Miskin karena Bersedekah?

Tidak ada alasan bagi orang beriman untuk enggan bersedekah. Sebab, kendati terasa berat, bersedekah merupakan ciri paling kentara dari keimanan yang sesungguhnya. Untuk bersedekah, seseorang harus mampu mengalahkan perasaan memiliki karena mengikhlaskan sebagian rezekinya untuk pihak lain. Jika tidak karena adanya keyakinan yang mantap atau harapan keuntungan yang kekal di akhirat kelak, sungguh seseorang akan enggan bersedekah.

Berbeda dengan amalan lain sebagai ciri keimanan seperti shalat dan puasa. Pada kedua amalan yang lebih bersifat individual ini tidak perlu ada rasa bekorban kepemilikan, cukup dengan bekorban waktu selain kemauan. Untuk bersedekah ini sungguh terasakan lebih berat sehingga akan lebih jarang diamalkan dibandingkan dengan shalat dan puasa. Oleh karena itu, sekalipun seseorang sudah menjalankan shalat dan puasa tetap perlu dipertanyakan keimanannya jika yang bersangkutan masih tetap enggan bersedekah.

Dalam sejarah Islam kita kenal Fatimah Az-Zahra ra yang ikhlas bersedekah seuntai kalung warisan kepada musafir yang kehabisan bekal dan tiga hari tidak makan karena tidak ada lagi barang yang layak dijual. Dengan kalung tadi si musafir menjadi cukup bekal setelah menjualnya kepada Abdurrahman bin Auf ra.

Tetapi, begitu mengetahui keikhlasan Fatimah dalam bersedekah, segera Abdurrahman menghadiahkan kalung tadi kepada Nabi saw, ayahanda Fatimah, pemilik awalnya. Bisa ditebak, akhirnya kalung itu pun kembali ke tangan Fatimah setelah melewati tiga orang sebagai hadiah dan tercatat sebagai amalan sedekah.

Sungguh, bersedekah secara ikhlas akan mendapatkan ganti. Ini tidak saja ada dalam tarikh terdahulu. Dalam kehidupan nyata di lingkungan kita pun demikian halnya. Orang yang banyak bersedekah justru rezekinya melimpah, kehormatannya tinggi, dan harta kepemilikannya diakui bahkan dijaga keselamatannya oleh orang lain.

Agaknya belum pernah tercatat orang yang banyak bersedekah berakibat miskin. Sungguh dengan bersedekah kekayaannya bertambah, berlipat. Ibarat orang mendapat mangga, maka yang dimakan cukup dagingnya sedangkan bijinya harus disisihkan, ditanam hingga kelak akan menjadi pohon yang berlipat-lipat buahnya.

Untuk bersedekah, tidak ada ketentuan jenis barangnya (QS 2:267), tidak juga ditentukan jumlahnya (QS 3:134), tidak pula sasaran penggunaannya (QS 2:215). Artinya, benar-benar terserah sesuai kondisi orangnya. Itu jika bersedekah harta. Bagaimana jika kita kekurangan harta benda?

Hadis Nabi riwayat Bukhari-Muslim menyebutkan bahwa bisa juga bersedekah tanpa materi. Berzikir, berdakwah, mendamaikan perseteruan, berkata yang baik, membuang duri dari jalanan, membawakan beban orang lain, bahkan tersenyum pun bisa bermakna sedekah. Masihkah kita enggan bersedekah setelah kita mengaku beriman? Wallahu a'lam bish shawab.

Sabar dan Tawakal

Sabar dan tawakal kadang kala terlalu mudah diucapkan, tetapi sulit merealisasikannya dalam praktik kehidupan sehari-hari. Akhirnya, sabar dan tawakal hanya menjadi slogan dan jargon semata, minus aplikasi yang sesungguhnya. Bersabar merupakan sifat khas kaum beriman sejati di samping bersyukur sebagaimana disebutkan dalam suatu hadis Nabi yang berbunyi, "Betapa unik sikap orang yang beriman. Semua yang terjadi pada dirinya dianggap baik. Tidak ada sikap seperti itu, kecuali pada orang yang beriman. Jika memperoleh kemudahan dia bersyukur, hal itu dianggap baik bagi dirinya. Dan, jika ditimpa kesulitan ia bersabar, hal itu dianggap baik bagi dirinya."

Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah SAW senantiasa mengajarkan orang yang terkena musibah dengan sikap yang paling bermanfaat bagi dirinya, yaitu bersa bar dan introspeksi diri (al-ihtisab), dengan memberikan alasan bahwa sabar dan introspeksi diri akan dapat meringankan musibah dan memperbanyak pahala. Rasulullah juga menegaskan bahwa banyak mengeluh, kesal, dan marah akan menambah beban musibah dan menghilangkan pahala. Rasulullah menjelaskan bahwa tidak ada anugerah Allah yang lebih baik dan lebih luas bagi hamba-hamba-Nya dibandingkan kesabaran. Karena Allah SWT benar-benar mencintai orang-orang yang bersabar. (QS Ali Imran [3]: 146).

Kesabaran tidaklah muncul dengan sendirinya, tetapi ia harus diusahakan dan dibiasakan agar menjadi sifat utama diri. Di sinilah dibutuhkan pengorbanan melawan keinginan hati dan perjuangan menahan nafsu diri.

Yakinlah, dengan bekal kesabaran, dipastikan seluruh persoalan akan selesai dengan cara terbaik. Allah SWT berfirman, "Sungguh Aku memberi balasan kepada mereka pada hari ini karena kesabaran mereka. Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang." (QS Al Mu'minun: 111).

Sementara itu, tawakal merupakan pelengkap sejati sifat sabar. Tawakal merupakan kerja hati memasrahkan seluruh ujian dan cobaan kepada kehendak-Nya. Menurut Basyar al-Hafi dan Yahya bin Muaz, tawakal berkaitan erat dengan keridaan kita menjadikan Allah sebagai pelindung dalam kehidupan.

Kehadiran tawakal dalam diri akan menghadirkan kemudahan mengatasi persoalan. Karena kita benar-benar mengharap pertolongan dan kemudahan hanya dari Allah SWT Yang Mahakuasa dan Maha Penolong. Bila kombinasi kesabaran dan tawakal senantiasa hadir dalam diri dan jiwa setiap manusia, kemudahan dan kesuksesan akan menjadi capaian terbaiknya. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang sabar dan tawakal. Amin…

Keutamaan Ibadah Haji

Haji adalah ibadah yang amat mulia. Ibadah tersebut adalah bagian dari rukun Islam bagi orang yang mampu menunaikannya. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan bagi kaum muslim yang mampu secara material, fisik, maupun keilmuan dengan berkunjung ke beberapa tem-pat di Jazirah Arab dan melaksanakan beberapa kegiatan pada satu waktu yang telah ditentukan yaitu pada bulan Dzulhijjah.

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu orang yang sang-gup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semesta alam. (QS Al Imron 03: 96-97)

Pengertian haji secara bahasa berarti kunjungan, ziarah dan juga perjalanan (Al Qasdu), sedangkan Haji menurut syara’ berarti Perjalanan menuju Baitul Haram dengan amal-amal yang khusus, tempat-tempat tertentu yang dimaksud adalah selain Ka’bah dan Mas’a (tempat sa’i), juga Padang Arafah (tempat wukuf), Muzdalifah (tempat mabit), dan Mina (tempat melontar jumroh) yang merupakan tempat-tempat penting dalam Ibadah Haji.

Keutamaan haji banyak disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Berikut beberapa di antaranya:

Pertama: Haji merupakan amalan yang paling afdhol.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Amalan apa yang paling afdhol?” Beliau menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1519)

Kedua: Jika ibadah haji tidak ber-campur dengan dosa (syirik dan maksiat), maka balasannya adalah surga.
“Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349).

Imam An Nawawi rahimahullah men-jelaskan, “Yang dimaksud, ‘tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga’, bahwasanya haji mabrur tidak cukup jika pelakunya dihapuskan se-bagian kesalahannya. Bahkan ia me-mang pantas untuk masuk surga.” (Shahih Muslim, 9/119)

Ketiga: Haji termasuk jihad fii sabi-lillah (jihad di jalan Allah).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Wahai Rasulullah, kami me-mandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1520)

Keempat: Haji akan menghapuskan kesalahaan dan dosa-dosa.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibu-nya.” (HR. Bukhari no. 1521).

Kelima: Haji akan menghilangkan kefakiran dan dosa.
Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah bersabda, “Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaima-na pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Sementara tidak ada pahala bagi haji yang mabrur kecuali surga.” (HR. An Nasai no. 2631, Tirmidzi no. 810, Ahmad 1/387. Kata Syaikh Al Albani hadits ini hasan shahih)

Keenam: Orang yang berhaji adalah tamu Allah.
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, be-liau bersabda, “Orang yang berpe-rang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Beberapa hikmah haji diantaranya:
Membersihkan dosa. Manusia tidak pernah akan terlepas dari dosa, lupa dan khilaf. Ibadah haji ini salah satu syariat agama dalam rangka membersihkan dosa. Mengerjakan ibadah haji merupakan kesempatan untuk bertaubat dan meminta ampun kepada Allah. Terdapat bebe-rapa tempat dalam mengerjakan ibadah haji itu merupakan tempat yang mustajab untuk berdoa dan bertaubat.

Meningkatkan dan meneguhkan keimanan. Pada saat haji, seluruh umat Islam di dunia berkumpul untuk satu tujuan yaitu menjalankan salah satu rukun Islam dan beribadah mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dengan satu tujuan maka hal tersebut akan meningkatkan keimanan kita.

Belajar akan Sejarah dan Meneladaninya. Tanah suci Mekah adalah lembah yang menyimpan berbagai rentetan peristiwa-peristiwa bersejarah dalam agama Islam. Di antaranya sejarah nabi-nabi dan rasul, para sahabat Rasulullah, para tabiin, tabi’ut tabiin dan salafus saleh yang mengiringi mereka. Peristiwa tersebut bisa dijadikan iktibar atau pengajaran untuk membangun jiwa seseorang. Contoh peristiwa sejarah ibadah haji dan asal muasal ibadah haji, pelajaran dari ibadah haji diantarnya yaitu : Pertemuan antara Nabi Adam a.s. dan Siti Hawa di Padang Arafah. Siti Hajar dan Nabi Ismail a.s. ditinggalkan di tengah padang pasir yang kering kerontang di antara Bukit Safa dan Marwah. Pengor-banan Nabi Ibrahim a.s. menyem-belih Nabi Ismail a.s. sebagi menurut perintah Allah. Nabi Ismail a.s. dan Nabi Ibrahim a.s. mendirikan Ka’bah. Lahirnya seorang anak yatim yang miskin dan serba kekurangan. Tidak tahu membaca dan menulis, tetapi mempunyai akhlak yang terpuji hingga mendapat gelaran Al-Amin. Medan Badar dan Uhud mengingati seseorang kepada kegigihan Rasulullah dan para sahabat menegakkan agama Allah.

Begitu besar dan begitu mulia ibadah haji ini tentunya bagi yang mampu dan semoga pula para jamaah haji mendapatkan pahala dan ganjaran haji yang mabrur.
Semoga kita pun termasuk orang-orang yang dimudahkan oleh Allah untuk menjadi tamu-Nya di rumah-Nya. Semoga kita dapat memper-siapkan ibadah tersebut dengan kematangan, fisik yang kuat, dan rizki yang halal.

Semoga Allah mengaruniakan kita haji yang mabrur yang tidak ada balasannya selain surga.

Perlakukanlah Anak Dengan Lembut

Banyak kita dengar kasus-kasus kekerasan terhadap anak, tak jarang sampai sang anak harus menderita cacat permanen atau bahkan malah sampai meninggal. Yang semua terjadi karena sikap emosi dan ketidaksabaran. Padahal, tubuh mungil itu seharusnya mendapatkan belaian kasih sayang. Karena kewajiban bagi orang tua untuk memberikan bimbingan bagi anak, sebagai implementasi amanah yang dibebankan kepada orang tua. Meski saat menghadapi sang anak, tak mustahil orang tua merasa kewalahan karena perilaku yang tidak menyenangkan dari si anak. Begitulah, anak yang merupakan amanah.

Sebagai konsekuensi dari amanah, orang tua dituntut untuk memberikan perhatian, mencurahkannya kepada sang buah hati dengan penuh kesungguhan. Baik yang berbentuk material maupun psikis. Orang tua harus mempunyai kewajiban memberi bimbingan demi kebaikan dan keselamatan anak. Secara implisit, di dalam al Qur`an surat Tahrim ayat 6, Allah telah mengingatkan pentingnya hal ini.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” [at Tahrim : 6].

KASIH-SAYANG MERUPAKAN PRINSIP ISLAM

Sifat rahmat dalam agama kita cakupannya meliputi dunia dan akhirat, manusia, hewan, bangsa burung dan lingkungan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan rahmatku meliputi sagala sesuatu.” [al A’raf : 156].
Dalam ayat di atas, Allah menyifati diriNya dengan sifat rahmat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam“. [al Anbiya’ : 107]
Allah ta’ala memerintahkan (kaum Muslimin) bersikap kasih-sayang dalam segala hal dan tindakan. Semakin lemah seorang makhluk (manusia), maka curahan kasih dan sayang padanya mesti lebih besar, dan kelembutan kepadanya lebih dituntut lagi. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang menghardik anak yatim dan berbuat jahat kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan adapun terhadap anak yatim, maka janganlah engkau bertindak sewenang-wenang“. [adh Dhuha:9].

Cerminan implementasi kasih-sayang ini telah dicontohkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau mencela orang yang tidak mempunyai rasa kasih-sayang pada anak-anaknya.

Imam al Bukhari menuliskan sebuah judul, bab rahmatu al waladi wa taqbilihi wa mu’anaqatihi, (bab kasih-sayang pada anak, menciumi dan memeluknya). Dalam bab ini, Imam al Bukhari membawakan sebuah hadits yang menceritakan, bahwa suatu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kedatangan seorang sahabat yang bernama Aqra’ bin Habis. Ia melihat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang mencium al Hasan (cucunya). Maka ia berkomentar: “Aku mempunyai sepuluh orang anak, (namun) aku tidak pernah mencium satu pun dari mereka,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa tidak menyayangi, maka tidak disayangi”.[Hadits Shahih al Bukhari]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencurahkan perhatian ekstra terhadap anak-anak, wanita dan orang tua renta, atau orang yang belum tahu (jahil).
Sebagai contoh, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencaci-maki orang badui yang kencing di masjid, juga tidak memukulnya. Sebab orang tersebut belum mengetahui hukum dan kondisi. Oleh karena itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersikap kasar kepadanya, justru melarang sebagian sahabat yang berniat untuk menghentikan polahnya yang tidak terpuji di masjid. [Hadits Riwayat Muslim]

Demikian juga, saat mengomentari kesalahan sahabat Mu’awiyah bin Hakam as Sulami yang mendoakan orang yang bersin di tengah shalat. Usai shalat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menasihati : “Ini adalah shalat, tidak pantas di dalamnya diucapkan omongan-omongan dengan orang. (Yang dikerjakan) hanya mengucapkan tasbih, takbir dan membaca al Qur`an”.
Begitu melihat lembutnya teguran Nabi, maka ia pun berkata : “Aku tebus engkau dengan ayah dan ibuku. Aku tidak pernah melihat pendidik sebelum dan sesudah itu yang lebih baik cara mendidiknya dibandingkan beliau. Beliau tidak menghardikku, tidak memukulku, (juga) tidak mencaci makiku”. [ Hadits Riwayat Muslim]

Itulah karakter yang mendominasi pribadi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjadi uswah (teladan) bagi seorang guru, pendidik ataupun orang tua. Sifat kelembutan dan kasih-sayang menjadi simbol, apalagi kepada anak-anak.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan sungguh pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) orang yang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan mengingat Allah dengan banyak”. [QS. al Ahzab : 21].

Apabila rasa cinta, kasih sayang orang tua (dan pendidik) kurang tercurahkan pada diri anak-anak, tak mustahil sang anak akan tumbuh sebagai pribadi yang berperi laku aneh di tengah komunitasnya, yaitu kawan-kawannya. Misalnya tidak pandai berinteraksi dengan orang luar, kurang memiliki kepercayaan diri, kurang memiliki kepekaan social, tidak mampu menumbuhkan semangat gotong-royong ataupun pengorbanan. Kelak, kadang-kadang ia tidak bisa menjadi seorang ayah yang penyayang, atau pasangan yang baik interaksinya, juga tidak bisa berperan sebagai tetangga yang enggan mengganggu tetangganya, dan efek negatif lainnya. Sebab itu, merupakan kewajiban bagi orang tua untuk memenuhi kebutuhan cinta dan kasih kepada anak-anaknya.

KEZHALIMAN AKAN MENDAPAT BALASAN

Islam memberlakukan juga cara mendidik anak dengan sanksi (iqab). Namun bentuk-bentuk sanksi itu merupakan pilihan terakhir, dan harus sesuai dengan rambu-rambu yang telah digariskan Islam. Orang tua (setiap muslim) tidak boleh bertindak aniaya kepada siapa saja, apalagi menjadikan anak-anak sebagai obyek pelampiasan kemarahan, kompensasi dari stress ataupun kejengkelan yang sedang menyelimuti kepala orang tua. Menghukum orang dewasa yang tidak bersalah saja dilarang keras oleh Islam, apalagi menghukum anak-anak yang masih kecil yang tidak berdosa dan tidak berbuat salah.
Tindakan semena-mena yang dilakukan oleh oknum orang tua, ibu atau ayah, baik yang bersifat fisik, emosi ataupun psikis, tetap saja termasuk dalam kategori kezhaliman, yang akan dimintai tanggung jawabnya kelak di Akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Maka, demi Rabb-mu, Kami pasti akan menanyai mereka semua”. [al Hijr : 92].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan di dalam hadits hasan riwayat an Nasa-i : “Sesungguhnya Allah akan menanyakan setiap penggembala (setiap orang yang diamanahi dengan tanggung jawab) tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya, apakah ia memeliharanya atau menyia-nyiakannya?”

Abu Mas’ud al Badri Radhiyallahu ‘anhu pernah mengisahkan:
“Aku pernah memukul budak lelakiku. Kemudian aku mendengar suara dari belakang yang berbunyi : “Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud,” aku tidak memahami suara itu karena larut dalam emosi. Tatkala orang itu mendekat, ternyata adalah Rasulullah. Beliau berkata : “Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud. Sesungguhnya Allah lebih kuasa menghukummu daripada dirimu terhadap budak lelaki itu”. Ia kemudian berkata : “Setelah itu, aku tidak pernah memukul seorang budak pun”. Dalam riwayat lain : “Cambukku terjatuh dari tanganku karena kewibawaan beliau”.[ Hadits Riwayat Muslim]

Kehidupan Akhirat

Kehidupan di dunia ini sebenarnya adalah kehidupan menuju akhirat. Ia adalah jembatan yang mesti dilalui oleh setiap manusia sebelum menempuh alam akhirat. Bahasa sederhananya, kehidupan dunia adalah medan persediaan dan persiapan untuk menuju kehidupan akhirat yang kekal sepanjang zaman. Ar-Raghib mengatakan, "Kekal adalah terbebasnya sesuatu dari segala macam kerusakan dan tetap dalam keadaan semula."

Kehidupan dunia ini merupakan jembatan penyeberangan, bukan tujuan akhir dari sebuah kehidupan, melainkan sebagai sarana menuju kehidupan yang sebenarnya, yaitu kehidupan akhirat. Karena itu, Al-Quran menamainya dengan beberapa istilah yang menunjukkan hakikat kehidupan yang sebenarnya.

Pertama, al-hayawan (kehidupan yang sebenarnya). "Tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan kalau mereka mengetahui." (QS al-Ankabut [29]:64).

Kedua, dar al-qarar (tempat yang kekal). "Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara), dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal." (QS Ghafir [40]:39).

Ketiga, dar al-jaza' (tempat pembalasan). "Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allahlah yang benar lagi yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya)." (QS an-Nur [24]:25).

Keempat, dar al-muttaqin (tempat yang terbaik bagi orang yang bertakwa). "Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: 'Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?' Mereka menjawab: '(Allah telah menurunkan) kebaikan.' Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik, dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa." (QS an-Nahl [16]:30).

Dengan demikian, setelah manusia mengetahui akan hakikat kehidupan yang sebenarnya, mereka akan memberikan perhatian yang lebih besar pada kehidupan akhirat yang kekal daripada kehidupan dunia yang fana ini. Sebab, "Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang." (QS ad-Dhuha [93]:4).

Oleh karena itu, "Sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu. Mereka mengatakan: 'Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.' Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci, dan mereka kekal di dalamnya." (QS al-Baqarah [2]: 25).

Wallahu a'lam.

Definisi Iman


Para ulama mendefinisikan iman yaitu keyakinan hati, ucapan dengan lisan, serta pengamalan dengan anggota badan, bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Inilah makna iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mayoritas Ahlus Sunnah mengartikan iman mencakup i’tiqad (keyakinan), perkataan, dan perbuatan.

Imam Muhammad bin Isma’il bin Muhammad bin al Fadhl at Taimi al Asbahani mengatakan : “Iman menurut pandangan syariat adalah pembenaran hati, dan amalan anggota badan”.

Imam Al Baghawi mengatakan : “Para sahabat, tabi’in, dan ulama ahlis sunnah sesudah mereka bahwa amal termasuk keimanan, mereka mengatakan bahwa iman adalah perkataan, amalan, dan aqidah.”

Al Imam Asy Syafi’i berkata dalam kitab Al Umm : "Telah terjadi ijma’ (konsesus) di kalangan para sahabat, para tabi’in, dan pengikut sesudah mereka dari yang kami dapatkan bahwasanya iman adalah perkataan, amal, dan niat. Tidaklah cukup salah satu saja tanpa mencakup ketiga unsur yang lainnya”

Al Imam Al Laalikaa-i meriwayatkan dari Imam Bukhari : "Aku telah bertemu lebih dari seribu ulama dari berbagai negeri. Tidak aku dapatkan satupun di antara mereka berselisih bahwasanya iman adalah ucapan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.”

Kesimpulannya menurut definisi syariat tentang iman bahwasanya iman mencakup perkataan dan perbuatan. Perkataan mencakup dua hal : perkataan hati, yaitu i’tiqad (keyakinan) dan perkataan lisan. Perbuatan juga mencakup dua hal yati perbuatan hati, yaitu niat dan ikhlas, serta perbuatan anggota badan. Sehingga tidak ada perbedaan makna dari ucapan para ulama di atas, yang ada hanya sebatas perbedaan istilah saja.

Iman Mencakup Keyakinan, Perkataan, dan Perbuatan

Berikut dalil-dalil yang menjelaskan bahwa iman mencakup keyakinan hati, perkataan, dan perbuatan.

Dalil tentang keyakinan hati :
Allah Ta’ala berfirman : “karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu” (Al Hujurat:14)
“Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka” (Al Mujaadilah:22)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun keimanannya belum masuk ke dalam hatinya”

Dalil tentang perkataan lisan :
Firman Allah Ta’ala : “Katakanlah (hai orang-orang mu’min): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (Al Baqarah:136)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah’, maka barangsiapa yang mengucapkan, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah’, maka sungguh dia telah menjaga harta dan jiwanya dari (seranganku) kecuali dengan hak Islam, dan hisabnya diserahkan kepada Allah”

Dalil tentang amalan anggota badan :
Allah Ta’ala berfirman : “dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu (shalatmu)” (Al Baqarah:143)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Seorang mukmin tidak disebut mukmin saat ia berzina”
Dan masih banyak dalil-dalil lain dari al Quran dan hadist yang menunjukkan bahwa iman mencakup keyakinan, perkataan, dan perbuatan.

Iman Bisa Bertambah dan juga Berkurang

Di antara keyakinan yang benar tentang iman adalah bahwasanya iman dapat bertambah dan juga dapat berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala : "maka perkataan itu menambah keimanan mereka” (Ali Imran :173)
“supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)” (Al Fath:4)

Nabi Shalallahu ‘alihi wa sallam bersabda : “akan keluar dari neraka, orang yang mengucapkan, ‘Laa Ilaaha Illaahu (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah) ‘, dan di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat biji sawi”

Dalam hadist di atas nabi menjelaskan bahwa iman bertingkat-tingkat. Jika sesuatu bisa mengalami penambahan, maka bisa juga berkurang, karena konsekuensi dari penambahan adalah sesuatu yang diberi tambahan itu lebih kurang daripada yang bartambah.

Iman dapat bertambah disebabkan karena bebrapa hal :
1. Mengenal Allah Ta’ala melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Semakin seseorang mengenal Allah, keimanannya semkain bertambah.
2. Memperhatikan ayat-ayat Allah baik ayat-ayat kauniyah maupun ayat syar’iyah.
3. Banyak melakukan ketaaatan.
4. Meninggalkan kemakisatan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah

Adapun ha-hal yang dapat mengurangi keimanan di antaranya :
1. Berpaling dari mengenal Allah dan nama-nama serta sifat-sifat-Nya
2. Tidak mau memperhatikan ayat-ayat kauniyah dan syar’iyah
3. Sedikitnya amal shalih
4. Melakukan kemaksiatan kepada Allah

Iman Memiliki Banyak Cabang

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Iman itu ada tujuh puluh tiga sampai tujuh puluh sembilan, atau enam puluh tiga sampai enam puluh sembilan cabang. Yang paling utama adalah perkataan, Laa illaaha illallah (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah sebagian dari iman.”

Hadist ini diantara dalil yang menunjukkan bahwa iman mencakup keyakinan hati dan amalan hati, perkataan lisan, dan juga perbuatan anggota badan .Selain itu, hadist ini juga menunjukkan bahwa iman itu memiliki cabang-cabang.

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Pokok keimanan memiliki cabang yang banyak. Setiap cabang adalah bagian dari iman. Shalat adalah cabang keimanan, begitu pula zakat, haji, puasa, dan amalan-amalan hati seperti malu, tawakal… Di antara cabang-cabang tersebut adacabang yang jika hilang maka akan membatalkan keimanan seperti cabang syahadat. Ada pula cabang yang jika hilang tidak membatalkan keimanan seperti menyingkirkan gangguan dari jalan. Di antara dua cabang tersebut terdapat cabang-cabang keimanan lain yang bertingkat-tingkat. Ada cabang yang mengikuti dan lebih dekat ke cabanag syahadat.

Ada pula yang mengikuti dan lebih dekat ke cabang menyingkirkan gangguan dari jalan. Demikian pula kekafiran, memiliki pokok dan cabng-cabang. Sebagaimana cabang iman adalah termasuk keimanan, maka cabang kekafiran juga termasuk kekafiran. Malu adalah cabang iman, maka berkurangnya rasa malu merupakan cabang dari kekafiran. Jujur adalah cabang iman, sedangkan dusta adalah cabang kekafiran. Maksiat seluruhnya adalah cabang kekafiran, sebgaiaman semua ketaatan adalah cabang keimanan”

Keimanan Bertingkat-Tingkat

Syaikh Ibnu Baaz ketika mengomentari perkataan Imam at Thahawi “ Iman adalah satu kesatuan dan pemiliknya memiliki keimanan yang sama” mengatakan : “Perkataan Imam at Thahawi ini perlu ditinjau lagi, bahkan ini merupakan perkataan yang batil. Orang yang beriman tidaklah sama dalam keimanannya. Justru sebaliknya, mereka memiliki keimanan yang bertingkat-tingkat dengan perbedaan yang mencolok. Iman para rasul tidaklah dapat disamakan dengan iman selain mereka.

Demikian pula iman para al khulafaur rasyidin beserta para sahabat yang lain, tidaklah sama dengan yang lainnya. Iman orang-orang yang betul-betul beriman juga tidak sama dengan iman orang yang fasik. Hal ini didasari pada perbedaan yang ada dalam hati, berupa pengenalan terhadap Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan segala yang disyariatkan bagi hamba-Nya. Inilah pendapat Ahlus sunnah wal jama’ah, berbeda dengan pendapat murjiah dan yang sepaham dengan mereka.

Permasalahan ini sangat jelas jika kita melihat dalil-dalil yang ada dalam al Quran dan as Sunnah serta realita yang terjadi bahwa keimanan itu bertingkat-tingkat.
Allah melebihkan sebagian rasul dibandingkan rasul yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman : “Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. …” (Al Baqarah:253)

Pemberian keutamaan sebgaian rasul dibandingkan yang lain disebabkan perbedaan tingkat keimanan mereka. Demikian pula di antara para rasul ada yang termasuk ulul ‘azmi. Mereka adalah rasul-rasul yang memiliki kedudukan yang paling agung dan derajat yang paling tinggi. Para rasul tidak sama semua kedudukannaya di sisi Allah.

Allah Ta’ala berfirman : “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul …” (Al Ahqaf:35)
Demikian pula keimanan para sahabat. Keimanan mereka berbeda-beda. Keimanan yang paling tingggi adalah keimanan yang dimiliki oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah sahalallhu ‘alaihi wa sallam bersabda :"Seandainya keimanan seluruh umat ditimbang dengan keimanan Abu bakar, maka keimanan Abu Bakar lebih berat”. Abu Bakar Su’bah al Qaari berkata : “Tidaklah Abu Bakar mendahului kalian dengan banyaknya sholat dan shodaqoh, namun dengan iman yang menancap di hatinya”

Pelaku Dosa Besar Tetaplah Seorang Mukmin
Termasuk pembahasan penting dalam masalah iman adalah dalam menghukumi pelaku dosa besar. Pada dasarnya, seorang mukmin yang melakukan kemaksiatan yang tidak sampai derajat kekafiran tetap dihukumi sebagai seorang mukmin. Inilah madzab ahlus sunnah wal jama’ah. Di antara dalilnya yaitu ayat qishos dalam firman Allah : “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik” (Al Baqarah:178).

Mereka (pelaku maksiat) tetap dianggap saudara seiman dengan kemksiatan yang mereka lakukan. Allah juga berfirman : “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu” (Al Hujurat:9-10).

Dalam ayat ini Allah menyifati dua kelompok yang berperang dengan predikat mukmin walaupun mereka saling berperang. Allah juga memberitakan bahwa mereka adalah saudara, dan persaudaraan tidaklah terwujud kecuali antara sesama kaum mukminin, bukan antara mukmin dan kafir.

Adapun orang-orang fasik yang berbuat kemakisatan, keimanan mereka tidak hilang secara total Dalil-dalil syariat terkadang menetapkan keimanan pada mereka, seperti firman Allah : “(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya (budak) yang beriman” (An Nisaa’:92). Budak beriman yang dimaksud termasuk juga budak yang fasik.

Terkadang juga dalil-dalil syariat menafikan keimanan pada mereka, seperti dalam hadist:
“Seorang mukmin tidak disebut mukmin saat ia berzina”
Madzab ahlussunnah dalam menyikapi pelaku maksiat adalah tidak mengkafirkannya, namun juga tidak memutlakkan keimanan pada diri mereka. Oleh akarena itu kita katakan sebgaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: “Mereka (orang-orang fasik) adalah mukmin dengan keimanan yang kurang (tidak sempurna), atau bisa juga dikatakan mukmin dengan keimanannya dan fasik dengan dosa besarnya. Mereka tidak mendapat predikat iman secara mutlak, tidak pula hilang keimanan (secara total) dengan dosa besarnya” (Matan al ‘Aqidah al Washitiyah)

Antara Iman dan Islam
Apa perbedaan antara iman dan islam? Kata iman dan islam terkadang disebutkan bersamaan dalam satu kalimat, namun terkadang disebutkan salah satunya saja. Jika disebutkan salah satunya saja, maka mencakup makna keduanya. Dan bila disebutkan kedua-duanya, maka iman dan islam memiliki makna yang berbeda. Jika disebutkan iman saja, maka tercakup di dalamnya makna iman dan islam. Demikian pula sebaliknya. Namun, jika desebutkan iman dan islam, maka masing-masing memilki makna sendiri-sendiri. Iman mencakup malan-amalan hati, sedangkan islam mencakup amalan-amalan lahir.

Imam Ibnu Rajab al Hambali menjelaskan : “Jika masing-masing islam dan iman disebutkan secara sendiri-sendiri (disebutkan iman saja atau islam saja) maka tidak ada perbedaan di antara keduanya. Namun, apabila disebutkan secra bersaamaan, di antara keduanya ada perbedaan. Iman adalah keyakinan hati, pengakuan dan pengenalan. Sedangkan islam adalah berserah diri kepada Allah, tunduk kepadan-Nya dengan melakukan amlan ketaatan."

Kadar Minimal Rukun Iman
Pokok-pokok keimanan terdapat dalam rukun iman yang enam, sebagaimana diterangkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist Jibril : “Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk.”

Masing-masing rukun iman memiliki kadar minimal sehingga dikatakan sah keimanan seseorang terhadap rukun tersebut. Secara umum, kadar minimal untuk keenam rukun iman tersebut adalah sebagai beikut
Iman kepada Allah:
- Beriman dengan wujud Allah
- Beriman dengan rububiyah Allah
- Beriman dengan uluhiyah Allah
- Beriman dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah
Iman kepada para malaikat Allah:
- Beriman dengan keberadaan para malaikat Allah
- Mengimani secara rinci nama-nama malaikat yang kita ketahui, dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui
- Mengimani secara rinci sifat-sifat mereka yang kita ketahui, dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui
- Mengimani secara rinci tugas-tugas mereka yang kita ketahui, dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui
Iman kepada kitab-kitab Allah :
- Mengimani bahwa seluruh kitab berasal dari Allah
- Mengimani secara rinci nama-nama kitab Allah yang kita ketahui dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui
- Membenarkan berita-berita yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut
- Beramal dengan hukum-hukum yang ada di dalamnya selama belum dihapus
Iman kepada para rasul Allah :
- Mengimani bahwa seluruh risalah para rasul berasal dari Allah
- Mengimani secra rinci nama para nabi dan rasul Allah yang kita ketahui dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui
- Membenarkan berita yang shahih yang datang dari mereka
- Beramal dengan syariat Rasul yang diutus kepada kita (yaitu Muhammad shalallhu ‘alaihi wa sallam)
Iman kepada hari akhir :
- Beriman dengan hari kebangkitan
- Beriman dengan hari perhitungan dan pembalasan (al hisaab wal jazaa’)
- Beriman dengan surga dan neraka
- Beriman dengan segala sesuatu yang terjadi setelah kematian
Iman kepada takdir Allah :
- Beriman bahwasanya Allah mengetahui segala sesuatu yang terjadi
- Beriman bahwasanya Allah telah menetapkan segala sesuatu di Lauh mahfudz
- Beriman bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah
- Beriman bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan makhluk Allah

Barangsiapa yang tidak mengimani pokok-pokok yang ada pada kadar minimal rukun iman, maka batal rukun iman tersebut. Dan barangsiapa yang batal salah satu rukun iman, maka batal pula seluruh keimanannya.

Dari artikel Iman dalam Pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah — Muslim.Or.Id

Kedudukan Ibu dalam Islam


"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu bapakmu; hanya kepada-Ku engkau akan kembali." (Q.S. 31:14-15)

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya, atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah!" - Jangan pula engkau membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan, dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku! Sayangilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah menyayangi aku semenjak kecil." (Q.S. 17:23-24)

Dunia Barat baru menemukan nilai mulia Ibu, sedangkan umat Islam telah berabad-abad mempercayai kedudukannya yang mulia berdasarkan ajaran Ilahi melalui Islam. Islam percaya pada nilai ibu yang luar biasa, dan telah menarik perhatian manusia melalui berbagai ungkapan dan pernyataan. Bahkan Islam menganggap bahwa mencapai tahap akhir kesempurnaan, yakni sorga, tergantung pada kerelaan Ibu. Nabi Muhammad saw bersabda, "Sorga terletak di bawah telapak kaki ibu."

Dalam memuliakan kedudukan ibu, Islam tidak membatasi diri pada nasihat, perintah dan anjuran lisan. Tetapi Islam juga memandang perintah dan larangan ibu sebagai suatu kewajiban untuk dilaksanakan dalam hal-hal tertentu. Misalnya, dalam perkara yang disunnahkan Allah, tetapi berlawanan dengan larangan ibu, maka anak-anak dinasihati untuk menaati larangan ibu mereka.

Seorang lelaki datang kepada Nabi seraya berkata, "Wahai Nabi Allah! Saya muda dan kuat, siap bertindak dan berbakti, dan ingin sekali pergi ke medan jihad untuk kemajuan Islam! Tetapi ibu saya tidak membiarkan saya meninggalkannya untuk pergi berperang." Nabi yang mulia bersabda, "Pulanglah dan tinggal bersama ibumu. Aku bersumpah kepada Tuhan yang memilihku sebagai Nabi, bahwa pahala yang engkau dapatkan untuk melayaninya meskipun hanya semalam, dan membahagiakannya dengan kehadiranmu, jauh lebih besar dari pahala perang jihad selama satu tahun."

Islam memandang penghormatan kepada orang tua dan pelaksanaan hak-hak mereka sebagai kewajiban manusia terbesar setelah perintah Ilahi. Al-Quran mengatakan dalam hubungan ini, "Bersyukurlah kamu kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu." (QS 31:14) Perlu diperhatikan bahwa di sini Allah Ta'ala, segera setelah menyebut hak-Nya sendiri, menyebutkan hak kedua orang tua.

Seorang lelaki datang kepada Nabi seraya berkata, "Wahai Nabi Allah! Tunjuki saya, kepada siapa saya mesti berbuat baik untuk mendapatkan manfaat yang sempurna atas amal kebajikan saya?" Beliau bersabda, "Berbuat baiklah kepada ibumu." Lelaki itu bertanya dua kali lagi, "Dan sesudah beliau?" Nabi menjawab, "Kepada ibumu." Lelaki itu bertanya, "Kepada orang lain siapakah saya mesti berbuat baik pula?" Nabi bersabda, "Kepada ayahmu."

Imam Ahlubait berpesan, "Adalah hak ibumu agar engkau mengingatnya bahwa ia telah mengandungmu dalam rahimnya selama berbulan-bulan. Memeliharamu dengan sari hidupnya. Mengerahkan semua yang ada padanya untuk memelihara dan melindungimu. Ia tidak mempedulikan rasa laparnya, sedangkan engkau diberinya makan sepuas-puasnya. Ia mengalami rasa haus sementara dahagamu dipuaskan. Ia mungkin berdiri di panas terik matahari, sementara engkau berteduh. Ia meninggalkan tidurnya yang enak demi tidurmu yang pulas. Ia melindungimu dari panas dan dingin. Ia menanggung semua kesusahan itu demi engkau! Maka engkau layak untuk mengetahui bahwa engkau tak akan mampu bersyukur kepada ibumu secara pantas, kecuali Allah menolongmu dan memberikan keridhaan untuk membalas budinya."

Hak-hak istimewa yang diberikan Islam bagi seorang ibu, adalah karena susah payah yang telah ditanggungnya dalam mengembangkan kehidupan rohani dan jasmani anak-anaknya. Sehingga hanya para ibu yang melaksanakan tugas keibuannya dengan baik, membesarkan dan mendidik anak menjadi bergunalah, yang layak mendapatkan kedudukan dan hak istimewa tersebut.

Murtadha Anshari, meratap dengan pedih ketika ibunya meninggal. Sambil berlutut di sisi jenasah ibunya, ia menangis dan mencurahkan air mata. Untuk menghibur dan menyatakan simpatinya, salah seorang muridnya mengatakan, "Tidak pantas engkau yang berkedudukan alim bersikap resah dan mengucurkan air mata, hanya karena kematian seorang perempuan tua." Ulama besar itu mengangkat kepalanya dan menjawab, "Sepertinya engkau belum menyadari kedudukan mulia Ibu. Aku berhutang budi atas kedudukanku kepada pendidikan yang diberikan Ibu padaku, dan kerja kerasnya. Ibulah yang meletakkan dasar kemajuan, mengantarkanku pada kedudukan sebagai ulama sekarang ini."

Inilah contoh pengaruh ibu kepada anaknya. Betapa banyak ibu yang usahanya sekarang telah menghasilkan suatu sumbangan besar bagi kemajuan para ilmuwan terkenal dunia.

Dengan kepribadian, simpati dan usahanya, para ibu dapat meletakkan dasar kehidupan bahagia bagi anak-anaknya dan melatih mereka untuk masa depan.

Imam Ja'far Shadiq AS berkata, "Berlaku baik dan sopan kepada orang tua merupakan bukti ketakwaan seseorang. Karena tak ada amal yang disenangi Allah sebagaimana menghormati orang tua."

Nabi SAW bersabda, "Pandangan kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya dipandang sebagai suatu ibadah."

Imam Muhammad Baqir AS berkata, "Ada empat hal yang kepemilikannya akan memberikan pada pemiliknya rumah di sorga melalui keridhaan-Nya: 1. Mengasuh anak yatim dan memberikan tempat perlindungan kepada mereka, 2. Berkasih sayang kepada yang tua renta dan tak berdaya, 3. Berbaik hati dan berperilaku ramah kepada orang tua, 4. Berhati lembut kepada bawahan dan pelayan."

Islam juga memandang bahwa kebajikan kepada Ibu sebagai suatu jalan yang bermanfaat untuk menghapus dosa seseorang, dan memandang kebaikan kepada Ibu sebagai suatu sarana untuk menyelamatkan dari dosa dan menggapai keridhaan Allah.

Seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW seraya mengeluh, "Wahai Nabi! Saya telah berbuat banyak dosa dalam hidup ini. Apakah pintu taubat masih terbuka untuk saya? Apakah Allah masih akan menerima taubat saya?" Nabi bertanya, "Apakah orang tuamu masih hidup?" Lelaki itu mengatakan, "Ya. Ayah saya masih hidup!" Nabi lalu berkata, "Maka pergilah kepadanya dan berbuat baiklah kepadanya (agar dosamu diampuni Allah)." Lelaki itu pamit kemudian keluar. Kemudian Nabi bersabda, "Saya berharap ibunya masih hidup!" [Yang beliau maksudkan ialah bahwa apabila ibunya masih hidup untuk menerima kebajikan anaknya, maka dosa-dosanya akan lebih cepat diampuni.]

Dalam Islam, kemarahan dan ketidakpuasan Ibu dipandang sebagai sarana datangnya bencana dan kehancuran. Dalam beberapa riwayat telah dikatakan secara gamblang bahwa orang yang durhaka terhadap orang tuanya tidak akan pernah mencium bau sorga dan tidak akan mencapai kebahagiaan.

Seorang pemuda di masa Nabi telah jatuh sakit dan terbaring tak berdaya di tempat tidur. Nabi pergi menjenguknya dan mendapatkan ia sakti parah di saat terakhirnya. Nabi berkata padanya, "Akuilah keesaan Allah dan ucapkan kalimat syahadat: Laa ilaaha illallah!" Pemuda yang sakit itu menggagap dan tidak dapat mengucapkan kalimat suci. Nabi bertanya pada seorang perempuan yang hadir, "Apakah ia mempunyai ibu?" Perempuan itu menjawab, "Ya. Saya adalah ibunya." Nabi bertanya lagi, "Apakah engkau tidak rela kepadanya?" Perempuan itu mengiyakan, "Ya. Saya tidak rukun dengan dia selama enam tahun!" Nabi meminta perempuan itu memaafkan kesalahan putranya. Perempuan itu berujar, "Wahai Nabi Allah! Saya akan melakukannya demi engkau." Kemudian Nabi menoleh kepada pemuda itu sambil berkata, "Sekarang ucapkanlah Laa ilaaha illallah." Pemuda itu sekarang dengan lidah yang bebas mengucapkan kalimat suci itu.

Imam Shadiq AS berkata, "Orang yang ingin mengalami kemudahan saat sakaratul maut, hendaklah berbuat kebaikan kepada keluarganya dan memperlakukan ibunya dengan ramah. Sehingga sakaratul maut akan menjadi ringan baginya, dan dalam kehidupan ia tak akan menderita kenistaan."

Suatu hal yang perlu diingat ialah pada tanggal 22 Desember telah dipilih sebagai Hari Ibu, dimana diadakan berbagai acara peringatan, puisi-puisi ditulis, hadiah-hadiah diberikan kepada para ibu oleh anak-anaknya. Tentu saja hal itu bagus, tetapi tidaklah cukup acara-acara dan pemberian hadiah itu sebagai penghargaan terhadap usaha para ibu. Haruslah diusahakan juga untuk memberikan penjelasan kepada para ibu tentang tanggung jawab besar mereka, menyadarkan mereka bahwa pengelolaan suatu keluarga dan pendidikan anak-anak termasuk pekerjaan yang paling penting, dibandingkan dengan pekerjaan apa pun.

Jadi sangat jelas dalam Islam, kedudukan ibu memiliki peranan penting untuk mencetak generasi yang hebat. Bisa dikatakan bahwa kaum ibu adalah pejuang yang hebat, pahlawan dalam rumah tangga.

Sifat Buruk Manusia Menurut Al Qur’an














1. LEMAH
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah” (Q.S. Annisa; 28)

2. GAMPANG TERPERDAYA
“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah” (Q.S Al-Infithar : 6)

3. LALAI
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu” (Q.S At-takaatsur 1)

4. PENAKUT / GAMPANG KHAWATIR
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Q.S Al-Baqarah 155)

5. BERSEDIH HATI
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin , siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah , hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (Q.S Al Baqarah: 62)

6. TERGESA-GESA
Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa. (Al-Isra’ 11)

7. SUKA MEMBANTAH
“Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata.” (Q.S. an-Nahl 4)

8. SUKA BERLEBIH-LEBIHAN
“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (Q.S Yunus : 12)
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas” (Q.S al-Alaq : 6)

9. PELUPA
“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: “Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka.” (Q.S Az-Zumar : 8)

10. SUKA BERKELUH-KESAH
“Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah” (Q.S Al Ma’arij : 20)
“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan.” (Q.S Al-Fushshilat : 20)
“Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa” (al-Isra’ 83)

11. KIKIR
“Katakanlah: “Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya.” Dan adalah manusia itu sangat kikir.” (Q.S. Al-Isra’ : 100)

12. SUKA MENGKUFURI NIKMAT
Dan mereka menjadikan sebahagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bahagian daripada-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah). (Q.S. Az-Zukhruf : 15)
Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya, (Q.S. al-’Aadiyaat : 6)

13. DZALIM dan BODOH
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat[1233] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, ” (Q.S al-Ahzab : 72)

14. SUKA MENURUTI PRASANGKANYA
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Q.S Yunus 36)

15. SUKA BERANGAN-ANGAN
“Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: “Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?” Mereka menjawab: “Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu- ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (syaitan) yang amat penipu.” (Q.S al Hadid 72)


Jadilah Penolong Dinullah

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: “Kamilah penolong-penolong agama Allah”, lalu segolongan dari Bani Israel beriman dan segolongan (yang lain) kafir; maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang (QS al-Shaff [61]: 14).

Inginkah kita menjadi orang yang mulia di hadapan Allah dan berhak mendapat pertolongan-Nya? Berjuanglah sekuat tenaga untuk menjadi ansharul-Lah, para penolong agama Allah SWT. Untuk itu, kita perlu mendalami ayat di atas yang memerintahkan kita untuk menjadi para ‘penolong-Nya’ dan balasan kebaikan yang akan diberikan.

Penolong Agama Allah

Allah SWT berfirman: hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong [agama] Allah). Khithab atau seruan ayat ini ditujukan kepada orang-orang Mukmin. Seruan ini melengkapi seruan sebelumnya yang menawarkan iman dan jihad sebagai al-tijarah (perniagaan) dengan keuntungan berupa terselamatkan dari azab yang pedih dan berbagai ganjaran lainnya yang menggiurkan. Dalam ayat ini, mereka diserukan untuk menjadi ansharul-Lah.

Mengomentari ayat ini, Ibnu Katsir berkata, “Firman ini merupakan perintah terhadap hamba-Nya yang Mukmin untuk menjadi ansharul-Lah dalam semua keadaan, baik dengan ucapan, perbuatan, jiwa, dan harta mereka. Juga untuk memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya sebagaimana kesediaan al-Hawariyyin yang memenuhi panggilan Isa.”

Secara bahasa, al-hawariyy berarti al-nashih (pemberi nasihat), al-nashir (pembantu, penolong), dan al-hamim (sahabat karib). Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya setiap Nabi memiliki al-hawariyy, dan hawariyy-ku adalah al-Zubair”. Sufyan berkata: “al-Hawariyy artinya al-nashir (penolong)” (HR al-Bukhari dari Jabir bin Abdul-lah, Ahmda dan al-Tirmidzi dari Ali).

Dalam Alquran, sebutan al-hawariyyin dilekatkan kepada para sahabat Nabi Isa AS (lihat QS Ali Imran [3]: 52, al-Maidah [5]: 111, 112. Menurut para mufassir, mereka adalah orang-orang yang pertama kali beriman kepada Nabi Isa. Jumlah mereka ada 12 orang. Ketika itu, Nabi Isa bertanya kepada mereka: Man anshari ilal-Lah (“siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku [untuk menegakkan agama] Allah?”). Pertanyaan bermakna: “Siapakah yang menjadi pembantuku dalam dakwah kepada Allah Azza wa Jalla?” Demikian penjelasan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

Mendapat pertanyaan tersebut, mereka pun menjawab: Qala al-hawa-riyyina nahnu ansharul-Lah (pengikut-pengikut yang setia itu berkata: “Kamilah penolong-penolong agama Allah”). Jawaban mereka sangat tegas. Mereka menyatakan kesediaannya menjadi penolong-penolong agama Allah. Menurut Ibnu Katsir, jawaban mereka itu berarti, “Kami menjadi penolong dan pembantumu atas perkara yang kamu diutusnya.” Dan oleh karena itu, Nabi Isa kemudian mengutus mereka sebagai pendakwah kepada manusia di negeri-negeri Syam, Bani Israel, dan Yunani.

Menjadi Pemenang

Demikianlah sikap Nabi Isa as beserta para sahabatnya. Mereka konsisten menolong agama-Nya. Sementara Bani Israel yang menjadi objek dakwahnya terbelah menjadi dua. Pertama: fa amanat thaifah min Bani Israil (lalu segolongan dari Bani Israel beriman). Di antara mereka ada yang mau beriman. Dalam hal Isa as, mereka meya-kininya sebagai hamba dan rasul-Nya. Meyakini risalah yang dibawanya dan keberadaannya sebagai nasakh atas risalah sebelumnya yang dibawa Nabi Musa as. Juga meyakini bahwa beliau tidak mati ditiang salib. Akan tetapi, diselamatkan dan diangkat ke langit.

Dan kedua: wa kafarat thaifah (dan segolongan [yang lain] kafir). Sebagian lainnya, ingkar terhadap kenabian Isa as dan menolak risalahnya. Bahkan melemparkan tuduhan tak berdasar kepadanya, seperti yang dilakukan kaum Yahudi. Atau memiliki keyakinan bathil yang menyebabkan mereka terjerumus kepada kesesatan, seperti kaum yang mengaku sebagai pengikutnya, yakni kaum Nasrani. Mereka mengklaim bahwa Nabi Isa adalah anak Tuhan, salah satu dari tiga oknum Tuhan, dan sebagainya. Semuanya termasuk dalam satu thaifah ini, yakni thaifah kafirah (kelompok kufur).

Apabila Nabi Isa memiliki al-hawariyyun yang bersedia menjadi para penolongnya, Rasulullah SAW juga memiliki para sahabat yang menjadi anshar. Ketika Rasulullah terjepit mengembangkan dakwahnya di Makkah, beliau bersabda, “Adakah orang yang akan menolongku sehingga aku dapat menyampaikan risalah Tuhanku karena orang Quraisy telah menghalangi jalanku untuk menyampaikan risalah Tuhanku”. Kemudian Allah SWT mendatangkan suku ‘Aus dan Khazraj penduduk Madinah. Mereka bersedia membaiat dan membantu Nabi SAW, serta berjanji untuk menjaganya ketika berhijrah kepada mereka. Setelah beliau bersama para sahabatnya berhijrah, mereka pun menepati janjinya. Dan oleh karena itu, Allah dan rasul-Nya menyebut mereka al-Anshar. Dan sebutan itu pun ditetapkan sebagai nama bagi mereka. Demikian tutur Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

Mereka memang layak mendapatkan gelar sebagai kaum Anshar karena telah menolong agama-Nya dengan menyerahkan kekuasaan dan negaranya kepada Rasulullah untuk menjalankan Islam secara kaffah.

syiar-islam.web.id

Menghadapi Musibah



Musibah adalah suatu keniscayaan yang melanda semua manusia, baik secara perorangan maupun kelompok. Perasaan takut, lapar, kekurangan harta, jiwa, sampai kekurangan buah-buahan yang dibutuhkan, selalu menyertai mereka yang terkena musibah.

"Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan, dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS Al-Baqarah (2): 155-157).

Musibah pada hakikatnya mempunyai beberapa dimensi.
Dimensi pertama bahwa musibah adalah ujian dari Allah SWT. Dan ketika ujian dapat dilalui dengan baik, maka akan menaikkan derajat dan kebaikan si penerima ujian itu. Sebagaimana anak-anak kita ketika akan naik kelas, dia perlu diuji terlebih dahulu. Inilah yang diisyaratkan Rasulullah SAW, "Siapa yang akan diberi limpahan kebaikan dari Allah, maka diberi ujian terlebih dahulu." (HR Bukhari Muslim).

Dimensi kedua, musibah harus dihadapi dengan kesabaran karena kesabaran itulah kunci utama untuk lulus dari ujian. "Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman seluruh perkaranya menjadi baik. Ketika ditimpa musibah dia bersabar, itu membawa kebaikan baginya. Dan ketika mendapatkan nikmat dia bersyukur dan itu membawa kebaikan baginya." (Al-Hadits).

Ketiga, seberat apa pun musibah, pasti Allah SWT sudah memperhitungkannya agar tidak melebihi dari kesanggupan masing-masing. "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS Al-Baqarah (2): 286).

Keempat, dengan musibah yang menimpa seorang Muslim, baik berupa kesusahan dan penderitaan, kesedihan dan kedukaan, maupun penyakit, bahkan karena sepotong duri yang mencocok anggota badannya, dihapuskan Allah SWT sebagian dari kesalahan-kesalahannya.

Jika musibah yang memang sudah terjadi membuat kita sedih dan berduka, semoga juga akan membawa kebaikan-kebaikan yang banyak dalam ridha Allah SWT.

Kafir Quraisy Tak Mengenal Allah?



Sesungguhnya salah satu penyebab utama kemunduran dan kelemahan umat Islam pada masa sekarang ini adalah karena mereka tidak memahami hakikat kejahiliyahan yang menimpa bangsa Arab di masa silam. Mereka menyangka bahwasanya kaum kafir Quraisy jahiliyah adalah orang-orang yang tidak beribadah kepada Allah sama sekali. Tidakkah kita memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an dan lembaran sejarah yang tercatat rapi dalam kitab-kitab hadits?

Kaum Kafir Quraisy Betul-Betul Mengenal Allah

Cobalah simak firman Allah ta’ala,
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus : 31)

“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi ? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).” (QS. an-Naml: 62)


Dalam ayat-ayat di atas terlihat bahwasanya orang-orang musyrik itu mengenal Allah, mereka mengakui sifat-sifat rububiyyah-Nya yaitu Allah adalah pencipta, pemberi rezeki, yang menghidupkan dan mematikan, serta penguasa alam semesta. Namun, pengakuan ini tidak mencukupi mereka untuk dikatakan muslim dan selamat. Kenapa? Karena mereka mengakui dan beriman pada sifat-sifat rububiyah Allah saja, namun mereka menyekutukan Allah dalam masalah ibadah (Uluhiyah). Oleh karena itu, Allah katakan terhadap mereka,

“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf : 106)

Ibnu Abbas mengatakan, “Di antara keimanan orang-orang musyrik: Jika dikatakan kepada mereka, ‘Siapa yang menciptakan langit, bumi, dan gunung?’ Mereka akan menjawab, ‘Allah’. Sedangkan mereka dalam keadaan berbuat syirik kepada-Nya.”

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa kaum musyrikin pada masa itu mengakui Allah adalah pencipta, pemberi rezki serta pengatur urusan hamba-hamba-Nya. Mereka meyakini di tangan Allah lah terletak kekuasaan segala urusan, dan tidak ada seorangpun diantara kaum musyrikin itu yang mengingkari hal ini. Dan janganlah terkejut apabila ternyata mereka pun termasuk ahli ibadah yang mempersembahkan berbagai bentuk ibadah kepada Allah ta’ala.

Kafir Quraisy Rajin Beribadah

Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah menceritakan bahwasanya kaum musyrikin yang dihadapi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang rajin beribadah. Mereka juga menunaikan ibadah haji, bersedekah dan bahkan banyak berdzikir kepada Allah. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa orang-orang musyrik juga berhaji dan melakukan thowaf adalah dalil berikut.

Dan telah menceritakan kepadaku Abbas bin Abdul ‘Azhim Al Anbari telah menceritakan kepada kami An Nadlr bin Muhammad Al Yamami telah menceritakan kepada kami Ikrimah bin Ammar telah menceritakan kepada kami Abu Zumail dari Ibnu Abbas ia berkata; Dulu orang-orang musyrik mengatakan; “Labbaika La Syarika Laka (Aku memenuhi panggilanMu wahai Dzat yang tiada sekutu bagiMu). Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Celakalah kalian, cukuplah ucapan itu dan jangan diteruskan.” Tapi mereka meneruskan ucapan mereka; Illa Syaarikan Huwa Laka Tamlikuhu Wamaa Malaka (kecuali sekutu bagi-Mu yang memang Kau kuasai dan ia tidak menguasai).” Mereka mengatakan ini sedang mereka berthawaf di Baitullah. (HR. Muslim no. 1185)

Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwa kaum musyrikin Quraisy yang didakwahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kaum yang beribadah kepada Allah, akan tetapi ibadah tersebut tidak bermanfaat bagi mereka karena ibadah yang mereka lakukan itu tercampuri dengan syirik akbar. Sama saja apakah sesuatu yang diibadahi disamping Allah itu berupa patung, orang shalih, Nabi, atau bahkan malaikat. Dan sama saja apakah tujuan pelakunya adalah demi mengangkat sosok-sosok tersebut sebagai sekutu Allah atau bukan, karena hakikat perbuatan mereka adalah syirik. Demikian pula apabila niatnya hanya sekedar menjadikan sosok-sosok itu sebagai perantara ibadah dan penambah kedekatan diri kepada Allah. Maka hal itu pun dihukumi syirik.

Dua Pelajaran Berharga

Dari sepenggal kisah di atas maka ada dua buah pelajaran berharga yang bisa dipetik.
Pertama; pengakuan seseorang bahwa hanya Allah lah pencipta, pemberi rezki dan pengatur segala urusan tidaklah cukup untuk membuat dirinya termasuk dalam golongan pemeluk agama Islam. Sehingga sekedar mengakui bahwasanya Allah adalah satu-satunya pencipta, penguasa dan pengatur belum bisa menjamin terjaganya darah dan hartanya. Bahkan sekedar meyakini hal itu belum bisa menyelamatkan dirinya dari siksaan Allah.

Kedua; apabila peribadatan kepada Allah disusupi dengan kesyirikan maka hal itu akan menghancurkan ibadah tersebut. Oleh sebab itu ibadah tidak dianggap sah apabila tidak dilandasi dengan tauhid/ikhlas.

Dengan demikian sungguh keliru anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwasanya tauhid itu cukup dengan mengakui Allah sebagai satu-satunya pencipta dan pemelihara alam semesta. Dan dengan modal anggapan yang terlanjur salah ini maka merekapun bersusah payah untuk mengajak manusia mengenali bukti-bukti alam tentang keberadaan dan keesaan wujud-Nya dan justru mengabaikan hakikat tauhid yang sebenarnya. Atau yang mengatakan bahwa selama orang itu masih mengucapkan syahadat maka tidak ada sesuatupun yang bisa membatalkan keislamannya. Atau yang membenarkan berbagai macam praktek kesyirikan dengan dalih hal itu dia lakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.

Kita Tidak Sebodoh Kafir Quraisy

Barangkali masih ada orang yang bersikeras mengatakan,“Jangan samakan kami dengan kaum kafir Qurasiy. Sebab kami ini beragama Islam, kami cinta Islam, kami cinta Nabi, dan kami senantiasa meyakini Allah lah penguasa jagad raya ini, tidak sebagaimana mereka yang bodoh dan dungu itu”

“Katakanlah; ‘Milik siapakah bumi beserta seluruh isinya, jika kalian mengetahui ?’ Maka niscaya mereka akan menjawab, ‘Milik Allah’. Katakanlah,’Lalu tidakkah kalian mengambil pelajaran ?’ Dan tanyakanlah; ‘Siapakah Rabb penguasa langit yang tujuh dan pemilik Arsy yang agung ?’ Niscaya mereka menjawab,’Semuanya adalah milik Allah’ Katakanlah,’Tidakkah kalian mau bertakwa’ Dan tanyakanlah,’Siapakah Dzat yang di tangannya berada kekuasaan atas segala sesuatu, Dia lah yang Maha melindungi dan tidak ada yang sanggup melindungi diri dari azab-Nya, jika kalian mengetahui ?’ Maka pastilah mereka menjawab, ‘Semuanya adalah kuasa Allah’ Katakanlah,’Lantas dari jalan manakah kalian ditipu?” (QS. Al-Mu’minuun: 84-89)

Ayat-ayat di atas demikian gamblang menceritakan kepada kita tentang realita yang terjadi pada kaum musyrikin Quraisy dahulu. Meyakini tauhid rububiyah tanpa disertai dengan tauhid uluhiyah tidak ada artinya. Maka sungguh mengherankan apabila ternyata masih ada orang-orang yang mengaku Islam, rajin shalat, rajin puasa, rajin naik haji akan tetapi mereka justru berdoa kepada Husain, Badawi, Abdul Qadir Al-Jailani. Maka sebenarnya apa yang mereka lakukan itu sama dengan perilaku kaum musyrikin Quraisy yang berdoa kepada Laata, ‘Uzza dan Manat. Mereka pun sama-sama meyakini bahwa sosok yang mereka minta adalah sekedar pemberi syafaat dan perantara menuju Allah. Dan mereka juga sama-sama meyakini bahwa sosok yang mereka jadikan perantara itu bukanlah pencipta, penguasa jagad raya dan pemeliharanya.

Sungguh persis kesyirikan hari ini dengan masa silam. Sebagian orang mungkin berkomentar, “Akan tetapi mereka ini ‘ kan kaum muslimin” Syaikh Shalih Al-Fauzan menjawab,“Maka kalau dengan perilaku seperti itu mereka masih layak disebut muslim, lantas mengapa orang-orang kafir Quraisy tidak kita sebut sebagai muslim juga ?! Orang yang berpendapat semacam itu tidak memiliki pemahaman ilmu tauhid dan tidak punya ilmu sedikitpun, karena sesungguhnya dia sendiri tidak mengerti hakikat tauhid"

Muslim.or.id

Pengertian Dinul Islam


Islam adalah sebuah "ad-Diin". Secara umum sama artinya dengan kata "agama" dalam bahasa Indonesia. Dan jika didefinisikan kata itu dipahami sebagai "agama yang mengatur hubungan antara seorang hamba dengan Penciptanya". Ternyata pengertian kata "Ad-diin" tidak sesederhana itu. Secara etimologi saja kata ad-din memiliki cakupan arti yang sangat luas, sesuai dengan substansinya.

1. As-Sulthah wal al-Qahru (Kekuasaan atau Memaksa)

Pengertian ini seperti perkataan orang Arab: dintu al-qauma, artinya aku paksa kaum itu atau aku kuasai. Maksudnya, ketika seseorang memeluk dan mengikuti suatu ad-diin, ia telah menyerahkan dirinya untuk dikuasai olehnya dan pada gilirannya bersedia dipaksa untuk menjalankan aturan-aturan. Tentu saja hal itu dilandasi oleh keyakinan terhadap kebenaran yang ada pada ad-diin itu, dan keyakinan bahwa orang itu akan mendapatkan apa yang diinginkannya, yaitu berupa kebahagiaan.

Dengan menggunakan pengertian seperti itu, di surat Al-Waqi’ah ayat 85-86, Allah bertanya setara retoris, apakah manusia, ingin lepas dari penguasaan Allah? Jika ingin lepas dari penguasaan Allah, manusia ditantang oleh Allah untuk mengembalikan ruh ke jasad setelah dicabut dan dipisahkan darinya. Namun, kenyataannya manusia tidak mampu karena tidak memiliki kekuasaan untuk itu.

“Maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (Al-Waqi’ah: 85-86).

Karena itu, adalah wajar dan rasional jika Allah yang menciptakan manusia memaksakan sebuah aturan hidup kepada kita berupa Ad-Diin Al-Islam (Dinul Islam).

2. Tunduk Kepada Kekuasaan

Konsekuensi dari mengikuti sebuah ad-Diin adalah ketundukan terhadap semua ajaran dan aturannya. Seseorang dikatakan tidak menjadi pemeluk agama dengan baik ketika ia tidak tunduk dan taat dalam menjalankan aturan agama tersebut. Hal ini berlaku bagi semua ad-diin atau yang dianggap sebagai ad-din seperti ideologi, aliran, dan kepercayaan.

Setiap orang yang mengikuti sebuah ideolog atau kepercayaan, akan tunduk kepada kepercayaannya itu, kendatipun ideologi itu menurut orang banyak sebagai aliran dan ideologi sesat. Itulah yang terjadi di beberapa aliran. Para pengikutnya rela mati karena mereka yakin betul bahwa hal itu adalah implementasi dari ketundukan mereka kepada keyakinan yang mereka anut.

Islam adalah ad-diin yang diturunkan Allah Ta’ala bagi manusia. Karena itu, Islam adalah diinul haqq (agama yang benar). Kenapa manusia tidak tunduk dengan total dengan semua ajaran dan aturan yang ada di dalam Islam?

3. Undang-undang yang Bersumber dari Kekuasaan

Ad-diin juga identik dengan semua aturan dan undang-undang dari Sulthah (kekuasaan). Karena setiap kekuasaan pasti mempunyai undang yang berlaku bagi yang dikuasainya demi tercapainya keinginan dari kekuasaan itu.

Allah menceritakan kisah Nabi Yusuf bersama saudara-saudaranya. Yusuf membuat skenario seolah-olah saudaranya mencuri piala miliknya agar bisa bertemu dengan saudaranya itu. Dan tidak sepatutnya baginya untuk menghukum saudaranya itu dengan undang-undang kerajaaan. Allah berfirman,

“Maka mulailah Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri, kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung saudaranya. Demikianlah kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendaki-Nya. Kami tinggikan derajat orang yang kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui.” (Yusuf: 76).

Allah juga berfirman, “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (Al-Kafirun: 6)


Ayat ini adalah penolakan Allah atas tawaran damai orang-orang kafir Quraisy kepada Rasulullah. Mereka tidak mengusulkan agar Nabi memeluk agama mereka dan mereka memeluk agama Islam. Tetapi orang-orang kafir itu mengusulkan Rasulullah dan mereka menjalankan aturan dan ibadah selama satu tahun secara bergantian. Tentu saja usulan itu ditolak Rasulullah, sebab sebuah diin tidak mungkin dicampuradukan aturan-aturannya dengan aturan-aturan diin yang lain. Tidak mungkin aturan hidup yang diturunkan Allah dicampuradukan dengan aturan hidup yang dikarang-karang oleh setan laknatullah.

4. Balasan bagi Orang yang Taat dan Siksa bagi yang Ingkar

Ad-diin juga bermaknakan balasan bagi siapa yang taat menjalankan aturan itu serta siksa bagi siapa yang tidak taat. Allah berfirman di surat Al-Fatihah, dimana yaum ad-diin artinya hari kiamat dan hari pembalasan. Allah menisbatkan kekuasaan kepada Hari Pembalasan karena pada hari itu tidak ada lagi klaim kekuasan selain klaim Allah. Di hari itu tidak satu makhluk pun bisa melakukan sesuatu tanpa izin Allah.

“Yang menguasai hari Pembalasan.” (Al-Fathihah: 4)

Kata maalik (yang menguasai) jika dibaca dengan memanjangkan kata “mim” artinya pemilik. Sedangkan jika dibaca pendek, malik, artinya raja. Sedangkan frase yaumi ad-diin disebut juga yaumul qiyaamah, yaumul hisaab, yaumul jazaa’. Jadi, yaumi ad-diin (hari Pembalasan) adalah hari yang di waktu itu masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk.

Begitulah hakikat kekuasan Allah pada hari itu. Dia adalah satu-satunya Raja yang memiliki kekuasaan penuh di hari pembalasan itu. Ia memaksakan undang-undang dan aturan-Nya diterapkan untuk memberi balasan pahala kepada orang yang telah beriman, tunduk secara total, dan mengamalkan Ad-Diin (aturan-aturan) yang dibuat-Nya di dunia. Di hari itu Allah juga memaksakan undang-undangnya ditegakkan dengan menghukum setiap orang yang membangkang dari aturan-aturan-Nya selama hidup di dunia.

Begitulah makna ad-diin secara bahasa. Semoga Allah mengilhamkan kepada jiwa kita untuk beriltizam (memegang teguh) kepada Al-Islam secara total.

Aqidah, Ibadah, dan Muamalah


Para ulama membagi ajaran Islam dalam tiga pokok bahasan, yaitu Aqidah, Ibadah, dan Muamalah.

Aqidah

Aqidah adalah suatu istilah untuk menyatakan “kepercayaan” atau keimanan yang teguh serta kuat dari seorang mukmin yang telah mengikatkan diri kepada Sang Pencipta. Makna dari keimanan kepada Allah adalah sesuatu yang berintikan tauhid, yaitu berupa suatu kepercayaan, pernyataan, sikap mengesakan Allah, dan mengesampingkan penyembahan selain kepada Allah.
Ajaran mengenai aqidah ini merupakan tujuan utama Rasul diutus ke dunia, yang mana hal ini dinyatakan dalam Al-Qur’an, yang berbunyi:
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwasanya tiada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian” (QS. 21: 25)

Aqidah adalah suatu ketetapan hati yang dimiliki seseorang, yang mana tidak ada faktor apapun yang dapat mempengaruhi atau merubah ketetapan hati seseorang tersebut.

Kata “‘aqidah” diambil dari kata dasar “al-‘aqdu” yaitu ar-rabth (ikatan), al-Ibraam (pengesahan), al-ihkam (penguatan), at-tawatstsuq (menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu biquwwah (pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk (pengokohan) dan al-itsbaatu (penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin (keyakinan) dan al-jazmu (penetapan).

“Al-‘Aqdu” (ikatan) lawan kata dari al-hallu (penguraian, pelepasan). Dan kata tersebut diambil dari kata kerja: ” ‘Aqadahu” “Ya’qiduhu” (mengikatnya), ” ‘Aqdan” (ikatan sumpah), dan ” ‘Uqdatun Nikah” (ikatan menikah). Allah Ta’ala berfirman, “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja …” (Al-Maa-idah : 89).

Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari aqidah adalah aqa-id.

Secara terminologi, juga dijelaskan bahwa Aqidah merupakan perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.

Syari’ah adalah sebutan terhadap pokok ajaran Allah dan RasulNya yang merupakan jalan atau pedoman hidup manusia dalam melakukan hubungan vertikal kepada Pencipta, Allah SWT, dan juga kepada sesama manusia.

Ibadah

Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh amal yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin.

Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:
“Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghen-daki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat : 56-58]

Muamalah

Etiomologi : Muamalah dari kata Al’ amal yang merupakan istilah yang digunakan untuk mengungkapkan semua perbuatan yang dikehendaki mukallaf. Muamalah juga bermakna bergaul. Terminologi : Muamalah adalah istilah yang digunakan untuk permasalahan selain ibadah.

Ibadah wajib berpedoman pada sumber ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah, yaitu harus ada contoh (tatacara dan praktek) dari Nabi Muhammad SAW. Ibadah ini antara lain meliputi shalat, zakat, puasa, dan haji.

Sedangkan masalah mu’amalah (hubungan kita dengan sesama manusia dan lingkungan), masalah-masalah dunia, seperti makan dan minum, pendidikan, organisasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, berlandaskan pada prinsip “boleh” (jaiz) selama tidak ada larangan yang tegas dari Allah dan Rasul-Nya.

Berkaitan dengan hal di atas, Nabi Muhammad SAW mengatakan:
“Bila dalam urusan agama (aqidah dan ibadah) contohlah aku. Tapi, dalam urusan duniamu, (teknis mu’amalah), kamu lebih tahu tentang duniamu.”

Dalam ibadah, sangat penting untuk diketahui apakah ada suruhan atau contoh tatacara, atau aturan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Apabila hal itu tidak ada, maka tindakan yang kita lakukan dalam ibadah itu akan jatuh kepada bid’ah, dan setiap perbuatan bid’ah adalah dhalalah (sesat). Sebaliknya dalam mu’amalah yang harus dan penting untuk diketahui adalah apakah ada larangan tegas dari Allah dan Rasul-Nya, karena apabila tidak ada, hal tersebut boleh saja dilakukan.

Dalam hal ini ada dua prinsip yang perlu kita perhatikan:
Pertama: Manusia dilarang “menciptakan agama, termasuk system ibadah dan tata caranya, karena masalah agama dan ibadah adalah hak mutlak Allah dan para Rasul-Nya yang ditugasi menyampaikan agama itu kepada manusia. Maka menciptakan agama dan ibadah adalah bid’ah. Sedang setiap bid’ah adalah sesat.

Kedua: Adanya kebebasan dasar dalam menempuh hidup ini, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan masalah mu’amalah, seperti pergaulan hidup dan kehidupan dalam masyarakat dan lingkungan, yang dikaruniakan Allah kepada umat manusia (Bani Adam) dengan batasan atau larangan tertentu yang harus dijaga. Sebaliknya melarang sesuatu yang tidak dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya adalah bid’ah.

Dalam menjalankan keseharian, penting bagi kita untuk mengingat dua prinsip di atas. Ibadah tidak dapat dilakukan dengan sekehendak hati kita karena semua ketentuan dan aturan telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, serta contoh dan tatacaranya telah diajarkan oleh Rasulullah SAW semasa hidupnya. Melakukan sesuatu dalam ibadah, yang tidak ada disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah berarti melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT, dan ini sungguh merupakan perbuatan yang sesat.

Namun dalam beberapa hal, tentu ada hal yang harus diperhatikan sesuai dengan perkembangan zaman. Di sinilah implikasi dari mu’amalah itu sendiri. Selama tidak ada larangan secara tegas di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, hal yang dipertimbangkan itu boleh dilakukan. Hal ini telah diterangkan oleh Rasul dalam sabdanya yang sudah ditulis di atas. Sebagai contoh adalah dalam kehidupan sehari-hari, pada zaman hidupnya Rasulullah, masyarakat yang mengadakan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain menggunakan binatang Unta sebagai kendaraan. Akan tetapi hal itu tidak mungkin sama dalam kehidupan zaman modern ini. Dan karenanya, menggunakan kendaraan bermotor diperbolehkan karena tidak ada larangan dari Allah dan Rasul-Nya (tidak tertera larangan yang tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah).

Kesimpulan

Aqidah adalah akar, konsep dan prinsip utama (aslun) dalam Dinul Islam, bersifat mengikat mutlak tanpa tawar menawar bahwa satu-satunya Dzat yang wajib disembah (ilah) dan tempat bergantung (rabb) dan berkuasa (malik) hanya Allah SWT. Sebagaimana tertulis dalam surat pembuka Al-Fatihah ayat 2 (rabbil alamin/pencipta alam semesta), ayat 4 (malikiyaumiddin/penguasa hari pembalasan) ayat 5 (iyyakana'budu/satu-satunya yang disembah) juga dalam surat terakhir Al Quran yaitu surat An-Nas ayat 1-3 (Qul audzubirabbinnas, Malikinnas, Ilaahinnas).

Ibadah adalah implementasi dari nilai Aqidah sebagai wujud kepatuhan dalam bentuk amal-amalan, bersifat mengikat bagi seluruh umat Islam dengan tata cara yang sudah dijelaskan oleh Rasulullah sebagai Syariat dalam bentuk Sunnah. Yaitu perkataan, perbuatan dan ketetapan yang dibuat oleh Rasulullah.

Muamalah adalah hubungan antar manusia baik sesama muslim maupun dengan kalangan di luar muslim. Sebagaimana Rasul bergaul dengan seluruh umat menggunakan ahlaqul karimah, maka itu pula yang harus jadi panduan bagi kaum muslimin.

Ujian Keimanan



Orang-orang yang beriman memang tidak bisa melepaskan diri dari hal yang satu ini: ujian keimanan. Melalui proses inilah Allah hendak membuktikan keimanan sesungguhnya dari setiap orang yang mengatakan "aamannaa", kami telah beriman. Dengan metode inilah Allah memisahkan emas dan loyang; keimanan yang sesungguhnya dan keimanan yang sekedar pengakuan verbal.

Karenanya Allah SWT berfirman :
Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan "kami telah beriman" sementara mereka tidak diuji? (QS. Al-Ankabut : 2)

Dalam hal apa manusia diuji adalah perkara lain. Namun yang pasti, semua manusia beriman akan mendapatkan ujian. Ada yang diuji dengan cinta, popularitas, dan harta. Ada pula yang diuji dengan berbagai kesusahan.

Para Nabi sebagai manusia-manusia terbaik juga tidak lepas dari ujian semacam ini. Bahkan, sebagaimana mereka adalah model keimanan, mereka juga menjadi model bagi obyek ujian keimanan.

Maka, sejarah meninggalkan pesan kepada kita bahwa mereka ditimpa oleh ujian-ujian terberat sepanjang sejarah kehidupan manusia.

Nabi Ayyub diuji dengan penyakit yang sangat berat.
Nabi Ibrahim harus berhadapan dengan ayahnya dan 'lautan api' hukuman Namrudz, raja yang menolak dakwahnya.
Nabi Nuh harus melalui 950 tahun dengan penuh kesulitan dan hasilnya, hanya beberapa orang yang beriman, selebihnya menjadi musuh dan para pencela.
Apalagi Nabi Muhammad. Ujiannya dalam menyebarkan nilai-nilai Ihaliah teramat banyak untuk disebutkan; ada celaan, intimidasi, lemparan batu, sampai upaya pembunuhan. Semua ini bermuara kepada satu hukum: semakin besar keimanan seseorang, semakin berat pula ujiannya.

Nabi SAW ditanya : "Siapa manusia yang paling berat ujiannya?" beliau menjawab : "Para nabi, kemudian baru orang yang lebih dekat derajatnya kepada mereka berurutan secara bertingkat." (HR. Tirmidzi)

"Ujian yang tiada henti-hentinya menimpa kaum mukmin laki-laki dan perempuan, baik yang mengenai dirinya, hartanya, anaknya, tetapi ia tetap bersabar, ia akan menemui Allah dalam keadaan tidak berdosa." (HR. Tirmidzi)

Iman Kepada Qadha dan Qadar



Apa pun yang terjadi di dunia dan yang menimpa diri manusia pasti telah digariskan oleh Allah Yang Mahakuasa dan Yang Mahabijaksana. Semua telah tercatat secara rapi dalam sebuah Kitab pada zaman azali. Kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan sesuai ketentuan-ketentuan ilahiah yang tidak pernah diketahui oleh manusia. Dengan tidak adanya pengetahuan manusia tentang ketetapan dan ketentuan Allah ini, maka ia memiliki peluang atau kesempatan untuk berlomba-lomba menjadi hamba yang shalih-muslih, berusaha keras untuk mencapai yang dicita-citakan tanpa berpangku tangan menunggu takdir, dan berupaya memperbaiki citra diri.

Definisi Qadha dan Qadar

Secara etimologi, Qadha memiliki banyak pengertian, diantaranya sebagaimana berikut:
1. Pemutusan, kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah, “(Dia) yang mengadakan langit dan bumi dengan indahnya, dan memutuskan sesuatu perkara, hanya Dia mengatakan: Jdilah, lalu jadi.” [QS. Al-Baqarah (2): 117]

2. Perintah, kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” [QS. Al-Israa` (17): 23]

3. Pemberitaan, bisa kita temukan dalam ayat, “Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh.” [QS. Al-Hijr (15): 66]

Imam az-Zuhri berkata, “Qadha secara etimologi memiliki arti yang banyak. Dan semua pengertian yang berkaitan dengan qadha kembali kepada makna kesempurnaan….” (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Al-Atsir 4/78)

Adapun Qadar secara etimologi berasal dari kata qaddara, yuqaddiru, taqdiiran yang berarti penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat Allah berikut ini. “Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” [QS. Fushshilat (41): 10]

Dari sudut terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha).

Ibnu Hajar berkata, “Para ulama berpendapat bahwa qadha adalah hukum kulli (universal) ijmali (secara global) pada zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian kecil dan perincian-perincian hukum tersebut.” (Fathul-Baari 11/477)

Ada juga dari kalangan ulama yang berpendapat sebaliknya, yaitu qadar merupakan hukum kulli ijmali pada zaman azali, sedangkan qadha adalah penciptaan yang terperinci.

Iman kepada Qadha dan Qadar artinya percaya dan yakin dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT telah menentukan tentang segala sesuatu bagi makhlukNya. Berkaitan dengan qadha dan qadar, Rasulullah SAW bersabda :
”Sesungguhnya seseorang itu diciptakan dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, 40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari menjadi segumpal daging, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh ke dalamnya dan menuliskan empat ketentuan, yaitu tentang rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan (jalan hidupnya) sengsara atau bahagia.” (HR.Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud).

Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa nasib manusia telah ditentukan Allah sejak sebelum ia dilahirkan. Namun  tidak berarti bahwa manusia hanya tinggal diam menunggu nasib tanpa berusaha dan ikhtiar. Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha, sebab keberhasilan tidak datang dengan sendirinya.

Mengenai adanya kewajiban berikhtiar, ditegaskan dalam sebuah kisah. Pada zaman nabi Muhammad SAW pernah terjadi bahwa seorang Arab Badui datang menghadap. Orang itu datang dengan menunggang kuda. Setelah sampai, ia turun dari kudanya dan langsung menghadap Rasul, tanpa terlebih dahulu mengikat kudanya. Rasulullah menegur orang itu, ”Kenapa kuda itu tidak engkau ikat?.” Orang Arab Badui itu menjawab, ”Biarlah, saya bertawakkal kepada Allah”. Beliaupun bersabda, ”Ikatlah kudamu, setelah itu bertawakkalah kepada Allah”.

Mengenai hubungan antara Qadha dan Qadar dengan Ikhtiar ini, para ulama berpendapat, bahwa takdir itu ada dua macam :
1.Takdir Muallaq: yaitu takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia. Contoh seorang siswa bercita-cita ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk mencapai cita-citanya itu ia belajar dengan tekun. Akhirnya apa yang ia cita-citakan menjadi kenyataan. Ia menjadi insinyur pertanian.
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” ( Q.S Ar-Ra’d ayat 11)

2.Takdir Mubram; yaitu takdir yang terjadi pada diri manusia dan tidak dapat diusahakan atau tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh manusia. Contoh: Ada orang yang dilahirkan dengan mata sipit, atau dilahirkan dengan kulit hitam sedangkan ibu dan bapaknya kulit putih dan sebagainya.

dakwatuna.com