Keutamaan Umat Nabi Muhammad SAW

Keutamaan Umat Nabi Muhammad SAW

Umat nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam adalah umat yang pertama kali dihisab di antara umat-umat yang lain.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalam bersabda:
"Kita adalah umat terakhir, namun menjadi umat pertama di hari kiamat nanti. Padahal umat-umat terdahulu sudah mendapatkan ajaran Kitabullah sebelum kita, dan kita baru mendapatkan Kitab sesudah mereka." [HR. Bukhari no. 847, dan Muslim no. 1414]

Maksud hadits di atas adalah sekalipun kaum muslimin dari umat Nabi Muhammad adalah umat manusia yang dilahirkan terakhir di dunia, namun pada hari kiamat kelak mereka adalah umat manusia yang pertama kali dikumpulkan, di mintai pertanggungjawaban amal perbuatannya, diberi keputusan, dan dimasukkan ke dalam surga, setelah para Nabi dan Rasul memasukinya. [Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari].

Sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Muslim yang lain:
"Kita adalah umat terakhir. Namun kelak kita akan menjadi umat pertama (yang menjalani proses hisab) di hari kiamat, dan kita juga akan menjadi umat yang pertama kali masuk surga." [HR. Muslim no. 1413]

Juga dalam hadits Muslim yang lain dari Abu Hurairah dan Hudzaifah bin Yaman, Rasulullah bersabda:
"Kami adalah penduduk dunia yang terakhir namun menjadi golongan manusia yang pertama kali diadili di hari kiamat nanti sebelum umat-umat lainnya." [HR. Muslim no. 1415]

Formation of Minerals

Formation of Minerals: Where Do Minerals Come From?

Minerals are all around you. They are used to make your house, your computer, even the buttons on your jeans. But, where do minerals come from? There are many types of minerals, and they do not all form in the same way. Some minerals form when salt water on Earth's surface evaporates. Others form from water mixtures that are seeping through rocks far below your feet. Still others form when mixtures of really hot molten rock cool.

Formation from Magma and Lava

You are on vacation at the beach. You take your flip-flops off to go swimming because it is one of the hottest days of the summer. The sand is so hot it hurts your feet, so you have to run to the water. Imagine if it were hot enough for the sand to melt. Some minerals start out in liquids that are that hot.

There are places inside Earth where rock will melt. Melted rock inside the Earth is also called molten rock, or magma. Magma is a molten mixture of substances that can be hotter than 1,000°C. Magma moves up through Earth's crust, but it does not always reach the surface. When magma erupts onto Earth’s surface, it is known as lava. As lava flows from volcanoes it starts to cool. Minerals form when magma and lava cool.

Rocks from Magma

Magma cools slowly as it rises towards Earth’s surface. It can take thousands to millions of years to become solid when it is trapped inside Earth. As the magma cools, solid rocks form. Rocks are mixtures of minerals. Granite is a common rock that forms when magma cools. Granite contains the minerals quartz, plagioclase feldspar, and potassium feldspar. The different colored speckles in the granite are the crystals of the different minerals. The mineral crystals are large enough to see because the magma cools slowly, which gives the crystals time to grow.

The magma mixture changes over time as different minerals crystallize out of the magma. A very small amount of water is mixed in with the magma. The last part of the magma to solidify contains more water than the magma that first formed rocks. It also contains rare chemical elements. The minerals formed from this type of magma are often valuable because they have concentrations of rare chemical elements. When magma cools very slowly, very large crystals can grow. These mineral deposits are good sources of crystals that are used to make jewelry. For example, magma can form large topaz crystals.

Minerals from Lava

Lava is on the Earth's surface so it cools quickly compared to magma in Earth. As a result, rocks form quickly and mineral crystals are very small. Rhyolite is one type of rock that is formed when lava cools. It contains similar minerals to granite. However the mineral crystals are much smaller than the crystals in the granite. Sometimes, lava cools so fast that crystals cannot form at all, forming a black glass called obsidian. Because obsidian is not crystalline, it is not a mineral.

Formation from Solutions

Minerals also form when minerals are mixed in water. Most water on Earth, like the water in the oceans, contains minerals. The minerals are mixed evenly throughout the water to make a solution. The mineral particles in water are so small that they will not come out when you filter the water. But, there are ways to get the minerals in water to form solid mineral deposits.

 Minerals from Salt Water

Tap water and bottled water contain small amounts of dissolved minerals. For minerals to crystallize, the water needs to contain a large amount of dissolved minerals. Seawater and the water in some lakes, such as Mono Lake in California or Utah's Great Salt Lake, are salty enough for minerals to "precipitate out" as solids.

When water evaporates, it leaves behind a solid "precipitate" of minerals, which do not evaporate.  After the water evaporates, the amount of mineral left is the same as was in the water.

Water can only hold a certain amount of dissolved minerals and salts. When the amount is too great to stay dissolved in the water, the particles come together to form mineral solids and sink to the bottom. Salt (halite) easily precipitates out of water, as does calcite. 

Minerals from Hot Underground Water

Cooling magma is not the only source for underground mineral formations. When magma heats nearby underground water, the heated water moves through cracks below Earth's surface.

Hot water can hold more dissolved particles than cold water. The hot, salty solution reacts with the rocks around it and picks up more dissolved particles. As it flows through open spaces in rocks, it deposits solid minerals. The mineral deposits that form when a mineral fills cracks in rocks are called veins. When the minerals are deposited in open spaces, large crystals can form. These special rocks are called geodes. 

Manusia yang Haram Disentuh Api Neraka

Empat Golongan Manusia yang Haram Disentuh Api Neraka

SIAPA yang tak takut mendengar kata ‘Neraka.’ Tak akan ada seorang pun yang mau masuk neraka, sekalipun ia adalah ahli maksiat. Neraka adalah seburuk-buruknya tempat kembali. Karena itu sejatinya Muslim selalu berdoa agar dijauhkan dari panasnya api neraka.

Untuk menjadi penghuni neraka amat mudah, tidak sesulit menjadi penghuni surga. Untuk menjadi ahli neraka cukup sederhana: bermaksiatlah dan jangan pernah taubat. Namun, tentu saja orang beriman tak akan pernah mau meski hanya ‘mampir.’ Orang beriman akan senantiasa berdoa agar dijauhkan dari neraka dan berharap dimasukkan ke surga.

Rasulullah SAW mengabarkan ada beberapa golongan yang tidak akan disentuh oleh api neraka. Seperti dalam hadits berikut:

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Maukah kalian aku tunjukkan orang yang Haram baginya tersentuh api neraka?” Para sahabat berkata, “Mau, wahai Rasulullah!” Beliau menjawab: “(Yang Haram tersentuh api neraka adalah) orang yang Hayyin, Layyin, Qarib, Sahl.”
(HR. At-Tirmidzi & Ibnu Hibban, dishahihkan Al-Albani).

Lalu apa maksud dari keempat golongan yang disebutkan dalam hadits tersebut?

Pertama, Hayyin

Orang yang memiliki ketenangan dan keteduhan lahir maupun batin. Tidak labil dan gampang marah, penuh pertimbangan. Tidak mudah memaki, melaknat serta teduh jiwanya.

Kedua, Layyin

Orang yang lembut dan santun, baik dalam bertutur-kata atau bersikap. Tidak kasar, tidak semaunya sendiri. Tidak galak, tidak suka memarahi orang yang berbeda pendapat dengannya. Tidak suka melakukan pemaksaan pendapat. Lemah lembut dan selalu menginginkan kebaikan untuk sesama manusia.

Ketiga, Qarib

Akrab, ramah diajak bicara, menyenangkan bagi orang yang diajak bicara. Wajah yang berseri-seri dan murah senyum jika bertemu serta selalu menebar salam.

Keempat, Sahl

Orang yang tidak mempersulit sesuatu. Selalu ada solusi bagi setiap permasalahan. Tidak suka berbelit-belit, tidak menyusahkan dan tidak membuat orang lain susah.

Wallahu a'lam.

AZAB TIDAK HANYA UNTUK PELAKU KEZALIMAN

AZAB DAN BENCANA TIDAK HANYA UNTUK PELAKU KEZALIMAN

Dalam Al-Quran surat Al- Anfaal ayat 25, Allah SWT berfirman :

{وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ } [الأنفال: 25]

“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”

Mengomentari ayat ini, Ibnu ‘Abbas berkata, “Allah memerintahkan kepada kaum Mukminin agar tidak mendiamkan saja kemungkaran terjadi di sekitar mereka sehingga azab tidak menimpa secara merata kepada mereka.

عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ أَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَهْلِكُ وفينا الصَّالِحُونَ؟ قَالَ: (نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ”.

Di dalam Shahih Muslim dari Zainab binti Jahsy bahwasanya ia bertanya kepada Rasulullah SAW,

“Wahai Rasulullah, apakah kami akan dibinasakan padahal ada orang-orang shalih di tengah kami?” Beliau menjawab, “Ya, bila keburukan telah demikian banyak.”

Ayat tersebut menyiratkan bahwa siksaan atau azab yang ditimpakan Allah sebagai balasan atas kezaliman yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok kecil orang tidak saja menimpa si pelaku kezaliman tetapi bisa juga menimpa orang-orang lain yang tidak bersalah atau tidak terlibat dalam kezaliman tersebut.

Orang-orang yang tidak bersalah sering harus turut menanggung penderitaan yang timbul sebagai azab atas kezaliman yang dilakukan orang lain.

Imam Ahmad meriwayatkan:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: “إِذَا ظَهَرَتِ الْمَعَاصِي فِي أُمَّتِي، عَمَّهم اللَّهُ بِعَذَابٍ مِنْ عِنْدِهِ”. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمَا فِيهِمْ أُنَاسٌ صَالِحُونَ؟ قَالَ: “بَلَى”، قَالَتْ: فَكَيْفَ يَصْنَعُ أُولَئِكَ؟ قَالَ: “يُصِيبُهُمْ مَا أَصَابَ النَّاسُ، ثُمَّ يَصِيرُونَ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ”

Dari Ummu Salamah, dia berkata :

“Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Bila perbuatan-perbuatan maksiat di tengah umatku telah nyata, maka Allah akan menimpakan azab-Nya kepada mereka secara merata.” Ia berkata, “Lalu aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bukankah di tengah mereka itu ada orang-orang yang shalih?’ Beliau menjawab, “Benar.”
Ia berkata lagi, “Bagaimana jadinya mereka?” Beliau bersabda, “Apa yang menimpa orang-orang akan menimpa mereka juga, kemudian nasib akhir mereka mendapatkan ampunan dan keridlaan dari Allah.” (HR Ahmad)

Wallahu a'lam.

CIRI-CIRI ORANG BAIK

CIRI-CIRI ORANG BAIK

Mau Tahu Orang Itu Baik atau Tidak? Begini cirinya :

1. Orang Baik cenderung LEBIH BANYAK TERSENYUM. Percaya atau tidak, kebaikan seseorang bisa ditunjukkan dari cara dia tersenyum. Mengapa? Karena semakin banyak orang tersenyum, maka Hawa Positif akan bertebaran di sekitarnya. Selain itu, dengan tersenyum, orang akan terkesan lebih ramah dan bisa dipercaya.

2. Pikiran-pikiran negatif jarang menghinggapi orang baik, sedangkan orang jahat biasanya diliputi rasa iri hati dan dengki.
Orang Baik akan selalu MENANAMKAN PIKIRAN POSITIF dalam hidupnya. Bahkan saat dia mengalami masa-masa sulit sekalipun. Berbeda dengan orang jahat, saat kita berbicara dengannya akan banyak pikiran-pikiran atau gagasan buruk yang dia tebarkan. Bahkan dia bisa menyebar hawa iri dengki di sekitar kita. Sehingga suasana jadi tidak nyaman.

3. Lihat seberapa sering seseorang mengganti nomor handphone. Orang Baik, jarang mengganti nomor handphonenya. Mungkin pada awalnya terdengar konyol dan main-main. Tapi percayalah orang baik JARANG MENGGANTI NO HP NYA.  Mereka beranggapan jika suatu saat orang membutuhkannya, gonta-ganti nomor handphone bisa menjadi petaka tersendiri. Orang akan kesulitan mencari nomornya dan kehilangan satu kesempatan untuk menolong orang. Jika ada sebagian orang yang beralasan mengganti nomor ponsel untuk menghindari gangguan, Orang Baik tidak akan merasa dirugikan dengan apapun yang orang lain lakukan padanya.

4. Orang Baik biasanya lebih sering MENYAPA DULUAN. Orang Baik tidak akan keberatan untuk menyapa semua orang, bahkan terhadap orang yang berbuat jahat sekalipun. Orang Baik selalu terhindar dari rasa ingin dicari dan dibutuhkan. Dia biasanya tidak membutuhkan pengakuan orang atas kinerjanya selama ini.

5. Orang Baik TIDAK INGIN MENUNJUKKAN BAHWA DIA BAIK. Tapi orang jahat akan selalu membangun citra baik untuk dirinya.

6. Orang Baik selalu PINTAR MENGENDALIKAN EMOSI. Mereka terlihat sangat sabar dan toleran. Tidak mengutamakan kepentingan diri sendiri. Sebaliknya selalu mengutamakan kepentingan orang lain.

7. Orang Baik akan bercerita atau MEMBAGIKAN HAL-HAL YANG BERMANFAAT dengan tujuan memberi tahu. Bukan untuk meyakinkan orang lain bahwa hanya dirinyalah yang benar.

8. Orang Baik selalu merapal 3 kata sakti. Yaitu MAAF, TOLONG, dan TERIMA KASIH.

9. Orang Baik tidak akan keberatan untuk mengakui kelebihan orang lain. Apalagi jika dia merasa salah. Mereka tidak akan segan-segan untuk MEMINTA MAAF DAN MEMPERBAIKI KESALAHAN. Berbeda dengan orang jahat yang memiliki gengsi tinggi dan menganggap dirinya selalu benar. Jangankan mengaku salah, menganggap orang lain berprestasi saja gengsi. Ada saja alasannya untuk menjatuhkan orang lain.

Semoga ciri-ciri Orang Baik ada pada diri kita.

Kegemukan dalam Pandangan Islam

"...makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al Araf:31)

Di sekitar kita banyak ditemui orang-orang yang berbadan gemuk dan berat di atas batas normal. Mereka yang berbadan gemuk cenderung banyak makan, bertubuh kurang sehat, tidak maksimal bergerak, kurang beraktivitas, dan mudah sakit. Bahkan sebagian malas beribadah.

Banyak ibadah yang menjadi terganggu karena badan kegemukan. Oleh karena itu Islam cenderung memandang negatif terhadap orang yang kegemukan.

Dalam sahih Bukhari dan Muslim, dari ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Yang paling baik dari kalian adalah orang yang hidup di masaku, kemudian masa setelahnya, kemudian setelahnya. Sesungguhnya pada masa yang akan datang ada kaum yang suka berkhianat dan tidak bisa dipercaya, mereka bersaksi sebelum diminta kesaksiannya, bernazar tapi tidak melaksanakannya, dan nampak pada mereka kegemukan."

Dalam riwayat Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Kemudian datang kaum yang suka menggemukkan badan, mereka bersaksi sebelum diminta bersaksi.”

Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata, “Hadits ini adalah celaan bagi orang gemuk, karena gemuk yang disengaja disebabkan banyak makan, minum, santai, foya-foya, selalu senang, dan terlalu mengikuti hawa nafsu. Ia adalah hamba bagi dirinya sendiri dan bukan hamba bagi Tuhannya, orang yang hidupnya seperti ini pasti akan mudah terjerumus kepada yang haram, dan semua daging yang tumbuh di badannya dari yang haram maka neraka adalah tempat yang tepat yang layak baginya. Allah -subhanahu wa ta’aalaa- telah mencela orang kafir karena banyak makan, dalam firman-Nya:
“Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka.” (QS Muhammad:12)

Maka jika seorang mukmin meniru mereka dan menikmati kenikmatan dunia setiap saat, lantas dimana hakikat keimanan dan pelaksanaan Islam pada dirinya? Barangsiapa yang banyak makan dan minum, maka ia akan semakin rakus dan tamak, bertambah malas dan banyak tidur di malam hari. Siang harinya dipakai untuk makan dan minum, sedangkan malamnya hanya untuk tidur. (Jami’ li Ahkam Al-Qur’an 13/394)

Dalam hadits lain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya akan didatangkan seseorang yang sangat gemuk pada hari kiamat, akan tetapi timbangannya disisi Allah tidak seberat sayap lalat. Bacalah firman Allah: “Dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (Shahih Bukhari dan Muslim)

Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu pernah bertemu seseorang di jalan, dan bertanya kepadanya.
“Kenapa perutmu besar seperti ini?” tanya Umar bin Khattab radhiyallahu ‘Anhu.

“Ini karunia dari Allah,” jawab orang tersebut.

“Ini bukan berkah, tapi azab dari Allah!” seru Umar.

Ia pun melanjutkan, “Hai sekalian manusia, hai sekalian manusia. Hindari perut yang besar. Karena membuat kalian malas menunaikan shalat, merusak organ tubuh, menimbulkan banyak penyakit. Makanlah kalian secukupnya. Agar kalian semangat menunaikan shalat, terhindar dari sifat boros, dan lebih giat beribadah kepada Allah.”

Seburuk-buruk Manusia di Hari Kiamat

Diceritakan dari Aisyah –radliyallahu anha-, sesungguhnya Rasulullah –shallallahu alayhi wa sallam—bersabda:

إِنَّ شَرَّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ تَرَكَهُ أَوْ وَدَعَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ شَرِّهِ

"Sesungguhnya sejelek-jelek kedudukan manusia di sisi Allah di hari kiamat ialah orang yang ditinggalkan manusia lain karena takut akan kejelekannya." (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Penjelasan Hadits
Setiap manusia di hari kiamat nanti mempunyai kedudukan sendiri-sendiri, sesuai dengan amal perbuatan mereka selama di dunia. Allah berfirman:
"Dan bagi setiap manusia, beberapa derajat dari apa yang mereka kerjakan." (QS. Al-An'am: 132).

Manusia yang mempunyai amal yang paling baik, akan memperoleh derajat tertinggi nanti di akhirat. Dan sebaliknya, manusia yang mempunyai amal terburuk, akan mendapat derajat terendah. Di antara derajat tertinggi dan terendah terdapat derajat-derajat lain yang mempunyai selisih tingkat antara satu dengan yang lain, sesuai dengan amal yang dilakukan.

Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu alayhi wa sallam menjelaskan bahwa seburuk-buruk derajat manusia di hari kiamat ialah orang yang ditinggalkan orang lain, bukan karena ia tidak mempunyai kebaikan, atau manfaat yang dapat diambil, tetapi karena takut akan keburukan dirinya, dan khawatir akan sifat negatif yang timbul darinya.

Penciptaan Manusia


Manusia punya dua unsur yang berbeda yang melekat pada dirinya. Unsur jasadiyah dan unsur ruhiyah, atau biasa disebut jasmani dan rohani, atau material dan spiritual.

Jasad/fisik manusia diciptakan dari materi bumi atau materi dunia yaitu tanah.

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk." (QS. Al-Hijr : 26)

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah." (QS. Al-Mu'minun : 12)

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: 'Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.' Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku." (QS. Shod : 71-72)

Spirit (roh) manusia ditiupkan langsung oleh sang Khalik kepada manusia.

Yang menarik, dalam Al Quran, proses penciptaan jasmani lebih sering disebut di beberapa ayat daripada tiupan roh.

Sepertinya sang Khalik sengaja membuatnya menjadi misteri dan menyuruh kita untuk lebih sering mencari jawaban tentang rohnya sendiri.

Kedua unsur ini sama-sama membutuhkan nutrisi atau pasokan supaya tetap survive. 

Karena jasad berasal dari tanah maka nutrisinyapun berasal dari tanah. Semua makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia tidak lepas dari unsur tanah. Tanpa bantuan material dari tanah, sayuran, buah, lauk, daging, air, hewan penghasil susu tak akan tumbuh dan berkembang.

Berbeda dengan jasmani yang berasal dari tanah, roh manusia ditiupkan langsung olehNya. Yang jadi pertanyaan, apa dan dari mana nutrisi yang paling tepat yang dibutuhkan oleh roh?

Apakah dari unsur tanah yang dibuat sendiri oleh manusia berupa kesenangan dunia dengan segala kerelatifan dan kenisbiannya atau mencarinya langsung kepada Dzat yang pernah meniupkannya?

Mumpung masih ada waktu, ayo kita cari jawaban dari misteri ini.

Ghouta, Benteng Umat Islam di Akhir Zaman



“Sesungguhnya benteng kaum muslimin di hari perang besar terjadi berada di Ghouta (nama sebuah tempat di negeri Syam), berada di samping kota yang disebut Damaskus, Ia adalah kota terbaik yang ada di Syam.” (HR. Abu Dawud, no. 4298 dan Ahmad, no. 21725)

Dalam beberapa hari belakangan ini, Ghouta kembali menjadi sorotan media internasional. Pasalnya, distrik yang terletak di pinggiran Damaskus itu hingga kini masih terus dihujani bom oleh pasukan rezim Suriah dan sekutunya.

Menurut Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), lebih dari 500 penduduk sipil terbunuh dalam bombardir udara rezim Suriah yang dimulai sejak 18 Februari.

Ghouta Timur merupakan wilayah kelompok mujahidin terakhir yang berada di bawah kepungan rezim Assad sejak 2013. Secara geografis, Ghouta Timur berada di jarak 10 kilometer sebelah timur dari pusat kota Damaskus, ibu kota Suriah. Ghouta Timur merupakan rumah bagi sekitar 400 ribu warga sipil, yang setengahnya terdiri dari anak-anak. Sudah tujuh tahun lebih, wilayah ini telah menjadi basis perjuangan mujahidin Suriah melawan tirani rezim Bassar Assad yang berkuasa.

Nubuwat Nabi, Ghouta Benteng Terakhir Kaum Muslimin

Selain dikenal sebagai wilayah yang makmur dengan hasil buminya, Ghouta juga termasuk salah satu kota yang disebut-sebut oleh Nabi sallallahu a’laihi wasallam sebagai benteng terakhir umat Islam di akhir zaman. Ia menjadi tempat perlindungan kaum muslimin ketika meletusnya perang di akhir zaman. Karena itu, dalam beberapa riwayat lain ketika menyebutkan keutamaan negeri Syam, secara spesifik Rasulullah sallallahu a’laihi wasallam menyatakan bahwa Ghouta merupakan kota terbaik di antara kota-kota yang ada di wilayah Damaskus.

Dalam riwayat Abu Darda’ disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ فُسْطَاطَ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَ الْمَلْحَمَةِ بِالْغُوطَةِ إِلَى جَانِبِ مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ مِنْ خَيْرِ مَدَائِنِ الشَّامِ

“Sesungguhnya benteng kaum muslimin di hari perang besar terjadi berada di Ghouta (nama sebuah daerah di Syam), berada di samping kota yang disebut Damaskus, Ia adalah kota terbaik yang ada di Syam.” (HR. Abu Dawud, no. 4298 dan Ahmad, no. 21725)

Dalam Kitab ‘Aunul Ma’bud, Syaikh Muhammad Syamsul Haq Azim Abadi menjelaskan, “Maksud dari fustatul muslimin adalah benteng kaum muslimin digunakan sebagai tempat untuk melindungi diri tempat naungan pada hari terjadinya perang besar (malhamah kubro) pada masa fitnah-fitnah yang akan datang.” (‘Aunul Ma’bud, 14/317)

Al-‘Alqami berkata, “Hadis ini menunjukkan keutamaan Damaskus dan masyarakat yang ada di dalamnya pada akhir zaman. Tempat tersebut adalah benteng dari segala fitnah. Di antara keutamaannya lebih dari sepuluh ribu sahabat nabi yang tinggal di daerah tersebut.” Demikian juga Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah mengunjungi wilayah ini sebelum di utus menjadi nabi dan setelahnya ketika peristiwa Isra’ Mi’raj dan Perang Tabuk.

Thaifah Manshurah (Kelompok Manusia Pilihan Allah) Ada di Ghouta?

Dalam berbagai hadits shahih telah dijelaskan bahwa akan senantiasa ada sekelompok umat Islam yang berpegang teguh di atas kebenaran. Mereka berpegang teguh dengan petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah, memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Kelompok ini disebut oleh Nabi sebagai Thaifah manshurah, yaitu sekelompok manusia pilihan yang mendapat jaminan dari Allah berupa pertolongan dan kemenangan.

Kelompok ini diawali dari Rasulullah sallallahu a’laihi wasallam beserta segenap sahabat, berlanjut dengan generasi-generasi Islam selanjutnya, sampai pada generasi Islam yang menyertai perjuangan Imam Mahdi dan Nabi Isa ‘alaihissalam dalam memerangi Dajjal dan memerintah dunia berdasar syariat Islam.

Dalam sebuah riwayat tentang kelompok ini, Rasulullah sallallahu a’laihi wasallam bersabda, “Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang berperang di atas kebenaran. Mereka meraih kemenangan atas orang-orang yang memerangi mereka, sampai akhirnya kelompok terakhir mereka memerangi Dajjal.” (HR. Abu Daud)

Lalu dalam riwayat lain Nabi menyebutkan:
“Akan senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang meraih kemenangan di atas kebenaran. Orang-orang yang memusuhi mereka tidak akan mampu menimpakan bahaya kepada mereka sampai datangnya kiamat.” Mu’adz berkata, “Mereka adalah penduduk Syam.“ (HR. Bukhari)

Penafsiran sahabat Mu’adz bin Jabbal di atas dipegang oleh sebagian besar para ulama salaf. Di antaranya Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu Qudamah dan Ibnu Rajab. (lihat: Majmu’ Rasail Ibnu Rajab, 3/204)

Imam At-Tiibi berkata, “Mereka adalah penduduk Syam dan negara-negara yang ada di belakangnya. dan ini termasuk dari mukjizat yang nampak, sifat yang disebutkan dalam hadits senantiasa ada—segala puji bagi Allah Ta’ala—sejak zaman Nabi sallallahu a’laihi wasallam sampai sekarang ini. dan mereka tetap akan eksis hingga datangnya hari kiamat.”

Rasulullah sallallahu a’laihi wasallam bersabda, “Syam akan terbuka untuk kamu. Jika kamu diberi pilihan tempat tinggal, maka pilihlah tempat tinggal di kota yang bernama Damaskus. Ia adalah benteng Muslimin dari pertempuran dan kekuatan mereka bersumber dari sana di tempat yang bernama Ghouta.” (HR. Ahmad no. 17470)

Kemudian dalam riwayat lain, sahabat Auf bin Malik al-Asyja’i mengisahkan bahwa Rasulullah sallallahu a’laihi wasallam bersabda, “Akan terjadi gencatan senjata’ (perdamaian) antara kalian dengan Bani Ashfar (bangsa pirang), lalu mereka mendukung kalian di bawah 80 panji (raayah). Pada setiap panji terdiri dari 12.000 prajurit. Benteng umat Islam saat itu adalah di wilayah yang disebut Ghouta; daerah sekitar kota Damaskus.” (Shahih, HR. Imam Ahmad, dishahihkan oleh Ahmad Syakir)

Jika kota Ghouta yang hari ini sedang dibombardir oleh pasukan rezim Bashar Assad disebut oleh Nabi sebagai benteng kaum muslimin di akhir zaman, mungkinkah di tempat ini akan eksis sekelompok umat pilihan yang dijanjikan kemenangan oleh Allah? Wa’allahu a’lam!

Yang pasti kota Ghouta merupakan salah satu kota yang pernah terucapkan oleh Nabi sallallahu a’laihi wasallam ketika menyebutkan keutamaan negeri Syam. Sama seperti keutamaan kota Makkah, Madinah dan Palestina yang sering disebutkan dalam al-Quran dan Hadis. Karena itu, tempat yang bernama Ghouta menjadi salah satu wilayah yang memiliki ikatan erat dengan aqidah umat Islam. Sehingga mempertahankan kota Ghouta menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam. Wallahu a’lamu bisshowab.

Bahaya Sekulerisasi Ilmu


“Besok besar saya ingin menjadi ahli ilmu agama”. Itulah jawaban seorang murid ketika ditanya tentang cita-citanya kelak. Jawaban demikian boleh jadi lumrah belaka. Tetapi jika dicermati, segera terasa pandangan terhadap ilmu yang perlu dikaji kembali.

Munculnya istilah ilmu agama menandaskan seolah ada ilmu non-agama. Anggapan selanjutnya biasanya bahwa belajar ilmu agama itu berpahala, sementara belajar ilmu non-agama tidak akan berpahala. Ada cara pandang dikotomik antara ilmu agama dan ilmu umum.

Semestinya tidak ada istilah ilmu agama. Agama bukan ilmu, melainkan ilmu adalah bagian dari agama. Agama yang melahirkan ilmu. Dan setiap ilmu harus ditegakkan di atas pondasi agama. Surah Al-Mujadilah ayat 11 tegas menyatakan bahwa ilmu harus diawali dengan iman. “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu beberapa derajat.”

Tetapi sebagian orang menganggap bahwa ilmu agama sebatas pelajaran fiqih, tauhid, akidah, tasawuf, tarikh, akhlak, bahasa Arab, dan lainnya. Ilmu geografi, ekonomi, psikologi, sosiologi, filsafat, sastra, seni, biologi, fisika, matematika, kimia, dan serupanya dipandang sebagai bukan ilmu agama, atau bahkan tidak ada kaitannya dengan agama.

Itulah awal dari sekulerisasi ilmu. Islam memandang ilmu secara utuh dan menyatu. Umat Islam dianjurkan untuk menuntut ilmu. Dan Allah akan mengangkat derajat orang-orang berilmu tanpa dibedakan jenis ilmunya. Yang penting ilmu tersebut harus tegak di atas keimanan.

Cermati konsep manusia ideal (ulul albab) menurut Al Quran. Manusia ideal adalah orang-orang yang selalu berzikir kepada Allah, memikirkan penciptaan langit dan bumi. “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring. Mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata, Ya Tuhan kami, tidak Engkau ciptakan ini semua dengan sia-sia. Maha Suci Engkau. Maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Ali Imron: 191).

Jadi, di antara ciri manusia ideal adalah selalu berzikir, memikirkan penciptaan langit dan bumi. Tetapi mungkinkah manusia akan mampu memikirkan penciptaan langit dan bumi tanpa berbekal perangkat keilmuan seperti biologi, fisika, matematika, kimia, dan lainnya? Menafsirkan ayat-ayat kauniyah pun meniscayakan mufasir untuk menguasai ilmu-ilmu tersebut.

Itulah kenapa wahyu yang pertama kali turun adalah perintah membaca (Al-Alaq: 1-5). Membaca tentu meliputi apa saja, termasuk geografi, ekonomi, psikologi, sosiologi, filsafat, sastra, seni, biologi, fisika, matematika, kimia, dan seterusnya.

Sekulerisasi ilmu melahirkan anggapan bahwa yang disebut ulama hanya terbatas mereka yang menguasai ilmu syariah (fiqih). Sementara profesor geografi, ekonomi, psikologi, sosiologi, filsafat, sastra, seni, biologi, fisika, matematika, kimia, cukup disebut sebagai ilmuwan, bukan ulama. Padahal Al-Quran tidak pernah membatasi siapa penyandang gelar ulama. “Sungguh yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanya ulama. Sungguh Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Fathir: 28).

Ulama dalam ayat ini adalah mereka yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah. Dengan kata lain, pakar di bidang apa saja, sepanjang kepakaran itu membuatnya semakin takut kepada Allah, merekalah ulama. Ulama bukan hanya para pakar fiqih, tauhid, akidah, tasawuf, tarikh, akhlak, bahasa Arab, melainkan siapa saja yang mendayagunakan pikiran dan nuraninya untuk menguak kebesaran Allah dengan landasan keimanan dan ketakwaan.

Sekulerisasi ilmu juga melahirkan kesalahan yang sangat fatal. Misalnya, yang dituntut mampu membaca dan memahami Alquran hanya mereka yang belajar di pesantren atau kampus Islam. Mereka yang belajar di luar kedua lembaga pendidikan itu, tidak ada urusan dengan bisa atau tidak membaca dan memahami Al Quran. Bahkan sama sekali awam soal agama dan ibadah juga tidak menjadi soal. Karena agama dan ibadah itu bukan bidang kajian mereka.

Jelaslah, ilmu hendak dilepaskan sama sekali dari agama. Mempelajari ilmu hanya untuk ilmu itu sendiri. Padahal tidak ada satu urusan di dunia ini yang boleh dilepaskan dari agama. Jika agama tidak menjadi pondasi tegaknya segala sendi kehidupan, akibatnya ketinggian ilmu seolah terus berpacu dengan maraknya berbagai kasus seperti kita lihat di negeri ini: KKN, tawuran, narkoba, kekerasan, perselingkuhan, plagiarisme, dan kebejatan moral lain.

Sekulerisasi ilmu jelas merupakan muasal kosongnya ilmu dari muatan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Akan berbeda jika pemegang ilmu selalu tegak di atas pondasi agama. Mustahil ia akan menyalahgunakan ilmunya. Karena senantiasa merasa diawasi Allah, sehingga akan berhati-hati dalam setiap ucapan dan tindakan. Itulah esensi ihsan. Yaitu “engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Dan jika engkau tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa sungguh Dia melihatmu.” (Bukhari dan Muslim).

Bahaya lain dari sekulerisasi ilmu adalah munculnya para pakar ilmu yang justru memperdahsyat kerusakan di bumi. Mereka paham agama tetapi tidak mengamalkannya. Mereka inilah yang oleh Allah digambarkan seperti keledai membawa kitab.

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian tidak mengamalkan isinya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal. Amat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (Al-Jumuah: 5).

Oleh M Husnaini
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya

Sistem penanggalan Lunar (Komariyah)



Sistem penanggalan Lunar (Qomariyah) yang mengacu pada perputaran bulan terhadap bumi, ditetapkan Allah sebagai dasar penentuan tanggal bahkan sejak alam semesta ini diciptakan. Sistem ini yang digunakan dalam kalender Islam karena terkait kegiatan ibadah rutin tahunan seperti puasa di bulan Ramadhan atau haji di bulan Dzulhijah. Sementara penanggalan Masehi mengacu pada perputaran bumi terhadap matahari, digunakan belakangan oleh bangsa Romawi.

Sistem penanggalan yang "diakui" Allah adalah sistem Qomariyah sebagaimana dalil:
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (QS. At-Taubah:36)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya zaman ini telah berjalan (berputar) sebagaimana perjalanan awalnya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, yang mana satu tahun itu ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram, tiga bulan yang (letaknya) berurutan, yaitu Dzul Qa'dah, Dzul Hijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab Mudhar yang berada diantara Jumada (Akhir) dan Sya'ban." (HR. Al Bukhari: 4385 dan Muslim: 1679)

Kenapa disebut bulan Haram:
"Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar." 

Wallahu a'lam.

Pembagian Hati

Firman Allah Ta’ala:

يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan qalbun salim.” (Asy-Syu’araa’: 88-89)

1. HATI SEHAT

Salim artinya sehat. As-Salimul Qalbi adalah hati yang memiliki kesehatan sebagai sifat baku. Salim adalah antonim (lawan kata) dari maridh, saqim dan ‘alil yang berarti sakit.

Manusia menggunakan ungkapan yang berbeda-beda dalam menggambarkan hakikat hati yang sehat ini. Titik temunya adalah bahwa HATI YANG SEHAT adalah YANG TERBEBAS DARI SYAHWAT YANG KONTRADIKTIF DENGAN PERINTAH DAN LARANGAN ALLAH atau yang terbebas dari SYUBHAT.

Ia terbebas dari peribadatan kepada selain Allah dan dari pengambilan keputusan hukum kepada selain Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ia mencintai Allah dengan tulus dan mengikuti ketentuan Rasul-Nya dalam takut, harap, tawakal, dan ketundukan kepada Allah, MENGUTAMAKAN RIDHA-NYA DALAM SETIAP KEADAAN, dan MENJAUHI KEMURKAAN-NYA DENGAN SEGALA CARA. Inilah hakikat ‘ubudiyah yang hanya boleh diberikan kepada Allah.

Hati yang sehat tidak menyekutukan Allah dengan apapun dalam bentuk apapun.

‘Ubudiyahnya murni ditujukan kepada Allah Ta’ala, baik yang berupa kehendak, cinta, tawakal, ikhbat (ketundukan), khauf (takut), dan roja’ (harap).

Ia mengikhlaskan amal untuk Allah. Bila mencintai, ia mencintai karena Allah; bila membenci, ia membenci karena Allah; dan bila memberi, ia memberi karena Allah; dan bila tidak memberi, ia tidak memberi karena Allah.

Baik secara garis besar maupun rinci, YANG MENJADI PANUTAN adalah ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia tidak mendahului beliau dalam berkeyakinan, berbicara, maupun beramal. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujuraat: 1)

Maksudnya:
“Jangan berkata (berpendapat) sebelum beliau berkata dan jangan berbuat sebelum beliau memerintahkan (jangan melakukan amal ibadah kecuali yang diperintahkan).”

Seorang salaf berkata:
“Setiap perbuatan, sekecil apapun, pasti akan ditanya dengan dua pertanyaan, yaitu: MENGAPA dan BAGAIMANA. Yakni, mengapa kamu berbuat dan bagaimana kamu berbuat?”

Pertanyaan pertama berkenaan dengan sebab, motivasi dan latar belakang perbuatan; apakah bertitik-tolak dari kepentingan dan ambisi si pelaku di dunia seperti kesenangan dipuji orang, ketakutan terhadap celaan mereka, keinginan untuk memperoleh sesuatu yang disukai, upaya menghindari sesuatu yang dibenci di dunia; atau perbuatan itu timbul dengan motivasi untuk menunaikan kewajiban beribadah, meraih cinta Allah, mendekatkan diri kepada-Nya, dan mencari jalan menuju ridha-Nya?

Sasaran pertanyaan ini adalah: Anda melakukan perbuatan ini untuk Rabb anda ataukah untuk kepentingan dan hawa nafsu anda sendiri?

Adapun pertanyaan kedua adalah berkenaan dengan mutaba’ah (peneladanan) kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam ibadah tersebut. Artinya, perbuatan tersebut telah disyari’atkan-Nya kepadamu melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah tidak diperintahkan-Nya sehingga tidak diridhai-Nya?

Yang pertama adalah pertanyaan mengenai ikhlas sedangkan yang kedua adalah pertanyaan mengenai mutaba’ah (teladan dan tuntunan yang diikuti). Sebab, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima amal kecuali dengan keduanya (ikhlas dan sesuai tuntutan).

Antisipasi terhadap pertanyaan pertama adalah dengan memurnikan keikhlasan, sedangkan terhadap pertanyaan kedua adalah dengan merealisasikan mutaba’ah dengan sebenar-benarnya. Hati harus bersih dari keinginan yang kontradiktif dengan keikhlasan dan dari nafsu yang kontradiktif dengan mutaba’ah. Inilah hakikat kesehatan bagi hati yang dijamin selamat dan bahagia.”


2. HATI MATI

Ini kebalikan dari yang pertama. Ini adalah hati yang mati, tanpa kehidupan sama sekali. Ia tidak mengenal Rabb serta tidak beribadah kepada-Nya dengan melaksanakan apa yang diperintahkan, dicintai, dan dridhai-Nya.

Sebaliknya, ia SENANTIASA MENGIKUTI HAWA NAFSU sekalipun dimurkai dan dibenci Rabb-nya.

Ia TIDAK PEDULI apakah dengan mengikuti hawa nafsu, Rabb-nya ridha atau murka kepadanya. Ia menghambakan dirinya kepada selain Allah dalam kecintaan, ketakutan, pengharapan, keridhaan, kemurkaan, pengagungan, dan ketundukan.

Bila mencintai, ia mencintai karena nafsu; bila membenci, ia membenci karena nafsu; bila memberi, ia memberi karena nafsu; dan bila menolak, ia menolak karena nafsu juga. Jadi, hawa nafsu lebih diutamakan dan dicintainya daripada ridha Rabb-nya.

Hawa nafsu adalah imamnya, syahwat adalah komandannya, kebodohan adalah pengendalinya, dan kelalaian adalah kendaraannya. Ia senantiasa sibuk berpikir untuk memperoleh ambisi-ambisi duniawi serta DIMABUK OLEH HAWA NAFSU dan CINTA DUNIA.

DARI JAUH, IA DIPANGGIL UNTUK KEMBALI KEPADA ALLAH dan MENGUTAMAKAN KEBAHAGIAAN AKHIRAT, akan tetapi IA ENGGAN MENYAMBUT PANGGILAN SANG PEMBERI NASIHAT, bahkan mengikuti bujukan setan yang durhaka. Murka dan ridhanya tergantung oleh dunia. Hawa nafsu telah menulikan dan membutakannya.

“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali orang-orang yang enggan untuk memasukinya. Ada seseorang yang bertanya, siapakah orang yang enggan tersebut wahai Rasulullah ? Beliau bersabda, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk surga, barangsiapa tidak taat kepadaku sungguh dia orang yang enggan masuk surga “ (HR. Bukhari)

Bergaul dengan orang yang berhati seperti ini adalah PENYAKIT dan RACUN. Bersahabat dengannya adalah KEBINASAAN.


3. HATI SAKIT


Hati jenis ini adalah hati yang mempunyai kehidupan, tetapi berpenyakit. Kadang-kadanag kehidupan tampak padanya, tetapi kadang-kadang yang tampak penyakitnya, tergantung yang mana di antara keduanya yang sedang dominan.

Dalam hati yang ini, terdapat kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakal kepada Allah, yang semua ini merupakan bahan baku kehidupannya. Tetapi di dalamnya juga terdapat kecintaan kepada hawa nafsu, pengutamaan terhadapnya dan ambisi untuk memperolehnya, kedengkian, kesombongan, dan kebanggaan terhadap diri sendiri.

Ia dipengaruhi oleh dua penyeru; yang satu mengajaknya kepada Allah, Rasul-Nya dan negeri akhirat, sedangkan yang lain mengajaknya kepada dunia. Ia mengikuti salah satu dari kedua penyeru itu, (mana) yang pintu dan jaraknya lebih dekat kepadanya.

Hati jenis pertama (Hati Sehat) adalah hati yang khusyu’, lembut dan sehat.

Hati jenis kedua (Hati Mati) adalah hati yang kering dan mati.

Sedangkan hati yang yang sakit, yang bisa jadi lebih dekat kepada kesehatan atau sebaliknya lebih dekat kepada kematian (hati). Allah Ta’ala telah menyebutkan ketiga jenis hati ini dalm firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلا نَبِيٍّ إِلا إِذَا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang lalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat, dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Qur’an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (Al-Hajj: 52-54)

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi hati menjadi tiga: dua di antaranya terkena fitnah dan hanya satu yang selamat. Dua jenis hati yang terkena fitnah adalah hati yang berpenyakit dan hati yang keras (mati). Sedangkan yang selamat adalah hati orang mukmin yang tunduk dan patuh kepada Rabb-nya. Diharapkan, hati dan anggota badan lain dalam keadaan sehat tanpa penyakit apapun, sehingga bisa berfungsi sebagaimana mestinya.

Hati yang terkena fitnah, senantiasa dalam keraguan disebabkan oleh bisikan setan, tetapi hati yang sehat tidak akan terkena mudharat darinya.

Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Fitnah-fitnah dibentangkan dan dilekatkan di hati, sebagaimana dibentangkannya serat-serat tikar satu persatu. Hati mana pun yang dirasukinya, niscaya padanya membekas sebuah noda hitam, sedang hati mana pun yang menolaknya, niscaya padanya membekas sebuah titik putih, sehingga seluruh hati akan terbagi menjadi dua: ada hati yang hitam berbintik putih dan seperti kendi yang terbalik, ia tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak menolak yang munkar, yang diketahuinya hanyalah hawa nafsu yang dirasukkan kepadanya. Ada pula hati yang putih, ia tidak terkena mudharat fitnah selama ada langit dan bumi.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Beliau menyerupakan pembentangan dan pelekatan fitnah di hati seperti serat-serat tikar yang dibentangkan dan dilekatkan satu persatu.

Beliau juga membagi hati pada saat pembentangan fitnah tersebut, menjadi dua yaitu: Ada hati yang ketika fitnah dibentangkan, terasuki olenya sebagaimana bunga karang yang diresapi air. Pada hati tersebut akan timbul sebuah titik hitam. Setiap fitnah yang dibentangkan akan terus meresap padanya, sehingga warnanya menjadi hitam dan posisinya terbalik. Inilah sabda beliau “seperti kendi yang terbalik”. Apabila hati menjadi hitam dan terbalik, maka ia terancam oleh dua penyakit yang berbahaya yang akan mencampakkannya ke dalam kebinasaan, yaitu:

1. Ia akan kabur dalam melihat yang ma’ruf dan yang munkar. Ia tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak menolak yang munkar. Bisa jadi penyakit ini semakin parah sehingga ia meyakini yang ma’ruf sebagai kemunkaran dan yang munkar sebagai yang ma’ruf; yang sunnah sebagi bid’ah dan yang bid’ah sebagai sunnah; serta kebenaran sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai kebenaran.

2. Ia lebih mengutamakan hawa nafsu daripada ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia tunduk dan mengikuti hawa nafsunya.

Ada pula hati yang putih. Cahaya dan pelita-pelita iman memancar dan menyala di dalamnya. Apabila fitnah dibentangkan kepadanya, ia menolak, sehingga cahaya, pancaran dan kekuatannya semakin bertambah.

Fitnah-fitnah yang dibentangkan pada hati merupakan penyebab sakitnya. Itulah fitnah syahwat dan syubhat, atau fitnah al-ghayy (penyimpangan) dan adh-dhalal (kesesatan), atau fitnah maksiat dan bid’ah, atau fitnah kezhaliman dan kebodohan.

Fitnah pertama (fitnah syahwat) mengakibatkan rusaknya maksud dan kehendak. Sedangkan fitnah kedua (fitnah syubhat) mengakibatkan rusaknya lmu dan keyakinan.

Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Hati itu ada empat: ada hati yang bersih, di dalamnya terdapat pelita yang menyala, itulah hati orang mukmin. Ada hati yang tertutup, itulah hati orang kafir. Ada hati yang terbalik, itulah hati orang munafik, yang telah mengetahui tetapi kemudian menolak dan telah melihat tetapi kemudian buta. Ada pula hati yang terdiri dari dua unsur, yaitu unsur keimanan dan kemunafikan. Keadaannya tergantung kepada salah satu dari kedua unsur tersebut yang paling dominan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Abdullah bin Imam Ahmad. Syaikh Al-Albani berkata: “Hadits ini mauquf shahih.”)

Perkataan beliau “hati yang bersih”, maksudnya adalah hati yang bersih dari selain Allah dan Rasul-Nya. Jadi, hati tersebut bersih dari selain kebenaran.

Adapun hati yang tertutup, adalah hati orang kafir, karena hati tersebut masuk di dalam tutupnya, sehingga cahaya ilmu dan iman tidak bisa mencapainya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَقَالُوا قُلُوبُنَا غُلْفٌ بَلْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَقَلِيلا مَا يُؤْمِنُونَ

“Dan mereka berkata: “Hati kami tertutup”. Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; maka sedikit sekali mereka yang beriman.” (Al-Baqarah: 88)

Penutup di sini adalah yang dipasang oleh Allah di hati mereka sebagai hukuman atas penolakan mereka terhadap kebenaan dan kesombongan mereka untuk menerimanya.

وَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ حِجَابًا مَسْتُورًا وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي آذَانِهِمْ وَقْرًا وَإِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِي الْقُرْآنِ وَحْدَهُ وَلَّوْا عَلَى أَدْبَارِهِمْ نُفُورًا

“Dan apabila kamu membaca Al Qur’an niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup. Dan Kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya. Dan apabila kamu menyebut Tuhanmu saja dalam Al Qur’an, niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya.” (Al-Israa’: 45-46)

Apabila hati semacam ini diingatkan untuk memurnikan tauhid dan mutaba’ah, para pemiliknya akan berpaling menjauh.

Beliau juga menyebutkan hati yang terbalik sebagai isyarat bagi hati orang munafik. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

فَمَا لَكُمْ فِي الْمُنَافِقِينَ فِئَتَيْنِ وَاللَّهُ أَرْكَسَهُمْ بِمَا كَسَبُوا أَتُرِيدُونَ أَنْ تَهْدُوا مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ سَبِيلا

“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barang siapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya.” (An-Nisaa’: 88)

Artinya, Allah telah membalikkan dan mengembalikan mereka kepada kebatilan mereka semula, DISEBABKAN OLEH USAHA dan PERBUATAN MEREKA YANG BATHIL. Ini adalah hati yang paling buruk. IA MEYAKINI KEBATILAN SEBAGAI KEBENARAN dan MENCINTAI PELAKU KEBATILAN, sebaliknya MENGANGGAP KEBENARAN SEBAGAI KEBATILAN dan MEMUSUHI PARA PELAKU KEBENARAN. Hanya Allah tempat memohon pertolongan.

Sedangkan yang dimaksud beliau dengan hati yang memiliki dua unsur, adalah hati yang di dalamnya terdapat keimanan, akan tetapi pelita keimanan tersebut tidak menyala di dalamnya. Kebenaran yang ada di dalamnya, yang dengannya Allah mengutus Rasul-Nya, tidak murni. Di dalamnya terdapat unsur tersebut dan unsur kebalikannya. Kadang-kadang ia lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan, tetapi kadang-kadang lebih dekat kepada keimanan daripada kekafiran. Yang menentukan adalah unsur yang sedang dominan. Ke situlah ia kembali.

Wallahu a'lam.

Dikutip dari kitab Menyelamatkan Hati dari Tipu Daya Setan (Ighatsatul Lahfan min Mashayidisy Syaithan), karya Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Damaskus, 1292-1349 Masehi

Inilah Universitas Pertama dalam Sejarah Islam



Di awal sejarah Islam, masjid merangkap sebagai sekolah. Imam Masjid akan mengajar kelompok siswa tentang ilmu-ilmu Islam seperti Quran, fiqh, dan hadits.

Ketika dunia Muslim tumbuh, dirasa perlu ada lembaga formal, yang kemudian dikenal sebagai madrasah, yang didedikasikan khusus untuk pendidikan siswa.

Madrasah resmi pertama adalah al-Karaouine, didirikan pada 859 masehi oleh Fatima al-Fihri di Fes, Maroko. Sekolah ini menarik beberapa ulama terkemuka Afrika Utara, serta siswa-siswa terbaik di negara itu.

Di al-Karaouine, siswa diajarkan oleh guru selama beberapa tahun dalam berbagai mata pelajaran mulai dari pengetahuan umum hingga ilmu-ilmu agama.

Pada akhir program, jika guru menganggap siswa mereka memenuhi syarat, maka siswa akan mendapat sertifikat yang dikenal sebagai ijazah, yang mengakui bahwa siswa memahami materi dan memenuhi syarat untuk mengajar.

Pemberian gelar dari lembaga pendidikan kepada siswa ini dengan cepat menyebar ke seluruh dunia Islam. Universitas Al-Azhar yang didirikan di Kairo pada 970 masehi, dan di 1000 masehi Seljuk kemudian mendirikan puluhan madrasah di seluruh Timur Tengah.

Konsep lembaga yang memberikan sertifikat akhir (ijazah) menyebar ke Eropa melalui Muslim di Spanyol.

Universitas Bologna di Italia dan Oxford di Inggris yang didirikan pada abad ke-11 dan 12 dan meneruskan tradisi Muslim, yakni pemberian gelar kepada siswa yang pantas, dan menggunakannya sebagai kualifikasi seseorang dalam mata pelajaran tertentu.

Sumber: Lost Islamic History