Suami Mencintai Istri

Suami kepada istri di awal pernikahan demikian mesra bergaul. Kata-katanya pun diatur sedemikian rupa agar tidak menyinggung perasaan sang primadona. Setiap benda atau simbol maknawi dikomunikasikan dengan bahasa lubuk hati. Rasa kasih namanya.

Begitu pula sang istri menanggapi tutur dan sikap kasih suami dengan penuh sentimentil. Yang berbicara bukan lagi logika tapi lubuk kalbu. Oh, betapa indahnya hidup ini.

Inilah gambaran hidup sang pengantin baru. Mungkinkah kasih sayang tertambat abadi dalam lubuk hati yang dalam ?

Bagi pasangan muslim, gambaran cinta mesra adalah suatu yang sakral. Ia perlu dipertahankan, menutupi ketidaksukaan suami kepada kelemahan istri menjadi suatu kewajiban nilai. Bukan sekedar ungkapan di bibir. "Dia tidak pernah mencela suatu makanan, jika dia suka ia makan, dan jika dia benci dia meninggalkannya" (HR Bukhari Muslim)

Kisah Aisyah dengan Rasulullah menjadi buah ibroh (pelajaran) teladan. Betapa Rasulullah menjaga cinta kasih dengan Aisyah selama mata belum berkatup. Ketika kaum Habsyi bermain tombak di masjid, Rasulullah bersikap duhai mesra. Beliau mendedahkan kain sebagai hijab berlobang, agar Aisyah bisa menonton pertunjukan heroik tersebut. Aisyah melihat pertunjukan dari balik leher/tengkuk, agar sesekali bisa bersentuhan dengan dada Rasulullah.

Kisah lain, betapa Rasulullah bermain mesra. Lomba berlari. Sesekali Rasulullah berlari dengan lambat tapi pasti mengalahkan Aisyah. Sesekali beliaupun mengalah demi suka ria Aisyah, demi membahagiakan istri.

Inilah gambaran hidup ideal dan nyata. Rasulullah melaksanakannya dengan istri-istrinya. Kadang Aisyah pun iri pada sikap Rasul yang membanggakan Khadijah. Istri pertama beliau ini memberi kehangatan hidup, membela lahir dan batin, dikala rumah tangga jihad bergelombang. Khadijah lebih banyak mendapat duka dalam liku-liku pembentukan Qo’idah Ash-Sholbah.

Suami Qona’ah (sederhana)

"Tidak ada pada kami kecuali cuka, lalu Rasul minta cuka itu sebagai lauk. Lalu makanlah beliau berlaukkan cuka", demikian tutur salah seorang istri Rasul. (HR Muslim)

Rasul selau qona’ah (tidak neko-neko). Barangkali inilah salah satu kebanggaan para istri Rasul akan kepribadian beliau. Selain, beliau tampan, hangat, juga menyejukkan.

Tidak ada hati para istri yang gundah gulana disebabkan tindakan Rasul. Paling-paling sikap cemburu para istri terutama Aisyah bila ada wanita yang datang kepada beliau. "Jangan-jangan wanita ini menyerahkan diri untuk diperistri," inilah ungkapan kekhawatiran Aisyah. "Tidakkah aku menarik perhatian beliau?", Aisyah berkontemplasi.

Bukan bersoalan itu yang berlaku pada Rasul. Beliau menikahi banyak wanita bukan demi nafsu duniawi, akan tetapi demi dakwah, jihad dan kelanjutan Islam.

Memang Aisyah pencemburu berat. Sulit diukur dengan neraca berapa berat tingkat cemburunya. Tetapi lebih cemburu lagi Rasulullah. Inilah ciri cinta yang masih melekat dalam dua pribadi sejarah. Cemburu bukan hal negatif. Tapi sebagai suatu yang inheren dalam cinta yang furqoni. Suami yang mempunyai rasa cinta kepada istrinya, tidak akan rela melihat istrinya diboyong atau digandeng oleh laki-laki lain. Jika sang istri ternyata dengan "suka rela" mau diperlakukan seperti itu oleh laki-laki lain, maka sang suami akan berkata, "Saya harus menceraikannya". Inilah cemburu yang hak (yang benar).

Kadang suami harus pergi jauh, lama tidak kembali, baik untuk mencari nafkah, menuntut ilmu atau menyeru kepada Islam. Dalam kisah kasih suami istri islami, istri akan mentsiqahi (percaya) pada amal suaminya. "Suamiku tidak akan menyeleweng dari Islam", hati kecil istri bicara. Istri pun di rumah menjaga kesucian dirinya. Ia tak akan menerima tamu di luar muhrim selama kepergian suami. Ia senantiasa menjaga anak-anak dan mendidiknya dengan pendidikan Islam serta menjaga segala harta dan wasiat suami. "Suamiku pasti kembali", suara hati sang istri penuh yakin. "kalau pun ia tidak kembali ke pangkuan, pasti dia kembali kepada-Nya". Sang istri yakin betul akan takdir Allah. Ia selalu berprasangka baik kepada Allah dalam setiap keputusan-Nya yang hadir.

Berlapang Dada

Sebagai manusia, kadang-kadang seorang istri hanyut dalam arus kemarahan. Ia membuat sesuatu yang ganjil. Dengan sebab tertentu ia merubah sikap terhadap suaminya. Suami merasakan kemarahan tersebut. Lalu, suami menerima dengan lapang dada. Ia bersabar dan bersikap mulia. Pandangan yang dalam akan hakekat kejadian wanita membuat suami bertoleransi terhadap istri. Bahwa wanita itu dijadikan dari tulang rusuk yang bengkok. Jika sang suami memaksa untuk meluruskannya, maka ia akan patah. Namun jika dibiarkan, maka ia juga akan tetap bengkok.

Sebagaimana Rasulullah pernah menunjukkan sikap beliau ketika Hafsah istri beliu berpaling semalaman dari beliau. Umar memarahi Hafsah dengan keras, karena menganggap anaknya (hafsah) berani berpaling dari Rasulullah. Umpatan Umar tersebut disampaikan kepada Rasulullah. Tapi, Rasulullah menanggapinya dengan senyum simpul.

Suami tidak layak menampilkan sosok dominasi, tidak mau kalah dalam segala hal. Kecuali hal-hal yang prinsip. Untuk hal-hal tertentu suami mau menerima keluhan rasa kesal istri. Suami menanggapinya dengan hati yang sejuk menantramkan, bukannya malah ikut-ikutan marah.

Suatu ketika, para istri shahabat mengelilingi Rasulullah, mengadukan persoalan pribadi. Pasalnya suami-suami mereka terlalu kasar (HR Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah) padahal dalam firman Allah "Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah). Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak". (QS 4:19)

Dalil ayat ini menyuruh para suami untuk mampu berlapang dada, menerima fitrah manusiawi wanita. Rasulullah pernah bersabda :

"Berwasiatlah kamu dengan cara yang baik kepada wanita sebab mereka dijadikan dari tulang rusuk yang bengkok. Dan sesungguhnya bagian yang paling bengkok di dalam tulang rusuk itu ialah bagian paling atas. Jika anda hendak meluruskannya secara keras dan paksa niscaya engkau akan patahkan dia dan jika anda membiarkan dia demikan ia akan senantiasa bengkok. Maka berwasiatlah kamu dengan baik kepada wanita". (HR Bukhari Muslim)

Suami yang berlapang dada, sabar atau menerima beberapa kelemahan sifat manusiawi wanita akan menjadi simbol kejayaan. Ia bisa adaptif dengan berbagai kronik kehidupan keluarga. Ia tahu bagaimana mengatasi dan mengelula konflik internal dan friksi hubungan sosial dengan istrinya. Ia tahu pula bagaimana cara menyelami lubuk jiwa istrinya dengan bijak, lembut, cerdik.

Kebahagiaan istri secara psikologi dalam keluarga adalah mendapatkan "rewards" positif untuk hal-hal yang positif, dan bila suami bersikap konsisten antara ucapan dan tidakannya.

Pemimpin Yang Baik

"Kaum lelaki adalah pemimpin (qowwam) bagi wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka". (QS 4:34)

Kecerdikan dan sikap menerima kekurangan istri, akan meningkatkan pamor suami di hadapan istri. Dalam memperbaiki kekurangan itu ia berusalah dengan cara lemah lembut. Kebencian atau yang menyakitkan istri akan timbul, bila istri dimarahi di khalayak ramai.

Pemimpin yang baik (suami) dalam keluarga adalah keteladanan dan tanggung jawah yang panuh akan amanah yang diberikan kepadanya.

"Kamu semua adalah pemimpin dan semua pemimpin bertanggung jawab atas semua kepemimpinannya. Dan setiap penanggungjawab adalah pemimpin, dan lelaki adalah pemimpin atas kapasitas keahliannya, dan wanita adalah penjaga suami dan anak-anaknya, maka semua kamu adalah pemimpin yang bertanggungjawab atas rakyatnya”. (HR Bukhari Muslim)

Jadi Islam menuntut kaum laki-laki agar bergaul ihsan (baik) dengan istri. Sebaliknya Islam juga menyuruh istri agar patuh dan taat setia kepada suaminya dalam batas-batas halal. Dengan demikian kisah kasih cinta suami istri senantiasa dalam batas rahmat. Insya Allah akan tetap langgeng. Amin.

No comments:

Post a Comment