Hukum Jual-Beli Saham

Sebagian ummat Islam menganggap bahwa jual-beli saham di Bursa Saham (Stock Market) adalah halal, sementara sebagian lainnya menganggap haram karena termasuk spekulasi atau judi.
Manakah yang benar?


Ada yang berpendapat bahwa jual-beli saham halal dengan alasan sama dengan jual-beli barang lainnya seperti buah atau beras. Hal ini kurang tepat.

Saham itu baik barang maupun nilainya tidak jelas, sehingga membeli atau menjualnya adalah tindakan yang spekulatif. Jangankan saham, buah saja meskipun halal, tapi jika kondisinya belum jelas dilarang diperjual-belikan:
Menurut Jabir bin Abdullah, “Rasulullah s.a.w. melarang penjualan buah-buahan sebelum ia masak.” (Hadis riwayat Bukhari)
Dari Jabir bin Abdullah, "Rasulullah SAW melarang kontrak jual beli hasil buah kebun untuk beberapa tahun lamanya.” (HR Muslim).

Kenapa Nabi melarang hal itu? Karena itu itu tindakan spekulatif, walaupun buah itu halal. Jika buah-buahannya masak, pembeli untung, tapi jika tidak masak atau busuk, maka pembeli rugi. Begitu pula dengan saham.

Jual-beli saham pada pasar sekunder, jika trend grafiknya naik, mungkin semua orang akan senang. Tapi jika grafiknya lurus horisontal, maka jika fluktuatif, akan ada yang menang dan ada yang rugi. Persis seperti judi. Jika ada yang menang, maka ada yang harus menderita. Tidak mungkin semua mendapat kemenangan. Misalnya untuk untung, kita harus beli di harga rendah dan menjualnya di harga tinggi, misalnya kita beli harga saham di harga Rp 1000 dan menjualnya di harga Rp 2000. Agar bisa terjadi seperi itu, tentu ada yang harus membeli di harga tinggi dan menjualnya di harga rendah. Kita mungkin menang, tapi yang lainnya rugi.

Pada kondisi trend grafik menurun, lebih parah lagi. Ada yang rugi sedikit, ada pula yang rugi besar hingga harus menjual rumah atau kehilangan milyaran rupiah. Contoh adalah kasus bunuh dirinya seorang pemain saham yang kalah, sehingga uang nasabahnya sebesar Rp 500 milyar lenyap begitu saja. Dari transaksi jual-beli saham antara tahun 2002-2003, ada sekuritas yang transaksinya merugi hingga Rp 150 milyar, ada pula yang menang hingga Rp 300 milyar. Kemenangan satu pemain saham umumnya berasal dari kerugian pemain lainnya.

Islam mensyaratkan adanya saling kerelaan (senang) di antara pembeli dan penjual:
“Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu dengan cara yang bathil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan dari antara kamu.” (an-Nisa’: 29)
Kerelaan di atas maksudnya baik pembeli dan penjual tidak kecewa atau dirugikan. Pada transaksi riba, mungkin antara debitur dan kreditur menanda-tangani peminjaman dengan sukarela, tapi pada dasarnya itu haram, karena debitur dirugikan. Demikian pula dengan jual-beli saham terutama ketika grafik rata atau menurun.

Dengan jual-beli saham, berapa banyak pemain saham yang dianggap master dan dikagumi juniornya akhir menderita kekalahan dan bahkan ada yang akhirnya bunuh diri. Seorang pemain saham, bahkan bisa melotot memonitor pergerakan harga saham sepanjang hari agar tidak kehilangan kesempatan menarik keuntungan jika seandainya harga saham turun atau naik.

“…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” [Al Hasyr:7]

Jual-beli saham itu terlarang karena melanggar perintah Allah pada surat Al Hasyr ayat 7. Pada Mudhorobah dan Musyarokah, pengusaha yang memerlukan modal bisa mendapat uang dari investor untuk menjalankan usahanya. Jika jual-beli saham diadakan, maka modal yang diperlukan untuk usaha itu akhirnya beredar antara investor satu dengan investor yang lain, sehingga sektor real justru tidak bisa berkembang karena kekurangan dana.

Ada yang berpendapat bahwa semua itu tergantung niat. Jika niatnya membeli saham untuk investasi, maka jual-beli saham di pasar sekunder halal. Jika spekulasi, maka haram. Semudah itukah?
Jika niatnya memang investasi, tentu dia akan menyerahkan modalnya langsung kepada pengusaha yang memerlukan modal baik langsung atau di pasar perdana (IPO). Tapi jika menyerahkan uangnya kepada pemilik saham yang menjual sahamnya (spekulan) di pasar sekunder, itu sama saja dengan spekulasi. Ini mengakibatkan uang hanya beredar di antara sesama pemilik uang seperti yang disebut di atas.

Ada juga pengamat yang berkata bahwa jual-beli saham untuk orang awam yang tidak punya data itu haram, karena resikonya besar. Tapi bagi yang ahli serta punya data, itu halal. Ini sama dengan mengatakan bahwa orang yang tidak mabuk, halal meminum khamar, atau seorang penjudi yang jago halal untuk berjudi. Islam tidak diskriminatif seperti itu.

Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi SAW bersabda: “Akan datang suatu masa di mana orang tak peduli akan apa yang diambilnya, apakah dari yang halal atau dari yang haram.” (HR Bukhari)

Seorang investor yang membeli saham kemudian akhirnya dijual lewat Bursa Saham guna mendapatkan capital gain ketika harga naik meski mungkin menjualnya dalam rentang waktu yang lama, tak ubahnya seperti seorang penimbun/spekulator:
“Dari Ma’mar bin Abdullah ra, Rasulullah bersabda: “Tidak ada yang menimbun (agar harga naik), kecuali orang yang berdosa” (HR Muslim)

Kalau pada perdagangan tradisional setiap rantai berusaha mendekatkan barang ke para pemakai dengan secepat-cepatnya dengan skema:
Produsen->Distributor->Retailer/Pedagang eceran->Konsumen/Rakyat

Maka pada perdagangan saham, 90% lebih justru berputar-putar antara pemain saham. Mereka cenderung menimbun agar harga saham jadi naik:
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam neraka pada hari kiamat.” (HR. At-Tabrani dai ma’qil bin Yasar).

Rasulullah saw. berkata, “Siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Dari Nu’man bin Basyir ra diberitakan bahwa Nabi bersabda: “Sebenarnya yang halal itu jelas dan yang haram jelas pula. Di antara yang halal dan haram itu ada yang syubhat (tidak jelas), banyak orang tak mengetahuinya. Siapa yang menghindar dari syubhat, dia telah memelihara agama dan kehormatannya. Siapa yang terkena syubhat, maka dia terkena yang haram.” (HR Muslim)

Dari hadits di atas serta kesimpang-siuran status jual-beli saham di pasar sekunder, jelaslah bahwa jual-beli saham itu jika tidak haram, dia adalah syubhat, karena itulah orang berbeda pendapat. Meninggalkan hal syubhat itu lebih utama ketimbang mengerjakannya, apalagi jika bahayanya lebih besar dari manfaatnya.