Hidup Tak Selalu Berjalan Mulus

Butuh Batu Kerikil supaya kita berHati-Hati
Butuh Semak Berduri supaya kita Waspada
Butuh Persimpangan supaya kita Bijaksana dalam memilih
Butuh Petunjuk Jalan supaya kita punya Harapan tentang arah masa depan
Hidup butuh Masalah supaya kita tahu kita punya Kekuatan
Butuh Pengorbanan supaya kita tahu cara Bekerja Keras
Butuh Airmata supaya kita tahu meRendahkan Hati
Butuh diCela supaya kita tahu bagaimana Cara Menghargai
Butuh Tertawa supaya kita tahu Mengucap Syukur
Butuh Senyum supaya kita tahu kita Punya Cinta
Butuh Orang Lain supaya kita tahu kita Tak Sendiri
Butuh Kearifan supaya kita tahu bahwa hidup kita ada pada kehendakNya


Dalam hidup, jika semua yang kita kehendaki terus kita MILIKI, dari mana kita belajar IKHLAS
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak), maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS 53:24-25)

Jika semua yang kita impikan TERWUJUD, dari mana kita belajar SABAR
"Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya.(QS 7:128)

Jika kita hanya bertumpu pada DO'A dan mengharap dikabulkanNya, darimana kita belajar IKHTIAR
Katakanlah: "Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu (berikhtiar), sesungguhnya aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini.” (QS 6:135)

Seorang yang dekat dengan Tuhan, bukan berarti tidak ada air mata
“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS 53:43)

Seorang yang taat pada Tuhan, bukan berarti tidak ada kekurangan
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.” (QS 2:155).

Ingat, seorang yang tekun berdo'a, bukan berarti tidak mengalami masa sulit
"Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan Kami telah menghilangkan dari padamu bebanmu yang memberatkan punggungmu." (QS 94:1-3)

Biarlah Allah yang berdaulat sepenuhnya atas hidup kita, karena Dia tahu yang terbaik untuk kita
"Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu, dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya.” (QS 10:109)

Ketika usahamu dinilai tidak penting, maka saat itu kamu sedang belajar tentang KEIKHLASAN
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah." (QS. 4:125)

Ketika hatimu terluka sangat dalam, maka saat itu kamu sedang belajar untuk MEMAAFKAN
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS 7:199)

Ketika kamu lelah dan kecewa, maka saat itu kamu sedang belajar tentang KESUNGGUHAN
“Dan di antara manusia ada orang yang bersungguh-sungguh berkorban karena mencari keridhaan Allah.” (QS 2:207)

Ketika kamu merasa sepi dan sedih, maka saat itu kamu sedang belajar tentang KETANGGUHAN
“Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya. “(QS 12:86)

Ketika kamu harus mengerjakan sesuatu bagi orang lain, maka saat itu kamu belajar tentang KEMURAHAN HATI
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.” (QS 2:274)

Ketika kerjamu tidak dihargai, maka saat itu kamu sedang belajar tentang KETULUSAN
"Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik." (QS. 10:105)

Potret Suami dan Bapak Ideal Dalam Rumah Tangga


Menjadi suami dan bapak ideal dalam rumah tangga? Tentu ini dambaan setiap lelaki, khususnya yang beriman kepada Allah  dan hari akhir. Dan tentu saja ini tidak mudah kecuali bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah.

Sosok kepala rumah tangga ideal yang sejati, Rasulullah  pernah bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik (dalam bergaul) dengan keluarganya dan aku adalah orang yang paling baik (dalam bergaul) dengan keluargaku.” [ HR at-Tirmidzi no. 3895 dan Ibnu Hibban no. 4177].

Karena kalau bukan kepada anggota keluarganya seseorang berbuat baik, maka kepada siapa lagi dia akan berbuat baik? Bukankah mereka yang paling berhak mendapatkan kebaikan dan kasih sayang dari suami dan bapak mereka karena kelemahan dan ketergantungan mereka kepadanya?. Kalau bukan kepada orang-orang yang terdekat dan dicintainya seorang kepala rumah tangga bersabar menghadapi perlakuan buruk, maka kepada siapa lagi dia bersabar?

Imam al-Munawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat argumentasi yang menunjukkan (wajibnya) bergaul dengan baik terhadap istri dan anak-anak, terlebih lagi anak-anak perempuan, (dengan) bersabar menghadapi perlakuan buruk, akhlak kurang sopan dan kelemahan akal mereka, serta (berusaha selalu) menyayangi mereka.” [ Kitab “Faidul Qadiir” 3/498].

Potret kepala keluarga ideal dalam al-Qur-an

Allah  menggambarkan sosok dan sifat kepala keluarga ideal dalam beberapa ayat al-Qur-an, di antaranya dalam firman-Nya:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS an-Nisaa’: 34).

Inilah sosok suami ideal, dialah lelaki yang mampu menjadi pemimpin dalam arti yang sebenarnya bagi istri dan anak-anaknya. Memimpin mereka artinya mengatur urusan mereka, memberikan nafkah untuk kebutuhan hidup mereka, mendidik dan membimbing mereka dalam kebaikan, dengan memerintahkan mereka menunaikan kewajiban-kewajiban dalam agama dan melarang mereka dari hal-hal yang diharamkan dalam Islam, serta meluruskan penyimpangan yang ada pada diri mereka.

Dalam ayat lain, Allah  berfirman:
Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam al-Qur’an. Sesungguhnya dia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan dia (selalu) memerintahkan kepada keluarganya untuk (menunaikan) shalat dan (membayar) zakat, dan dia adalah seorang yang di ridhoi di sisi Allah. (QS Maryam: 54-55).

Inilah potret hamba yang mulia dan kepala rumah tangga ideal, Nabi Ismail, sempurna imannya kepada Allah, shaleh dan kuat dalam menunaikan ketaatan kepada-Nya, sehingga beliau  meraih keridhaan-Nya. Tidak cukup sampai di situ, beliau  juga selalu membimbing dan memotivasi anggota keluarganya untuk taat kepada Allah, karena mereka yang paling pertama berhak mendapatkan bimbingannya.

Demukian pula dalam ayat lain, Allah  berfirman:
“Dan orang-orang yang berkata: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami imam (panutan) bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS al-Furqaan: 74).

Dalam ayat ini Allah  memuji hamba-hamba-Nya yang beriman karena mereka selalu mendokan dan mengusahakan kebaikan dalam agama bagi anak-anak dan istri-istri mereka. Inilah makna “qurratul ‘ain” (penyejuk hati) bagi orang-orang yang beriman di dunia dan akhirat.

Imam Hasan al-Bashri berkata: “Demi Allah, tidak ada sesuatupun yang lebih menyejukkan pandangan mata (hati) seorang muslim daripada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang dicintainya taat kepada Allah.”

Beberapa sifat kepala rumah tangga ideal

1. Shaleh dan taat beribadah
Keshalehan dan ketakwaan seorang hamba adalah ukuran kemuliaannya di sisi Allah , sebagaimana dalam firman-Nya:
Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS al-Hujuraat: 13).
Seorang kepala rumah tangga yang selalu taat kepada Allah  akan dimudahkan segala urusannya, baik yang berhubungan dengan dirinya sendiri maupun yang berhubungan dengan anggota keluarganya. Allah  berfirman:
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. ath-Thalaaq:2-3).

Dalam ayat berikutnya Allah berfirman:
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (QS. ath-Thalaaq:4).

Artinya: Allah  akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya).

Bahkan dengan ketakwaan seorang kepala rumah tangga, dengan menjaga batasan-batasan syariat-Nya, Allah  akan memudahkan penjagaan dan taufik-Nya untuk dirinya dan keluarganya, sebagaimana sabda Rasulullah :
Jagalah (batasan-batasan/syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu.” [ HR at-Tirmidzi no. 2516].

Makna “menjaga (batasan-batasan/syariat) Allah” adalah menunaikan hak-hak-Nya dengan selalu beribadah kepada-Nya, serta menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dan makna “kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu”: Dia akan selalu bersamamu dengan selalu memberi pertolongan dan taufik-Nya kepadamu.

Penjagaan Allah  dalam hadits ini juga mencakup penjagaan terhadap anggota keluarga hamba yang bertakwa tersebut.

2. Bertanggung jawab memberi nafkah untuk keluarga
Menafkahi keluarga dengan benar adalah salah satu kewajiban utama seorang kepala keluarga dan dengan inilah di antaranya dia disebut pemimpin bagi anggota keluarganya. Alah  berfirman:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS an-Nisaa’: 34).

Dalam ayat lain, Allah  berfirman:
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. (QS al-Baqarah: 233).

Dalam hadits yang shahih, ketika Rasulullah ditanya tentang hak seorang istri atas suaminya, beliau  bersabda: “Hendaknya dia memberi (nafkah untuk) makanan bagi istrinya sebagaimana yang dimakannya, memberi (nafkah untuk) pakaian baginya sebagaimana yang dipakainya, tidak memukul wajahnya, tidak mendokan keburukan baginya (mencelanya), dan tidak memboikotnya kecuali di dalam rumah (saja).” [HR Abu Dawud no. 2142].

Tentu saja maksud pemberian nafkah di sini adalah yang mencukupi dan sesuai dengan kebutuhan, tidak berlebihan dan tidak kurang. Karena termasuk sifat hamba-hamba Allah  yang bertakwa adalah mereka selalu mengatur pengeluaran harta mereka agar tidak terlalu boros adan tidak juga kikir. Allah  berfirman:
“Dan (hamba-hamba Allah yang beriman adalah) orang-orang yang apabila mereka membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan mereka) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS al-Furqaan:67).

Artinya: mereka tidak mubazir (berlebihan) dalam membelanjakan harta sehingga melebihi kebutuhan, dan (bersamaan dengan itu) mereka juga tidak kikir terhadap keluarga mereka sehingga kurang dalam (menunaikan) hak-hak mereka dan tidak mencukupi (keperluan) mereka, tetapi mereka (bersikap) adil (seimbang) dan moderat (dalam pengeluaran), dan sebaik-baik perkara adalah yang moderat (pertengahan). [ Kitab “Tafsir Ibnu Katsir].

Ini semua mereka lakukan bukan karena cinta yang berlebihan kepada harta, tapi kerena mereka takut akan pertanggungjawaban harta tersebut di hadapan Allah  di hari kiamat kelak. Rasulullah  bersabda: “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya.” [ HR at-Tirmidzi (no. 2417].

3. Memperhatikan pendidikan agama bagi keluarga
Ini adalah kewajiban utama seorang kepala rumah tangga terhadap anggota keluarganya. Allah  berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (QS at-Tahriim:6).

Ali bin Abi Thalib , ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata: “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu sendiri dan keluargamu”[ Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” 2/535].

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya.”[Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 640].

Dalam sebuah hadits shahih, ketika shahabat yang mulia, Malik bin al-Huwairits  dan kaumnya mengunjungi Rasulullah  selama dua puluh hari untuk mempelajari al-Qur-an dan sunnah beliau , kemudian Rasulullah  bersabda kepada mereka: “Pulanglah kepada keluargamu, tinggallah bersama mereka dan ajarkanlah (petunjuk Allah ) kepada mereka.” [HR al-Bukhari no. 602].

4. Pembimbing dan motivator
Seorang kepala keluarga adalah pemimpin dalam rumah tangganya, ini berarti dialah yang bertanggung jawab atas semua kebaikan dan keburukan dalam rumah tangganya dan dialah yang punya kekuasaan, dengan izin Allah, untuk membimbing dan memotivasi anggota keluarganya dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah.

Rasulullah bersabda: “Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya, seorang suami adalah pemimpin (keluarganya) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang mereka.” [HR al-Bukhari no. 2278 dan Muslim no. 1829].

Rasulullah mencontohkan sebaik-baik teladan sebagai pembimbing dan motivator. Dalam banyak hadits yang shahih, beliau  selalu memberikan bimbingan yang baik kepada orang-orang yang berbuat salah, sampaipun kepada anak yang masih kecil.

Beliau  pernah melihat seorang anak kecil yang berlaku kurang sopan ketika makan, maka beliau  menegur dan membimbing anak tersebut, beliau  bersabda: “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (ketika hendak makan), makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah (makanan) yang ada di depanmu”[ HSR al-Bukhari no. 5061 dan Muslim no. 2022].

Dalam hadits lain, Rasulullah  pernah melarang cucu beliau , Hasan bin ‘Ali  memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan masih kecil, Rasulullah bersabda: “Hekh hekh” agar Hasan membuang kurma tersebut, kemudian beliau  bersabda: “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah  dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?” [ HSR al-Bukhari no. 1420 dan Muslim no. 1069].

Imam Ibnu Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut.

Memotivasi anggota keluarga dalam kebaikan juga dilakukan dengan mencontohkan dan mengajak anggota keluarga mengerjakan amal-amal kebaikan yang disyariatkan dalam Islam.

Rasulullah  bersabda: “Semoga Allah merahmati seorang laki-laki yang bangun di malam hari lalu dia melaksanakan shalat (malam), kemudian dia membangunkan istrinya, kalau istrinya enggan maka dia akan memercikkan air pada wajahnya.” [HR Abu Dawud no. 1308 dan Ibnu Majah no. 1336].

Teladan baik yang dicontohkan seorang kepala keluarga kepada anggota keluarganya merupakan sebab, setelah taufik dari Allah untuk memudahkan mereka menerima nasehat dan bimbingannya. Sebaliknya, contoh buruk yang ditampilkannya merupakan sebab besar jatuhnya wibawanya di mata mereka.

Imam Ibnul Jauzi membawakan sebuah ucapan seorang ulama salaf yang terkenal, Ibrahim al-Harbi [wafat 285 H]. Dari Muqatil bin Muhammad al-’Ataki, beliau berkata: Aku pernah hadir bersama ayah dan saudaraku menemui Abu Ishak Ibrahim al-Harbi, maka beliau bertanya kepada ayahku: “Mereka ini anak-anakmu?”. Ayahku menjawab: “Iya”. (Maka) beliau berkata (kepada ayahku): “Hati-hatilah! Jangan sampai mereka melihatmu melanggar larangan Allah, sehingga (wibawamu) jatuh di mata mereka.”[ Kitab “Shifatush shafwah” 2/409].

5. Bersikap baik dan sabar dalam menghadapi perlakuan buruk anggota keluarganya
Seorang pemimpin keluarga yang bijak tentu mampu memaklumi kekurangan dan kelemahan yang ada pada anggota keluarganya, kemudian bersabar dalam menghadapi dan meluruskannya.

Ini termasuk pergaulan baik terhadap keluarga yang diperintahkan dalam firman Allah :
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS an-Nisaa’: 19).

Rasulullah bersabda: “Berwasiatlah untuk berbuat baik kepada kaum wanita, karena sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk (yang bengkok), dan bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atas, maka jika kamu meluruskannya (berarti) kamu mematahkannya, dan kalau kamu membiarkannya maka dia akan terus bengkok, maka berwasiatlah (untuk berbuat baik) kepada kaum wanita.” [HR al-Bukhari no. 3153 dan Muslim no. 1468].

Seorang istri bagaimanapun baik sifat asalnya, tetap saja dia adalah seorang perempuan yang lemah dan asalnya susah untuk diluruskan, karena diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, ditambah lagi dengan kekurangan pada akalnya. Rasulullah  bersabda:
Sesungguhnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk (yang bengkok), (sehingga) dia tidak bisa terus-menerus (dalam keadaan) lurus jalan (hidup)nya.” [ HR Muslim no. 1468].

Dalam hadits lain Rasulullah  menyifati perempuan sebagai:
Orang-orang yang kurang (lemah) akal dan agamanya.” [HR al-Bukhari no. 298 dan Muslim no. 132].

Maka seorang istri yang demikian keadaannya tentu sangat membutuhkan bimbingan dan pengarahan dari seorang laki-laki yang memiliki akal, kekuatan, kesabaran, dan keteguhan pendirian yang melebihi perempuan. Oleh karena itulah, Allah  menjadikan kaum laki-laki sebagai pemimpin dan penegak urusan kaum perempuan.

Seorang laki-laki yang beriman tentu akan selalu menggunakan pertimbangan akal sehatnya ketika menghadapi perlakuan kurang baik dari orang lain, untuk kemudian dia berusaha menasehati dan meluruskannya dengan cara yang baik dan bijak, terlebih lagi jika orang tersebut adalah orang yang terdekat dengannya, yaitu istri dan anak-anaknya. Rasulullah  bersabda: “Janganlah seorang lelaki beriman membenci seorang wanita beriman, kalau dia tidak menyukai satu akhlaknya, maka dia akan meridhai/menyukai akhlaknya yang lain.” [HR Muslim no. 1469].

6. Selalu mendoakan kebaikan bagi anak dan istrinya
Termasuk sifat hamba-hamba Allah  yang beriman adalah selalu mendoakan kebaikan bagi dirinya dan anggota keluarganya. Allah  berfirman:
“Dan orang-orang yang berkata: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami imam (panutan) bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS al-Furqaan: 74).

Dalam hadits yang shahih, ketika Rasulullah  menjelaskan tentang kewajiban seorang suami terhadap istrinya, diantaranya: “Dan tidak mendokan keburukan baginya.” [HR Abu Dawud no. 2142].

Maka kepala keluarga yang ideal tentu akan selalu mengusahakan dan mendoakan kebaikan bagi anggota keluarganya, istri dan anak-anaknya, bahkan inilah yang menjadi sebab terhiburnya hatinya, yaitu ketika menyaksikan orang-orang yang dicintainya selalu menunaikan ketaatan kepada Allah.

Penutup

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi orang-orang yang beriman, khusunya para kepala keluarga, untuk menghiasi dirinya dengan akhlak yang terpuji ini, untuk menjadikan mereka meraih kemuliaan dan kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat bersama anggota keluarga mereka, dengan taufik dari Allah.

Kota Kendari, 9 Rajab 1434 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni


Apa itu ad-Dayyuts?

Pernah dengar istilah 'Suami takut istri'?

Ternyata kumpulan 'suami takut istri' tidak hanya ada di sinetron, tapi juga di kehidupan nyata banyak sekali suami tipe seperti ini. Ada suami yang malah tunduk pada instruksi dan arahan si istri.

Akibatnya dia tak berani melarang ketika istrinya bermaksiat.
Misalnya dia membiarkan istrinya bergaul bebas dengan teman lelakinya, membiarkannya keluar rumah tanpa berjilbab dan bentuk pelanggaran syari’at lainnya.

Sungguh tak layak suami berperilaku dan bermental seperti ini. Karena Allah telah menetapkannya sebagai pemimpin dalam rumah tangganya; pemimpin atas anak dan istrinya. Dan kelak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.

Rasululah bersabda: "Setiap kalian ra'in (penanggung jawab) dan masing-masing akan ditanya tentang tanggungjawabnya. Penguasa adalah penanggung jawab atas rakyatnya, dan akan ditanya tentangnya. Suami menjadi penanggung jawab dalam keluarganya, dan akan ditanya tentangnya." (Muttafaq 'Alaih)

Makna ra’in adalah seorang penjaga, yang diberi amanah, yang haris memegangi perkara yang dpt membaikkan amanah yang ada dalam penjagaannya. Ia dituntut untuk berlaku adil dan menunaikan perkara yang dapat memberi maslahat bagi apa yang diamanahkan kepadanya.

Sabda Rasul, “Ada 3 gol yang tidak akan dilihat oleh Allah pada hari kiamat nanti, yaitu orang yang durhaka kepada kedua orangtuanya, perempuan yang menyerupai laki-laki, dan AD-DAYYUTS.” (HR. An-Nasa’i dan lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani).

Makna ad-dayyuts adalah seorang suami atau ayah yang membiarkan kemaksiatan terjadi dalam keluarganya. Yaitu ketika dia melihat kemungkaran oleh anggota keluarganya, dia hanya diam saja dan tidak merubahnya. Lawannya adalah al-ghayyur, yaitu orang yang memiliki kecemburuan besar terhadap keluarganya sehingga dia tidak membiarkan mereka berbuat maksiat.

Imam Ad-Dzahabi dalam kitabnya, Al Kabair (kumpulan dosa-dosa besar) menempatkan perilaku diyatsah/ DAYYUTS dalam urutan dosa besar ke-34. Beliau mengatakan dalam bab liwath, "Jika dia mengetahui istrinya telah berselingkuh (berzina) dan dia hanya diam saja (membiarkannya), maka Allah telah haramkan surga atasnya karena Allah telah menulis di pintu surga: 'Kamu haram dimasuki seorang dayyuts'. Yaitu orang yang mengetahui perbuatan buruk (zina) pada istrinya, tapi dia diam saja dan tidak cemburu."

Seorang suami yang dayyuts akan menyebabkan rusaknya agama dan akhlak anggota keluarga. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan dampak buruk perbuatan maksiat diantaranya ad-dayyuts yang timbul karena hilangnya sifat ghiirah. Ghiirah adalah cemburu dan marah ketika syariat Allah dilanggar. Beliau berkata, "Oleh karena itulah, ad-dayyuts adalah makhluk Allah yang paling buruk dan diharamkan masuk surga."

Beliau melanjutkan, "Ini semua menunjukkan bahwa asal pokok agama seseorang adalah sifat ghiirah (kecemburuan). Barangsiapa yang tidak memiliki sifat ghiirah maka berarti dia tidak memiliki agama (iman). Karena sifat ghiirah inilah yang akan menghidupkan hati (manusia) yang kemudian akan menghidupkan anggota tubuhnya, sehingga anggota tubuhnya akan menolak perbuatan buruk dan keji. Sebaliknya, hilangnya sifat ghiirah akan mematikan hatinya, yang kemudian akan mematikan kebaikan anggota tubuhnya, sehingga sama sekali tak ada penolakan terhadap keburukan dalam dirinya.“ (kitab Ad-Da-u wad Dawaa’, hal. 84).

Ad-Dayyuts akan membiarkan keburukan pada agama istri dan anak-anaknya. Yaitu dengan membiarkan atau menuruti kemauan mereka dalam perkara yang bertentangan dengan syari’at. Ini berarti menjerumuskan mereka ke dalam jurang kehancuran. Seorang istri, bagaimanapun baik sifat asalnya, tetap saja dia seorang perempuan yang lemah dan butuh diluruskan. Maka seseorang yang keadaannya seperti ini tentu sangat membutuhkan bimbingan dan pengarahan dari seorang laki-laki yang memiliki akal, kekuatan, kesabaran dan kasih sayang.

Karena itu, jangan pernah bosan menasihati istrimu. “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahariim: 6) Sebagai ayah juga jangan membiarkan anak gadisnya pergi berdua saja dengan laki-laki yang bukan mahram, membiarkan anak gadisnya keluar rumah tanpa berhijab. Atau membiarkan anak laki-lakinya bermaksiat.

Semoga kita semua terhindar dari sifat ad-Dayyuts!

Agar Tidak Menjadi Debu

Sesungguhnya kemuliaan diri tidak terletak pada kesombongan dan tidaklah sama dengan kehinaan. Kemuliaan adalah cahaya dan terletak di kutub yang lain, sedangkan kehinaan adalah kegelapan dan terletak di kutub yang lainnya lagi.

Menghindari kesombongan bukan berarti rendah diri. Karena rendah diri kepada sesama manusia adalah kehinaan. Menghindari kesombongan adalah rendah hati, beribadah hanya karena-Nya dan mau menerima kebenaran dari mana pun datangnya.

Tidak ada orang yang menghindari kesombongan kemudian menjadi hina. Sekalipun orang itu tidak dikenal di masanya, tetapi karena akhlaknya yang mulia dan beramal dengan ikhlas, Allah mematri namanya di hati dan pikiran generasi selanjutnya. Tidak terasa ratusan tahun kemudian namanya banyak disebut orang, nasihat-nasihatnya didengar dan diamalkan, akhlaknya menjadi contoh teladan. Inilah makna firman Allah, “Dan kesudahan yang baik bagi orang-orang bertakwa.” (QS al-Qashash [28]: 83).

Abu Dzar Ra. berkata, “Ada orang yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang orang yang mengerjakan suatu amal dari kebaikan dan orang-orang memujinya?” Beliau menjawab, “Itu merupakan kabar gembira bagi orang mukmin yang diberikan lebih dahulu di dunia.” (HR. Muslim).

Said bin Jubair walaupun bertahun-tahun dipenjara dan akhirnya dihukum mati, kepalanya dipenggal oleh seorang algojo, namun ulama dan kaum muslimin mencintainya dan mendoakannya karena dia adalah syuhada, pembela yang haq, dan penegak keadilan yang tak takut mati.

Ibnu Taimiyah mati di dalam penjara, namun kebaikan-kebaikannya terasa hingga kini. Dia dikenal sebagai ulama pembela as-Sunnah, panglima perang di medan jihad, dan seorang penulis yang tiada duanya. Kitabnya berjilid-jilid tebalnya, kandungannya sangatlah berharga, dan menjadi rujukan banyak ulama.

Hasan al-Banna mati ditembak, yang mengubur jenazahnya hanya empat orang; ayahnya, istrinya, anaknya, dan seorang nasrani. Hal itu terjadi karena seluruh pengikutnya dijebloskan ke dalam penjara dan para ulama tidak ada yang diberitahu tentang kewafatannya. Dia kini dikenal sebagai salah satu tokoh terkemuka, mujahid, ulama shalih, da’i, murabi, dan pendiri jamaah Islam terbesar di dunia.

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim [14]: 24-25).

Sedangkan bagi orang-orang yang menyombongkan diri dan zhalim, sekalipun terkenal di masanya, kaya hartanya, tinggi kedudukannya, luas kekuasaannya, namun di masa kemudian hanya menjadi buah hinaan dan kutukan.

Al-Hajjaj seorang pejabat di masa kekhalifahan Umayah, dikenal karena kesadisannya, kekejamannya, pembunuh para ulama shalih, termasuk di dalamnya Said bin Jubair. Sekalipun kekayaannya banyak, kedudukan dan pangkatnya tinggi, namun ia hina di sisi Allah dan kaum muslimin yang mencintai kebaikan. Akhirnya ia mati dalam keadaan mengenaskan, tubuhnya dipenuhi bisul yang apabila muncul rasa sakit darinya, terdengar suara yang keras dari mulutnya seperti banteng yang meregang nyawa.

Ahmad bin Du’ad, seorang tokoh Mu’tazilah, ikut andil menyiksa Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad pun mendoakan kebinasaannya, maka Allah menimpakan padanya suatu penyakit yang membuatnya sering mengatakan, “Adapun separoh tubuhku ini apabila dihinggapi oleh seekor lalat, kurasakan sakit yang bukan kepalang hingga seakan-akan dunia ini kiamat. Sedang separoh tubuhku yang lain andaikata digerogoti dengan catut sekalipun, niscaya aku tidak merasakannya.”

Sultan yang memenjarakan Ibnu Taimiyah akhirnya turun tahta, ulama-ulama pembisiknya akhirnya tidak dihormati masyarakat. Ulama-ulama su’ (buruk) itu tidak dikenal kecuali hanya namanya, dan itupun hanya orang-orang tertentu saja. Tapi Ibnu Taimiyah dikenal sepanjang masa dan ulama-ulama serta kaum muslimin mengagumi dan meneladani sikapnya.

Raja Faruq, pembunuh Hasan al-Banna, akhirnya turun tahta setelah beberapa tahun kematian Hasan al-Banna. Dulunya dihormati, kini dicaci maki dan hanya bagian dari sampah sejarah Mesir yang tak berguna. Pejabat-pejabat Mesir yang banyak menyiksa dan memasukkan aktivis ikhwanul muslimin ke penjara, seperti Gamal Abdul Naser dan Hamzah Basyuni mati secara mengenaskan. Yang pertama selalu dihantui ketakutan sebelum matinya, sedangkan yang kedua mati ditabrak truk penuh dengan besi sehingga tubuhnya tercabik-cabik tak karuan.

“Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim [14]: 26-27).

Seberapa kayanya Anda, kelak ketika mati harta itu tidak akan dibawa ke alam kubur. Seberapa pintarnya Anda, sangat mudah bagi Allah memberi satu penyakit yang menjadikan seluruh ilmu yang Anda miliki hilang. Sekuat apa pun Anda, sesungguhnya Anda tidak lebih kuat dari rumput yang sering diinjak-injak orang.

Jadilah batu mulia, jangan jadi debu. Batu mulia mahal harganya dan sangat indah bila dipandang mata. Sedangkan debu, menempel di baju, menjadi kotor. Di mana pun ia menempel, sesuatu itu menjadi kotor. Batu mulia tersembunyi di dalam tanah, sangat sulit mencarinya. Kalaupun bisa, ia diambil dengan menggunakan alat khusus. Jika sudah diketahui ada di suatu tempat, beramai-ramai orang ke sana mencarinya.

Sedangkan debu, terlihat di depan mata, bahkan bisa membuat mata sakit, bisa membuat orang alergi. Orang-orang berusaha sebisa mungkin menghindari debu. Amal yang dilakukan bukan karena Allah – di dalam al-Quran – diibaratkan “batu licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak berdebu)”. (QS. al-Baqarah [2]: 264). Begitulah amal orang-orang yang sombong, tidak mendapatkan apa-apa selain hanya gerakan-gerakan yang melelahkan. - Chandra Kurniawan -

Perkara Yang Dapat Merusak Amal-Amal Baik


1. Al istighlal bi’uyubil kholqi (sibuk dengan aib orang lain) sehingga lupa pada aib sendiri. Semut di seberang kelihatan sedang gajah di pelupuk mata tidak kelihatan.

2. Qaswatul qulub (hati yang keras) kerasnya hati terkadang lebih keras dari batu karang. Sulit menerima nasihat.

3. Hubbun dunya (cinta mati terhadap dunia) merasa hidupnya hanya di dunia saja maka segala aktifitasnya tertuju pada kenikmatan dunia sehingga lupa akan hari esok di akhirat.

4. Qillatul haya’(sedikit rasa malunya) jika seseorang telah kehilangan rasa malu maka akan melakukan apa saja tanpa takut dosa.

5. Thulul amal (panjang angan-angan) merasa hidupnya masih lama di dunia ini sehingga enggan untuk taubat.

6. Dhulmun la yantahi (kezaliman yang tak pernah berhenti) perbuatan maksiat itu biasanya membuat kecanduan bagi pelakunya jika tidak segera taubat dan berhenti maka sulit untuk meninggalkan kemaksiatan.