhkan tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.”
Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan, “Akan tetapi Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui mana yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Boleh jadi Allah memberikan kekayaan dalam rangka istidroj, yaitu agar makin membuat seseorang terlena dalam maksiat dan disebabkan maksiat atau kesyirikan yang ia perbuat, Allah beri ia kekayaan, akhirnya ia pun semakin larut dalam kekayaan tersebut dan membuat ia semakin kufur pada Allah. Ia memang pantas diberi kekayaan, namun karena ia adalah orang yang durhaka.
Kekayaan ini diberikan hanya untuk membuat ia semakin terlena dan bukan karena dirinya mulia. Jadi pemberian kekayaan BUKANlah menunjukkan KEMULIAAN seseorang, namun boleh jadi adalah sebagai istidroj (yaitu untuk semakin menjerumuskannya dalam maksiat). Allah memberi kekayaan sesuai dengan keadilan Allah, Dan Dia pun tahu kondisi terbaik untuk seorang hamba. Namun perlu diketahui, seseorang diberi kekayaan ada dua kemungkinan:
Pertama: Itulah yang Allah takdirkan karena itulah yang pantas untuknya. Jika diberi kefakiran, malah ia akan kufur pada Allah.
Kedua: Boleh jadi juga karena istidroj yaitu membuat seorang hamba semakin terlena dalam maksiat dan kekufuran.
Karena Allah berfirman, “Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), maka Allah terus akan memalingkan hati mereka.” (QS. Ash Shof: 5).
Kita harusnya mewaspadai kemungkinan yang kedua ini. Jangan-jangan kekayaan yang Allah beri malah dalam rangka membuat kita semakin larut dalam maksiat, syirik dan kekufuran. Jika kita mengerti hal ini, maka kita tak perlu mesti IRI dan JEALOUS pada orang yang memiliki kekayaan lebih dari kita.
Ketahuilah jika kita mengerti dan pahami. Maka itu memang pantas untuknya, mengapa kita mesti iri?! Begitu pula dari penjelasan ini seharusnya semakin membuat kita bersyukur pada Allah atas nikmat harta yang Allah berikan. Mensyukurinya adalah dengan memanfaatkannya dalam kebaikan.
Semoga Allah terus menuntun kita di jalanNya.
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,“Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuhkan tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.”
Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan, “Akan tetapi Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui mana yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Boleh jadi Allah memberikan kekayaan dalam rangka istidroj, yaitu agar makin membuat seseorang terlena dalam maksiat dan disebabkan maksiat atau kesyirikan yang ia perbuat, Allah beri ia kekayaan, akhirnya ia pun semakin larut dalam kekayaan tersebut dan membuat ia semakin kufur pada Allah. Ia memang pantas diberi kekayaan, namun karena ia adalah orang yang durhaka.
Kekayaan ini diberikan hanya untuk membuat ia semakin terlena dan bukan karena dirinya mulia. Jadi pemberian kekayaan BUKANlah menunjukkan KEMULIAAN seseorang, namun boleh jadi adalah sebagai istidroj (yaitu untuk semakin menjerumuskannya dalam maksiat). Allah memberi kekayaan sesuai dengan keadilan Allah, Dan Dia pun tahu kondisi terbaik untuk seorang hamba. Namun perlu diketahui, seseorang diberi kekayaan ada dua kemungkinan:
Pertama: Itulah yang Allah takdirkan karena itulah yang pantas untuknya. Jika diberi kefakiran, malah ia akan kufur pada Allah.
Kedua: Boleh jadi juga karena istidroj yaitu membuat seorang hamba semakin terlena dalam maksiat dan kekufuran.
Karena Allah berfirman, “Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), maka Allah terus akan memalingkan hati mereka.” (QS. Ash Shof: 5).
Kita harusnya mewaspadai kemungkinan yang kedua ini. Jangan-jangan kekayaan yang Allah beri malah dalam rangka membuat kita semakin larut dalam maksiat, syirik dan kekufuran. Jika kita mengerti hal ini, maka kita tak perlu mesti IRI dan JEALOUS pada orang yang memiliki kekayaan lebih dari kita.
Ketahuilah jika kita mengerti dan pahami. Maka itu memang pantas untuknya, mengapa kita mesti iri?! Begitu pula dari penjelasan ini seharusnya semakin membuat kita bersyukur pada Allah atas nikmat harta yang Allah berikan. Mensyukurinya adalah dengan memanfaatkannya dalam kebaikan.
Semoga Allah terus menuntun kita di jalanNya.
Negeri Yang Makmur dan Negeri Penuh Musibah
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat” (QS. An Nahl: 112).
Orang yang durhaka dan enggan taat selalu tertimpa rasa takut, khawatir dan rizki yang sulit. Beda halnya dengan orang yang beriman dan bertakwa. Maka lihatlah bagaimana suatu negeri ditimpa berbagai krisis, bencana dan musibah, sebab utama adalah karena mereka durhaka pada Allah. Bentuk kedurhakaan terbesar adalah mulai dari perbuatan syirik. Begitu juga termasuk di dalamnya adalah mudahnya meninggalkan shalat. Itulah yang terjadi pada suatu negeri jika mereka semakin jauh dari Allah, musibah demi musibah akan menerpa mereka.
Permisalan di atas ditujukan pada penduduk Makkah. Dahulu mereka hidup dalam keadaan aman, tentram dan melimpah berbagai rizki yang bisa dipanen di sekitarnya. Siapa pun yang masuk ke dalamnya akan merasakan aman. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman dalam ayat lainnya,
“Dan mereka berkata: "Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, niscaya kami akan diusir dari negeri kami". Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh- tumbuhan) untuk menjadi rezki (bagimu) dari sisi Kami?. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al Qashsash: 57).
Yang dimaksud dalam ayat yang kita kaji adalah sebelumnya Allah memberi rizki yang mudah. Itulah yang dimaksud dengan roghodaa’, yaitu rizki diberi penuh kemudahan.
Ketika mereka kufur pada nikmat Allah, yaitu enggan taat pada-Nya dan gemar bermaksiat, akhirnya Allah menimpakan rasa takut (khawatir) dan kelaparan pada mereka. Padahal sebelumnya, mereka diberikan nikmat yang besar, rasa aman, buah-buahan yang diperoleh begitu mudah dan rizki yang melimpah. Sebab kesengsaraan dan kesusahan ini itulah yang disebutkan dalam ayat selanjutnya,
“Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya; karena itu mereka dimusnahkan azab dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS. An Nahl: 113). Jadi sebab mereka mendapatkan musibah adalah karena durhaka pada Rasul.
Dari sini, ada pelajaran penting bahwa ketentraman dan berbagai musibah adalah dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan perintah Allah yang terbesar adalah mentauhidkan-Nya. Adapun larangan terbesar adalah menjauhi kesyirikan.
Moga Allah menganugerahkan kita sifat iman nan takwa dan menjadikan negeri penuh rasa aman serta didatangkan rizki melimpah.
Hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat” (QS. An Nahl: 112).
Orang yang durhaka dan enggan taat selalu tertimpa rasa takut, khawatir dan rizki yang sulit. Beda halnya dengan orang yang beriman dan bertakwa. Maka lihatlah bagaimana suatu negeri ditimpa berbagai krisis, bencana dan musibah, sebab utama adalah karena mereka durhaka pada Allah. Bentuk kedurhakaan terbesar adalah mulai dari perbuatan syirik. Begitu juga termasuk di dalamnya adalah mudahnya meninggalkan shalat. Itulah yang terjadi pada suatu negeri jika mereka semakin jauh dari Allah, musibah demi musibah akan menerpa mereka.
Permisalan di atas ditujukan pada penduduk Makkah. Dahulu mereka hidup dalam keadaan aman, tentram dan melimpah berbagai rizki yang bisa dipanen di sekitarnya. Siapa pun yang masuk ke dalamnya akan merasakan aman. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman dalam ayat lainnya,
“Dan mereka berkata: "Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, niscaya kami akan diusir dari negeri kami". Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh- tumbuhan) untuk menjadi rezki (bagimu) dari sisi Kami?. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al Qashsash: 57).
Yang dimaksud dalam ayat yang kita kaji adalah sebelumnya Allah memberi rizki yang mudah. Itulah yang dimaksud dengan roghodaa’, yaitu rizki diberi penuh kemudahan.
Ketika mereka kufur pada nikmat Allah, yaitu enggan taat pada-Nya dan gemar bermaksiat, akhirnya Allah menimpakan rasa takut (khawatir) dan kelaparan pada mereka. Padahal sebelumnya, mereka diberikan nikmat yang besar, rasa aman, buah-buahan yang diperoleh begitu mudah dan rizki yang melimpah. Sebab kesengsaraan dan kesusahan ini itulah yang disebutkan dalam ayat selanjutnya,
“Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya; karena itu mereka dimusnahkan azab dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS. An Nahl: 113). Jadi sebab mereka mendapatkan musibah adalah karena durhaka pada Rasul.
Dari sini, ada pelajaran penting bahwa ketentraman dan berbagai musibah adalah dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan perintah Allah yang terbesar adalah mentauhidkan-Nya. Adapun larangan terbesar adalah menjauhi kesyirikan.
Moga Allah menganugerahkan kita sifat iman nan takwa dan menjadikan negeri penuh rasa aman serta didatangkan rizki melimpah.
Hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.
Dunia Memang Menggiurkan
Abu Sa'id Al Khudri mengisahkan, pada suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam naik ke mimbar lalu beliau berkhutbah, "Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian ialah keberkahan bumi yang akan Allah keluarkan untuk kalian." Sebagian sahabat bertanya, "Apakah keberkahan bumi itu?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Perhiasan kehidupan dunia." Selanjutnya seorang sahabat kembali bertanya: "Apakah kebaikan (perhiasan dunia) itu dapat mendatangkan kejelekan?" Mendengar pertanyaan itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi terdiam, sampai-sampai kami mengira bahwa beliau sedang menerima wahyu. Selanjutnya beliau menyeka peluh dari dahinya, lalu bersabda, "Manakah si penanya tadi?" Sahabat si penanya pun menyahut, "Inilah aku."
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
"Kebaikan itu tidaklah membuahkan/mendatangkan kecuali kebaikan. Sesungguhnya harta benda ini nampak hijau (indah) nan manis (menggiurkan). Sungguh perumpamaannya bagaikan rerumputan yang tumbuh di musim semi. Betapa banyak rerumputan yang tumbuh di musin semi menyebabkan binatang ternak mati kekenyangan hingga perutnya bengkak dan akhirnya mati atau hampir mati. Kecuali binatang yang memakan rumput hijau, ia makan hingga ketika perutnya telah penuh, ia segera menghadap ke arah matahari, lalu memamahnya kembali, kemudian ia berhasil membuang kotorannya dengan mudah dan juga kencing. Untuk selanjutnya kembali makan, demikianlah seterusnya. Dan sesungguhnya harta benda ini terasa manis. Barang siapa yang mengambilnya dengan cara yang benar dan membelanjakannya dengan benar pula, maka ia adalah sebaik-baik bekal. Sedangkan barang siapa yang mengumpulkannya dengan cara yang tidak benar, maka ia bagaikan binatang yang makan rerumputan akan tetapi ia tidak pernah merasa kenyang, (hingga akhirnya ia pun celaka karenanya)." (HR. Bukhari no. 6427 dan Muslim no. 1052).
Itulah keadaan manusia akan saling berlomba untuk meraih dunia. Dari ‘Amr bin Al ‘Ash, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika Persia dan Romawi telah ditaklukkan, lantas bagaimanakah keadaan kalian? ‘Abdurrahman bin ‘Auf berkata, ”Sebagaimana Allah perintahkan kepada kami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak seperti itu, kalian akan saling berlomba, saling dengki, saling bermusuhan, saling benci, atau semacam itu (dalam meraih dunia). Kemudian kalian berangkat ke tempat-tempat tinggal kaum muhajirin dan kalian menjadikan sebagian mereka membunuh sebagian yang lain” (HR. Muslim no. 2962).
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Yang aku khawatirkan pada kalian bukanlah kemiskinan, namun yang kukhawatirkan adalah saling berbangganya kalian (dengan harta)” (HR. Ahmad 2: 308. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim).
Sifat manusia yang ‘takatsur’ yang saling berlomba untuk bermegah-megahan dalam dunia disebutkan dalam ayat,
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At Takatsur: 1-8)
Karena ingin saling berbangga, maka lalailah dari ketaatan. Al Hasan Al Bashri berkata mengenai ayat di atas, “Berbangga-bangga dengan anak dan harta benar-benar telah melalaikan kalian dari ketaatan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 442)
Dari Qotadah, dari Muthorrif, dari ayahnya, ia berkata, “Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat pertama surat At Takatsur (sungguh berbangga-bangga telah melalaikan kalian dari ketaatan), lantas beliau bersabda,
“Manusia berkata, “Hartaku-hartaku.” Beliau bersabda, “Wahai manusia, apakah benar engkau memiliki harta? Bukankah yang engkau makan akan lenyap begitu saja? Bukankah pakaian yang engkau kenakan juga akan usang? Bukankah yang engkau sedekahkan akan berlalu begitu saja?” (HR. Muslim no. 2958)
Allah Ta’ala pun menerangkan bagaimana keadaan manusia yang begitu kagum pada dunia,
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadid: 20)
Sikap kita terhadap dunia adalah menjadikan dunia tersebut sebagai jalan untuk menggapai ridho Ilahi, bukan menjadikan dunia itu sebagai tujuan utama yang kita raih. Itulah yang disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam ayat,
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At Taghobun: 15-16).
Begitu pula dunia dicari bukan dengan sikap tamak, namun dengan sikap qona’ah, yaitu selalu merasa cukup terhadap apa yang Allah beri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Hakim bin Hizam,
“Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau lagi manis. Barangsiapa yang mencarinya untuk kedermawanan dirinya (tidak tamak dan tidak mengemis), maka harta itu akan memberkahinya. Namun barangsiapa yang mencarinya untuk keserakahan, maka harta itu tidak akan memberkahinya, seperti orang yang makan namun tidak kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah” (HR. Bukhari no. 1472 dan Muslim no. 1035).
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Qona’ah dan selalu merasa cukup dengan harta yang dicari akan senantiasa mendatangkan keberkahan. Sedangkan mencari harta dengan ketamakan, maka seperti itu tidak mendatangkan keberkahan dan keberkahan pun akan sirna.” (Syarh Ibni Batthol, 6: 48)
Semoga Allah memberikan kita sifat takwa dan menjauhkan kita dari sifat tamak terhadap dunia. Hanya Allah yang memberi taufik dan petunjuk.
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
"Kebaikan itu tidaklah membuahkan/mendatangkan kecuali kebaikan. Sesungguhnya harta benda ini nampak hijau (indah) nan manis (menggiurkan). Sungguh perumpamaannya bagaikan rerumputan yang tumbuh di musim semi. Betapa banyak rerumputan yang tumbuh di musin semi menyebabkan binatang ternak mati kekenyangan hingga perutnya bengkak dan akhirnya mati atau hampir mati. Kecuali binatang yang memakan rumput hijau, ia makan hingga ketika perutnya telah penuh, ia segera menghadap ke arah matahari, lalu memamahnya kembali, kemudian ia berhasil membuang kotorannya dengan mudah dan juga kencing. Untuk selanjutnya kembali makan, demikianlah seterusnya. Dan sesungguhnya harta benda ini terasa manis. Barang siapa yang mengambilnya dengan cara yang benar dan membelanjakannya dengan benar pula, maka ia adalah sebaik-baik bekal. Sedangkan barang siapa yang mengumpulkannya dengan cara yang tidak benar, maka ia bagaikan binatang yang makan rerumputan akan tetapi ia tidak pernah merasa kenyang, (hingga akhirnya ia pun celaka karenanya)." (HR. Bukhari no. 6427 dan Muslim no. 1052).
Itulah keadaan manusia akan saling berlomba untuk meraih dunia. Dari ‘Amr bin Al ‘Ash, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika Persia dan Romawi telah ditaklukkan, lantas bagaimanakah keadaan kalian? ‘Abdurrahman bin ‘Auf berkata, ”Sebagaimana Allah perintahkan kepada kami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak seperti itu, kalian akan saling berlomba, saling dengki, saling bermusuhan, saling benci, atau semacam itu (dalam meraih dunia). Kemudian kalian berangkat ke tempat-tempat tinggal kaum muhajirin dan kalian menjadikan sebagian mereka membunuh sebagian yang lain” (HR. Muslim no. 2962).
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Yang aku khawatirkan pada kalian bukanlah kemiskinan, namun yang kukhawatirkan adalah saling berbangganya kalian (dengan harta)” (HR. Ahmad 2: 308. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim).
Sifat manusia yang ‘takatsur’ yang saling berlomba untuk bermegah-megahan dalam dunia disebutkan dalam ayat,
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At Takatsur: 1-8)
Karena ingin saling berbangga, maka lalailah dari ketaatan. Al Hasan Al Bashri berkata mengenai ayat di atas, “Berbangga-bangga dengan anak dan harta benar-benar telah melalaikan kalian dari ketaatan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 442)
Dari Qotadah, dari Muthorrif, dari ayahnya, ia berkata, “Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat pertama surat At Takatsur (sungguh berbangga-bangga telah melalaikan kalian dari ketaatan), lantas beliau bersabda,
“Manusia berkata, “Hartaku-hartaku.” Beliau bersabda, “Wahai manusia, apakah benar engkau memiliki harta? Bukankah yang engkau makan akan lenyap begitu saja? Bukankah pakaian yang engkau kenakan juga akan usang? Bukankah yang engkau sedekahkan akan berlalu begitu saja?” (HR. Muslim no. 2958)
Allah Ta’ala pun menerangkan bagaimana keadaan manusia yang begitu kagum pada dunia,
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadid: 20)
Sikap kita terhadap dunia adalah menjadikan dunia tersebut sebagai jalan untuk menggapai ridho Ilahi, bukan menjadikan dunia itu sebagai tujuan utama yang kita raih. Itulah yang disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam ayat,
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At Taghobun: 15-16).
Begitu pula dunia dicari bukan dengan sikap tamak, namun dengan sikap qona’ah, yaitu selalu merasa cukup terhadap apa yang Allah beri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Hakim bin Hizam,
“Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau lagi manis. Barangsiapa yang mencarinya untuk kedermawanan dirinya (tidak tamak dan tidak mengemis), maka harta itu akan memberkahinya. Namun barangsiapa yang mencarinya untuk keserakahan, maka harta itu tidak akan memberkahinya, seperti orang yang makan namun tidak kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah” (HR. Bukhari no. 1472 dan Muslim no. 1035).
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Qona’ah dan selalu merasa cukup dengan harta yang dicari akan senantiasa mendatangkan keberkahan. Sedangkan mencari harta dengan ketamakan, maka seperti itu tidak mendatangkan keberkahan dan keberkahan pun akan sirna.” (Syarh Ibni Batthol, 6: 48)
Semoga Allah memberikan kita sifat takwa dan menjauhkan kita dari sifat tamak terhadap dunia. Hanya Allah yang memberi taufik dan petunjuk.
Musibah Antara Ujian dan Azab
Apakah musibah itu sebagai ujian untuk meninggikan derajat hamba? Ataukah musibah sebagai siksa (azab)? Atau hukuman yang disegerakan di dunia? Ketiga kemungkinan itu bisa ada. Sehingga dengan mengetahui hikmah musibah tersebut seharusnya membuat kita giat dan berusaha keras untuk bersabar serta meraih pahala lewat ujian.
1. Musibah yang menimpa sebagaimana yang menimpa para Nabi dan Rasul. Misalnya dengan ditimpakan penyakit dan tidak diberikan keturunan. Maksud musibah seperti ini adalah untuk meninggikan derajat, memperbesar pahala, dan sebagai qudwah (teladan) bagi yang lainnya untuk bersabar.
Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,
“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi.” (HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad 1: 185. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 3402 mengatakan bahwa hadits ini shahih).
2. Musibah bisa jadi pula sebagai sebab dihapuskannya dosa, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Barang siapa yang melakukan keburukan (baca:maksiat) maka dia akan mendapatkan balasan karena keburukan yang telah dilakukannya”(QS An Nisa: 123).
Allah Ta’ala juga berfirman,
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura: 30).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah menimpa seorang mukmin berupa rasa sakit (yang terus menerus), rasa capek, kekhawatiran (pada pikiran), sedih (karena sesuatu yang hilang)[1], kesusahan hati[2] atau sesuatu yang menyakiti[3] sampai pun duri yang menusuknya melainkan akan dihapuskan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari no. 5641 dan Muslim no. 2573)
3. Musibah bisa jadi adalah hukuman yang disegerakan (baca: siksaan atau adzab) di dunia disebabkan tumpukan maksiat dan tidak bersegera untuk bertaubat.
Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (HR. Tirmidzi no. 2396, hasan shahih kata Syaikh Al Albani).
Ya Allah, jadikanlah kami hamba yang bersabar dalam menghadapi setiap musibah, moga mendapat pahala serta tergugurkannya dosa lewat musibah tersebut. Wallahu waliyyut taufiq.
Allah Sibuk Mengabulkan Do'a
Kita kadang merasa mudah berputus asa dan putus harapan. Seakan-akan tidak ada yang bisa menyelesaikan setiap kesulitan kita. Padahal ada Allah yang setiap saat mendengar do’a setiap hamba-Nya, walau disampaikan dalam berbagai bahasa, walau semua makhluk menyampaikan hajat mereka dalam satu waktu. Allah selalu sibuk mengabulkan do’a-do’a mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan” (QS. Ar Rahman: 29).
Ayat di atas menunjukkan bagaimana kemaha sempurnaan Allah, di mana ia tidak butuh pada makhluk-Nya, malah setiap makhluk yang butuh pada-Nya. Mereka mengeluhkan setiap hajat mereka pada Allah. Mereka menyampaikan urusan mereka dengan lisan dan menunjukkan dengan mereka yang lemah. Sungguh, Allah setiap waktu itu sangat sibuk (tak pernah beristirahat), yaitu dalam hal mengabulkan do’a hamba-Nya.
Al A’masy, dari Mujahid, dari ‘Ubaid bin ‘Umair berkata, “Setiap harinya Allah benar-benar sibuk , maksudnya adalah sibuk dalam mengabulkan do’a, Dia memberi siapa yang meminta, Dia menolong siapa yang sedang mengalami kesulitan, Dia pun menyembuhkan yang sedang mengalami derita sakit.”
Ibnu Abi Najih berkata, dari Mujahid, ia berkata, “Setiap hari Allah benar-benar sibuk dalam mengabulkan do’a hamba-Nya, Dia melepaskan kesulitan, mengabulkan hajatan orang yang sedang terhimpit (mudhtor), dan Dia-pun mengampuni dosa.”
Qotadah mengatakan, “Allah sungguh tidak butuh pada penduduk langit dan bumi. Allah menghidupkan dan mematikan, Dia pun dapat mengembangkan suatu yang kecil dan membuat segalanya mudah. Di sisi-Nya hajatan orang sholih dikeluhkan dan aduan mereka ditujukan.”
Dalam tafsir Al Jalalain karya Al Mahalli dan As Suyuthi disebutkan,
“Segala yang berada di langit dan bumi memohon pada Allah dengan lisan dan keadaan harap mereka. Mereka meminta hajat untuk dapat kuat dalam ibadah, juga diberikan karunia rizki dan ampunan Allah, serta hajat lainnya yang diminta. Setiap waktu, Allah benar-benar tersibukkan dengan segala hal yang Allah Maha Mampu, yaitu menghidupkan, mematikan, menguatkan, merendahkan, mencukupkan, membuat tidak ada, mengijabahi setiap do’a yang dipanjatkan, juga sibuk memberi yang meminta, serta sibuk dengan berbagai urusan lainnya.”
Allah Ta’ala berfirman,
“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan” (QS. Ar Rahman: 29).
Ayat di atas menunjukkan bagaimana kemaha sempurnaan Allah, di mana ia tidak butuh pada makhluk-Nya, malah setiap makhluk yang butuh pada-Nya. Mereka mengeluhkan setiap hajat mereka pada Allah. Mereka menyampaikan urusan mereka dengan lisan dan menunjukkan dengan mereka yang lemah. Sungguh, Allah setiap waktu itu sangat sibuk (tak pernah beristirahat), yaitu dalam hal mengabulkan do’a hamba-Nya.
Al A’masy, dari Mujahid, dari ‘Ubaid bin ‘Umair berkata, “Setiap harinya Allah benar-benar sibuk , maksudnya adalah sibuk dalam mengabulkan do’a, Dia memberi siapa yang meminta, Dia menolong siapa yang sedang mengalami kesulitan, Dia pun menyembuhkan yang sedang mengalami derita sakit.”
Ibnu Abi Najih berkata, dari Mujahid, ia berkata, “Setiap hari Allah benar-benar sibuk dalam mengabulkan do’a hamba-Nya, Dia melepaskan kesulitan, mengabulkan hajatan orang yang sedang terhimpit (mudhtor), dan Dia-pun mengampuni dosa.”
Qotadah mengatakan, “Allah sungguh tidak butuh pada penduduk langit dan bumi. Allah menghidupkan dan mematikan, Dia pun dapat mengembangkan suatu yang kecil dan membuat segalanya mudah. Di sisi-Nya hajatan orang sholih dikeluhkan dan aduan mereka ditujukan.”
Dalam tafsir Al Jalalain karya Al Mahalli dan As Suyuthi disebutkan,
“Segala yang berada di langit dan bumi memohon pada Allah dengan lisan dan keadaan harap mereka. Mereka meminta hajat untuk dapat kuat dalam ibadah, juga diberikan karunia rizki dan ampunan Allah, serta hajat lainnya yang diminta. Setiap waktu, Allah benar-benar tersibukkan dengan segala hal yang Allah Maha Mampu, yaitu menghidupkan, mematikan, menguatkan, merendahkan, mencukupkan, membuat tidak ada, mengijabahi setiap do’a yang dipanjatkan, juga sibuk memberi yang meminta, serta sibuk dengan berbagai urusan lainnya.”
Subscribe to:
Posts (Atom)