Hijrah Nabi; Dari Spiritual Menuju Negara



Tiga belas tahun di kota Makkah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hanya mengajarkan bagaimana mengesakan Allah Ta'ala dan menjauhi thaghut (sesembahan selain Allah). 

Hal yang dilakukan Nabi adalah pemurnian kepada tauhid. Masyarakat Arab pada saat itu sudah mengenal Allah sebagai tuhan mereka. Hanya saja di saat yang sama mereka menjadikan orang-orang shalih yang telah wafat untuk menjadi perantara antara diri mereka dan Allah, seperti yang disebutkan di surat Az-Zumar ayat ketiga. Mereka membuat patung Latta, Uzza, dan Manat; pendahulu-pendahulu mereka yang shalih lainnya sebagai perantara dalam ibadah. Selain itu mereka juga berada dalam kondisi jahiliyah dengan segala tingkah laku yang tidak manusiawi.

Dalam kondisi masyarakat yang demikian, Rasulullah beruzlah (menyendiri) menuju gua Hira. Di sanalah wahyu pertama diturunkan. Ketika perintah untuk menyebarkan ajaran Islam itu hadir, maka yang pertama kali didakwahkan adalah masalah konsep tauhid.

Al-Mubarokfurri menjelaskan hal-hal yang terangkum dalam surat kedua (Al-Muddatstsir:1-7) meliputi: 1) Tauhid, 2) Iman kepada Hari Akhirat, 3) membersihkan jiwa dengan cara mejauhi kemungkaran dan kekejian, mencari keutamaan, kesempurnaan, dan perbuatan-perbuatan yang baik, 4) menyerahkan semua urusan hanya kepada Allah, 5) Semua itu dilakukan setelah beriman kepada risalah yg dibawa Muhammad, bernaung dibawah bimbingannya yang lurus.

Tampak bahwa poin-poin yang disebutkan di atas hanya berhubungan dengan spiritualitas dan rohani, konsep ketuhanan, iman, dan hati. Tidak ada satu pun poin-poin tentang bagaimana mengatur urusan keuangan, kesejahteraan, dan politik. Fase Makkah hanya mendakwahkan pemurnian penyembahan dan tata cara beribadah.

Setelah melakukan ekspedisi-ekspedisi hijrah ke beberapa negara, sampailah pada sebuah keputusan untuk menjadikan Yatsrib (Madinah) sebagai wilayah peradaban Islam. Sebelumnya Mush'ab bin Umair telah lebih dahulu menyerukan Islam di Yatsrib dan memberitahukan akan adanya seorang nabi yang diutus kepada mereka.

Setelah sampai di Yatsrib, Nabi yang dahulu hanya membahas masalah iman dan tauhid, mengambil kebijakan-kebijakan kemasyarakatan dan kenegaraan. Kebijakan pertama adalah membangun masjid Nabawi sebagai basis kenegaraan. Masjid digunakan untuk shalat, tempat pengajaran, untuk menyelesaikan masalah, gedung syuro dan tempat mengatur pemerintahan.

Kebijakan berikutnya adalah mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Sebelumnya Anshar telah bersatu setelah sekian lama terjadi konflik antara Aus dan Khazraj. Dari mempersaudarakan sesama muslim, Nabi membuat butir-butir perjanjian Islam. Butir-butir perjanjian ini sangat menarik untuk disimak karena tidak membahas sedikitpun masalah aqidah—karena aqidah dianggap sudah jelas tertanam. Perjanjian itu membahas masalah kehidupan bermasyarakat. Pada tahap ini Nabi telah menjadi pemimpin Islam bukan lagi sebagai pemimpin spiritual layaknya pada tarekat-tarekat sufi, melainkan berubah menjadi pemimpin masyarakat Islam dalam semua tatanan kehidupan berbangsa dan negara.

Tidak cukup dengan itu, Nabi membuat sebuah gagasan besar yakni membangun hubungan kenegaraan dengan Yahudi. Hubungan perjanjian ini dikenal dengan Piagam Madinah (Shahifatul Madinah). Piagam Madinah juga tidak membahas aqidah secara khusus. Poin penting dalam pembahasan mengenai kepemimpinan adalah bahwa semua perselisihan akan dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Hijrah Nabi Muhammad tidak hanya mengajarkan kita bagaimana strategi dalam mengamankan agama Islam dari rongrongan kafir Quraisy dengan pindah dari Mekkah menuju Yatsrib yang telah didahului oleh ekspedisi pengislaman oleh Mushab bin Umair, tetapi juga mengajarkan proses transformasi dari konsep spiritual keagamaan menuju tataran praktis kepemimpinan. Hijrah pada tataran ini menunjukkan bahwa transformasi dari kebenaran aqidah harus berimplikasi pada tatanan masyarakat.

Hijrah juga memberikan keterangan yang jelas untuk membantah bahwa agama adalah masalah hubungan dengan Tuhan saja sedangkan masalah dunia adalah urusan tersendiri. Konsep sekularisasi terbantahkan dengan peristiwa ini. Merubah nama Yatsrib menjadi Madinah juga membawa pesan daerah Islam. Kata “Madinah” menurut al-Attas adalah bentukan dari kata diin (Dal-Ya'-Nuun). Dengan demikian, wilayah kekuasaan tersebut berbasiskan diin (agama), jauh dari sekuler.

Ibnu Taimiyyah memberikan sebuah keterangan bahwa Islam ditegakkan dengan dua hal, yakni Al-Quran dan pedang. Jika umat tidak bisa diluruskan dengan ini (Al-Quran) maka diluruskan dengan ini (pedang).

Pedang bukanlah simbol dari peperangan melainkan kekuasaan negara. Sebagian hukum syariat Islam membutuhkan kekuasaan agar hukum tersebut dapat terlaksana. Untuk mempertahankan Islam dan wilayahnya, Islam juga membutuhkan seorang pemimpin negara. Oleh karena itulah Islam, kepemimpinan, dan negara tidak dapat dipisahkan.

Para tokoh Islam seharusnya mempelajari fase sejarah ini. Mereka tidak bisa hanya menjadi ustadz dan kyai yang ada di majelis. Mereka adalah pemimpin spiritual umat Islam yang mengajarkan aqidah yang benar dan ibadah yang hanya kepada Allah saja. Sebagian lagi mengajarkan amalan-amalan hati pada tarekat-tarekat mereka. Tidak boleh para pemimpin spiritual berhenti pada fase ini. Para pemimpin ini harus melangkah pada tahapan berikutnya yakni membangun masyarakat. Tentunya sembari tetap memperbaiki dan mentarbiyah masyarakat di bidang aqidah, ibadah, dan akhlak. Para tokoh Islam harus membangun domisili masing-masing, tidak hanya pada masalah spiritual tetapi juga pada masalah kesejahteraan umum.

Rasulullah mengajarkan bahwa dalam butir perjanjiannya dengan umat Islam, hak-hak ekonomi dan kemerdekaan masyarakat diakui, “Orang mukmin tidak boleh meninggalkan seseorang yang menanggung beban hidup diantara sesama mereka dan memberinya dengan cara yang ma’ruf dalam membayar tebusan atau membebaskan tawanan”. Orang yang paling lemah juga diakui, “Jaminan Allah adalah satu. Orang yang paling lemah diantara mereka pun berhak mendapat perlindungan.”

Pemimpin Islam harus memimpin gerakan Islam yang aplikatif tidak sebatas pada konsep-konsep teologis dan peribadatan. Islam harus bisa menjawab tantangan kehidupan dengan memberikan kepada ulama-ulama mereka ruang memimpin masyarakat, atau paling tidak orang-orang yang berkomitmen kepada Islam bisa membimbing masyarakat kepada Islam yang menyeluruh dan mencakup aspek kehidupan baik sosial, ekonomi, politik, budaya, kemananan, dan lain-lain. Masjid-masjid adalah ruang diskusi kenegaraan, mengatur urusan umat sebagimana Rasulullah menjadikan masjid sebagai majelis syuro dan gedung pemerintahan. Rasul biasa syuro dengan para sahabatnya untuk menyelesaikan urusan keumatan kenegaraan di masjid.

Ulama adalah pewaris nabi. Konsekuensinya adalah bahwa ulama harus menjadi pemimpin gerakan Islam dalam rangka mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin. Islam tidak berhenti pada amalan pribadi tetapi menuju puncaknya sebagai rahmat alam. Ustadz Hasan Al-Banna sampai menuliskan bahwa amal itu berujung pada Islam sebagai guru alam semesta (Ustadziyyatul-'Alam), tidak lagi amalan pribadi. Ulama pemimpin spiritual sekaligus pemimpin negara sebagaimana dicontohkan oleh Nabi saw dan Khulafa' Rasyidiin.

Era kontemporer telah menunjukkan kinerja Islam yang demikian dengan adanya kelompok-kelompok dalam masyarakat Islam. Organisasi semacam Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Muhammadiyah di Indonesia telah mencapai level dimana Islam tidak lagi menjadi masalah ritual dan keyakinan, tapi menjadi praktek tata hidup dan kenegaraan. Kita hanya tinggal menunggu waktu di mana negara-negara di dunia menganut tata aturan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat dan negara mereka, jika para ulama bergerak bersama ke arah itu. Wa Allahu a’lam.

http://www.suara-islam.com/read/index/3890