Perlakukanlah Anak Dengan Lembut

Banyak kita dengar kasus-kasus kekerasan terhadap anak, tak jarang sampai sang anak harus menderita cacat permanen atau bahkan malah sampai meninggal. Yang semua terjadi karena sikap emosi dan ketidaksabaran. Padahal, tubuh mungil itu seharusnya mendapatkan belaian kasih sayang. Karena kewajiban bagi orang tua untuk memberikan bimbingan bagi anak, sebagai implementasi amanah yang dibebankan kepada orang tua. Meski saat menghadapi sang anak, tak mustahil orang tua merasa kewalahan karena perilaku yang tidak menyenangkan dari si anak. Begitulah, anak yang merupakan amanah.

Sebagai konsekuensi dari amanah, orang tua dituntut untuk memberikan perhatian, mencurahkannya kepada sang buah hati dengan penuh kesungguhan. Baik yang berbentuk material maupun psikis. Orang tua harus mempunyai kewajiban memberi bimbingan demi kebaikan dan keselamatan anak. Secara implisit, di dalam al Qur`an surat Tahrim ayat 6, Allah telah mengingatkan pentingnya hal ini.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” [at Tahrim : 6].

KASIH-SAYANG MERUPAKAN PRINSIP ISLAM

Sifat rahmat dalam agama kita cakupannya meliputi dunia dan akhirat, manusia, hewan, bangsa burung dan lingkungan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan rahmatku meliputi sagala sesuatu.” [al A’raf : 156].
Dalam ayat di atas, Allah menyifati diriNya dengan sifat rahmat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam“. [al Anbiya’ : 107]
Allah ta’ala memerintahkan (kaum Muslimin) bersikap kasih-sayang dalam segala hal dan tindakan. Semakin lemah seorang makhluk (manusia), maka curahan kasih dan sayang padanya mesti lebih besar, dan kelembutan kepadanya lebih dituntut lagi. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang menghardik anak yatim dan berbuat jahat kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan adapun terhadap anak yatim, maka janganlah engkau bertindak sewenang-wenang“. [adh Dhuha:9].

Cerminan implementasi kasih-sayang ini telah dicontohkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau mencela orang yang tidak mempunyai rasa kasih-sayang pada anak-anaknya.

Imam al Bukhari menuliskan sebuah judul, bab rahmatu al waladi wa taqbilihi wa mu’anaqatihi, (bab kasih-sayang pada anak, menciumi dan memeluknya). Dalam bab ini, Imam al Bukhari membawakan sebuah hadits yang menceritakan, bahwa suatu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kedatangan seorang sahabat yang bernama Aqra’ bin Habis. Ia melihat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang mencium al Hasan (cucunya). Maka ia berkomentar: “Aku mempunyai sepuluh orang anak, (namun) aku tidak pernah mencium satu pun dari mereka,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa tidak menyayangi, maka tidak disayangi”.[Hadits Shahih al Bukhari]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencurahkan perhatian ekstra terhadap anak-anak, wanita dan orang tua renta, atau orang yang belum tahu (jahil).
Sebagai contoh, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencaci-maki orang badui yang kencing di masjid, juga tidak memukulnya. Sebab orang tersebut belum mengetahui hukum dan kondisi. Oleh karena itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersikap kasar kepadanya, justru melarang sebagian sahabat yang berniat untuk menghentikan polahnya yang tidak terpuji di masjid. [Hadits Riwayat Muslim]

Demikian juga, saat mengomentari kesalahan sahabat Mu’awiyah bin Hakam as Sulami yang mendoakan orang yang bersin di tengah shalat. Usai shalat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menasihati : “Ini adalah shalat, tidak pantas di dalamnya diucapkan omongan-omongan dengan orang. (Yang dikerjakan) hanya mengucapkan tasbih, takbir dan membaca al Qur`an”.
Begitu melihat lembutnya teguran Nabi, maka ia pun berkata : “Aku tebus engkau dengan ayah dan ibuku. Aku tidak pernah melihat pendidik sebelum dan sesudah itu yang lebih baik cara mendidiknya dibandingkan beliau. Beliau tidak menghardikku, tidak memukulku, (juga) tidak mencaci makiku”. [ Hadits Riwayat Muslim]

Itulah karakter yang mendominasi pribadi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjadi uswah (teladan) bagi seorang guru, pendidik ataupun orang tua. Sifat kelembutan dan kasih-sayang menjadi simbol, apalagi kepada anak-anak.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan sungguh pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) orang yang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan mengingat Allah dengan banyak”. [QS. al Ahzab : 21].

Apabila rasa cinta, kasih sayang orang tua (dan pendidik) kurang tercurahkan pada diri anak-anak, tak mustahil sang anak akan tumbuh sebagai pribadi yang berperi laku aneh di tengah komunitasnya, yaitu kawan-kawannya. Misalnya tidak pandai berinteraksi dengan orang luar, kurang memiliki kepercayaan diri, kurang memiliki kepekaan social, tidak mampu menumbuhkan semangat gotong-royong ataupun pengorbanan. Kelak, kadang-kadang ia tidak bisa menjadi seorang ayah yang penyayang, atau pasangan yang baik interaksinya, juga tidak bisa berperan sebagai tetangga yang enggan mengganggu tetangganya, dan efek negatif lainnya. Sebab itu, merupakan kewajiban bagi orang tua untuk memenuhi kebutuhan cinta dan kasih kepada anak-anaknya.

KEZHALIMAN AKAN MENDAPAT BALASAN

Islam memberlakukan juga cara mendidik anak dengan sanksi (iqab). Namun bentuk-bentuk sanksi itu merupakan pilihan terakhir, dan harus sesuai dengan rambu-rambu yang telah digariskan Islam. Orang tua (setiap muslim) tidak boleh bertindak aniaya kepada siapa saja, apalagi menjadikan anak-anak sebagai obyek pelampiasan kemarahan, kompensasi dari stress ataupun kejengkelan yang sedang menyelimuti kepala orang tua. Menghukum orang dewasa yang tidak bersalah saja dilarang keras oleh Islam, apalagi menghukum anak-anak yang masih kecil yang tidak berdosa dan tidak berbuat salah.
Tindakan semena-mena yang dilakukan oleh oknum orang tua, ibu atau ayah, baik yang bersifat fisik, emosi ataupun psikis, tetap saja termasuk dalam kategori kezhaliman, yang akan dimintai tanggung jawabnya kelak di Akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Maka, demi Rabb-mu, Kami pasti akan menanyai mereka semua”. [al Hijr : 92].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan di dalam hadits hasan riwayat an Nasa-i : “Sesungguhnya Allah akan menanyakan setiap penggembala (setiap orang yang diamanahi dengan tanggung jawab) tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya, apakah ia memeliharanya atau menyia-nyiakannya?”

Abu Mas’ud al Badri Radhiyallahu ‘anhu pernah mengisahkan:
“Aku pernah memukul budak lelakiku. Kemudian aku mendengar suara dari belakang yang berbunyi : “Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud,” aku tidak memahami suara itu karena larut dalam emosi. Tatkala orang itu mendekat, ternyata adalah Rasulullah. Beliau berkata : “Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud. Sesungguhnya Allah lebih kuasa menghukummu daripada dirimu terhadap budak lelaki itu”. Ia kemudian berkata : “Setelah itu, aku tidak pernah memukul seorang budak pun”. Dalam riwayat lain : “Cambukku terjatuh dari tanganku karena kewibawaan beliau”.[ Hadits Riwayat Muslim]

No comments:

Post a Comment